[Bagian kedua dari tiga bagian. Sambungan dari Karena ‘Kita Sekalian Bersaudara’ (1)]
Beroleh kedamaian dalam memaafkan
“The murderer was crying, asking for forgiveness. I slapped him in the face. That slap helped to calm me down. Now that I’ve forgiven him, I feel relieved.” —Samereh Alinejad
Keindahan dalam maaf-memaafkan juga menjadi klimaks yang dramatis di Iran, sebuah negeri yang hingga tahun 1935 masih disebut Persia itu.
Royan, Iran Utara, 15 April 2014. Pembunuh anaknya itu berdiri di atas kursi di bawah tiang gantungan; tangannya diborgol, sementara tali jerat melingkar di lehernya. Ratusan orang di luar penjara menanti detik-detik menegangkan ketika sang ibu, Samereh Alinejad akan menggunakan haknya menendang kursi itu.
Namun setelah tujuh tahun mendambakan balas dendam, di saat takdir si pembunuh sepenuhnya berada di genggaman, Alinejad justru memaafkan Bilal Gheisari. Sebuah keputusan yang telah membuatnya menjadi pahlawan di kota kelahirannya, Royan, di tepi Laut Kaspia itu. Sejumlah spanduk digelar di jalan-jalan memuji belas kasih keluarganya. Dua minggu setelah adegan dramatis di tiang gantungan itu, para simpatisan masih berlalu lalang di depan rumahnya mengelukan dia dan suaminya.
Pada hari yang telah ditentukan itu, Alinejad berjalan pelan menuju tiang gantungan. Keluarga Gheisari berada di antara kerumunan penonton. Di balik penutup matanya, Gheisari terisak-isak. Untuk terakhir kalinya ia memohon pengampunan.
“Forgive me, Aunt Maryam,” pintanya.
Alinejad mendekati Gheisari. Tanyanya dengan berang:
“Apakah kamu mengasihani kami? Apakah kamu telah berbelas kasih kepada anak kami?”
Yang disambungnya: “Kamu telah merenggut kebahagiaan kami. Mengapa kami harus berbelas kasihan kepadamu?”
Ia menatap Gheisari dengan gusar, lalu menamparnya.
Setelah itu, bersama suaminya ia melepas tali jerat di leher Gheisari (Gb. 2). Dengan langkahnya itu ia membatalkan hukuman mati Gheisari.
Beberapa orang dalam kerumunan bertepuk tangan. Lainnya terdiam karena terkejut tak menyangka.
Hukuman Gheisari kemudian diubah menjadi 12 tahun penjara, di mana separuhnya telah ia jalani.
Alinejad dan suaminya juga tidak berkenan menerima uang yang telah dikumpulkan oleh para dermawan atas nama Gheisari (blood money).[i] Mereka merekomendasikan penghibahannya ke badan-badan amal, serta bagi pengembangan sekolah-sekolah sepak bola di kotanya. Suami Alinejad, Abdolghani Hosseinzadeh adalah selebriti sepak bola yang mengajar anak-anak bermain sepak bola. Anaknya, juga pembunuh anaknya itu adalah muridnya.
Dalam suatu wawancara, Alinejad menggambarkan betapa leganya ia dengan keputusannya itu:
“Tamparan itu membuat saya merasa semua kemarahan yang menumpuk di hati saya selama bertahun-tahun seperti tiba-tiba tercurahkan. Saya merasa damai. Dan tak lagi berpikir tentang balas dendam.”
———
[i] Keluarga korban pembunuhan di Iran dan beberapa negara Muslim lainnya sering dihadapkan pada pilihan kata terakhir mengenai apakah si pembunuh dibiarkan tetap hidup atau dihukum mati. Konsep hukum Islam mencantumkan ‘qisas’ atau pasal mengenai ‘mata diganti mata’ yang memberi mereka peluang untuk mengawal jalannya eksekusi. Mereka juga mempunyai pilihan untuk memberi pengampunan, dengan imbalan pembayaran sebesar 35.000 dolar AS atau lebih (blood money). Membatalkan qisas dipandang sebagai tindakan amal dan kesempatan untuk menebus dosa seseorang. Dalam kasus pembunuhan di Iran, pilihan diserahkan kepada keluarga korban, bukan pemerintah.
[Bersambung » Karena ‘Kita Sekalian Bersaudara’ (3)]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
***
Tulisan-tulisan lainnya di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar