Versi awal dipublikasikasikan di buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia I (2016) dengan judul yang sama sebagai Pengantar.
Buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia I. |
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Oleh: Hanny Kardinata
Buku ini saya dedikasikan kepada desainer grafis Indonesia, yang tengah berkarya di dalam negeri dan yang sedang merantau di berbagai belahan dunia.
Saya desainer grafis angkatan ‘70 dan pengelola harian (hingga akhir 2013) situs DGI (http://dgi.or.id), sebuah situs maya yang dirancang untuk merekam jejak perjalanan desain grafis Indonesia. Pada era 1970-an, istilah desain grafis belumlah begitu dikenal. Ketika saya melanjutkan studi saya ke Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) Asri, Yogyakarta pada 1972, program studi yang saya pilih disebut Seni Reklame (kemudian diganti menjadi program studi Disain Komunikasi, dan kelak, Disain Komunikasi Visual).
Di masa itu, setelah berkarya di Jakarta pun (akhir 1975), saya masih selalu mengalami kesulitan setiap harus menjelaskan profesi saya sebagai desainer grafis. Jauh lebih mudah dipahami—walau tidak tepat, ketika menerangkan bahwa pekerjaan saya adalah merancang reklame, yang tidak jarang lalu diartikan sekadar sebagai penggambar papan reklame (tukang reklame).
Jadi karena pada awalnya merupakan bagian dari industri periklanan itulah maka penelusuran jejak desain grafis di Indonesia juga tidak bisa lepas dari persinggungannya dengan sejarah periklanan—di samping dari sejarah percetakan, karena keterikatan historis desain grafis modern dengan sistem produksi massal ini.
Bukan kajian historis
Pada mulanya, terus saja terjadi tarik-menarik dalam proses penulisan buku ini; keinginan menulis pasang surut hingga beberapa bulan lamanya, terutama karena kesadaran bahwa menulis sesuatu yang historikal itu besar tanggung jawabnya. Akhirnya, saya memutuskan untuk hanya menuliskan kembali catatan-catatan yang telah saya kumpulkan selama ini di situs web DGI (2007–2012) secara kronologis—ditambah dengan referensi-referensi terkait sesuai kebutuhan—jadi bukan tulisan yang merupakan kajian terhadap sejarah desain grafis Indonesia.
Saya juga menyadari keterbatasan saya dalam melakukan penelitian. Karena itu saya tidak berpretensi menulis sebuah sejarah yang komprehensif. Kompilasi fakta historis di dalam buku ini mudah-mudahan bisa merangsang penelitian lebih mendalam terhadap masing-masing subjeknya. Rekaman jejak perjalanan desain grafis Indonesia ini mungkin juga bisa menjadi 'materi pendukung' guna melakukan penelitian lanjutan terhadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia, berkaitan dengan nilai-nilai yang berlangsung di masa lalu; dan boleh jadi juga ada andilnya dalam apa yang telah dan akan membentuk kita sebagai sebuah bangsa, sekarang dan di masa depan.
Sebab itu, karena lebih berdasar pada fakta, bukan opini, maka saya memilih bentuk lini masa (time line) sebagai format tulisan; peristiwa-peristiwa bersejarah itu disusun sesuai urutan waktu kejadiannya. Sesuatu yang bersifat opini, kalau pun ada, saya sampaikan pada 'catatan-catatan harian' saya—sesekali saya lampirkan di tengah suatu periode atau peristiwa—yang berdasar pada pengalaman saya sendiri. Catatan-catatan itu saya tambahkan sebagai detail dari suatu peristiwa, dengan memposisikan diri saya sebagai pelaku peristiwa, terutama pada periode sekitar 40 tahun terakhir: 1972–2012 (disampaikan sebagai lampiran terpisah pada halaman-halaman berwarna 'toska' (turquoise), atau juga disebut biru pirus, atau warna lautan (samudera).
Penulis sejarah yang baik, menurut Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir berjudul Origami, layaknya penggubah origami yang: "[...] membangun sesuatu, sebuah struktur, dari bahan-bahan yang gampang melayang. Sebab bahan penyusunan sejarah sesungguhnya bagaikan kertas: ingatan".[1] Padahal—masih dari tulisan yang sama: "Ingatan tak pernah solid dan stabil; ingatan dengan mudah melayang tertiup. Seperti kertas, ketika ia menampakkan diri di depan kita, sebenarnya dalam proses berubah. Kita yang menemukannya juga berubah: dengan kepala yang tak lagi pusing atau menatapnya dengan mata yang tak lagi lelah; kertas itu sendiri sedang jadi lecek atau sumbing, lembap atau menguning".
Jadi, karena sebagian dari catatan itu memang ditulis berdasarkan ingatan yang mudah berubah itulah, saya sepenuhnya menyadari bahwa tentunya sulit bisa menghindari terjadinya subjektivitas dalam penulisannya, walau ada ikhtiar kuat untuk mengupayakannya.
Dan supaya pembaca bisa memperoleh gambaran mengenai apa yang terjadi di tanah air dan di luar negeri pada suatu periode yang sama, maka sesuai dengan judulnya, buku ini berupaya menempatkan peristiwa-peristiwa di Indonesia berdampingan dengan tonggak-tonggak sejarah (milestones) desain grafis dunia. Catatan kejadian di Indonesia dituliskan dengan teks berwarna 'hitam', dan di dunia dengan teks berwarna 'perunggu'. Dalam kaitannya dengan sejarah desain grafis dunia, walau tidak bermaksud mendemonstrasikan sistem labeling (tag) gaya, hal semacam ini sepertinya tak terhindarkan, misalnya gaya Swiss, Modernisme, Punk, pascaModernisme, dan seterusnya.
Semua saling terhubung
Dulu, ketika sedang melakukan aktivitas menggambar atau merancang, saya sering kali terlibat dalam suatu proses yang barangkali bisa disebut nglakoni (dari bahasa Jawa), yaitu mengerjakan sesuatu sampai benar-benar selesai (kelakon), dan ketika mendekati puncaknya kerap kali seperti berada dalam keadaan ecstacy [mungkin], atau mungkin bahkan trance. Kondisi itu membuat saya terbenam dalam situasi di mana berbagai elemen visual di "depan" saya: titik, garis, ruang, tekstur, warna, huruf, yang tadinya berdiri sendiri-sendiri, secara serentak menjadi saling terhubung dan bertransformasi menjadi suatu kesatuan ritmik baru, sesuatu yang memiliki nilai lebih dibanding sebelumnya, yang akhirnya membentuk sebuah karya desain grafis, atau karya ilustrasi. Pengalaman serupa, pada saat-saat tertentu, berulang ketika saya menuliskan perjalanan desain grafis Indonesia ini; semua materi yang sudah saya kumpulkan sebelumnya tiba-tiba seakan menjadi saling terhubung dan "berinteraksi" satu sama lain, dan secara kolektif membentuk jalinan narasi-narasi. [Lihat juga: Merajut Keterhubungan]
Saya menjadi percaya bahwa berbagai kejadian itu memang berhubungan dan berinteraksi satu sama lain, misalnya dengan cara saling memengaruhi atau menginspirasi, mungkin juga saling berbenturan. Selalu saja, ketika ada satu hal, hal baru lain akan berkembang. Dan saat tak ada apa-apa, tak banyak terjadi perkembangan. Sebuah
aliran dalam seni rupa timbul sebagai akibat dari, atau karena mereaksi terhadap, aliran-aliran sebelumnya. Demikian halnya, peristiwa desain grafis yang satu telah berdampak bagi terjadinya peristiwa lainnya. Dan bukan hanya terkait atau tidak bisa dipisahkan dari peristiwa desain grafis lainnya saja, tetapi juga dengan apa yang terjadi di cabang-cabang seni rupa lainnya. Bahkan juga dari peristiwa-peristiwa budaya, sosial, politik, dan ekonomi, yang terjadi di negeri ini maupun di negara-negara lainnya.
aliran dalam seni rupa timbul sebagai akibat dari, atau karena mereaksi terhadap, aliran-aliran sebelumnya. Demikian halnya, peristiwa desain grafis yang satu telah berdampak bagi terjadinya peristiwa lainnya. Dan bukan hanya terkait atau tidak bisa dipisahkan dari peristiwa desain grafis lainnya saja, tetapi juga dengan apa yang terjadi di cabang-cabang seni rupa lainnya. Bahkan juga dari peristiwa-peristiwa budaya, sosial, politik, dan ekonomi, yang terjadi di negeri ini maupun di negara-negara lainnya.
Sejarah desain grafis juga merupakan jejak rekam perjalanan (evolusi) ide-ide dan nilai-nilai yang membawa makna. Karena keterkaitannya yang erat dengan masalah-masalah budaya, sosial, politik, dan ekonomi itu, maka nilai-nilai yang terbentuk juga adalah nilai-nilai budaya, sosial, politik, dan ekonomi. Sebuah karya—bentuknya, warnanya—tercipta bukan saja tidak lepas dari pengaruh lingkungan di sekitar desainernya: trend, gaya, aliran, tetapi juga dari perjalanan ide-ide dan nilai-nilai itu; dari suatu jalinan proses yang kompleks dan tak pernah berhenti.
Itu sebabnya, kita tidak bisa menyebut seseorang atau sekelompok orang sebagai satu-satunya yang berjasa atas terjadinya suatu peristiwa. Dalam berproses, seseorang atau sekelompok orang itu tidak pernah ‘bekerja sendiri’. Seperti: "Di balik 17 Agustus sebagai sebuah ingatan yang dilembagakan, ada keadaan dan kerja yang tak terhitung ragamnya: para pemuda yang dengan semangat berapi-api dan jantung berdebar mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk berani tak patuh kepada penguasa Jepang; Bung Karno dan Bung Hatta yang dengan sabar tapi cemas mengikuti desakan itu—dan kemudian menyusun teks yang di sana-sini dicoret itu; sejumlah orang yang tak disebut namanya yang mengawal kedua pemimpin itu kembali dari Rengasdengklok; orang-orang yang menyiapkan bendera merah putih, pengeras suara, rekaman, upacara sederhana, dan berdoa…"[1]
Menghidupkan kembali kemuliaan masa silam
Tetapi mengapa harus bersusah payah mengkompilasi segala hal mengenai masa lalu, lagi pula mengapa mesti repot-repot membacanya? Ada banyak contoh dalam sejarah dunia dimana orang dari masa lalu yang memiliki pengetahuan yang telah berkembang sedemikian rupa, kemudian hilang bersama lenyapnya peradaban mereka: peradaban Mesir Kuno (3.000–500 SM), Göbekli Tepe (9.000 SM, atau 7.000 tahun lebih tua dari Piramida Mesir), Kerajaan Ubar, Oman (2.800–300 SM), Macchu Pichu (1450 SM), Petra (9 SM–40 M). Tak terkecuali peradaban Atlantis (9.500 SM) yang menurut Arysio Nunes dos Santos dalam bukunya Atlantis, The Lost Continent Finally Found—yang dikuatkan dengan hasil penelitian NOAA (National Oceanographic and Atmospheric Agency) dan penelitian dari satelit yang dilakukan oleh NASA, ternyata terletak di Indonesia!
Salah satu contoh yang terkenal adalah Perpustakaan Alexandria di Mesir yang didirikan pada awal abad ke-3 SM. Apa pun penyebabnya, lenyapnya perpustakaan itu mengakibatkan hilangnya segudang pengetahuan leluhur yang luar biasa. Tokoh-tokoh ilmuwan yang tumbuh dan berkembang bersama Perpustakaan Alexandria di antaranya adalah Archimedes (matematikawan), Aristarchus (astronom), Kalimakhus (pujangga dan pustakawan), Claudius Ptolemaeus (astronom), Eratosthenes (pakar ensiklopedia dan pustakawan), Euklides (matematikawan), dan Galen (dokter). Apa yang terjadi pada sebuah peradaban jika seluruh pengetahuan kolektifnya musnah? [Lihat: Bersua Kartini di Agora (1).
Sebagai upaya menghidupkan kembali kemuliaan di masa silam, perpustakaan ini dibangun kembali, dan dibuka pada Oktober 2002 dengan nama Bibliotek Alexandria. Perpustakaan baru ini memiliki kapasitas hingga 8.000.000 buku—saat itu berisi sekitar 400.000 buku, ditambah dengan sistem komputer modern dan mutakhir yang memungkinkan pengunjung mengakses koleksi perpustakaan-perpustakaan lain. Koleksi utamanya dititik beratkan pada peradaban Mediterania bagian Timur.
Betapa hebat peradaban kita sekarang seandainya saja Perpustakaan Alexandria tidak musnah. Ada begitu banyak pengetahuan, terutama pengetahuan medis yang dimiliki oleh Mesir tak lagi kita miliki saat ini. Mungkinkah kita menemukan dan memulihkannya kembali sebagian besarnya? Seberapa besar kemajuan kita jika saja tidak kehilangan dan harus menunggu untuk memulihkannya kembali? Selalu saja ada kemungkinan bahwa pengetahuan dari masyarakat yang lebih awal itu akan hilang selamanya dari kita. Berbeda dengan era-era sebelumnya di mana informasi ditorehkan di batu, informasi dan catatan perjalanan sehari-hari kita sekarang diukir pada kepingan-kepingan memori silikon. Jika itu terhapus akan sangat sulit untuk merekonstruksi kehidupan kita, mengetahui bagaimana kita hidup sebelumnya (ironis bahwa batu pra-sejarah memiliki peluang yang jauh lebih baik untuk bertahan di masa depan di bandingkan sebagian besar teknologi modern kita saat ini).
Melalui desain grafis membaca peradaban
Mempelajari sejarah menjadi penting, karena untuk mengetahui ke arah mana kita berjalan di masa depan, kita seyogyanya mengerti terlebih dulu bagaimana kita telah berevolusi di masa lalu. Saat kita tahu bagaimana sejarah berlalu, kita bisa menghindari terjadinya kesalahan serupa, dan berkesempatan memperbaikinya.
Dengan mempelajari sejarah bangsa dan negara kita misalnya, kita memperoleh gambaran mengenai nilai-nilai yang telah diperjuangkan para pejuang kita dulu dalam mewujudkan kemerdekaan. Desain grafis Indonesia menjadi seperti sekarang ini juga karena masa lalunya; the future depends on what we do in the present, demikian Mahatma Gandhi. Resonansi masa lalu hadir dalam kegiatan kreasi dan produksi desain grafis Indonesia masa kini. Prestasi industri dan profesi ini tidak akan pernah mencapai titik mengesankan seperti saat ini bila tanpa campur tangan pelaku-pelakunya di masa lalu. Perjalanan desain grafis Indonesia adalah perjalanan anak bangsanya, yang bisa mencengangkan, mengagumkan, dan terkadang mengharukan. Dan mempelajari sejarah desain grafis sama dengan membaca peradaban kita.
Buku ini mudah-mudahan bisa jadi materi pengantar bagi tujuan itu. Penulisannya masih bersifat awal—karena keyakinan bahwa segala sesuatu itu harus dimulai, dan harus ada yang memulai—dan bisa dianggap sebagai [sebelum] sejarah, atau sejarah [to be]. Sumber penulisannya pun masih terbatas, (sebagian besar) dari situs DGI; yang karena keterbatasan saya maka belum menyertakan berbagai sumber lain yang diyakini ada banyak sekali di sekitar kita, baik di Jakarta maupun di daerah, juga di perpustakaan-perpustakaan terkemuka di luar negeri.
Selanjutnya saya ingin mengundang rekan-rekan yang mengetahui adanya kekeliruan atau memiliki data pelengkap, untuk mengirimkannya kepada saya melalui alamat email han@dgi.or.id (data yang dipublikasikan, akan dikreditkan pada bagian Referensi). Dengan demikian saya berharap penyempurnaan buku ini bisa terus dilakukan pada edisi-edisi publikasi berikutnya. Mari kita berkolaborasi menyempurnakan penulisan sejarah desain grafis kita!
Menuju laut yang bergelora
Masa depan desain grafis Indonesia berada di depan mata, sekaligus dalam genggaman tangan kita. Kita adalah penerima tongkat estafet dari generasi pendahulu. Dan adalah penentu arah ke mana estafet akan dibawa oleh generasi penerus. Saya kira masih relevan untuk memperhatikan apa yang pernah diutarakan oleh Sutan Takdir Alisjahbana sekitar 80 tahun yang lampau dalam perdebatan terbesar sejarah kebangsaan kita: Polemik Kebudayaan, bahwa “Untuk menuju masa depan Indonesia, kita harus meninggalkan tasik yang tenang dan menuju laut yang bergelora”.
Sebagai akhir kata, saya menyampaikan terima kasih kepada segenap desainer grafis, artis visual, dan akademisi Indonesia. Tanpa peran serta rekan-rekan semua, desain grafis Indonesia tidak akan pernah ada, dan buku ini tidak akan pernah bisa ditulis. Salut, dan terima kasih.
Hanny Kardinata
Bintaro, Tangerang Selatan
7 April 2014
———
Bintaro, Tangerang Selatan
7 April 2014
———
[1] Mohamad, Goenawan, Origami. Tempo, Kamis, 16 Agustus, http://www.tempo.co/read/ caping/2012/08/16/128542/Origami, diakses 2 Agustus 2012.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .