1.
Aku bercerita kepada malam
Karena hanya ia yang sudi menadah keluh kesah
Para pecinta yang menderita [1]
Tapi keagungan malam itu telah direnggutnya pula.
Suatu ketika di sebuah pemukiman elitis. Sunyi langit malam itu kembali terbelah oleh gaduh tetangga sebelah yang seolah memindahkan diskotik ke rumahnya. Dimainkannya perangkat disjoki mengiringi gelegar musik dansa, berselang-selangan dengan tepuk sorak para handai tolan.
Ingar-bingar hingga jelang dini hari itu dipaparkannya ke lingkungan sekitar melalui pengeras suara berdaya besar, berulang kali, sepanjang tahun. Tak mengindahkan peringatan yang telah berkali-kali dilayangkan kepadanya.
Maka sekerap itu pulalah kami seisi rumah, juga warga sekitar yang tak berdaya, dibuatnya tak bisa tidur.
Malam itu, sejumlah kata teguran yang dikirimkan melalui pesan singkat, tak dibalasnya. Terkantuk-kantuk, anakku beranjak dari tempat tidurnya, menuju ke rumah sebelah, berniat menegurnya langsung. Tapi ia disambut dengan lagak pongah Sang Pangeran. Direnggutnya tangan anakku, dan kemudian dibantingnya ia, sehingga cedera di sebagian tubuhnya; di kepala, lengan, dan jari-jari tangannya.
Paginya, kepala keamanan kompleks yang meradang, mendatangi si pembuat onar dan menghardiknya keras. Tapi ia bergeming, tak jua jera. Sesekali masih dihantarkannya gaduh serupa, sebelum akhirnya mereda.
Seiring dengan meredupnya disrupsi ala kelab malam itu, muncullah agresi baru: Sang Duli Tuan menjajakan Istananya sebagai lokasi syuting film iklan.
Maka berputar ulanglah kisah dengan genre pergaduhan itu. Dengan durasi yang tak kalah panjang. Dan plot yang kian menyesakkan.
Selain hiruk pikuk pengambilan gambar di belakang rumah, di depan rumah sebuah genset bertenaga 13 KVA berdengung dengan angkuhnya. Sepanjang hari, dari pagi hingga jelang azan subuh. Sejumlah pohon berdaun lebat di halaman rumahku, tak berdaya menghambat deru dan debu.
Lengkaplah himpitan sengsara yang harus kami tanggung. Keberatan demi keberatan yang kami layangkan tenggelam ditelan kebisingan itu sendiri.
Maka hari-hari syuting itu kembali mengubah lingkungan sekitar bak neraka. Bagai kisah-kisah Bob Borzotta dalam bukunya yang lantang, Neighbors from Hell (2009).[i]
Setelah sekian keluhan diterimanya, Sang Paduka hanya bersabda ringan: “Bagaimana kalau saya pesankan hotel?”
2.
Polusi suara di pemukiman kota di Indonesia memang masih minim perhatian. Dibandingkan dengan polutan lain, pengendalian kebisingan lingkungan terhambat oleh kurangnya pengetahuan atas dampaknya bagi manusia dan kemanusiaan. Lebih memprihatinkan lagi ketika di sini kebisingan terlanjur diterima sebagai sesuatu yang wajar.
Di Roma kuno (abad ke-8 SM), peraturan telah ditegakkan terhadap bunyi yang terpancar akibat gesekan besi roda gerobak pada jalan beraspal, yang menyebabkan orang Romawi terganggu tidurnya. Pada Abad Pertengahan (abad ke-5 hingga abad ke-15 M), kereta berkuda tidak diizinkan berjalan pada malam hari di kota-kota tertentu di Eropa, untuk menjamin tidur yang nyenyak bagi penghuninya.
Toh skala kebisingan di masa lampau tidak sebanding dengan di masa kini. Dalam kehidupan masyarakat modern, mobil dan motor terus melintasi kota-kota dan pedesaan. Truk bermesin diesel yang sarat muatan memaparkan polusi suara melalui mesin dan knalpotnya, di jalan-jalan raya, siang dan malam. Pesawat terbang, juga kereta api, kian memperburuk skenario.
DI negara-negara maju, berbagai tindakan nyata diterapkan untuk mengatasi masalah ini. Amerika Serikat memiliki situs yang menyebutkan bahwa orang yang menyebabkan kebisingan tidak akan mendapat toleransi. Belanda juga telah mengeluarkan larangan membangun rumah di mana tingkat kebisingan dalam 24 jam rata-rata melebihi 50 dB. Di Inggris ada Undang-Undang yang menyebutkan bahwa pemerintah daerah dapat menyita peralatan yang membuat kebisingan di malam hari (night-time noise).[2] Kenyataannya, eksposur kebisingan lebih kerap terjadi di negara-negara berkembang di mana isu ini masih dianggap sebagai “barang mewah”.
Dr. Richard Helmer, Direktur Departemen Perlindungan Lingkungan Manusia Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa tindakan praktis untuk membatasi dan mengendalikan paparan kebisingan lingkungan sangatlah penting. Tindakan sedemikian seharusnya didasarkan pada evaluasi ilmiah yang tepat atas data mengenai dampak yang ditimbulkan oleh kebisingan, terutama mengenai relasi antara dosis paparan (kuantitas) dan responsnya (dose-response relationships). Basisnya adalah proses penilaian terhadap risiko (risk assessment) dan manajemen risiko (risk management).[3]
Buku panduan yang dikeluarkan oleh WHO untuk Eropa menetapkan ambang batas kebisingan malam di luar ruangan pada tingkat 40 dB. Ketentuan ini bertujuan melindungi publik dari kebisingan di pemukiman, termasuk yang paling rentan seperti anak-anak, orang tua, dan yang sakit. Kebisingan lingkungan, terutama pada malam hari, mengganggu waktu tidur dan merusak kesehatan.[4]
Genset adalah salah satu biang kebisingan yang sangat mengganggu. Genset terbuka (open type) menghasilkan kebisingan hingga 90 dB (desibel). Sebagai gambaran mengenai skala desibel, percakapan manusia yang wajar menimbulkan kebisingan sekitar 60 dB. Pada skala 70 dB, tingkat kebisingan mencapai dua kali lipat level 60 dB, sementara pada 90 dB tingkat kebisingannya delapan kali lipat level 60 dB![5]
1. Buku panduan mengenai kebisingan malam yang dikeluarkan oleh WHO, 2009. Bisa diunduh dari situs web WHO Kantor Regional Eropa (www.euro.who.int)
|
Komisi Eropa (European Commission) yang mendukung WHO, melalui media publikasinya Science for Environment Policy mengulas sejumlah penelitian ilmiah dan membuat konklusi sebagai berikut:
Tidur adalah kebutuhan biologis dan tidur yang terganggu bertalian dengan kesehatan yang buruk. Ada bukti yang memadai (sufficient evidence) bahwa kebisingan malam menyebabkan peningkatan denyut jantung, perubahan waktu tidur, dan penggunaan obat-obatan. Bukti yang terbatas (limited evidence) juga menunjukkan bahwa kebisingan malam berkaitan dengan naiknya tekanan darah tinggi (hipertensi), serangan jantung, depresi, perubahan tingkat hormon, kelelahan, dan kecelakaan.[ii]
Laporan tersebut mencakup tentang ambang batas kebisingan malam yang bila terlampaui, efek negatifnya akan mulai terasa. Dampaknya bergantung pada frekwensi pemaparannya. Misalnya, ambang batas terbangun (waking treshold) di malam hari dan/atau dini hari adalah 42 dB, sedangkan ambang batas serangan jantung adalah 50 dB.
Disimpulkan pula bahwa perbedaan intensitas dan frekuensi kebisingan tergantung pada sumbernya, yang menimbulkan dampak yang berbeda pula. Lalu lintas di jalan raya ditandai oleh tingkat kebisingan yang rendah per kejadian, namun bila ada sejumlah kejadian terjadi serentak, efeknya jadi lebih besar dalam membuat orang terbangun, daripada lalu lintas udara yang memiliki intensitas kebisingan tinggi per kejadian tapi frekwensi kejadiannya rendah.[6]
Berbeda dengan panca indera kita yang lain yang akan rehat saat kita beristirahat atau tidur, maka telinga tidak demikian. Organ pendengaran manusia akan selalu bekerja tanpa jeda dan rehat jika ada stimulus bunyi.
Undang Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai cita-cita bangsa Indonesia. Bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara.
Masih dari undang undang yang sama, pada pasal 6 tertulis: setiap orang berhak mendapat lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan. Jelas bahwa kita sebagai warga negara oleh pemerintah diberi hak untuk bebas dari lingkungan yang berpolutan bising. Dan sebagai individu dalam masyarakat, kita pun diminta untuk berperilaku sehat (pasal 11), artinya kita haruslah menghindari bising demi kesehatan kita pribadi.
Sangat jelas diinstruksikan dalam undang undang kesehatan tersebut agar kita menghormati hak orang lain dalam memperoleh lingkungan yang sehat baik fisik, biologi, maupun sosial (pasal 10). Tentu kita harus bertenggang rasa, dalam arti konkret, jika dari pihak kita, rumah kita, industri kita, kendaraan kita atau sikap dan perilaku kita tersebut menghasilkan bising yang berdampak negatif bagi orang lain maka itu harus kita reduksi bahkan eliminasi.[7]
3.
Buku Neighbors From Hell mengartikulasikan derita “kelas warga tak berdaya” seraya memandu bagaimana Orang-orang Baik (Good Guys) melawan agresi tetangga—yang disebutnya sampah (trashy neighbors)—serta memulihkan kembali rumah dan komunitas mereka seperti sediakala. Melalui situs Neighbors from Hell Borzotta mengantar pembacanya dengan persoalan besar mengenai mengapa Orang-orang Busuk (Bad Guys) selalu menang atau dimenangkan.
Dari berbagai pengalaman pribadi maupun yang diperolehnya ketika memberikan konseling, ia mencatat keganjilan bahwa otoritas setempat justru berpihak kepada Orang-orang Busuk, bisa jadi oleh karena pengaruh orang tersebut, sebagaimana ditekankannya pada intro bukunya: “…good neighbors wind up in conflict with authorities who we often see as siding with the bad neighbors”, sementara warga lain pada umumnya abai atau tidak peduli, selama tak merasa terganggu pada level yang sama.
Borzotta menekankan bahwa: “Good neighbors are not built for conflict the way bad ones are. We hate it, while they seem to enjoy it. But these people are actually very weak; they are living, breathing cliches. They can be corrected. But doing so by legal means, while remaining upstanding citizens not brought down to their level, can be a challenge.”[8]
2. Logo Neighbors from Hell sebagaimana dicantumkan oleh Bob Borzotta di situs Neighbors from Hell (neighborsfromhell.com).
|
Situs Amazon.com mengulas isi buku Tetangga dari Neraka selain berwawasan luas dan informatif juga mengemukakan studi forensik yang pertama yang pernah ada mengenai apa yang membuat ‘orang dewasa yang berperilaku seperti anak kecil’ itu semakin merajalela.
Borzotta mengalami sendiri berurusan dengan tetangga yang menurutnya mengerikan; ia kemudian mendirikan pusat bantuan global untuk mereka yang senasib, guna mencari solusi atas masalah tua yang berulang kembali di zaman modern ini.
Walau bersikap adil terhadap semua pihak, Borzotta jelas bukanlah the devils advocate. Terbitan berkalanya, Good Neighbors Rule, merupakan media terbanyak yang dibaca oleh khalayak yang membutuhkan bimbingannya, dan yang secara teratur berkonsultasi dengannya mengenai masalah terkait kehidupan bertetangga.[9]
Sebuah video diunggah oleh ABC News merekam upaya Borzotta mendukunng warga yang terzalimi di berbagai negara bagian Amerika: Have a Feud With the People Next Door?
Seperti Amerika dengan Noise Free America-nya, Indonesia sebenarnya pernah memiliki organisasi serupa. Masyarakat Bebas-Bising (MBB) didirikan pada 2010, oleh sejumlah tokoh masyarakat sipil dengan tujuan untuk mengingatkan masyarakat pada “bahaya nasional” polusi kebisingan. Ketuanya komponis Slamet Abdul Sjukur, dan di antara para penggeraknya terdapat nama-nama seperti Ahmad Syafii Maarif, Nh. Dini, Marco Kusumawijaya, Soe Tjen Marching, Bulantrisna Djelantik, Arief Adityawan S., Atieq S.S. Listyowati, Luthfi Assyaukanie, dll. Sayang, MBB mati suri setelah Slamet tutup usia (2015).
Dalam tulisannya, arsitek dan urbanis Marco Kusumawijaya menyodorkan kisah Persia Kuno, Gilgamesh, yang bertutur mengenai para dewa yang mengirimkan air bah karena terganggu oleh kebisingan yang ditimbulkan oleh manusia di kota-kota besarnya. Kebisingan dianggap sebagai sesuatu yang tidak pantas dan jumawa.
“Kalau kita membanding-bandingkan beberapa kebudayaan, kesenyapan di ruang khalayak menjadi salah satu ukuran yang sangat penting. Budaya Jawa sangat menghargai kesenyapan, hampir serupa dengan di Jepang. Tapi belakangan ini di mana-mana kita mendapatkan ruang khalayak yang penuh dengan kebisingan yang tidak perlu, over-acting, dan dapat dicegah dengan upaya-upaya teknis, selain kesadaran untuk menghargai kesenyapan.”[10]
4.
Salah satu serangan terbesar pada kemanusiaan adalah dengan menghabisinya dengan bising berlimpah, sehingga tak tersisa lagi ruang untuk berdoa, tak ada lagi tempat untuk menyendiri bersama Tuhan. Tak ada tempat untuk diam.
Jauh hari, seorang tokoh seni Eropa awal abad ke-20 telah mengingatkan bahwa ‘diam akan segera menjadi legenda’.
“Manusia telah berpaling dari keheningan. Hari demi hari diciptakannya mesin dan perangkat yang meningkatkan kebisingan, serta mengalihkan kemanusiaannya dari esensi kehidupan, kontemplasi, dan meditasi.”[iii]
Dan seorang biarawati minoritas jauh di Kalkuta sana pernah bertutur:
”Kita perlu menemukan Tuhan, dan Ia tak dapat ditemukan dalam kebisingan. Tuhan bersahabat dengan diam. Tengoklah pohon, bunga, dan rumput yang tumbuh tanpa berisik; lihat bintang, bulan, dan matahari yang beredar dalam senyap...
Kita perlu keheningan untuk bisa menyentuh jiwa.”[iv]
Hanny Kardinata
(Swaraning Asepi)
Bintaro, 12 Maret 2018
———
[i] Bob Borzotta adalah mantan reporter Philadelphia Inquirer, Associated Press, dan banyak kantor berita lainnya. Bukunya, Neighbors from Hell, dan situs web pendampingnya NeighborsFromHell.com, telah membuat Borzotta menjadi nara sumber ABC News, National Public Radio, CNN, serta berbagai surat kabar lokal dan stasiun radio di sekitar AS. Para produser acara menginginkannya muncul di acara bincang-bincang siang hari atau bahkan menjadi tuan rumah acaranya sendiri. Ribuan orang membutuhkan konsultasi yang andal dan bertanggung jawab dengannya untuk menangani perselisihan dengan tetangga mereka, dan dia telah menyediakannya, bukan demi uang, sejak tahun 1999.
[ii] Definition of “sufficient” and “limited” evidence:
Sufficient evidence: A causal relation has been established between exposure to night noise and a health effect. In studies where coincidence, bias and distortion could reasonably be excluded, the relation could be observed. The biological plausibility of the noise leading to the health effect is also well established.
Limited evidence: A relation between the noise and the health effect has not been observed directly, but there is available evidence of good quality supporting the causal association. Indirect evidence is often abundant, linking noise exposure to an
intermediate effect of physiological changes which lead to the adverse health effects.
The working group agreed that there is sufficient evidence that night noise is related to self-reported sleep disturbance, use of pharmaceuticals, self-reported health problems and insomnia-like symptoms. These effects can lead to a considerable burden
of disease in the population. For other effects (hypertension, myocardial infarctions, depression and others), limited evidence was found: although the studies were few or not conclusive, a biologically plausible pathway could be constructed from
the evidence. (Sumber: Night Noise Guidelines for Europe, hal. xi)
[iii] Jean Arp (1886–1966), pematung, pelukis dan penyair Perancis.
[iv] Bunda Teresa (1910–1997) biarawati Katolik Roma berkewarganegaraan India yang selama lebih dari 47 tahun melayani orang miskin, sakit, yatim piatu, dan yang sekarat di India.
———
Referensi
[1] Sam Haidy. Nocturnal Journal (Kumpulan Sajak yang Terserak, 2004-2014). Indie Book Corner, 2014.
[2] Zainur Rahman. Kebisingan sebagai Pencemaran Udara. Kompasiana, https://www.kompasiana.com/zaenuzlah93/kebisingan-sebagai-pencemaran-udara_551844d281331146699de6a6, diakses 25 Februari 2018.
[3] Dr Richard Helmer. Guidelines for Community Noise, http://www.moa.gov.cy/moa/environment/environmentnew.nsf/69D658BCCDE2FDB5C2258041002D61F5/$file/Guidelines%20for%20Community%20Noise%20-%20WHO.pdf, diakses 27 Februari 2108.
[4] WHO. Night Noise Guidelines for Europe, 2009, http://www.euro.who.int/__data/assets/pdf_file/0017/43316/E92845.pdf, diakses 30 Februari 2018.
[5] Mengukur Kebisingan Genset, https://www.intidayaonline.com/mengukur-kebisingan-genset/, diakses 1 Maret 2018.
[6] Science for Environtment Policy, http://ec.europa.eu/environment/integration/research/newsalert/pdf/202na3_en.pdf, diakses 2 Maret 2018.
[7] Yan Edwin Bunde, Mencermati Kesadaran akan Bising dan Regulasi yang Terkait, https://www.facebook.com/notes/komnas-penanggulangan-gangguan-pendengaran-ketulian/mencermati-kesadaran-akan-bising-dan-regulasi-yang-terkait/308237825853204/, diakses 25 Februari 2018
[8] Neighbors from Hell, http://neighborsfromhell.com/, diakses 27 Februari 2018.
[9] Bob Borzotta. Neighbors From Hell: Managing Today’s Brand of Conflict Close to Home , https://www.amazon.com/Neighbors-Hell-Managing-Todays-Conflict/dp/1449582702/ref=sr_1_2?ie=UTF8&s=books&qid=1280111700&sr=8-2, diakses 6 Maret 2018.
[10] Hanny Kardinata. Keheningan yang Berbiacara (2), https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2561750647212568638#editor/target=post;postID=3219798761225588152;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=22;src=postname, diakses 12 Maret 2018.
***