31.10.17

Yang Ditabur, yang Dituai (2)

[Sambungan dari Yang Ditabur, yang Dituai (1). Bagian kedua dari tiga bagian]

“Kebesaran sebuah bangsa dan perkembangan moralitasnya bisa dinilai dari bagaimana hewan diperlakukan.” —Mohandas K. Gandhi (1869–1948)
Kekerasan kita kembali kepada kita
Pale Blue Dot atau planet Bumi, rumah kita bersama ini [Lihat: Bersua Kartini di Agora (2)], telah mengalami berbagai peristiwa besar yang mengguncang dan meninggalkan penderitaan menyayat hati. Kekerasan tak berkesudahan terjadi di mana-mana terhadap sesama manusia dan makhluk hidup lainnya, yang telah memicu terjadinya mala petaka yang lebih besar lagi. Maka tergantung pada niat manusia itu sendiri, ingin mengakhiri, atau melanjutkannya. 

Telah dibuktikan oleh Madan Mohan Bajaj, ilmuwan dari Departemen Fisika dan Astrofisika, Universitas Delhi [pada Yang Ditabur, yang Dituai (1)] bahwasanya industri peternakanlah yang paling bertanggungjawab atas terjadinya berbagai bencana alam di Ibu Pertiwi (Mother Earth). Salah satunya disebabkan oleh terakumulasinya energi negatif sangat ekstrem yang dibangkitkan oleh pembunuhan hewan secara massal. 

Industri peternakan dewasa ini telah memperlakukan hewan dengan sangat kejam, mereka dibiarkan hidup berdesakan di dalam kandang yang sesak, dipaksa menelan bermacam-macam obat, diperah dengan kasar memakai mesin sampai tidak mampu berdiri, untuk kemudian dibantai. 

Tidak semua orang tahu tentang hal-hal mengerikan pada hewan-hewan peternakan pabrikan. 

Pada industri telur misalnya, jika diketahui bahwa anak-anak ayam itu jantan, mereka akan dilemparkan ke mesin penggiling, hidup-hidup, untuk diolah menjadi makanan anjing, atau sesuatu yang lain. 

Guru spiritual Ching Hai (l. 1950), penerima berbagai penghargaan perdamaian dunia, dalam sebuah wawancara menceritakan apa yang pernah disaksikannya di sebuah acara televisi: 

“Saya melihat seekor anak ayam kecil, dia berkeliaran di pinggir ban berjalan yang sedang membawanya ke mesin penggiling. Ia mengembara dengan begitu polos, mencari ibunya, Ya Tuhan! Saya menangis.”[ii]

Ching Hai memperingatkan bahwa kejahatan moral ini telah mencapai proporsi global, karena tindakan kekerasan kita akan kembali kepada kita dalam bentuk bencana alam: 

“Apa yang engkau tabur, itulah yang engkau tuai. Inilah ajaran universal yang ditemukan dalam seluruh kitab suci agung dunia.”[1]

Pada 21 Februari 2017, Yayasan PETA (People for the Ethical Treatment of Animals) mempublikasikan temuan mereka yang menggambarkan metode penyiksaan dan pembunuhan mengerikan yang rutin dijalankan di sebuah peternakan ayam di India. Dokumentasinya bisa disaksikan di sini.




Sumber terbesar emisi gas rumah kaca
The more I learn about people, the more I like my dog.” —Mark Twain (1835–1910)
Namun, apakah dosa industri peternakan cukup hanya sampai di situ? Selain sebagai pemeran utama atas terjadinya bencana alam, produksi daging juga memegang porsi (salah satu) terbesar atas timbulnya kerusakan sistemik ekologi Bumi. 

Sebuah laporan yang dipublikasi oleh Worldwatch Institute menunjukkan bahwa industri peternakan adalah penghasil emisi gas rumah kaca[iii] terbesar, dan bertanggung jawab atas ‘paling sedikit’ 51% terjadinya pemanasan global (setara dengan 32.567 juta ton karbon-dioksida), lebih banyak daripada gabungan seluruh sektor transportasi dunia (total emisi dari pesawat terbang, kereta api, mobil, motor, dan lain-lain).[2] Kemungkinan besar persentasenya bahkan lebih besar dari itu. Ching Hai misalnya, berdasarkan pengamatannya, mengklaim kontribusi industri peternakan sedikitnya mencapai 80%![1]

Karena memasok biji-bijian dan air dalam jumlah besar sebagai pangan hewan ternak, lalu membunuh dan mengolahnya, mengangkut serta menyimpannya, merupakan rangkaian proses produksi yang membutuhkan energi amat besar. Serentak bersama itu, terjadi perambahan hutan-hutan (sebagai penyerap gas rumah kaca) demi tersedianya hamparan padang rumput dan lahan pertanian untuk pangan ternak. Dan akhirnya, ternak itu sendiri beserta segenap buangannya merilis lebih banyak lagi gas rumah kaca ke atmosfer.  

Karbon-dioksida (CO2), metana, dan nitro-oksida merupakan gas-gas rumah kaca yang sangat “perkasa”, mereka berkontribusi paling besar atas terjadinya perubahan iklim.

Pembakaran bahan bakar fosil (seperti minyak dan bensin) melepaskan karbon-dioksida. Karena diperlukan bahan bakar fosil 11 kali lebih banyak guna menghasilkan satu kalori protein hewani daripada untuk menghasilkan satu kalori protein biji-bijian, maka karbon-dioksida yang dilepaskan juga jauh lebih besar. Para peneliti mengakui bahwa protein yang dihasilkan dari sumber nabati lebih ‘climate efficient’ daripada yang berasal dari sumber hewani.[3]

Miliaran ayam, kalkun, babi, dan sapi yang hidup bersesakan di peternakan-peternakan di Amerika Serikat, setiap tahunnya menghasilkan sejumlah besar metana, baik saat mencerna makanannya maupun dari berhektar-hektar septik tank yang penuh dengan kotorannya. Environmental Protection Agency AS menunjukkan bahwa peternakan secara global menjadi sumber terbesar emisi metana, dan bahwa metana 25 kali lebih efektif daripada karbon-dioksida dalam memerangkap panas di atmosfer Bumi.[3] Metana juga merupakan gas yang berusia pendek. Gas ini akan meninggalkan atmosfer lebih cepat daripada CO2, hanya dalam satu dasawarsa, dibanding CO2 yang butuh waktu ribuan tahun. Oleh karenanya, menghilangkan metana dengan meniadakan peternakan adalah cara tercepat untuk mendinginkan Bumi manusia.


2. Sebuah peternakan besar di luar kota York, Inggris. Sumber: Viva! (viva.org.uk).

Nitro-oksida bahkan 300 kali lebih besar potensinya dalam menghasilkan gas rumah kaca dibandingkan CO2. PBB memperkirakan daging, telur, dan industri susu, menyumbang 65% emisi nitro-oksida dunia.[3]

Kekejaman manusia menjagal hewan bahkan melampaui kandang-kandang mereka yang sempit, jauh melampaui rumah jagalnya. Bukan hanya mengenai hewan-hewan yang disiksa selama hidup mereka yang singkat dan dibunuh tanpa belas kasih, tapi juga tentang hewan-hewan liar yang mati karena limpasan pupuk kimia, atau mati lemas karena kekurangan oksigen, yang disebabkan oleh gaya hidup manusia yang ceroboh. Atau yang disakiti dan mati sebagai hewan percobaan dalam program pengujian kimiawi di laboratorium-laboratorium. Atau pun yang diburu untuk dikuliti atau dilucuti bulunya demi sepotong gengsi.

Pada 7 Juni, harian Washington Post menerbitkan sebuah statistik berdasarkan laporan Wildlife Services, badan pemerintah AS yang mengklaim diri bertanggungjawab atas ‘leadership and expertise to resolve wildlife conflicts to allow people and wildlife to coexist.’ Kenyataannya, pada 2013 saja, agen-agen Wildlife Services telah membunuh lebih dari 4,4 juta hewan, termasuk di dalamnya 75.326 coyote (anjing hutan), 866 bobcats (sejenis kucing), 528 berang-berang sungai, 3.700 rubah, 12.186 anjing padang rumput, 973 elang ekor merah, 419 beruang hitam, dan setidaknya tiga elang emas. Jumlah ini merupakan peningkatan hampir 25% atau 3,4 juta lebih yang tewas dibanding data 2012, di mana sekitar setengahnya adalah spesies pribumi.[4] 

Statistik itu hanya menggambarkan perburuan satwa liar di Amerika saja, dan hanya dalam setahun.

Di dalam bukunya Dari Krisis menjadi Damai, Ching Hai membagikan beberapa bukti terkini tentang dampak perubahan iklim terhadap kehidupan manusia dan hewan, yang bisa dibaca pada Bab 2: Tanda Peringatan untuk Membangunkan Umat Manusia: Lebih Buruk daripada Skenario Kasus Terburuk » http://www.crisis2peace.org/ina/book.php?b=&wr_id=24

Keragaman yang menjamin ketahanan

“Kalau saja rumah pemotongan hewan memiliki dinding kaca, kita semua akan menjadi vegetarian.” —Paul McCartney (l. 1942) 

Dalam salah satu ceramahnya, fisikawan dan pemikir Fritjof Capra (l. 1939) mengingatkan kembali mengenai asas keterhubungan sesama makhluk hidup, yang menjadi dasar kehidupan di dalam ekosistem Bumi: 

In the coming decades, the survival of humanity will depend on our ecological literacy—our ability to understand the basic principles of ecology and to live accordingly. This means that ecoliteracy must become a critical skill for politicians, business leaders, and professionals in all spheres, and should be the most important part of education at all levels—from primary and secondary schools to colleges, universities, and the continuing education and training of professionals.

Dan mengajarkan sejak dini pemahaman mendalam mengenai ekoliterasi kepada anak dan anak didik kita, bahwa sampah yang berasal dari satu spesies adalah makanan bagi spesies lainnya; bahwa segala hal bersiklus terus-menerus melalui jejaring kehidupan; bahwa energi yang menggerakkan siklus ekologi mengalir dari matahari; bahwa ‘keragamanlah yang menjamin ketahanan’; dan bahwa kehidupan, yang dimulai lebih dari tiga miliar tahun yang lalu, tidak mengambil alih Bumi melalui pertempuran tetapi dengan bekerjasama. 

“Tak ada organisme apa pun yang bisa hidup dalam isolasi.” 

“Hewan tergantung pada fotosintesis tanaman untuk kebutuhan energi mereka; tanaman tergantung pada karbon-dioksida yang dihasilkan oleh hewan, dan pada nitrogen yang secara tetap diproduksi oleh bakteri di akar-akarnya; bersama-sama, tanaman, hewan, dan mikroorganisme mengatur seluruh biosfer serta memelihara kondisi yang kondusif untuk kehidupan.”[5] 

Dari Alam Semesta kita belajar bahwa kelestarian Bumi bukan kepunyaan orang per orang, melainkan milik seluruh jaringan keterhubungan. Maka cara mempertahankan kehidupan adalah dengan ‘membangun dan memelihara keragaman’.

Baca juga: Tarian Alam Semesta (1), (2), (3), (4), dan (5).

Bekerja sama memadamkan Bumi yang sedang terbakar
Ching Hai, yang dihormati sebagai Maha Guru oleh murid-muridnya itu, menyampaikan impiannya sebagai berikut: “Saya berharap agar seluruh dunia menjadi damai. Saya berharap agar seluruh pembunuhan akan berakhir. Saya berharap agar semua anak-anak dapat berjalan dalam kedamaian dan harmoni. Saya berharap agar seluruh negara saling berjabat tangan, saling melindungi, dan saling membantu. Saya berharap agar Bumi kita yang indah ini tidak akan dihancurkan. Perlu miliaran tahun untuk membuat planet ini dan Bumi ini sangat indah, sangat mengagumkan. Saya berharap agar Bumi ini akan terus ada, dalam kedamaian, keindahan, dan kasih.”

“Planet kita adalah sebuah rumah yang sedang terbakar. Jika kita tidak bekerja sama dengan semangat bersatu untuk memadamkan api itu, kita tidak akan memiliki rumah lagi.” —Ching Hai, Dari Krisis menjadi Damai, Kata Pengantar, 2010. 

———
[ii] Anak ayam di penetasan komersial di seluruh dunia tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk bertemu ibu mereka, mengalami dekapan cinta, atau merasakan hangatnya sinar matahari. Tak lama setelah lahir, anak ayam jantan dan betina dipisahkan berdasarkan gendernya. Untuk memastikannya, para pekerja menekan paksa organ genitalia mereka yang sensitif. Industri telur akan mengeliminasi anak ayam jantan karena mereka tidak bisa bertelur, atau jika dianggap tidak mungkin menghasilkan keuntungan bagi perusahaan.

[iii] Efek rumah kaca (greenhouse-gas emissions) terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas karbon-dioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Meningkatnya konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh banyaknya pembakaran bahan bakar minyak, batu bara dan bahan bakar organik lainnya yang melebihi kemampuan tumbuh-tumbuhan dan laut untuk menyerapnya.

Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai. Karbon-dioksida adalah gas terbanyak kedua. Ia timbul dari berbagai proses alami seperti: letusan vulkanik; pernapasan hewan dan manusia (yang menghirup oksigen dan menghembuskan karbon-dioksida); serta pembakaran material organik (seperti tumbuh-tumbuhan).

Karbon-dioksida dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Fotosintesis memecah karbon-dioksida dan melepaskan oksigen ke atmosfer serta mengambil atom karbonnya.

Sumber: Wikipedia


———
[1] Hai, Maha Guru Ching. Dari Krisis menjadi Damai, Bab 1: Solusi Vegan untuk Menyelamatkan Dunia, 2010.

[2] Worldwatch Institute, http://www.worldwatch.org

[3] People for the Ethical Treatment of Animals (PETA), http://www.peta.org

[4] Merrick , Robert. Stop slaughtering millions of wild animals, change.org.

[5] Capra, Fritjof. The New Facts of Life, disampaikan pada seminar dengan tema Linking Food, Health, and the Environment yang diselenggarakan oleh Center for Ecoliteracy and Teachers College Columbia University, 2008.


***

Tulisan-tulisan lainnya di sini.

30.10.17

Yang Ditabur, yang Dituai (1)

Kisah kebengisan yang mengubah dunia, saat kekuatan alam bertabrakan dengan manusia.

.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  


[Bagian pertama dari tiga bagian]

Auschwitz begins wherever someone looks at a slaughterhouse and thinks: they’re only animals. —Theodor W. Adorno (1903–1969)
Selasa, 22 Februari 2011, waktu makan siang. Warga Christchurh, Canterbury, kota terbesar kedua di Selandia Baru, tengah di puncak kesibukannya, ketika gempa bumi berkekuatan 6,3 SR mengguncang kota dan sekitarnya. Lebih dari 130 orang tewas hanya di dalam gedung Canterbury Television dan Pyne Gould Corporation. Juga 11 orang yang berada di dekatnya, dan delapan lainnya di dalam bus yang sedang melaju, tertimpa reruntuhan batu dan bata dinding gedung. Keseluruhan 185 orang meninggal, dan sekitar 2.000 lainnya terluka.

Bencana hebat itu telah menimbulkan kerusakan sangat besar pada infrastuktur kota, dan membawa kesedihan mendalam bagi negara itu. Episentrumnya yang hanya 10 km dari pusat bisnis Christchurch telah meluluhlantakkan bangunan-bangunan serta mengakibatkan ribuan orang kehilangan tempat tinggal. 

Gempa bumi—dalam skala berat dan ringan—sering terjadi di Selandia Baru, hampir setiap tahun, bahkan beberapa kali dalam setahun. Sebelumnya, gempa 7,1 SR mengguncang Darfield, Canterbury pada 4 September 2010, dan gempa 7,8 SR pada 15 Juli 2009 di Dusky Sound, Southland. Christchurch sendiri masih mengalami beberapa kali gempa bumi sesudahnya, pada 13 Juni 2011 (6,4 SR), 23 Desember 2011 (6,0 SR), dan pada 14 Februari 2016 (5,7 SR).


1. Citra satelit Christchurch dan sekitarnya, diambil pada 4 Maret 2011, sekitar dua minggu setelah terjadinya gempa bumi (area yang berwarna keputihan).

Rintihan yang membangkitkan gelombang seismik

...when there is a large scale of slaughter of creature whether human beings or animals and the pain waves are created by these slaughters that is caused Einstein Pain waves and these waves are so powerful that the earth starts shaking which is in common language is called Earthquake.” —Madan Mohan Bajaj 

Dr. Madan Mohan Bajaj, ilmuwan terkemuka dari Universitas Delhi (berdiri 1922), melalui tesisnya yang berjudul Visprabhaw, telah membuktikan bahwa gempa bumi terjadi akibat pembantaian kolektif terhadap makhluk hidup. Dr. Bajaj menyampaikan tesis penting ini pada Juni 1995 di salah satu konferensi ilmuwan internasional yang diadakan di Sudal, dekat Moskow. 

Laporan penelitiannya tidak saja menimbulkan kegemparan tapi juga telah membatalkan semua teori tentang gempa bumi. Makalah revolusioner ini berhasil memasukkan istilah ‘non-kekerasan’ dan ‘hidup berdampingan’ dalam khazanah ilmiah. Dan menjadi awal dari sebuah era baru, di mana ilmu pengetahuan berinter-relasi dengan filsafat secara indah. Sekaligus memperlihatkan dengan terang benderang bahwa manusialah penyebab terjadinya bencana alam; karenanya manusia bisa menghentikannya, kalau mau. 

Dr. Bajaj melakukan investigasi atas apa yang disebutnya sebagai efek Gangguan Sistem Terintegrasi [Breakdown of Integrated Systems (BIS)]. Efek BIS menggambarkan bagaimana perilaku kejam terhadap satwa telah memicu terjadinya bencana alam. Ia mendokumentasikan sejumlah aktivitas seismik yang timbul menyusul perayaan hari besar seperti Natal, saat jutaan kalkun dan hewan lainnya di seluruh dunia dibunuh. Atau yang mengikuti ibadah Idul Adha, di saat jutaan kambing disembelih. Penelitiannya juga menunjukkan bahwa tsunami dan badai timbul akibat dari penyembelihan satwa laut. 

Saat hewan-hewan disakiti dan dibunuh, terpancarlah sinyal berfrekuensi-sangat-rendah, sekitar dua atau tiga Hertz, dan seterusnya. Sinyal ini berupa gelombang rasa sakit [Einsteinian Pain Waves (EPW)], yang frekuensinya meningkat terus sejalan dengan semakin banyaknya pembunuhan, dan pada saatnya akan membangkitkan gelombang seismik yang memicu terjadinya gempa bumi [penulis: peringatan Dr. Bajaj ini mencakup pula pembunuhan terhadap sesama manusia]. 

Industri peternakan mewakili persentase besar pendapatan tahunan kota Christchurch. Pembantaian terbesar terjadi di Canterbury Utara, yaitu sebanyak 8.5 juta domba per tahun. Data statistik yang dipublikasi oleh kantor statistik negara itu menggambarkan fasilitas rumah jagal ini membunuh lebih dari sepertiga populasi domba setiap tahunnya. Selandia Baru bertanggung jawab terhadap 49.7 % perdagangan internasional daging domba. Daerah pertanian susu di Ashburton, Canterbury memproduksi susu tertinggi setiap tahun di seluruh Selandia Baru. Perdagangan daging sapinya mencapai 7.5% perdagangan dunia. Industri pertanian rusanya terbesar di dunia, mencakup 4.000 ladang pertanian. Data statistik 2001 menggambarkan 52% tanah Selandia Baru yang seluas 268.021 kilometer persegi itu dipergunakan untuk menggembala ternak. 

Reruntuhan, sesudah rintihan itu
Penelitian Dr. Bajaj mencatat dengan baik bahwa jika pembunuhan terjadi di suatu tempat, dampaknya bisa mengenai tempat itu atau lainnya. 

Di Polandia, 1,39 juta sapi dan 20,7 juta babi dibunuh pada 2009. Polandia juga negara pengekspor daging kuda terbesar di Eropa, dengan 30.000 ekor kuda dikirim ke pos kematian setiap tahunnya. 

Di akhir Mei 2010, Polandia mengalami banjir besar, terburuk sepanjang 160 tahun terakhir, mengakibatkan puluhan orang kehilangan nyawanya, dan 23.000 orang dievakuasi. Pada Juni 2010, Jaringan Informasi Pertanian Global  Departemen Pertanian Amerika Serikat melaporkan bahwa banjir melanda 4.300 ladang, dan 450.000 hektar lahan pertanian rusak. Yang terburuk di kota praja Slubice, Plock yang memiliki fasilitas utama pengolahan unggas. Fasilitas yang sama di kota praja Gabin juga rusak berat.

Peternakan juga merupakan sektor pertanian terbesar di Afrika Selatan, dengan populasi sekitar 13,8 juta ternak sapi dan 28,8 juta domba, terbesar di provinsi KwaZulu-Natal dan Limpopo. Di Limpopo, peternakan sapi menyumbang persentase signifikan atas penghasilan tahunannya. Namun perburuan merupakan penghasilan terbesar Afrika Selatan dengan 80% industri perburuannya terkonsentrasi di Limpopo. Perburuan satwa liar menyumbang 70% pendapatan pariwisata tahunan provinsi itu. 

Dari Desember 2010 sampai Januari 2011, Afrika Selatan mengalami banjir yang sangat buruk. Lebih dari 4.000 kilometer persegi tanah Afrika Selatan, mencakup delapan dari sembilan provinsinya, terkena dampak banjir. 13.000 rumah hancur, dan 8.400 orang terpaksa dievakuasi. 136 orang meninggal, 88 di antaranya berasal dari KwaZulu-Natal, provinsi dengan dampak banjir terparah. Limpopo pun sangat menderita, kelima distriknya terkena banjir yang menyebabkan empat orang meninggal, dan 1.540 bangunan rusak.

Sementara di Brasil, dua negara bagiannya, Rio de Janeiro dan Sao Paulo, memiliki industri pengolahan ikan dalam skala besar. Industri peternakan juga mewakili bagian signifikan dari ekonomi Rio de Janeiro. Brasil adalah penghasil kedua terbesar daging sapi dunia dan setiap tahun membunuh hampir 40 juta sapi. juga 35 juta babi. Brasil pengekspor terbesar daging sapi secara global, 21.9% dari ekspor dunia pada 2009. Juga mengkonsumsi daging sapi terbesar ketiga di dunia, setelah Amerika Serikat danUni Eropa. 

Pada 11–12 Januari 2011 hujan dengan intensitas tinggi turun di daerah pegunungan Serrana, Rio de Janeiro. Curah hujan mendekati 254 milimeter. Pada 12 Januari jam 3 pagi, banjir lumpur besar menerjang empat kota. Karena banyaknya rumah yang dibangun tidak sesuai aturan, dampak yang ditimbulkannya sangat mengerikan. 902 orang meninggal. dan lebih dari 20.000 orang kehilangan rumah. Keluarga-keluarga tersapu bersih, dan jenazah dikuburkan tanpa bisa diidentifikasi. Kota Nova Friburgo terkena dampak paling parah, di mana 3.000 rumah hancur dan 426 warganya meninggal. Dahsyatnya kekuatan banjir lumpur itu telah merubah seluruh tatanan geografis daerah ini dan telah memaksa dilakukannya penataan ulang.

Di Jepang, negara dengan jumlah terbesar konsumsi ikan per orang di dunia, sebanyak 7,5 miliar ton ikan dibunuh setiap tahunnya. Ribuan lumba-lumba dan ikan paus juga tak luput dari target perburuan, banyak di antaranya dibantai di sepanjang pantai Pasifik.

Pada 11 Maret 2011, gempa bumi 9,0 SR menghantam wilayah Tohoku, salah satu dari lima gempa terkuat sejak pencatatan dimulai pada tahun 1900. Terjadi tsunami hingga setinggi 40,5 meter, menerjang hingga sejauh 10 km ke daratan, setelah menghantam pantai Pasifik. Bencana tersebut menyebabkan 15.894 orang tewas, dan mengakibatkan kerusakan bangunan dan infrastruktur yang luas yang memicu petaka signifikan di empat stasiun tenaga nuklir utama. Tenaga gelombang seismik yang luar biasa menyebabkan posisi Jepang bergeser 2,5 m, dan sumbu bumi bergeser 18 cm.

Jepang menduduki tempat teratas negara yang paling berpotensi dilanda gempa, selain Indonesia, Tiongkok, Nepal, Taiwan, dan Filipina.

Keseimbangan yang rapuh
Berbagai bencana hebat, sebagaimana dicermati oleh Dr. Bajaj dan ilmuwan lainnya, dengan jelas menunjukkan keseimbangan rapuh biosfer Bumi. Negara-negara berlomba dalam membunuh hewan, lebih banyak dan lebih banyak lagi, tidak menyadari bahwa efeknya akan sangat berbahaya bagi umat manusia. Hewan ternak memiliki perasaan, pikiran, dan kepribadian, seperti halnya manusia; namun industri peternakan memperlakukan mereka seperti mesin, dengan kekejaman yang tidak bisa diterima. Kebengisan manusia indikasi bagi kehancuran Bumi.

“Kita hanya harus menghentikan pembunuhan terhadap sesama manusia dan satwa. Lalu segala sesuatu tiba-tiba akan menjadi terang. Topan akan berhenti begitu saja. Angin puting beliung akan menjadi hening. Gempa bumi akan lenyap. Hidup akan penuh kedamaian.” —Ching Hai

Catatan panjang mengenai terjadinya bencana alam di seluruh dunia akibat penyembelihan hewan, bisa disaksikan di sini » Disasters Related to Animal Slaughter.


———
Referensi

Where Disasters Strike Hard, Supreme Master TV, http://suprememastertv.com

Slaughter of cow: main cause of Earthquake, Swami Vivekananda, https://natnewsnet.wordpress.com

Bencana-Bencana yang Terkait dengan Penyembelihan Hewan–Bukti, Supreme Master TV, http://suprememastertv.com

Top Ten Natural Disasters, National Geographic Channel.


***

Tulisan-tulisan lainnya di sini.

Unggulan

Merajut Keterhubungan

Sebuah esai merespons tema pameran Forum Grafika Digital 2017 (FGDexpo 2017), Connectivity (Jakarta Convention Center, 24–27 Agustus 2017). ...