11.5.20

Cakapan dengan Majalah Retas (Bekraf)

Retas (R): Terkait logo kemerdekaan: 

1. Bagaimana bapak melihat logo hari kemerdekaan selama ini, baik secara visual maupun 'pesan' yang ingin disampaikan? 
 2. Apakah selama ini, logo-logo tersebut mampu menginspirasi dan menjadi spirit bagi elemen bangsa? 
3. Catatan bapak terkait logo kemerdekaan di era Jokowi dibanding era sebelumnya. 
4. Apa yang bisa dikritisi dari logo kemerdekaan selama ini? 

Hanny Kardinata (HK): 
Bagi saya desain yang baik adalah yang menjelaskan dirinya sendiri, berkomunikasi tanpa penjelasan dari luar dirinya, dan mampu berinteraksi dengan komunikannya. Ini berlaku pula bagi desain logo. 

Dalam kaitannya dengan logo hari kemerdekaan versi pemerintah, semua penjelasan verbal itu sia-sia belaka. Justru mengesankan logo itu telah gagal berkomunikasi secara visual. Dalam konteks ini, logo 71 tahun merupakan perkecualian. Ia berkisah justru dalam kesahajaannya, dan hadir dengan elemen visual yang sesuai dengan spirit
tagline yang disandangnya. Sedikit sentuhan keindonesiaan bisa jadi akan membuatnya lebih sempurna.


R: Tentang desain grafis di Indonesia:

1. Bagaimana Anda melihat perkembangan desain grafis di Indonesia selama beberapa dekade ini?


HK: Perkembanganannya sejak 1980-an—yang dianggap sebagai era kebangkitan desain grafis kita—mencatat kemajuan sekaligus kemunduran. Teknologi komputer membantu menyederhanakan cara kerja desainer tapi juga melahirkan ketergantungan. Di samping kecanggihannya, komputer grafis memiliki keterbatasan, keterbatasan yang menggeser sentuhan kemanusiaan.

Proses menggambar saya selalu menyisipkan dialog dengan permukaan kertas yang saya pilih. Untuk memunculkan efek tertentu saya suka memakai kertas bertekstur, dari yang halus sampai yang kasar seperti permukaan kanvas. Kuas dengan cat yang saya torehkan di atasnya menghadirkan motif yang memperkaya dimensi gambar. Efek seperti itu tak mungkin dihasilkan oleh komputer.


R: 2. Apa kemajuan signifikan yang sudah dicapai?

Dulu seorang desainer dituntut untuk bisa merancang apa saja, dari buku, kemasan, huruf, hingga ilustrasi. Tak banyak peluang untuk mendalami salah satu bidang. Kini situasinya jauh berbeda, setiap desainer berkesempatan menekuni apa yang menjadi gairah hati (passion) nya. Ada yang berspesialisasi sebagai desainer editorial, tipografer, ilustrator, desainer merek, desainer kemasan, dst. Dan dengan demikian menjanjikan kualitas yang lebih baik. 


R: 3. Apa kelemahan utama yang mendesak untuk dibenahi?

HK: Ekspos terhadap kegiatan seni dan desain harus diperbanyak, untuk mengimbangi hingar bingar politik yang melelahkan. Aktivitas seni dan desain meneduhkan. Tapi jangan Jakarta sentris, banyak eksplorasi yang dilakukan di daerah yang tak terangkat ke permukaan.

Juga ekspos terhadap kiprah para desainer kita yang berkarya di luar negeri.



R: 4. Apresiasi terhadap desain grafis terus meningkat tapi pelanggaran hak intelektual dan plagiarisme juga masih terjadi. Apa catatan Anda dan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi hal ini?

HK: Ide bisa datang dari mana saja. Saling pengaruh memengaruhi adalah hal yang wajar, sampai pada batas plagiarisme. Plagiarisme tidak bisa ditoleransi. Fungsi pengarsipan dibutuhkan, salah satunya adalah untuk menghindari terjadinya pengulangan karena ketaktahuan, juga plagiarisme. 

R: 5. Masih banyak desainer yang belum sadar dengan perlindungan atas hak intelektualnya. Apa pendapat Anda?

HK: Dalil universal seperti “sedia payung sebelum hujan” berlaku di sini. Bagaimana kalau sudah terjadi, misalnya karya kita diakui sebagai karya orang lain (bangsa lain), dan dikomersialkan?


R: 6. Apa kiat bisa terus bertahan di dunia ini selama hampir 50 tahun?  

HK: Sederhana saja, jadikanlah klien kita teman kita. Artinya, rawatlah hubungan kita dengan klien sebagaimana kita merawat pertemanan.


R: 7. Nilai yang bapak junjung tinggi saat berkarya?

HK: Mencintai apa yang kita kerjakan dengan sepenuh hati. Kita memperoleh talenta ini dari Tuhan, karena itu sudah selayaknya kita mensyukuri dan mencintainya.

R: 8. Saat ini profesi desain grafis kian menjadi pilihan. Apa kiat bagi mereka yang ingin serius menggeluti desain grafis?

HK: Yang perlu disadari sejak dini adalah apakah kita menyukai pilihan atas pekerjaan kita ini. Jika memang demikian, maka apa yang kita kerjakan akan mengalir begitu saja. Dan akan baik hasilnya. Hal sebaliknya bisa terjadi jika kita menjalani profesi kita karena terpaksa, atau sebab adanya dorongan dari luar diri kita, misalnya karena tuntutan finansial, atau karena pandangan bahwa menjadi desainer itu keren, status sosialnya tinggi.

Jadi, temukan gairah hati murni dari dalam diri kita sendiri—bukan yang dari dan terikat pada seseorang atau suatu ideal—dan tekunilah dengan cinta.

Jika idealisme menjadi sarana pelarian diri dari keadaan sekarang, atau jika kita hanya mengejar cita-cita yang ditetapkan oleh masyarakat, atau oleh seorang mentor, atau oleh diri kita sendiri, maka pekerjaan apa pun yang kita lakukan hanya akan mendatangkan kesengsaraan. Tetapi jika kita memiliki cinta di dalam hati kita, jika kita tidak ambisius, tidak mengejar kesuksesan atau penghormatan, maka apa yang kita kerjakan bisa jadi akan membantu membawa perubahan di masyarakat. 


R: 9. Pada 2015 pemerintah membentuk Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) yang diharapkan bisa mengakselerasi tumbuhnya ekonomi kreatif -termasuk desain grafis. Apa catatan dan masukan Bapak terhadap langkah Bekraf selama ini?

HK: Mungkin saya kurang mengikuti pergerakan Bekraf bagi sub-sektor desain grafis. Tapi sejauh ini kami di Desain Grafis Indonesia (DGI) yang fokus pada pengarsipan (melalui situs dgi.or.id sejak 2007) belum merasakan adanya perhatian dari Bekraf terhadap keberadaan kami. Kebijakan satu pintunya mengakibatkan kegiatan-kegiatan kami berada di luar radar Bekraf. Mudah-mudahan saja bukan karena anggapan bahwa kegiatan pengarsipan dan pencatatan rekam jejak yang kami lakukan selama ini tak membawa faedah dari sisi ekonomi :-)

Jadi kami melanjutkan aktivitas kami secara swadaya, dibantu oleh teman-teman desainer grafis, para akademisi, dan oleh teman-teman dari industri grafika. Dengan
bergotong royong, perlahan-lahan menuju ke arah terbentuknya Museum Desain Grafis Indonesia.

Pada 2016, kami menerbitkan buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia jilid I (tampilan buku beserta halaman-halaman isinya bisa dilihat di sini, dan juga terlampir) yang merekam sejarah desain grafis Indonesia, tanpa uluran tangan dari Bekraf. Apresiasi terhadap kehadirannya kami terima dari luar Indonesia, seperti dari keluarga alm. Philip B. Meggs, penulis buku History of Graphic Design; serta dari lembaga-lembaga seperti Malaysia Design Archive, National Library of Australia, atau M+, sebuah museum seni visual, desain, dan arsitektur di Hong Kong yang mengoleksi buku tersebut. Juga dari dunia kampus di tanah air.

Demikian pula halnya ketika pada 2018 ini kami berswadaya menerbitkan buku Collected, kompilasi karya desain grafis kontemporer Indonesia. Apresiasi justru kami terima dari Steven Heller, penulis dan kritikus desain grafis yang menuliskan ulasan mengenai buku tersebut di Print Magazine. Dengan bekerjasama sejak awal dengan Corse Design Factory yang berbasis di NYC, buku ini akan segera diluncurkan di benua Amerika, guna memperkenalkan karya desain grafis Indonesia secara komprehensif, untuk pertama kalinya, ke dunia internasional.


Saya termasuk yang berharap banyak ketika Bekraf dibentuk pada awal 2015, tapi menjalankan sebuah badan yang benar-benar baru seperti Bekraf ini mungkin memang bukan urusan mudah. Barangkali Bekraf membutuhkan waktu lebih sebelum bisa menampilkan performa terbaiknya?

Juni 2018

Unggulan

Merajut Keterhubungan

Sebuah esai merespons tema pameran Forum Grafika Digital 2017 (FGDexpo 2017), Connectivity (Jakarta Convention Center, 24–27 Agustus 2017). ...