13.2.18

Perjalanan Ide, Nilai, dan Makna

Versi awal dipublikasikasikan di buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia I (2016) dengan judul yang sama sebagai Pengantar.


Buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia I.
.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  


Oleh: Hanny Kardinata


Buku ini saya dedikasikan kepada desainer grafis Indonesia, yang tengah berkarya di dalam negeri dan yang sedang merantau di berbagai belahan dunia.

Saya desainer grafis angkatan ‘70 dan pengelola harian (hingga akhir 2013) situs DGI (http://dgi.or.id), sebuah situs maya yang dirancang untuk merekam jejak perjalanan desain grafis Indonesia. Pada era 1970-an, istilah desain grafis belumlah begitu dikenal. Ketika saya melanjutkan studi saya ke Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) Asri, Yogyakarta pada 1972, program studi yang saya pilih disebut Seni Reklame (kemudian diganti menjadi program studi Disain Komunikasi, dan kelak, Disain Komunikasi Visual). 

Di masa itu, setelah berkarya di Jakarta pun (akhir 1975), saya masih selalu mengalami kesulitan setiap harus menjelaskan profesi saya sebagai desainer grafis. Jauh lebih mudah dipahami—walau tidak tepat, ketika menerangkan bahwa pekerjaan saya adalah merancang reklame, yang tidak jarang lalu diartikan sekadar sebagai penggambar papan reklame (tukang reklame). 

Jadi karena pada awalnya merupakan bagian dari industri periklanan itulah maka penelusuran jejak desain grafis di Indonesia juga tidak bisa lepas dari persinggungannya dengan sejarah periklanan—di samping dari sejarah percetakan, karena keterikatan historis desain grafis modern dengan sistem produksi massal ini.

Bukan kajian historis
Pada mulanya, terus saja terjadi tarik-menarik dalam proses penulisan buku ini; keinginan menulis pasang surut hingga beberapa bulan lamanya, terutama karena kesadaran bahwa menulis sesuatu yang historikal itu besar tanggung jawabnya. Akhirnya, saya memutuskan untuk hanya menuliskan kembali catatan-catatan yang telah saya kumpulkan selama ini di situs web DGI (2007–2012) secara kronologis—ditambah dengan referensi-referensi terkait sesuai kebutuhan—jadi bukan tulisan yang merupakan kajian terhadap sejarah desain grafis Indonesia. 

Saya juga menyadari keterbatasan saya dalam melakukan penelitian. Karena itu saya tidak berpretensi menulis sebuah sejarah yang komprehensif. Kompilasi fakta historis di dalam buku ini mudah-mudahan bisa merangsang penelitian lebih mendalam terhadap masing-masing subjeknya. Rekaman jejak perjalanan desain grafis Indonesia ini mungkin juga bisa menjadi 'materi pendukung' guna melakukan penelitian lanjutan terhadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia, berkaitan dengan nilai-nilai yang berlangsung di masa lalu; dan boleh jadi juga ada andilnya dalam apa yang telah dan akan membentuk kita sebagai sebuah bangsa, sekarang dan di masa depan.

Sebab itu, karena lebih berdasar pada fakta, bukan opini, maka saya memilih bentuk lini masa (time line) sebagai format tulisan; peristiwa-peristiwa bersejarah itu disusun sesuai urutan waktu kejadiannya. Sesuatu yang bersifat opini, kalau pun ada, saya sampaikan pada 'catatan-catatan harian' saya—sesekali saya lampirkan di tengah suatu periode atau peristiwa—yang berdasar pada pengalaman saya sendiri. Catatan-catatan itu saya tambahkan sebagai detail dari suatu peristiwa, dengan memposisikan diri saya sebagai pelaku peristiwa, terutama pada periode sekitar 40 tahun terakhir: 1972–2012 (disampaikan sebagai lampiran terpisah pada halaman-halaman berwarna 'toska' (turquoise), atau juga disebut biru pirus, atau warna lautan (samudera). 

Penulis sejarah yang baik, menurut Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir berjudul Origami, layaknya penggubah origami yang: "[...] membangun sesuatu, sebuah struktur, dari bahan-bahan yang gampang melayang. Sebab bahan penyusunan sejarah sesungguhnya bagaikan kertas: ingatan".[1] Padahal—masih dari tulisan yang sama: "Ingatan tak pernah solid dan stabil; ingatan dengan mudah melayang tertiup. Seperti kertas, ketika ia menampakkan diri di depan kita, sebenarnya dalam proses berubah. Kita yang menemukannya juga berubah: dengan kepala yang tak lagi pusing atau menatapnya dengan mata yang tak lagi lelah; kertas itu sendiri sedang jadi lecek atau sumbing, lembap atau menguning".

Jadi, karena sebagian dari catatan itu memang ditulis berdasarkan ingatan yang mudah berubah itulah, saya sepenuhnya menyadari bahwa tentunya sulit bisa menghindari terjadinya subjektivitas dalam penulisannya, walau ada ikhtiar kuat untuk mengupayakannya.

Dan supaya pembaca bisa memperoleh gambaran mengenai apa yang terjadi di tanah air dan di luar negeri pada suatu periode yang sama, maka sesuai dengan judulnya, buku ini berupaya menempatkan peristiwa-peristiwa di Indonesia berdampingan dengan tonggak-tonggak sejarah (milestones) desain grafis dunia. Catatan kejadian di Indonesia dituliskan dengan teks berwarna 'hitam', dan di dunia dengan teks berwarna 'perunggu'. Dalam kaitannya dengan sejarah desain grafis dunia, walau tidak bermaksud mendemonstrasikan sistem labeling (tag) gaya, hal semacam ini sepertinya tak terhindarkan, misalnya gaya Swiss, Modernisme, Punk, pascaModernisme, dan seterusnya.

Semua saling terhubung
Dulu, ketika sedang melakukan aktivitas menggambar atau merancang, saya sering kali terlibat dalam suatu proses yang barangkali bisa disebut nglakoni (dari bahasa Jawa), yaitu mengerjakan sesuatu sampai benar-benar selesai (kelakon), dan ketika mendekati puncaknya kerap kali seperti berada dalam keadaan ecstacy [mungkin], atau mungkin bahkan trance. Kondisi itu membuat saya terbenam dalam situasi di mana berbagai elemen visual di "depan" saya: titik, garis, ruang, tekstur, warna, huruf, yang tadinya berdiri sendiri-sendiri, secara serentak menjadi saling terhubung dan bertransformasi menjadi suatu kesatuan ritmik baru, sesuatu yang memiliki nilai lebih dibanding sebelumnya, yang akhirnya membentuk sebuah karya desain grafis, atau karya ilustrasi. Pengalaman serupa, pada saat-saat tertentu, berulang ketika saya menuliskan perjalanan desain grafis Indonesia ini; semua materi yang sudah saya kumpulkan sebelumnya tiba-tiba seakan menjadi saling terhubung dan "berinteraksi" satu sama lain, dan secara kolektif membentuk jalinan narasi-narasi. [Lihat juga: Merajut Keterhubungan]

Saya menjadi percaya bahwa berbagai kejadian itu memang berhubungan dan berinteraksi satu sama lain, misalnya dengan cara saling memengaruhi atau menginspirasi, mungkin juga saling berbenturan. Selalu saja, ketika ada satu hal, hal baru lain akan berkembang. Dan saat tak ada apa-apa, tak banyak terjadi perkembangan. Sebuah
aliran dalam seni rupa timbul sebagai akibat dari, atau karena mereaksi terhadap, aliran-aliran sebelumnya. Demikian halnya, peristiwa desain grafis yang satu telah berdampak bagi terjadinya peristiwa lainnya. Dan bukan hanya terkait atau tidak bisa dipisahkan dari peristiwa desain grafis lainnya saja, tetapi juga dengan apa yang terjadi di cabang-cabang seni rupa lainnya. Bahkan juga dari peristiwa-peristiwa budaya, sosial, politik, dan ekonomi, yang terjadi di negeri ini maupun di negara-negara lainnya. 

Sejarah desain grafis juga merupakan jejak rekam perjalanan (evolusi) ide-ide dan nilai-nilai yang membawa makna. Karena keterkaitannya yang erat dengan masalah-masalah budaya, sosial, politik, dan ekonomi itu, maka nilai-nilai yang terbentuk juga adalah nilai-nilai budaya, sosial, politik, dan ekonomi. Sebuah karya—bentuknya, warnanya—tercipta bukan saja tidak lepas dari pengaruh lingkungan di sekitar desainernya: trend, gaya, aliran, tetapi juga dari perjalanan ide-ide dan nilai-nilai itu; dari suatu jalinan proses yang kompleks dan tak pernah berhenti. 

Itu sebabnya, kita tidak bisa menyebut seseorang atau sekelompok orang sebagai satu-satunya yang berjasa atas terjadinya suatu peristiwa. Dalam berproses, seseorang atau sekelompok orang itu tidak pernah ‘bekerja sendiri’. Seperti: "Di balik 17 Agustus sebagai sebuah ingatan yang dilembagakan, ada keadaan dan kerja yang tak terhitung ragamnya: para pemuda yang dengan semangat berapi-api dan jantung berdebar mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk berani tak patuh kepada penguasa Jepang; Bung Karno dan Bung Hatta yang dengan sabar tapi cemas mengikuti desakan itu—dan kemudian menyusun teks yang di sana-sini dicoret itu; sejumlah orang yang tak disebut namanya yang mengawal kedua pemimpin itu kembali dari Rengasdengklok; orang-orang yang menyiapkan bendera merah putih, pengeras suara, rekaman, upacara sederhana, dan berdoa…"[1]

Menghidupkan kembali kemuliaan masa silam
Tetapi mengapa harus bersusah payah mengkompilasi segala hal mengenai masa lalu, lagi pula mengapa mesti repot-repot membacanya? Ada banyak contoh dalam sejarah dunia dimana orang dari masa lalu yang memiliki pengetahuan yang telah berkembang sedemikian rupa, kemudian hilang bersama lenyapnya peradaban mereka: peradaban Mesir Kuno (3.000–500 SM), Göbekli Tepe (9.000 SM, atau 7.000 tahun lebih tua dari Piramida Mesir), Kerajaan Ubar, Oman (2.800–300 SM), Macchu Pichu (1450 SM), Petra (9 SM–40 M). Tak terkecuali peradaban Atlantis (9.500 SM) yang menurut Arysio Nunes dos Santos dalam bukunya Atlantis, The Lost Continent Finally Found—yang dikuatkan dengan hasil penelitian NOAA (National Oceanographic and Atmospheric Agency) dan penelitian dari satelit yang dilakukan oleh NASA, ternyata terletak di Indonesia!

Salah satu contoh yang terkenal adalah Perpustakaan Alexandria di Mesir yang didirikan pada awal abad ke-3 SM. Apa pun penyebabnya, lenyapnya perpustakaan itu mengakibatkan hilangnya segudang pengetahuan leluhur yang luar biasa. Tokoh-tokoh ilmuwan yang tumbuh dan berkembang bersama Perpustakaan Alexandria di antaranya adalah Archimedes (matematikawan), Aristarchus (astronom), Kalimakhus (pujangga dan pustakawan), Claudius Ptolemaeus (astronom), Eratosthenes (pakar ensiklopedia dan pustakawan), Euklides (matematikawan), dan Galen (dokter). Apa yang terjadi pada sebuah peradaban jika seluruh pengetahuan kolektifnya musnah? [Lihat: Bersua Kartini di Agora (1)

Sebagai upaya menghidupkan kembali kemuliaan di masa silam, perpustakaan ini dibangun kembali, dan dibuka pada Oktober 2002 dengan nama Bibliotek Alexandria. Perpustakaan baru ini memiliki kapasitas hingga 8.000.000 buku—saat itu berisi sekitar 400.000 buku, ditambah dengan sistem komputer modern dan mutakhir yang memungkinkan pengunjung mengakses koleksi perpustakaan-perpustakaan lain. Koleksi utamanya dititik beratkan pada peradaban Mediterania bagian Timur. 

Betapa hebat peradaban kita sekarang seandainya saja Perpustakaan Alexandria tidak musnah. Ada begitu banyak pengetahuan, terutama pengetahuan medis yang dimiliki oleh Mesir tak lagi kita miliki saat ini. Mungkinkah kita menemukan dan memulihkannya kembali sebagian besarnya? Seberapa besar kemajuan kita jika saja tidak kehilangan dan harus  menunggu untuk memulihkannya kembali? Selalu saja ada kemungkinan bahwa pengetahuan dari masyarakat yang lebih awal itu akan hilang selamanya dari kita. Berbeda dengan era-era sebelumnya di mana informasi ditorehkan di batu, informasi dan catatan perjalanan sehari-hari kita sekarang diukir pada kepingan-kepingan memori silikon. Jika itu terhapus akan sangat sulit untuk merekonstruksi kehidupan kita, mengetahui bagaimana kita hidup sebelumnya (ironis bahwa batu pra-sejarah memiliki peluang yang jauh lebih baik untuk bertahan di masa depan di bandingkan sebagian besar teknologi modern kita saat ini).


1
1. Perpustakaan Alexandria atau Perpustakaan Iskandariyah, Mesir yang didirikan pada awal abad ke-3 SM. Konon, perpustakaan ini memiliki 700.000 gulungan papirus (sebagai perbandingan, pada abad ke-14 Perpustakaan Sorbonne yang dikabarkan memiliki koleksi terbesar di zamannya hanya memiliki 1.700 buku). Para cendekiawan yang bekerja di Alexandria menghasilkan karya-karya besar dalam bidang geometri, trigonometri, dan astronomi, serta bahasa, kesusastraan dan kedokteran. Menurut kisah turun-temurun, di tempat inilah ke-72 cendekiawan Yahudi menerjemahkan kitab-kitab bahasa Ibrani ke dalam bahasa Yunani, dan menghasilkan Septuaginta yang termasyhur itu. Sewaktu bangsa Arab menaklukkan Mesir pada tahun 640, perpustakaan Alexandria kemungkinan sudah tidak ada. 
Gambar: O. Von Corven. Fotografer: Tolzmann, Don Heinrich, Alfred Hessel and Reuben Peiss.

Sumber gambar: Wikimedia Commons.

Melalui desain grafis membaca peradaban
Mempelajari sejarah menjadi penting, karena untuk mengetahui ke arah mana kita berjalan di masa depan, kita seyogyanya mengerti terlebih dulu bagaimana kita telah berevolusi di masa lalu. Saat kita tahu bagaimana sejarah berlalu, kita bisa menghindari terjadinya kesalahan serupa, dan berkesempatan memperbaikinya.  

Dengan mempelajari sejarah bangsa dan negara kita misalnya, kita memperoleh gambaran mengenai nilai-nilai yang telah diperjuangkan para pejuang kita dulu dalam mewujudkan kemerdekaan. Desain grafis Indonesia menjadi seperti sekarang ini juga karena masa lalunya; the future depends on what we do in the present, demikian Mahatma Gandhi. Resonansi masa lalu hadir dalam kegiatan kreasi dan produksi desain grafis Indonesia masa kini. Prestasi industri dan profesi ini tidak akan pernah mencapai titik mengesankan seperti saat ini bila tanpa campur tangan pelaku-pelakunya di masa lalu. Perjalanan desain grafis Indonesia adalah perjalanan anak bangsanya, yang bisa mencengangkan, mengagumkan, dan terkadang mengharukan. Dan mempelajari sejarah desain grafis sama dengan membaca peradaban kita.

Buku ini mudah-mudahan bisa jadi materi pengantar bagi tujuan itu. Penulisannya masih bersifat awal—karena keyakinan bahwa segala sesuatu itu harus dimulai, dan harus ada yang memulai—dan bisa dianggap sebagai [sebelum] sejarah, atau sejarah [to be]. Sumber penulisannya pun masih terbatas, (sebagian besar) dari situs DGI; yang karena keterbatasan saya maka belum menyertakan berbagai sumber lain yang diyakini ada banyak sekali di sekitar kita, baik di Jakarta maupun di daerah, juga di perpustakaan-perpustakaan terkemuka di luar negeri.

Selanjutnya saya ingin mengundang rekan-rekan yang mengetahui adanya kekeliruan atau memiliki data pelengkap, untuk mengirimkannya kepada saya melalui alamat email han@dgi.or.id (data yang dipublikasikan, akan dikreditkan pada bagian Referensi). Dengan demikian saya berharap penyempurnaan buku ini bisa terus dilakukan pada edisi-edisi publikasi berikutnya. Mari kita berkolaborasi menyempurnakan penulisan sejarah desain grafis kita!

Menuju laut yang bergelora
Masa depan desain grafis Indonesia berada di depan mata, sekaligus dalam genggaman tangan kita. Kita adalah penerima tongkat estafet dari generasi pendahulu. Dan adalah penentu arah ke mana estafet akan dibawa oleh generasi penerus. Saya kira masih relevan untuk memperhatikan apa yang pernah diutarakan oleh Sutan Takdir Alisjahbana sekitar 80 tahun yang lampau dalam perdebatan terbesar sejarah kebangsaan kita: Polemik Kebudayaan, bahwa “Untuk menuju masa depan Indonesia, kita harus meninggalkan tasik yang tenang dan menuju laut yang bergelora”. 

Sebagai akhir kata, saya  menyampaikan terima kasih kepada segenap desainer grafis, artis visual, dan akademisi Indonesia. Tanpa peran serta rekan-rekan semua, desain grafis Indonesia tidak akan pernah ada, dan buku ini tidak akan pernah bisa ditulis. Salut, dan terima kasih.

Hanny Kardinata
Bintaro, Tangerang Selatan
7 April 2014



———
[1] Mohamad, Goenawan, Origami. Tempo, Kamis, 16 Agustus, http://www.tempo.co/read/ caping/2012/08/16/128542/Origami, diakses 2 Agustus 2012.


.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  




***


Tulisan-tulisan lainnya di sini.

6.2.18

Kata Pengantar Buku ‘Perspektif: 19 Desainer Grafis Muda Indonesia’




Buku Perspektif: 19 Desainer Grafis Muda Indonesia, karya Tugas Akhir Vincent Wong di DKV BINUS University yang kemudian diterbitkan oleh Desain Grafis Indonesia (DGI), 2013.

Upaya merekam jejak desainer grafis Indonesia dalam perjalanan berkaryanya adalah bagian dari pencatatan Sejarah Desain Grafis Indonesia. Dan seperti kita ketahui, upaya pencatatan semacam ini masih sangat jarang dilakukan. Karena itu gagasan Vincent untuk menampilkan desainer-desainer muda Indonesia dalam satu buku—sesederhana apa pun—adalah sesuatu yang layak diapresiasi, dan diteladani.



Sejarah memang sering harus ditulis berdasar ingatan, padahal sifat ingatan begitu labil, mudah terseret oleh arus yang diakibatkan oleh meluapnya informasi masa kini. Untungnya, Vincent melakukannya ketika pelakunya masih ada, bahkan masih muda usia; berbeda dengan pencatatan sejarah pada umumnya yang disusun setelah pelakunya tiada, atau sudah uzur. 

Perjalanan desainer grafis Indonesia adalah perjalanan memaknai nilai-nilai yang berlaku di masyarakatnya: nilai-nilai budaya, sosial, politik, ekonomi. Pemaknaan—yang unik oleh tiap desainer (diwarnai oleh latar belakangnya masing-masing)—akan bermuara pada karya-karyanya: menghasilkan karya-karya yang unik pula. Keunikan ini yang membedakan gaya mereka dalam berkarya. Dan karakter masing-masing desainer ini yang diharapkan terungkap dari upaya pencatatan semacam ini. Karena karya mereka adalah cermin diri, bukan sekadar refleksi dari tren. Yang barangkali tak sepenuhnya bisa dilekatkan pada label isme-isme yang ada, atau sedang menjadi arus utama. Dan yang pada gilirannya akan menyodorkan nilai-nilai baru pula. Yang ikut membentuk wajah kita di masa depan.


Vincent telah memulai sesuatu yang bernilai, mudah-mudahan ia tidak berhenti hanya pada penulisan yang serba terbatas ini—yang lebih ditentukan oleh usia, jumlah desainer, dll.—dan akan tetap memiliki hasrat serta nafas panjang untuk melanjutkannya hingga ke jenjang yang lebih luas cakupannya. Serta, diterbitkan sebagai buku, yang beredar dikalangan yang lebih luas: komunitas desain grafis Indonesia.







Lebih ideal lagi bila pencatatannya sendiri juga terus berproses—layaknya jurnal yang setiap saat rajin diisi—mencatat terus dan terus, proses perkembangan yang dialami oleh tiap desainer, mencakup sudut pandang pemikirannya, nilai-nilai yang dipercayanya, metode kerjanya, dsb.; yang bisa merupakan materi untuk memperbarui edisi-edisi penerbitannya kelak. Dengan demikian, Vincent akan mengawali dan mengisi sebuah spesialisasi kerja intelektual yang langka: sebagai spesialis pemerhati perkembangan keprofesian desain grafis. 

Semoga saja...

Hanny Kardinata
Desain Grafis Indonesia (DGI)


*) Dikirimkan lewat surat elektronik kepada penulis buku, Vincent Wong pada 30 April 2013

.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  



C A T A T A N

Sembilan belas desainer yang difiturkan:
Aditya Wijanarko (Desainer di Emir Hakim)Cecil Mariani (Desainer di Komunitas Salihara)Cempaka Surakusumah (Art Director di    Thinking*Room)Danis Sie (Creative Director di Sciencewerk)Ika Putranto (Creative Director di Reel Studio)John Kudos (Creative Director DI Studio Kudos)Khaerun Rizdky (Creative Director di Thinking*Room)Max Suriaganda (Creative Director di Studio 1212)Mayumi Haryoto (Creative Director di Altermyth)M. Hendra Permana (Desianer di Lowe)Nigel Sielegar (Creative Director di Corse Design          Factory)Novita Angka (Creative Director di Tre Creative Mindshare)Rege Indrastudianto (Creative Director di Visious          Studio)Richard Fang (Creative Director di Weekend.inc)Sandy Karman (Desainer lepas)Yan Mursid (Creative Director di Whir)Yasser Rizky (Creative Director di R+R)Yusuf Yap (Creative Director di Brown Fox Studio)Zaky Arifin (Founder Studio Minor)


.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  
.  .  .  .  




***

3.2.18

Karena ‘Kita Sekalian Bersaudara’ (3)

[Bagian terakhir dari tiga bagian. Sambungan dari Karena ‘Kita Sekalian Bersaudara’ (2)]


Tentram setelah maaf-memaafkan
Dalam skala antar ras, bagaimana manusia menjalani kodratnya untuk saling memaafkan tergambarkan dalam sekumpulan kisah mengharukan di Rwanda, Afrika Tengah. Beberapa di antaranya diceritakan kembali di sini.

Pada Mei 2014, melalui proyek esai fotonya yang bertema ‘Rwanda 20 Years’, Pieter Hugo, fotografer New York Times, mengisahkan proses rekonsiliasi yang berlangsung di Rwanda; sesuatu yang hampir tak mungkin diharapkan akan terjadi. Pada 1994, kedua etnik Rwanda, Hutu (ras mayoritas) dan Tutsi (ras minoritas) bertanggung jawab atas terjadinya genosida yang menelan korban jutaan nyawa warganya. Di salah satu foto ditampilkan warga kedua etnik yang bertentangan, Sinzikiramuka dan Karorero, berdiri berdampingan, melambangkan terjadinya permaafan di antara kedua suku, dan menggambarkan betapa kehidupan keduanya kini saling terjalin (Gb. 3).

3. Sinzikiramuka, yang merasa bersalah (kiri) dan Karorero, penyintas (korban yang selamat).

Sinzikiramuka: “Saya memohon maafnya karena saudaranya dibunuh di hadapan saya. Dia bertanya, mengapa saya mengaku bersalah, dan saya menjawab bahwa saya melakukannya sebagai seseorang yang menyaksikan kejahatan itu tapi tidak bisa menyelamatkan siapa pun. Itu merupakan perintah dari otoritas. Saya membiarkannya mengetahui siapa yang membunuhnya, dan pembunuhnya juga memohon ampunan darinya.”

Karorero: “Kadang-kadang pengadilan tidak memberikan jawaban yang memuaskan—banyak kasus yang tunduk pada cengkeraman korupsi. Tapi ketika maaf diberikan dengan tulus, semua pihak akan merasa puas. Ketika seseorang dalam keadaan marah, ia bisa kehilangan pikirannya. Tapi ketika saya memberikan ampunan, pikiran saya pun tenang.”

Sumber: New York Times, nytimes.com.

Di foto lainnya, seorang wanita menyandarkan tangannya di bahu orang yang membunuh ayah dan saudara-saudaranya (Gb. 4). Ada pula seorang wanita berpose bersama seorang pria yang tengah berbaring santai, orang yang menjarah propertinya, dan yang ayahnya telah membunuh suami dan anak-anaknya (Gb. 5). Pada sejumlah foto, jelas terlihat ada secercah kehangatan di antara mereka yang tadinya saling bermusuhan. Tiap foto mencerminkan permaafan yang diberikan kepada warga Hutu oleh warga Tutsi yang selamat dari kejahatannya.
4. Nyiramana (kanan), penyintas, bersama Karenzi, warga Hutu yang membunuh keluarganya.  

Karenzi: “Hati nurani saya tidak tenang, tiap kali melihatnya saya merasa sangat malu. Setelah dilatih tentang persatuan dan rekonsiliasi, saya pergi ke rumahnya dan meminta ampunan. Saya menjabat tangannya. Sejak itu kita berhubungan baik.”

Nyiramana: “Dia membunuh ayah dan tiga saudara saya. Dia melakukannya bersama orang lain, tapi ia datang sendiri ke saya dan meminta pengampunan. Ia dan sekelompok pelaku lain yang pernah dipenjara membantu saya membangun rumah dengan atap tertutup. Saya takut kepadanya, tapi sekarang saya telah memaafkannya. Segala hal menjadi normal, dan saya merasa ceria.“

Sumber: New York Times, nytimes.com.


Tiap orang yang sepakat untuk difoto ini merupakan bagian dari upaya nasional menuju rekonsiliasi berkelanjutan, bekerja sama dengan AMI (Asosiasi Modeste et Innocent), sebuah organisasi nirlaba. Dalam program AMI, kelompok-kelompok kecil dari suku Hutu dan Tutsi melakukan konseling selama berbulan-bulan, yang berujung pada permintaan maaf resmi dari pelakunya. Jika pengampunan diberikan oleh pihak korban, maka pelaku bersama keluarga dan teman-temannya akan membawa sekeranjang persembahan (offerings), biasanya berupa makanan dan sorgum atau bir pisang. Acara kesepakatan itu ditutup dengan nyanyian dan tarian.


5. Nzabamwita, pelaku kejahatan (berbaring di belakang) bersama Kampundu, korban kejahatannya.

Nzabamwita: “Saya merusak dan menjarah propertinya. Saya menghabiskan waktu sembilan setengah tahun di penjara. Saya telah dididik untuk membedakan apa yang baik dan yang jahat sebelum dibebaskan. Ketika saya boleh pulang ke rumah, saya berpikir tentunya akan baik halnya untuk mendekati orang yang kepadanya saya pernah berbuat jahat, dan meminta maaf kepadanya. Saya mengatakan bahwa saya akan mendampinginya, dengan segala cara di masa penyelesaian ini. Ayah saya sendiri terlibat dalam pembunuhan anak-anaknya. Ketika saya menyelami bahwa orang tua saya telah berperilaku jahat, kepadanya saya memohonkan maaf pula.”

Kampundu: “Suami saya bersembunyi, orang-orang memburu dan membunuhnya pada hari Selasa. Pada Selasa berikutnya, mereka datang kembali dan membunuh kedua anak laki-laki saya. Saya berharap anak-anak perempuan saya akan selamat, tapi kemudian orang-orang itu membawa mereka ke desa suami saya dan membunuh mereka di sana serta melemparkan mayatnya ke dalam jamban. Saya tidak bisa mengangkatnya dari lubang itu. Saya berlutut dan berdoa bagi mereka, bersama adik laki-laki saya, dan menutupi jamban itu dengan kotoran. Alasan saya memberikan maaf karena saya menyadari bahwa saya tidak akan pernah memperoleh kembali orang-orang yang saya cintai itu. Saya tidak bisa hidup sendiri di dalam sepi—kalau saya  sakit, siapa yang akan menunggui saya di sisi tempat tidur saya, dan jika saya dalam kesulitan serta membutuhkan pertolongan, siapa yang akan menyelamatkan saya? Karena itu, saya lebih suka memaafkan.”

Sumber: New York Times, nytimes.com.

Lewat foto-fotonya, Hugo ingin menyampaikan, bahwa di antara tiap pasangan dalam foto, yaitu antara korban dan pelaku kejahatan, terdapat tingkat hubungan yang bervariasi. Beberapa pasangan datang ke tempat pemotretan dan duduk bersama-sama dengan leluasa, mengobrol tentang gosip desa. Lainnya hanya bersedia difoto, tapi tidak mampu beranjak lebih jauh (move on). Menurut Hugo:

“Jelas ada derajat permaafan yang berbeda-beda.”  

“Foto-foto ini secara akurat mengabadikan kedekatan atau pun kesenjangan di antara tiap pasangan.”

Tidak ada yang bisa damai seorang diri

“Kita adalah daun-daun berbeda dari pohon yang sama, bintang-bintang berbeda dari langit yang sama.” —Thich Nhat Hanh

Dari berbagai vignet kehidupan di atas, tersisa sebuah pertanyaan: masih bisakah manusia, baik ia korban perlakuan buruk maupun pelaku kejahatan, yang bisa berdamai dengan dirinya sendiri? Reki, karakter utama dalam Haibane Renmei, merasa putus harapan dalam menemukan kedamaian, ia lalu menempatkan dirinya terisolasi dari orang lain. Ia yang terikat dengan kesalahannya (sin-bound) terperangkap dalam-dalam di jejaring depresi, kecemburuan, kebencian diri (self-hatred), dan tidak mampu berpaling ke orang lain untuk bisa memperoleh dukungan. Hanya karena campur tangan Rakka (diam-diam), akhirnya terbuka pintu maaf dari Hyoko, yang membebaskannya dari penderitaan berkepanjangan.

Dan seperti difatwakan oleh orang tua bijak dalam film itu, Sang Komunikator, mengenai bahwa ‘one cannot forgive oneself’, yang mengandung makna agar setiap orang merawat yang lainnya, sebab hanya orang lain yang akan memelihara kita. Konsep Lingkaran Dosa (Circle of Sin) menjelaskan bahwa sepanjang seseorang tidak mampu memaafkan dirinya sendiri atas kesalahan yang dilakukannya, maka hanya seseorang yang dekat dengannya yang mesti membantunya.


6. Sang Komunikator, orang tua bijak dalam film Haibane Renmei, dalam salah satu dialognya dengan Rakka.



Sejalan cahaya yang menerangi hati Kampundu, yang seluruh keluarganya habis dibantai oleh warga Hutu: “Alasan saya memberikan maaf, karena saya menyadari bahwa saya tidak akan pernah memperoleh kembali orang-orang yang saya cintai itu. Saya tidak bisa hidup sendiri di dalam sepi—kalau saya sakit, siapa yang akan menunggui saya di sisi tempat tidur saya, dan jika saya dalam kesulitan serta membutuhkan pertolongan, siapa yang akan menyelamatkan saya? Karena itu, saya lebih suka memaafkan.”

Dalam dimensi spiritual, pesan Kartini seratus tahun lalu:

“Kita sekalian bersaudara bukan karena kita seibu-sebapa kelahiran manusia, melainkan oleh karena kita anak seorang Bapak, anak Dia, yang bertahta di atas langit.”[1]


———
[1] Sutrisno, Ny. Sulatin. Surat-Surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Penerbit Djambatan, 1979, h, 18–19 [kepada Nona E.H. Zeehandelaar, 6 November 1899]


———
Referensi

Yoshitoshi ABe. Haibane Renmei, 2002.

Adam Schreck & Amir Vahdat. Iran mother recalls act of mercy for son’s killer. Associated Press, bigstory.ap.org.


.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  






***


Tulisan-tulisan lainnya di sini.

2.2.18

Karena ‘Kita Sekalian Bersaudara’ (2)

[Bagian kedua dari tiga bagian. Sambungan dari Karena ‘Kita Sekalian Bersaudara’ (1)]


Beroleh kedamaian dalam memaafkan

The murderer was crying, asking for forgiveness. I slapped him in the face. That slap helped to calm me down. Now that I’ve forgiven him, I feel relieved.” —Samereh Alinejad

Keindahan dalam maaf-memaafkan juga menjadi klimaks yang dramatis di Iran, sebuah negeri yang hingga tahun 1935 masih disebut Persia itu. 

Royan, Iran Utara, 15 April 2014. Pembunuh anaknya itu berdiri di atas kursi di bawah tiang gantungan; tangannya diborgol, sementara tali jerat melingkar di lehernya. Ratusan orang di luar penjara menanti detik-detik menegangkan ketika sang ibu, Samereh Alinejad akan menggunakan haknya menendang kursi itu.

Namun setelah tujuh tahun mendambakan balas dendam, di saat takdir si pembunuh sepenuhnya berada di genggaman, Alinejad justru memaafkan Bilal Gheisari. Sebuah keputusan yang telah membuatnya menjadi pahlawan di kota kelahirannya, Royan, di tepi Laut Kaspia itu. Sejumlah spanduk digelar di jalan-jalan memuji belas kasih keluarganya. Dua minggu setelah adegan dramatis di tiang gantungan itu, para simpatisan masih berlalu lalang di depan rumahnya mengelukan dia dan suaminya.

Pada hari yang telah ditentukan itu, Alinejad berjalan pelan menuju tiang gantungan. Keluarga Gheisari berada di antara kerumunan penonton. Di balik penutup matanya, Gheisari terisak-isak. Untuk terakhir kalinya ia memohon pengampunan.

Forgive me, Aunt Maryam,” pintanya.

Alinejad mendekati Gheisari. Tanyanya dengan berang: 

“Apakah kamu mengasihani kami? Apakah kamu telah berbelas kasih kepada anak kami?”

Yang disambungnya: “Kamu telah merenggut kebahagiaan kami. Mengapa kami harus berbelas kasihan kepadamu?”

Ia menatap Gheisari dengan gusar, lalu menamparnya. 

Setelah itu, bersama suaminya ia melepas tali jerat di leher Gheisari (Gb. 2). Dengan langkahnya itu ia membatalkan hukuman mati Gheisari.

 2. Samereh Alinejad, ibu Abdolah Hosseinzadeh (kanan) membantu melepas penutup mata dan tali yang menjerat leher Bilal Gheisari (tengah), yang dijatuhi hukuman mati karena membunuh anaknya pada tahun 2007. 

Sumber: New York Post, nypost.com.

Beberapa orang dalam kerumunan bertepuk tangan. Lainnya terdiam karena terkejut tak menyangka. 

Hukuman Gheisari kemudian diubah menjadi 12 tahun penjara, di mana separuhnya telah ia jalani.

Alinejad dan suaminya juga tidak berkenan menerima uang yang telah dikumpulkan oleh para dermawan atas nama Gheisari (blood money).[i] Mereka merekomendasikan penghibahannya ke badan-badan amal, serta bagi pengembangan sekolah-sekolah sepak bola di kotanya. Suami Alinejad, Abdolghani Hosseinzadeh adalah selebriti sepak bola yang mengajar anak-anak bermain sepak bola. Anaknya, juga pembunuh anaknya itu adalah muridnya.

Dalam suatu wawancara, Alinejad menggambarkan betapa leganya ia dengan keputusannya itu:

“Tamparan itu membuat saya merasa semua kemarahan yang menumpuk di hati saya selama bertahun-tahun seperti tiba-tiba tercurahkan. Saya merasa damai. Dan tak lagi berpikir tentang balas dendam.”


———
[i] Keluarga korban pembunuhan di Iran dan beberapa negara Muslim lainnya sering dihadapkan pada pilihan kata terakhir mengenai apakah si pembunuh dibiarkan tetap hidup atau dihukum mati. Konsep hukum Islam mencantumkan ‘qisas’ atau pasal mengenai ‘mata diganti mata’ yang memberi mereka peluang untuk mengawal jalannya eksekusi. Mereka juga mempunyai pilihan untuk memberi pengampunan, dengan imbalan pembayaran sebesar 35.000 dolar AS atau lebih (blood money). Membatalkan qisas dipandang sebagai tindakan amal dan kesempatan untuk menebus dosa seseorang. Dalam kasus pembunuhan di Iran, pilihan diserahkan kepada keluarga korban, bukan pemerintah.



[Bersambung » Karena ‘Kita Sekalian Bersaudara’ (3)]

.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  




***


Tulisan-tulisan lainnya di sini.

1.2.18

Karena ‘Kita Sekalian Bersaudara’ (1)

Oleh: Hanny Kardinata

[Bagian pertama dari tiga bagian]


One who recognizes their own sin, has no sin.” —Sang Komunikator, Haibane Renmei, 2002

Kodrat manusia, memaafkan dan dimaafkan
Inilah sketsa-sketsa tentang rekonsiliasi. Diawali dengan sebuah film seri animasi klasik, Haibane Renmei, yang diluncurkan pada 2002. Yang bercerita mengenai karakter-karakter bersahaja, yang nyaris mendekati kemurnian (haibane = makhluk menyerupai malaikat), berlatar belakang kehidupan di kota kecil dengan segala sesuatunya yang serba usang. Serangkaian tamsil, dengan tema sentral kematian, kelahiran, dan kelahiran kembali, yang dibingkai dengan kisah-kisah permaafan yang merupakan sifat kodrati manusia (nature of forgiveness), juga pergumulan tentang peran mereka di dalam kehidupan, atau di dalam masyarakat.

1. Anak-anak haibane, dalam film seri animasi Haibane Renmei (2002) yang dibuat berdasarkan komik indie karya Yoshitoshi Abe. 

Berkisah tentang apa artinya menjadi manusia, dengan seakan-akan membiarkan penontonnya memaknai episode-episodenya secara personal, dan menerapkan interpretasi masing-masing bagi dirinya sendiri. 

Rakka, haibane yang baru lahir, terbangun di sebuah dunia asing dengan hanya ingatan satu-satunya mengenai mimpinya jatuh dari langit. Merasa sendirian, serta dilingkupi kegelisahan mengenai apa dan siapa dirinya, ia dirawat oleh Reki dan sesama haibane lainnya, yang sedang berupaya menemukan makna keberadaan mereka, serta berusaha menguak apa gerangan yang ada di luar dinding kota yang memenjarakan mereka selama ini. 

Mereka tinggal bersama di sebuah Rumah Tua, sementara jauh di seberang, di bekas sebuah pabrik yang dinamakan Pabrik Terbengkalai atau Pabrik Tua, berdiam komunitas haibane lainnya. Di sini tinggal di antaranya, Hyoko dan Midori, teman dekat Reki di masa kecil. Di kota itu, kota Glie, para haibane hidup berdampingan bersama manusia, rukun dan harmonis. Manusia memberi pekerjaan kepada para haibane, dan membayarnya dengan segala kebutuhan hidup mereka.

Episode ke-12 film ini, Suzu no mi—sugikoshi no matsuri (Bel Kacang, Festival Akhir Tahun, Rekonsiliasi) mengisahkan para haibane pergi ke pusat kota untuk membeli bel kacang, bel yang terbuat dari biji kacang berlainan warna yang membawa serta maknanya masing-masing yang spesifik. Bel kacang ini dipakai sebagai penanda rekonsiliasi (perdamaian), juga sebagai penghargaan atau pernyataan terima kasih; yang merupakan tradisi ‘memberi apresiasi dan maaf-memaafkan’ dalam menyambut datangnya tahun baru pada Festival Akhir Tahun di kota Glie. Mengandung filosofi mengenai menempatkan segala sesuatu di belakang (masa lalu), dan membuka jalan bagi sesuatu yang baru (masa kini dan masa depan). 

Reki memberikan satu bel kacang untuk Hyoko sepekan lebih awal, sebagai permohonan maafnya karena telah menyeret Hyoko ke masalah pribadinya. Ketika itu, Reki kecil mengajak Hyoko memanjat dinding pembatas kota—sesuatu yang sangat terlarang—dengan harapan bisa menemukan pengasuhnya yang baik hati, Kuramori, yang tiba-tiba menghilang. Hujan teramat deras telah menyebabkan Hyoko jatuh tergelincir dan hampir mati karena kehabisan darah. Sejak itu, Hyoko dan juga Midori, menjauhi Reki. Reki tertekan oleh rasa bersalah yang selalu menghantuinya.

Selama festival di malam hari itu, para haibane kecuali Reki yang sedang mengalami depresi, mengunjungi orang-orang yang telah berjasa bagi mereka, dan memberi mereka bel kacang sebagai tanda apresiasi. Rakka memberikannya kepada pemilik toko sandang yang selama ini mengurusi pakaiannya, dan bersama para haibane lainnya, kepada ibu asrama mereka. 

Kemudian dengan bergegas Rakka mengantar Midori ke Rumah Tua untuk meminta Reki menengok ke arah kembang api kuning yang tengah diluncurkan oleh Hyoko dari arah Pabrik Tua. Kembang api ini merupakan tanda pemberian maaf Hyoko kepada Reki. Reki pun terbebaskan dari derita “dosa” yang selama ini melingkarinya. Demikian pula halnya Midori, kebenciannya kepada Reki atas kesalahannya terhadap Hyoko seperti terlampiaskan begitu saja. Sambil terisak, Rakka dipeluknya.



.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  
.  .  .  .  





***


Tulisan-tulisan lainnya di sini.

Unggulan

Merajut Keterhubungan

Sebuah esai merespons tema pameran Forum Grafika Digital 2017 (FGDexpo 2017), Connectivity (Jakarta Convention Center, 24–27 Agustus 2017). ...