Buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia I. |
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
[Bagian pertama dari tiga bagian: Perjalanan DGI V 1.0 (awal 2007–awal 2010)]
Oleh: Hanny Kardinata
Awal mulanya
Semua bermula pada awal 2000-an, ketika berlangsung obrolan tiga-pihak (tripartite) melalui surat elektronik antara Priyanto Sunarto (Bandung), Henricus 'Icus' Kusbiantoro (NYC), dan saya (Ciputat, Tangerang), mengenai jejak desainer grafis Indonesia di masa lalu. Obrolan ringan itu hampir selalu bermuara pada fakta mengenai belum eksisnya Sejarah Desain Grafis Indonesia—kondisi yang acap kali menghadirkan keprihatinan di antara kami bertiga—di tengah kurikulum DKV saat itu, yang lebih memprioritaskan pembelajaran mengenai sejarah seni rupa (atau desain grafis) Barat.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Rabu, 24 September 2003
Dengan keadaan seperti itu, pada 2003 saya merilis sebuah milis (mailing list) di Yahoo! Groups dengan konteks sejarah desain grafis Indonesia. Tujuannya agar anggota-anggotanya bisa berbagi cerita mengenai apa saja yang diingat berdasarkan pengalaman mereka selama ini, untuk nantinya dirangkai menjadi Sejarah Desain Grafis Indonesia.
Milis itu diberi nama milis Sejarah Desain Grafis di Indonesia (SDGI), beralamat di groups.yahoo.com/group/sdgi. Kata ‘di’ dicantumkan berdasarkan pemikiran bahwa perjalanan desain grafis Indonesia itu mencakup juga periode ketika Indonesia masih berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda, dimana kerja desain grafis kebanyakan masih ditangani oleh desainer-desainer Belanda yang berada di Indonesia, belum oleh desainer-desainer Indonesia sendiri. Milis SDGI merupakan milis tertutup, khusus bagi pemerhati sejarah desain grafis Indonesia.
Tapi apa sebetulnya manfaat mempelajari sejarah?
Sebagaimana halnya dengan seorang penulis yang mempelajari kata-kata dan gramatika dengan membaca, desainer mempelajari ragam desain visual beserta problematikanya dengan cara melihat. Semakin banyak melihat, semakin banyak pulalah yang diserap. Bukan melihat dalam artian pasif, tapi dengan melakukan analisis terhadap elemen-elemennya, motif-motifnya, tekniknya, metodologinya, dsb., guna memahami mengapa sebuah karya desain terlihat seperti itu.
Dan dengan mempelajari apa yang pernah berlangsung (tradisi-tradisi masa lalu), seorang desainer diharapkan akan jadi lebih peka terhadap arah suatu perkembangan. Pengetahuannya itu juga akan menghindarkannya dari kemungkinan mengulang apa yang telah dilakukan atau pernah diciptakan oleh angkatan-angkatan terdahulunya.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Oktober–Desember 2003
Upaya awal untuk mengumpulkan data historis adalah dengan menghubungi desainer Bob Noorda (1927–2010), di Milan, Italia, melalui Henricus. Bob Noorda yang lahir di Amsterdam, Belanda, diduga cukup potensial sebagai salah satu nara sumber sejarah desain grafis Indonesia di masa Revolusi Kemerdekaan, karena pada akhir 1940-an ia berada dan berkarya di Indonesia.
Pada 1947, pemerintah Belanda memutuskan untuk mengirim pasukannya kembali memerangi perlawanan Indonesia di bekas koloninya ini. Bob Noorda harus menghabiskan waktu tiga tahun dari usianya yang masih muda saat itu, sebagai militer dalam operasi tersebut. Ini berarti bahwa ia telah dipaksa untuk memutuskan studinya di Instituut voor Kunstnijverheidsonderwijs (1950–1951) yang kemudian berganti nama menjadi Gerrit Rietveld Academie di Amsterdam.
Sayang kemudian Bob Noorda—setelah berhasil dihubungi—menyatakan ketakbersediaannya menjadi nara sumber, mungkin karena sudah banyak hal dari masa revolusi itu yang tidak diingatnya lagi.
Berikut adalah bagian dari jawaban Bob Noorda yang disampaikannya melalui Henricus:
“After the end of the war in 1945 in Holland, I finally could think about the future; I wanted to go into architecture, but had to finish first my last year of pre-school. When I just started architecture, in 1947, I was called (as all young men without exception) in military service to be sent to Indonesia (previewed for a period of one year). I was sent to Palembang on Sumatra and remained there 2 years in Infantery!”
“Later on I spent a year in Djakarta and Bandoeng to collaborate with the military radio and the magazine. At that time I had not yet any experience in graphic design and had as a soldier very few contact with the normal life of Indonesia.”
“Finally back in Holland, in 1950, I restarted to study in graphic design and my “fame” started only when I came to Italy.”
“Sorry I can’t answer to any of your questions, and wish you success without my contribution.”
Bagaimana pun Bob Noorda adalah salah seorang legenda desain grafis dunia yang kiprahnya menjadi rujukan generasi-generasi sesudahnya. Steven Heller, ketika menulis obituary di New York Times menyebut Bob Noorda sebagai “an internationally known graphic designer who helped introduce a Modernist look to advertising posters, corporate logos and, in the 1960s, the entire New York City subway system.”[1]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Jumat, 11 Februari 2005
Atas permintaan Priyanto, saya menulis dan mengirimkan tulisan kenangan (In Memoriam) semasa bersama Tjahjono Abdi (1952–2005) ke milis SDGI. Tulisan ini kemudian juga saya bacakan pada acara Designer Gathering—sebuah pertemuan di antara sekitar 40 desainer grafis lintas generasi di Museum Nasional Indonesia pada Jumat malam, 25 Maret 2005—ketika Henricus Kusbiantoro, Fabio Gherardi, dan Ian Perkins berada di Indonesia. Tjahjono telah mendahului kita semua pada Kamis, 3 Februari 2005. [Lihat: 2000–2009 » 2005 » Tjahjono Abdi meninggal dunia].
Berikut adalah tulisan tersebut:
Tjahjono Abdi (1952–2005)*
P E R T E M U A N P E R T A M A
Saya mulai kenal Tjahjono pada tahun 1972 ketika pertama kali saya menjejakkan kaki di tempat in-de-kost saya di jalan Purwodiningratan 188, Yogyakarta dalam rangka studi di STSRI 'Asri'. Tjahjono sudah terlebih dulu kos di tempat itu. Ketika itu dia bersekolah di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) di jurusan Seni Lukis dan "sudah jadi" seniman—penampilan mau pun ketrampilannya—sementara saya sendiri masih sebagai remaja yang baru lulus SMA.
Kesan yang segera terpancar dari dirinya adalah sikap individualistiknya. Dia tinggal di kamar yang disediakan untuk satu orang, sementara saya memilih kamar untuk berdua. Dia lebih senang pergi sendirian sementara kami (sekitar sepuluh orang di tempat kos itu) lebih suka pergi bersama-sama.
Tjahjono seorang yang fanatik pada Beethoven. Dia memiliki kesembilan simfoninya (di samping karya lainnya) dan juga sebuah patung Beethoven di kamarnya. Kalau dia melukis, kamarnya akan dikuncinya rapat-rapat dan yang terdengar dari luar hanyalah gema musik Beethoven itu. Terkadang, dari lubang kunci pintunya kami melihat dia mengayun-ayunkan tangannya mengiringi gelegar irama musik.
Lukisannya sendiri bercorak abstrak ekspresionistik dengan sapuan kuas dan palet besar-besar dengan dominasi warna merah, biru, putih dan hitam. Dominasi keempat warna ini juga tampil pada karya-karya posternya waktu itu.
Kami berpisah ketika dia lulus sekolah (mungkin sekitar 1974) dan bermaksud melanjutkan studinya ke LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, sekarang; IKJ). Sejak itu hubungan kami terjalin lewat korespondensi.
Dalam salah satu suratnya Tjahjono mengungkapkan kekecewaannya pada sistem pendidikan yang diterimanya di LPKJ. Menurutnya, apa yang diajarkan sudah pernah diterimanya semasa di SSRI. Dia segera meninggalkan LPKJ dan memutuskan untuk bekerja saja di biro reklame. Beberapa karyanya semasa bekerja di biro-biro reklame di Jakarta itu dia lampirkan dalam surat-suratnya dan saya segera saja kagum dengan kemampuan adaptasinya yang luar biasa—dari seorang seniman lukis abstrak menjadi seorang desainer iklan.
P E R T E M U A N K E D U A
Pertemuan berikutnya dengan Tjahjono adalah di Jakarta tahun 1976. Ketika itu dia bekerja sebagai visualizer di Matari Advertising. Saya baru saja menyelesaikan studi di Yogyakarta dan datang melamar bekerja di kantornya (waktu itu di jalan Tanah Abang II) karena menurutnya Matari membutuhkan seorang visualizer lagi.
Selama bekerja di Matari (1976–1977) lagi-lagi saya tinggal satu kos dengannya, kali ini sekamar. Pada periode ini Tjahjono yang saya lihat adalah Tjahjono yang sepenuhnya desainer iklan, yang sangat terampil mengolah dan mengeksekusi ide-ide untuk kampanye periklanan perusahaan-perusahaan besar.
Saya juga menyaksikan bagaimana sepulang dari kantor dia masih sempat mengerjakan sampul majalah Tempo yang waktu pengerjaannya selalu sangat terbatas—sering-sering hanya semalam, demi aktualitas topik utamanya—di mana pada pagi harinya Tjahjono sudah harus menyerahkannya ke kantor Tempo di jalan Senen Raya, dilakukannya dalam perjalanan dengan sepeda motor bebeknya ke Matari. Pada masa ini S. Prinka (yang juga pernah bekerja di Matari) belum bekerja di Tempo.
Matari, yang kemudian berkantor di Slipi, pada saat itu mulai merintis pemisahan kerja antara desainer iklan (khusus proyek-proyek above-the-line) dan desainer grafis (khusus below-the-line). Tjahjono tetap menangani desain iklan sementara saya lebih ke proyek-proyek desain grafis, mengerjakan logo, brosur, poster, kalender, dsb.
Semasa berkarya di Matari, Tjahjono menjadi orang Indonesia pertama yang mendapatkan Clio Awards (1978). Penghargaan ini segera disusul dengan penghargaan-penghargaan lainnya.
Kebersamaan saya dengan Tjahjono di Matari berlangsung selama setahun lebih. Kembali kita berpisah ketika saya keluar dari Matari dan melanjutkan karier saya sepenuhnya di bidang desain grafis secara free lance.
Pada tahun 1980 saya mengadakan pameran desain grafis bersama Gauri Nasution dan Didit Chris yang berlangsung di Pusat Kebudayaan Belanda 'Erasmus Huis'. Pada tahun yang sama kami, para perancang grafis Indonesia, mulai merintis berdirinya Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI) dan pada kesempatan itulah saya dan Tjahjono dipertemukan kembali. Tjahjono yang kemudian ditunjuk duduk di seksi publikasi, menangani publikasi-publikasi pameran IPGI yang berlangsung hingga tiga kali pameran berturut-turut.
P E R T E M U A N K E T I G A
Masih di tahun yang sama, seusai bersama-sama mengurus penyelenggaraan pameran IPGI yang pertama di Mitra Budaya, Tjahjono, saya, dan beberapa kawan, mendirikan studio desain grafis Citra Indonesia. Citra Indonesia awalnya berkantor di sebuah ruang kecil di Jalan Sunda, di tempat tinggal Soedarmadji J.H. Damais (mas Adji). Tjahjono ketika itu sudah keluar dari Matari. [Lihat: Mengikuti Jalan (2)].
"KeIndonesiaan" Tjahjono barangkali mulai terasah di sini dengan pertemuannya yang intens dan berlangsung setiap sore dengan mas Adji yang pakar kebudayaan Indonesia. Inilah kebersamaan saya yang paling lama dengan Tjahjono, mungkin berlangsung selama lebih kurang 10 tahun (on-and-off), mulai dari jalan Sunda, kemudian jalan Sawo, hingga ke Bintaro dan jalan Cibeber, kemudian dari jalan Bangka hingga ke Kemang, dan sejak Tjahjono keluar dan kemudian masuk lagi ke Matari dan kemudian keluar lagi.
Hampir bersamaan dengan keluarnya (yang terakhir kali) dari Matari itu Tjahjono kemudian juga keluar dari Citra Indonesia dan mendirikan Mindglow. Setelah itu kami hampir tidak pernah bertemu lagi kecuali secara kebetulan dalam beberapa peristiwa, hingga meninggalnya pada 3 Februari 2005. [Lihat: Sang Maestro dengan Tempo Allegro]
* Ditulis oleh Hanny Kardinata pada 11 Februari 2005
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Awal Mei 2005
Dari diskusi-diskusi ringan dengan Hastjarjo B. Wibowo di rumah saya (ketika ini saya sudah pindah dari Ciputat dan menetap di kompleks perumahan Bintaro), saya mencoba membuat garis-waktu (time-line) sebagai kerangka penulisan sejarah. Pemikirannya ketika itu: kalau menentukan garis-waktu berdasarkan tonggak-tonggak sejarah makro Indonesia (tematik), misalnya: Zaman Penjajahan Belanda, Zaman Pendudukan Jepang, atau Era Revolusi Kemerdekaan, dst., saya kuatir hanya akan gerak mencari dan mengumpulkan data yang terfokus pada tonggak-tonggak (milestones) itu saja. Ada kemungkinan akan ada hal-hal yang tersisihkan karena dianggap tidak sesuai dengan konteks sejarahnya. Karena itu saya mencoba membuat garis-waktu (yang lebih netral sifatnya), yaitu yang terfokus pada peristiwa-peristiwa yang tercakup dalam tiap satu dasawarsa secara kronologis, misalnya: 1940–1949, 1950–1959, 1960–1969, 1970–1979, dst., dan tonggak-tonggak sejarah (yang makro itu) justru menjadi bagian atau sub dari masing-masing dekade. Garis-waktu ini kelak
dipublikasikan di situs DGI (12 Desember 2009), dan karena sifatnya yang online, bisa kapan saja direvisi (misalnya, bila ada tambahan data) sesuai kebutuhan. [Lihat: Garis Waktu Desain Grafis Indonesia 1659–1999. Garis Waktu Desain Grafis Indonesia 2000–2012]
dipublikasikan di situs DGI (12 Desember 2009), dan karena sifatnya yang online, bisa kapan saja direvisi (misalnya, bila ada tambahan data) sesuai kebutuhan. [Lihat: Garis Waktu Desain Grafis Indonesia 1659–1999. Garis Waktu Desain Grafis Indonesia 2000–2012]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3 Oktober 2005
Terjadi diskusi kecil di milis SDGI, antara Henricus Kusbiantoro dengan Priyanto Sunarto, mengenai identitas Indonesia. Diawali oleh Henricus (sebagai kelanjutan dari diskusinya dengan Gogor Bangsa, dosen DKV UK Petra Surabaya) mengenai Ajisaka, pencipta huruf Hanacaraka*, yang merupakan ungkapan kesedihan Ajisaka atas kematian abdinya yang sangat setia.
Henricus mempertanyakan keberadaan pustaka-pustaka Sansekerta—yang nota bene "sangat dekat" kaitannya dengan desain grafis—di Indonesia. Henricus justru menemukan pustaka Sansekerta serta sejarah tertulis mengenai percetakan dan desain grafis pertama di Indonesia di Cornell University dan Pratt Institute, Brooklyn. Mengapa karya-karya pujangga Nusantara jaman terdahulu terasa asing bagi kalangan siswa-siswa SMA di indonesia? Mungkinkah pemerintah kolonial Belanda dan penjajah-penjajah lainnya berperan dalam penghilangan jejak identitas Indonesia itu? Sehingga yang tersisa hanyalah cerita dari mulut-ke-mulut, yang beredar melalui dongeng atau gelar wayang di daerah-daerah? Tanpa hadirnya karya-karya tertulis yang terpelihara dengan baik?
Menurut Priyanto, Hanacaraka—seperti juga huruf Batak, Bugis, Sunda Kuno, Rejang, dll.—berasal dari Asia Kecil (serumpun dengan huruf Latin, Arab, India, Thailand). Legenda Ajisaka diciptakan awal mulanya supaya Hanacaraka lebih mudah dihafal, karena berbentuk cerita. Di Museum Nasional (saat itu) ada dua ahli baca segala huruf Kawi Kuno, yang dituliskan di lontar, logam atau pun batu (yang paling sulit). Di Indonesia tidak banyak ahli seperti itu, sebagaimana di Eropa juga tidak banyak yang mengerti bahasa Goths asli atau Futhark Skandinavia.
Demikian juga halnya dengan pustaka Sanskrit. Hanya sedikit yang bisa baca, karena mulai dari huruf Palawa sampai huruf Jawa Baru sedikitnya ada tujuh tahap perubahan atau perkembangan. Perkembangan terakhir adalah huruf Bali, yang asalnya dari Hanacaraka juga. Anak SMA paling hanya bisa baca huruf Jawa Baru, kalau anak Bali, Bali Baru. Tapi anak Inggris juga tak semua bisa baca huruf Yunani, apalagi huruf Futhark Eropa Utara. Karena memang sistem baca-tulis itu tak dikembangkan untuk kebutuhan komunikasi praktis. Kalau huruf tidak dipakai untuk kebutuhan sehari-hari, lama kelamaan pasti mati.
Huruf Yunani dipergunakan dan dipelajari oleh filsuf, sastrawan, ilmuwan. Orang biasa tidak membaca huruf Yunani, maka tidak berkembang. Sebaliknya huruf Romawi yang sekarang jadi huruf Latin yang kita pakai sehari-hari ini, dari awal dipergunakan oleh emporium Romawi untuk surat menyurat antar-legion, untuk perdagangan, untuk pengumuman, dsb. Jadi bangsa yang pernah dijajah bangsa Romawi memakai huruf itu untuk segala kebutuhan, karena itu makin berkembang, menguasai dunia karena praktis, bukan soal jajah-menjajah. Karya-karya masa lalu yang sudah diterjemahkan ke tulisan Latin masih banyak yang suka baca: Serat Chentini, Bhagawad Gita, Ramayana, Arjuna Wiwaha, dll. Huruf-huruf kuno Nusantara sebagai tanda bunyi untuk dibaca sudah lewat masanya, tidak bisa diangkat lagi. Tapi sebagai bentuk dan tata huruf harusnya masih bisa digali untuk menambah perbendaharaan font. Seperti halnya Spanyol yang memiliki beberapa font berspirit Spanyol. Demikian Priyanto Sunarto.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Selasa, 13 Maret 2007: DGI V 0.1
Sebagai pengembangan dari milis SDGI, pada 13 Maret 2007, situs Desain Grafis Indonesia (DGI) dirilis melalui alamat desaingrafisindonesia.wordpress.com. Menu yang tersedia pada waktu itu adalah History, Gallery (per dasawarsa), Profile, Academic Writing, Article, News & Event. Untuk pertama kalinya siapa saja bisa melihat data center desain grafis Indonesia dan mengunjunginya secara virtual.
Ketika memutuskan untuk merilis situs DGI, awalnya saya hanya ingin membagi kliping-kliping saya secara bertahap—dan secara online agar mudah diakses—supaya angkatan muda desainer grafis Indonesia bisa memperoleh gambaran mengenai desain grafis Indonesia era 1970-an hingga 1990-an. Kliping ini sebelumnya juga pernah dipinjam oleh Lucia C. Sumarijanto sebagai materi penulisan thesisnya, In Search of a Style saat ia melanjutkan studi tingkat Master di Program Studi Visual Communication Design di Pratt Insititute School of Art and Design, NYC (Desember 2003). Thesisnya ini kemudian menjadi rujukan pertama mengenai sejarah desain grafis Indonesia yang bisa diakses melalui situs DGI.
Pada bagian pendahuluannya, Lucia menuliskan
harapannya agar thesisnya ini bisa menjadi bantuan bagi desain grafis Indonesia untuk menemukan identitasnya sendiri:
harapannya agar thesisnya ini bisa menjadi bantuan bagi desain grafis Indonesia untuk menemukan identitasnya sendiri:
One of the many aims of this thesis is to help Indonesian graphic design find its own style. This "new style" will become a part of the Indonesian visual identity which has been lost in its time of journey so far. There are some methods that I would like to propose here. One of them is to make a reappearance of the real Indonesian characteristics in visual style, which has been forgotten by the young generation, on some modern design applications.[2]
Pada masa-masa awal DGI, desainer yang sering kali menyumbangkan buah pikirannya sebagai kontributor situs DGI (berupa tulisan atau karya), di antaranya adalah Henricus Kusbiantoro, Arief Adityawan S, Hastjarjo B. Wibowo, Sumbo Tinarbuko, Arief 'Ayip' Budiman, Ismiaji Cahyono, dan Bambang Widodo.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Awal Mei 2007
Saya mulai mengangankan hadirnya museum desain grafis sebagai tempat menyimpan artefak. Kalau museum ini eksis maka proses pengumpulan artefak akan lebih terkoordinasi. Dan kalau sudah terkumpul dalam satu tempat, untuk mempelajari sejarah menjadi lebih mudah. Sebagai teman berdiskusi kala itu adalah Hastjarjo B. Wibowo dan Iwan Gunawan, lalu menjelang akhir tahun bergabung Arief Adityawan S. Dimulai dengan memilih nama, dari Rumah Desain, Rumah Imaji, Rumah Desain Indonesia, hingga Museum Desain Grafis Indonesia (MDGI). Adityawan belakangan mengajak Kurnia Setiawan dan Enrico Halim yang memiliki minat yang sama untuk bergabung dan bersama-sama memikirkan MDGI.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Minggu, 2 Desember 2007
1 Desember, pagi buta di San Francisco, AS, Henricus menyelesaikan rancangan identitas situs Desain Grafis Indonesia (DGI). Logo situs DGI (Gb. 44) kemudian diluncurkannya pada 2 Desember 2007 melalui sebuah artikel berjudul: Logo situs DGI dan harapan bagi kita semua. Pada kata pengantarnya Henricus menyampaikan bahwa:
Identitas DGI mengekspresikan huruf 'i' secara tersembunyi (ligature). Huruf 'i' pada kata Indonesia menyatu dan melebur dengan 'DG' sebagai ekspresi Indonesia adalah bagian dari Desain Grafis Internasional. Huruf 'i' pada Indonesia juga tidak hadir sekadar sebagai unsur dekoratif elemen kultur khas Indonesia, tetapi lebih sebagai fungsi atau problem solving. Desain Grafis bukanlah dekorasi tetapi problem solving.[3]
39 komentar yang masuk memuji karya Henricus yang sederhana tapi berkarakter ini, di antaranya datang dari Danton Sihombing:
Mas Henricus, thanks a lot for doing this! it’s about the time to take this enthusiasm that benefiting all of us. Muchas Gracias!
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Sabtu, 5 Januari 2008
Pertemuan pertama aktivis MDGI, diadakan di rumah saya di jalan Cikini III FH 3/7, Bintaro, Tangerang Selatan, dihadiri oleh Arief Adityawan S., Enrico Halim, Kurnia Setiawan, Ismiaji Cahyono, Hastjarjo B. Wibowo, dan saya sendiri. Dalam pertemuan ini disepakati beberapa hal mengenai MDGI, antara lain mengenai fungsi MDGI:
- Sebagai lembaga yang mendokumentasikan, meneliti, serta mengembangkan materi desain grafis sejak jaman dahulu (pra-kolonial) hingga desain grafis masa kini (kontemporer).
- Fungsi museum bukan sekadar untuk konservasi, namun juga berfungsi sebagai laboratorium bagi pengembangan desain grafis masa depan, berdasarkan data base desain di masa lalu.
- Museum adalah sebuah wadah nir-laba yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan tak-formal bagi generasi muda desain grafis.
- Museum adalah sebuah investasi untuk membangun masa depan desain grafis Indonesia yang menjadi salah satu basis ekonomi kreatif.
Selain itu, dibahas pula hal-hal meliputi rencana awal, pembentukan tim kerja, kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan, nara sumber, kolektor, dsb. Diskusi kemudian berlanjut di milis SDGI, yang juga melibatkan para anggotanya sebelumnya. Di antaranya—karena adanya pandangan mengenai kata museum yang berkonotasi "kuno", "statis", dsb.—Henricus sempat mengajukan beberapa opsi nama: Ruang DGI, 100% DGI, Khasanah DGI, Jejak DGI, atau Total DGI. Juga sempat berkembang wacana mengenai nama Rumah DGI, dan Galeri DGI.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Senin, 11 Februari 2008
DGI memfasilitasi Irwan Ahmett mengadakan polling unik dengan tema Siapakah Desainer Termiskin di Indonesia. Polling ini diadakan sebagai prolog dari acara yang akan diselenggarakan, Dinner with Designer (DWD) #3: Siapakah Desainer Termiskin di Indonesia?* Polling terbuka bagi siapa saja, dengan cara memilih dan menyebutkan 3 karya desainer grafis (dalam atau luar negeri) yang dianggap "miskin", beserta alasannya. Irwan Ahmett sebagai penggagasnya menawarkan "humor sarkasme" terhadap industri kreatif di Indonesia yang sangat minim dengan budaya kritik. Polling ini telah menampung 44 masukan melalui situs DGI.[4]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Kamis, 14 Februari, 2008
Yongky Safanayong dikukuhkan sebagai guru besar Jurusan Desain Komunikasi Visual Fakultas Desain & Teknik Perencanaan Universitas Pelita Harapan. Situs DGI mempublikasikan pidato pengukuhannya yang berjudul Integrasi Tempat-Waktu-Kondisi-Sikap: sebagai Perspektif Baru dalam Desain Komunikasi Visual pada hari yang sama supaya mereka yang berhalangan hadir pada acaranya bisa segera membacanya. 23 komentar masuk pada publikasi ini.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Minggu, 24 Februari, 2008
Situs DGI mempublikasikan disertasi doktor Priyanto Sunarto dari Program Studi Ilmu Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) berjudul Metafora Visual Kartun Editorial pada Surat Kabar Jakarta 1950–1957. Guna kepentingan pendidikan, disertasi ini bisa diunduh secara lengkap melalui situs DGI.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Minggu, 16 Maret 2008
DGI memfasilitasi Forum Desain Grafis Indonesia (FDGI) menyelenggarakan diskusi online mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Diskusi ini menghasilkan 43 masukan (kasus, atau masalah yang berkaitan dengan HKI), yang kemudian diseleksi sebagai materi bagi buku yang diterbitkan oleh FDGI bersama Agus Sardjono, pakar HKI dari Fakultas Hukum UI, berjudul Hak Cipta dalam Desain Grafis.
Buku Hak Cipta dalam Desain Grafis yang diterbitkan oleh Forum Desain Grafis Indonesia (FDGI).
|
Seorang komponis Indonesia, Rizaldi Siagian, mengirimkan tulisannya ke DGI, Undang-Undang Hak Cipta: 'Tiba di Mata Dipicingkan, Tiba di Perut Dikempiskan' sebagai masukan, menyangkut masalah public domain, yang berkaitan dengan dunia bunyi-bunyian. Tulisan ini pernah dimuat di majalah Gong.
Undang-Undang Hak Cipta: ‘Tiba di Mata Dipicingkan, Tiba di Perut Dikempiskan’
Oleh, Rizaldi Siagian
Pola ritem iringan drum yang mengombinasikan pukulan snare
dan kick-drum—duk, tak duk duk—sangat intim di tengah-tengah pendengar
musik pop. Begitu pula pola ritem
iringan gendang gaya musik film India—duut, dang duut—yang berakar dari tradisi
musik Hindustani dan dimainkan sepasang gendang berkulit satu-muka, tabla dan
bhayan. Kedua pola ritem ini setiap detik didengar oleh jutaan
manusia di seluruh dunia, baik melalui media elektronik maupun pertunjukan life.
Ia menjadi “jantung” struktur ritmis musik iringan dalam industri musik. Pada
umumnya para produser musik komersil merasa tak nyaman tanpa menggunakan pola
irama ini dalam produksinya. Soalnya jutaan
manusia yang tubuhnya ikut bergoyang ketika mendengar susunan ritmis ini adalah
market potensil yang siap membeli media rekaman musik yang mereka dagangkan. Pola
ritem khas “musik pop” dan “musik dangdut” ini pun tumbuh subur di wilayah
kreatif olah bunyi musik komersil yang berakar dari kesenian tradisi, seperti
misalnya musik campur sari di
Jawa.
Di atas pola ritem iringan seperti inilah para pencipta lagu
pop dan dangdut pada umumnya merekam karyanya yang, secara hukum, dilindungi negara
melalui Undang-Undang Hak Cipta. Karya yang dilindungi ini kemudian menempatkan
si pencipta sebagai pemilik hak eksklusif untuk mengontrol ciptaannya—artinya
siapapun dan tidak boleh memanfaatkan hasil ciptaan tersebut tanpa seijin
penciptanya. Oleh kekuatan hak eksklusif
ini, sebuah ciptaan musik, begitu ia berwujud nyata (tangible) baik
terlihat dalam bentuk notasi, terdengar melalui rekaman suara, atau melalui sistem
pencatatan/perekaman lainnya, maka karya itu otomatis dilindungi.
Dengan adanya perlindungan khusus ini, pertanyaan yang
muncul kemudian adalah: apakah benar bahwa ciptaan itu bisa diakui sebagai
ciptaan asli, seperti dipersyaratkan undang-undang bahwa ciptaan harus
asli atau orisinil? Apa batasan atau definisi ke-orisinil-an sebuah
ciptaan musik? Bukankah lagu-lagu pop dan dangdut yang kita beli di pasaran
menggunakan elemen-elemen ciptaan orang lain seperti pola ritem tersebut? Apakah pola ritem yang berakar dari budaya
Barat dan India yang tersebar melalui mekanisme industri budaya populer itu
tidak diakui sebagai sebuah karya cipta dan karenanya tidak dilindungi?
Sampai pada titik ini konsep kepemilikan hak intelektual
yang bersifat individualisme itu membatasi diri untuk tidak melindungi
karya-karya yang penciptanya: (1) tidak dikenal/diketahui (anonim), serta (2) karya-karya intelektual yang masa
perlindungannya telah berakhir (yaitu 50 tahun di Indonesia, 75 tahun di Amerika,
setelah hari kematian si pencipta).
Kedua jenis ciptaan musik yang sudah memiliki status seperti ini
ditempatkan undang-undang sebagai public domain, atau milik publik/umum.
Konsep ini berlaku dimana saja terutama
di negara-negara yang menjadi anggota PBB dan ikut meratifikasi konsep
kepemilikan hak intelektual (Intelectual Property Right) ini melalui
WIPO (World Intelectual Property Organzation).
Rezim IPR ini mengeneralisasikan produk sebuah ciptaan yang
hanya dipahaminya sebagai karya individual, dan yang harus bisa dilihat dan
berwujud. Rezim ini tidak cukup canggih
untuk mengenal dan menghargai konsep
kultural yang mewarnai dan memberi kontribusi yang khas atas sebuah ciptaan
seorang individu yang hidup di tengah-tengah kentalnya sistem budaya yang
membentuknya—karena tak berwujud, mungkin hanya berupa gagasan. Ia juga tidak
cukup “arif” untuk melihat bahwa sebuah ciptaan terjadi melalui proses. Apalagi
terhadap karya-karya yang diciptakan oleh sekelompok sosial, komunitas, dan melalui
proses yang panjang, bahkan mungkin sampai berabad-abad, seperti kekayaan seni
tradisi yang terdapat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Seperti banyak diketahui, seni tradisi kita
umumnya bersifat oral (lisan), komplkes, dan hidupnya melalui penurunan dari
generasi ke generasi secara tidak tertulis. Rezim ini hanya mengenal sebagian kecil karya-karya
seni tradisional yang tampak berwujud seperti patung, seni grafis yang
dituliskan atau dilukiskan diatas sebuah media; sedangkan seni tradisi yang
diciptakan secara komunal dan dikomunikasikan secara oral, menurut konsep rezim
ini dianggap “tidak ada.”
Dengan logika seperti ini maka karya-karya musik pop dan
dangdut tersebut diatas hak eksklusifnya terbagi kedalam dua bagian: milik
individual dan milik publik. Pola ritem yang digambarkan diatas adalah sebuah
ciptaan yang individu penciptanya tidak diketahui (anonim). Statusnya pola
ritem menjadi public domain, milik publik. Karenanya, siapa pun boleh
menggunakannya. Sedangkan perlindungan eksklusif hanya berlaku khusus kepada
lagu dan lirik yang diakui para pencipta lagu pop dan dangdut tersebut diatas.
Apakah dengan demikian pertanyaan tentang keaslian suatu
ciptaan sudah terjawab? Belum! Undang-undang hak cipta, sekalipun konsep
idealnya melindungi karya cipta yang asli, orisinil; tetapi tidak cukup cerdas
untuk mengetahui dan menjamin apakah karya yang dilindungi itu asli atau tidak.
Bahkan sekalipun karya itu didaftarkan secara resmi di instansi terkait,
ia tidak otomatis menjadi asli atau tidak bisa diganggu-gugat. Sepanjang sebuah
karya yang dipublikasikan tidak ada yang memprotes sebagai hasil plagiat, atau
menggunakan unsur-unsur identik dan terdapat di dalam karya orang lain, maka
undang-undang ini akan tetap melindunginya.
Tetapi kalau pengklaiman terjadi, maka keputusan asli atau
tidaknya suatu karya hanya bisa ditentukan melalui proses pengujian di pengadilan. Seandainya pengadilan memutuskan sebuah karya
lagu terbukti dimiliki oleh seorang individu, maka individu itulah yang berhak
memiliki hak-hak sebagaimana diatur dalam undang-undang. Apabila ternyata sebuah lagu atau liriknya
itu di pengadilan terbukti statusnya anonim (bersumber dari suatu tradisi), maka berdasarkan konsep kepemilikan hak
intelektual yang telah disepakati secara
internasional lagu tersebut berstatus public domain pula.
Logikanya, undang-undang yang berlaku secara internasional
ini mengakui bahwa ciptaan yang berstatus public domain boleh
dimanfaatkan oleh siapa saja. Maka siapapun tidak boleh mengklaim sebagai
miliknya.
Maka dari itu, kita patut terperangah, terheran-heran,
mengapa konseptor undang-undang hak cipta (2002) di Indonesia begitu gegabah
memasukkan pasal-pasal yang menyatakan bahwa karya-karya tradisional yang
anonim itu hak ciptanya di tangan negara—yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip kesepakatan yang berlaku secara internasional? Apakah mereka
kurang memahami konvensi internasional itu, ataukah memang bertujuan
menentangnya dengan dengan alasan yang jelas? Alasannya apa?
Entahlah. Namun, munculnya rancangan baru untuk merevisi
UU-2002 yang telah dimulai sejak tahun 2006 itu mungkin karena melihat hal itu
sebagai kesalahan. Dalam RUU ini, pemilik atau kostudian kesenian tradisional
ini bukan lagi pemerintah, melainkan masyarakat bersangkutan. Akan tetapi, hal ini mungkin justru akan
lebih menyulitkan lagi. Penentuan kepemilikan eksklusif sekelompok masyarakat
terhadap suatu kesenian tradisi, sangatlah rumit. Kesulitan pertama adalah
dalam menentukan tradisi yang “asli” atau “unik” sehingga wujud materialnya
terbaca/terlihat/terdengar secara jelas (fixed), sehubungan dengan tradisi
kelisanan kita yang sangat kuat seperti dikatakan di atas. Kedua, adalah dalam
menentukan lingkup masyarakat pemiliknya. Misalnya masyarakat mana yang akan
dianggap sahih sebagai pemilik rudat, atau japin, wayang, jika kesenian ini tersebar di
mana-mana.
UU ini mungkin lebih didasari semangat “untuk melindungi,”
agar kesenian tradisi tidak menjadi objek manipulasi pihak asing. Tapi,
“melindungi” dan “memiliki” atau apalagi “menguasai” adalah hal-hal yang sangat
berbeda. Kenyataannya, seandainya
penguasaan negara terhadap karya-karya seni tradisional bisa mendapat pengakuan
internasional, mengapa terjadi kasus Malaysia yang “mengambil” Rasa Sayange,
atau kabar pengakuan mereka terhadap angklung dan reyog tidak
bisa dicegah atau dituntut oleh negara? Mengapa pula imbauan negara
(pemerintah) adalah justru pada masyarakat untuk mendaftarkan khasanah budaya
tradisi? Bukankah itu mestinya tugas pemerintah, jika kepemilikannya ada di
tangan negara? Situasi seperti inilah yang dalam peribahasa Melayu disebut:
“tiba di mata dipicingkan, tiba di perut dikempiskan.”
Surakarta, 12 Februari 2008
Rizaldi Siagian
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Selasa, 1 April, 2008
Situs DGI memperkenalkan Widianto Nugroho (artis, desainer, programmer, peneliti, dan pengajar) yang berada di belakang popularitas computational media, di mana metode/alat-alat dari disiplin computer science digunakan dalam desain/seni. Acapkali disebut-sebut sebagai John Maeda-nya Indonesia, Widianto yang berlatarbelakang pendidikan seni dari FSRD ITB (bukan jurusan desain) justru menjadi pelopor komputer grafis di Indonesia, dan banyak memberikan ceramah mengenai design programming khususnya experiment design dalam komputer grafis. Karya-karyanya, termasuk situs Institut Teknologi Bandung telah banyak memenangkan penghargaan.
Beberapa karya Widianto Nugroho. |
Dalam perjalanannya, DGI sering berupaya memperkenalkan desainer-desainer Indonesia ke komunitas desain melalui rubrik-rubrik terkait. Frekwensi penyelenggaraan kegiatan ini kelak menjadi berkurang dengan sendirinya karena tergeser oleh lahirnya layanan-layanan jejaring sosial di dunia maya yang memberikan kemudahan bagi tiap insan di bumi ini untuk memperkenalkan dirinya sendiri. Facebook, yang diperkenalkan oleh Mark Zuckerberg (1984– ) pada Februari 2004, diperkirakan telah mempunyai anggota sekitar 60 juta orang pada akhir 2007.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Sabtu, 12 April 2008
Angan-angan untuk mewujudkan sebuah museum bagi desain grafis Indonesia menjadi lebih terbuka melalui pertemuan-pertemuan saya dengan seorang kawan lama, pelukis Arifien Neif. Sebelumnya, setiap kali ke rumah saya, Arifien selalu menyinggung kemungkinan saya berkantor di rumahnya di kawasan Ciganjur. Karena belum membutuhkan kantor, saya mencoba mengalihkan tawarannya itu pada kemungkinan menggunakan rumahnya sebagai tempat berdikusi bagi komunitas desain grafis. Perbincangan-perbincangan santai di antara kami mengenai ruang-ruang kreatif akhirnya bermuara pada kemungkinan untuk menggunakan sebagian lahan rumahnya sebagai tempat bagi Museum DGI.
12 April 2008, saya mengunjungi tempat kediaman Arifien untuk pertama kalinya. Rumah Arifien sangat artistik dan berkarakter, berdiri di tengah lahan yang amat asri dengan pohon-pohon yang dibiarkan tumbuh apa adanya. Luas halamannya sekitar 8.000 m2 dan akan bertambah terus. Pada saatnya kelak, Arifien ingin lahan ini dipakai bagi kepentingan publik, dan bermanfaat bagi banyak orang.
Karena itu ia berencana membangun ruang-ruang publik, mulai dari ruang kantor, sampai pada pondokan (guest house), restoran, perpustakaan, ruang lokakarya kerajinan, toko untuk memasarkan barang-barang kerajinan hasil lokakarya, galeri, panggung teater terbuka, dsb. Dengan demikian, konsep pendirian Museum DGI di lahan yang dinamainya Chandari ini menjadi relevan.
Nama Chandari berasal dari kata Chanderi, adalah nama sebuah kota di negara bagian Madhya Pradesh, India, yang terkenal sebagai pusat penenunan tradisional kain saree (sering disebut dengan Chanderi silk).
Minggu, 13 April 2008. Berita mengenai semakin terbukanya kemungkinan mendirikan Museum DGI ini saya sampaikan di milis SDGI, dan disambut dengan suka cita dan bersemangat oleh segenap anggota milis.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Minggu, 20 April 2008
Seorang mahasiswa desain grafis Indonesia yang sedang melanjutkan studinya di Communication Design Burg Giebichenstein University of Art and Design di Jerman, Irvandy Syafruddin, berbagi mengenai proses sebuah lokakarya tipografi yang diikutinya, yang bertujuan untuk melatih komposisi tata letak dan fungsi huruf. Pembimbing lokakarya ini adalah seorang profesor muda kawakan yang menyelesaikan studinya di kota Basel, Swiss, dalam bidang tipografi, dimana banyak tipografer Eropa terkenal dibesarkan. Tugasnya adalah membuat sebuah poster dengan komposisi yang hanya terdiri dari tipografi dan bertema The Book and Other Books. Jumlah komentar yang masuk 15 buah.
Jumat, 25 April 2008
Dengan bantuan teknis dari Inggita Notosusanto, situs DGI membuka forum komunikasi maya bagi komunitas desain grafis Indonesia pada laman (fanpage) layanan jejaring sosial Facebook. Bambang Widodo, salah seorang kontributor DGI merancang beberapa desain profil DGI untuk laman ini.
Salah satu karya Bambang Widodo untuk laman (fanpage) DGI di Facebook, 2008.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Minggu, 10 Mei 2008
Riama Maslan dan Naomi Haswanto, keduanya staf pengajar di DKV ITB, berbagi mengenai riset kecil yang dilakukan bersama mahasiswa-mahasiswa Program Studi DKV ITB. Mereka mencoba mengeksplorasi kekayaan visual dalam bentuk tipografi vernakular—yang merupakan bagian dari street graphics—sebagai upaya penggalian khazanah budaya lokal (Gb. 50). Hasil riset serta contoh aplikasi desain poster yang berasal dari kekayaan jalanan di kota Bandung ini telah dipresentasikan pada 3rd International Conference on Typography and Visual Communication di Thesaloniki, Yunani, pada 2007 atas undangan Macedonia University.
Tulisan mereka berdua diterbitkan di DGI di bawah judul Tipografi Vernakular karya Mahasiswa Deskomvis ITB di Konferensi Tipografi Internasional–Yunani. Komentar yang masuk: 27 buah.
Tulisan mereka berdua diterbitkan di DGI di bawah judul Tipografi Vernakular karya Mahasiswa Deskomvis ITB di Konferensi Tipografi Internasional–Yunani. Komentar yang masuk: 27 buah.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Selasa, 20 Mei 2008
Memperingati 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional Indonesia, DGI meluncurkan buku I See Indonesia, karya Arief ‘Ayip’ Budiman, secara online. Ayip adalah creative director Matamera Communications, sebuah biro desain yang berbasis di Bali.
Buku I See Indonesia berisi kumpulan seni visual mengenai Indonesia yang diciptakan oleh Ayip sepanjang 2002–2008 sebagai karya pribadi, yang dikerjakannya dalam beragam medium dan gaya. Karya-karya yang ditampilkan merupakan responsnya terhadap Indonesia yang menjadi kebanggaan, sekaligus kegelisahannya. Dituangkan dalam bentuk visual yang tipografis, karikaturis, grafis, juga fine art.
As One? salah satu karya Arief 'Ayip' Budiman dalam buku I See Indonesia.
|
Tercatat 59 komentar yang masuk pada artikel berjudul Memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional Indonesia: Peluncuran Online Buku 'I See Indonesia' ini.
49. Entering Bright Zone, menggambarkan Garuda Pancasila meluncur dari layar hitam ke putih, atau "habis gelap terbitlah terang".
|
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Minggu, 1 Juni 2008
Merespons berbagai krisis dan persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, M. Arief Budiman merancang kampanye The Different Indonesia yang dipresentasikannya pada acara final International Young Creative Entrepreneur (IYCE) Awards 2007 yang diadakan oleh British Council. Kontributor situs DGI, Ayip, menyampaikan ulasannya mengenai karya ini melalui tulisan berjudul Siapa Mendamba Indonesia yang Berbeda?
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Sabtu, 12 Juli 2008
Pertemuan awal membahas rencana pengembangan Museum DGI di Chandari, Ciganjur, dihadiri oleh Yongky Safanayong, Bwee Wisudha, Arifien Neif, Arief Adityawan S., Hastjarjo B. Wibowo, Ribka Pramudita, dan saya sendiri.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Jumat, 18 Juli 2008
Wedha Abdul Rasyid, yang sejak 1970-an dikenal sebagai ilustrator majalah Hai, memperkenalkan gaya ilustrasinya yang baru, Foto Marak Berkotak (FMB) melalui situs DGI dalam artikel berjudul Wedha’s Pop Art Portrait. Artikel ini disambut antusias penggemarnya sehingga menghasilkan 88 komentar, terbanyak sepanjang perjalanan situs DGI, dan masih terus bertambah. Gaya FMB ini kemudian lebih dikenal dengan nama Wedha’s Pop Art Portrait (WPAP). [Lihat juga: 1990–1999 » 1991 » Pop Art khas Indonesia: Wedha’s Pop Art Portrait (WPAP)]
Jon Bon Jovi, Wedha Abdul Rasyid.
|
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Minggu, 6 Juli 2008
Henricus Kusbiantoro menyelesaikan rancangan awalnya bagi sistem brand Museum (to be) Desain Grafis Indonesia (MDGI).
Logo Museum Desain Grafis Indonesia (DGI) sebagai bagian dari sistem brand yang dirancang oleh Henricus Kusbiantoro.
|
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Selasa, 29 Juli 2008
Konsep Museum DGI—dalam konteks rencana pengembangan Desa Kreatif Chandari—diperkenalkan melalui situs DGI. Hal ini akan melengkapi sebuah zona budaya kreatif yang terpadu—antara seni, desain, kriya, bersama kehidupan masyarakat sekitarnya. Desa Kreatif Chandari juga diharapkan akan menjadi variabel yang mendinamisasi pengembangan budaya dan perekonomian kreatif, yang akan berimbas pula pada pengembangan komunitas di sekitar kawasan hijau Desa Kreatif Chandari.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Jumat, 7 Agustus–Senin, 10 Agustus 2008
Brosur pameran Museum (to be) Desain Grafis Indonesia (DGI) pada Pameran Ekonomi Kreatif Indonesia Bisa! (lipat 3, sisi bagian dalam) karya Noor Wulan.
|
Untuk mengaktivasi MDGI, MDGI mengikuti Pameran Ekonomi Kreatif: Indonesia Bisa! di Senayan City, Jakarta . Selain berpameran, MDGI (bekerjasama dengan FDGI dan Adgi) juga menyelenggarakan dua acara, pertama talkshow bertema Desain Grafis dalam Ekonomi Kreatif Indonesia; dan kedua, diskusi dengan judul Ngobrol dengan Desainer Grafis: Wedha’s Pop Art Portrait.
Desainer-desainer yang membantu mengaktivasi MDGI di Jakarta: Arief Adityawan S., Hastjarjo B. Wibowo, Noor Wulan, dan Ribka Pramudita; serta dari San Francisco: Henricus Kusbiantoro.
Pameran Ekonomi Kreatif: Indonesia Bisa! berlangsung 7–10 Agustus 2008 di tiga tempat: Senayan City, Alun-Alun Indonesia (Grand Indonesia), dan Mal Kelapa Gading. Pameran ini mengambil tema Kreativitas Anak Negeri, Kontribusi bagi Peradaban Bangsa. Pada parneran ini pengunjung akan dapat melihat kemajuan yang telah dicapai di 14 sub-sektor Industri Kreatif seperti periklanan, arsitektur, barang seni, kerajinan, desain, fesyen, sinematografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, dll.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Rabu, 27 Agustus–Kamis, 28 Agustus 2008
Bekerjasama dengan Komunitas Kamera Lubang Jarum Indonesia (KLJI), DGI mengadakan DGI’s Workshop #01: Workshot Kamera Lubang Jarum di Desa Kreatif Chandari, dengan instruktur Ray Bachtiar Drajat dan tim KLJI. Hasil workshop dipamerkan di DGI.
Add caption |
Foto-foto karya Yasser Rizky dan Lasty Devira Kesdu menggunakan Kamera Lubang Jarum (KLJ).
|
Kamera Lubang Jarum (KLJ) adalah kamera yang bisa dibuat dari kaleng atau dus yang dilubangi sebatang jarum, yang di Indonesia ditemukan kembali oleh fotografer Ray Bachtiar Dradjat, yang pada 17 Agustus 2002 mendirikan KLJI, yaitu perkumpulan pemain KLJ di Indonesia. Menurut Ray, KLJ menawarkan pemanjaan idealisme yang luar biasa. Maka sangat pantas jika KLJ digunakan sebagai kendaraan “pendidikan” dan “seni”.
18 komentar masuk melalui artikel DGI’s Workshop #01: “Workshot Kamera Lubang Jarum”–Laporan Seusai Acara.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Rabu, 22 Oktober 2008
Untuk pertama kalinya DGI mengadakan pameran online bertajuk Pameran Virtual–Retrospektif Wedha, mengiringi diselenggarakannya pameran karya-karya mutakhir Wedha dengan tajuk Wedha’s Pop Art Portrait (WPAP) di Bentara Budaya, Jakarta, 28 Oktober–4 November 2008. Karya-karya yang dipamerkan secara virtual ini meliputi karya-karya retro Wedha yang diciptakannya selama rentang waktu 30 tahun terakhir. Pameran di DGI ini menjadi semacam pengantar bagi pengunjung pameran di Bentara Budaya, menuntun pengunjung untuk mengikuti perjalanan kreatif Wedha sebelum menemukan teknik menggambar WPAP.
Ikon Lupus karya Wedha. |
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Kamis, 22 Januari 2009
DGI menyelenggarakan pameran online karya-karya desainer grafis dan seniman Rotua Magdalena Pardede Agung, serentak bersamaan dengan pameran tunggalnya yang dibuka pada 22 Januari 2009 di Hotel Four Seasons, Jakarta, berjudul Unforgotten Paradise. Keserentakan ini dimaksudkan agar mereka yang berhalangan mengunjungi ruang pamernya di Jakarta bisa menikmati karya-karya Magda melalui ruang pamer virtualnya di situs DGI.
Bicaralah Aku Mendengarkan, Rotua Magdalena Pardede Agung, 2009, 100x100 cm, mix media (akrilik, cat minyak) di atas kanvas.
|
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Kamis, 29 Januari–Sabtu, 31 Januari 2009
Sebagai bagian dari upaya mengumpulkan artefak desain grafis secara nasional bagi Museum DGI, DGI mencoba menginisiasi ajang penghargaan Indonesian Graphic Design Award (IGDA). Konsep IGDA diperkenalkan pertama kali pada 29–31 Januari 2009 melalui acara diskusi majalah Versus Hot Ice Tea (HIT) #5: Idealisme dan Realita dalam Pendidikan DKV di Indonesia, berturut-turut di tiga lokasi: Aksara, Kemang, Gedung Surya Palacejaya, dan Newseum.
Presentasi IGDA dirancang oleh Henricus Kusbiantoro dari tempat tinggalnya di San Francisco. [Mengenai IGDA, selengkapnya bisa dibaca di: 2000–2009 » 2009 » Ajang penghargaan desain grafis pertama berskala nasional di Indonesia, dan Catatan harian perjalanan IGDA pertama 'Panen Grafis 2009': 2008–2010]
Logo IGDA karya Henricus Kusbiantoro, 2009. |
Presentasi IGDA dirancang oleh Henricus Kusbiantoro dari tempat tinggalnya di San Francisco. [Mengenai IGDA, selengkapnya bisa dibaca di: 2000–2009 » 2009 » Ajang penghargaan desain grafis pertama berskala nasional di Indonesia, dan Catatan harian perjalanan IGDA pertama 'Panen Grafis 2009': 2008–2010]
Konsep IGDA disosialisasikan secara lebih luas melalui situs DGI pada Sabtu, 7 Februari 2009. Pada artikel dengan judul: Selamat Datang IGDA! yang diunggah oleh Henricus Kusbiantoro ini tertera: "Dipersembahkan bagi desainer grafis Indonesia yang memilih untuk mencintai pekerjaannya". Jumlah komentar: 71.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Sabtu, 31 Januari 2009
DGI menampilkan karya desain karakter seorang desainer dan ilustrator otodidak, Sukriyadi 'SukartOen', pada artikel berjudul Funimal–Sebuah Perjalanan Karakter Indonesia. Jumlah komentar: 53.
Funimal, karakter rancangan Sukriyadi 'SukartOen', 2003.
|
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Senin, 9 Maret 2009
Setelah tiga kali pertemuan, pada hari ini di Chandari, Jalan Manggis 60, Ciganjur, Jakarta, berlangsung pertemuan ke-4 dengan arsitek Gunawan Tjahjono. Pada pertemuan ini Gunawan Tjahjono mempresentasikan konsep awalnya mengenai Chandari sebagai ruang publik secara keseluruhan (termasuk konsep perancangan Chandari sebagai eco village) dan Museum DGI. Pertemuan dihadiri oleh Arifien Neif, Hastjarjo B. Wibowo, Arief Adityawan S. dan Hanny Kardinata.
Pertemuan-pertemuan untuk mematangkan rancangan Museum DGI/Desa Kreatif Chandari ini masih berlanjut beberapa kali sebelum akhirnya Gunawan Tjahjono menyampaikan sebuah "berita duka": bahwa setelah melakukan pengecekan langsung, ternyata kawasan yang sedianya akan dibangun untuk Museum DGI/Desa Kreatif Chandari itu termasuk Ruang Terbuka Hijau (RTH), yang berdasarkan strategi penataan ruang di kawasan perkotaan, tidak diizinkan untuk dibangun. Rupanya bangunan-bangunan yang ada di sekitar Chandari tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Para pemiliknya sepertinya "merelakan" kalau sewaktu-waktu bangunannya akan dibongkar oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.
Dengan demikian, Museum DGI masih harus mencari alternatif ruang bagi kemungkinan pendiriannya.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Kamis, 30 Juli–Minggu, 2 Agustus 2009
Pada ajang pameran grafika FGDexpo 2009, DGI menampilkan artikel Garis Waktu Desain Grafis Indonesia (Key Moments in Indonesian Graphic Design History Time Line) pada beberapa panel di stan Surya Palacejaya.
Pada kesempatan yang sama, DGI juga menggelar poster-poster karya Hermawan Tanzil, Arief 'Ayip' Budiman, Henricus Kusbiantoro, Bambang Widodo, dan Sukriyadi 'SukartOen'.
Bagian depan stan DGI pada ajang FGDexpo 2009.
|
Pada kesempatan yang sama, DGI juga menggelar poster-poster karya Hermawan Tanzil, Arief 'Ayip' Budiman, Henricus Kusbiantoro, Bambang Widodo, dan Sukriyadi 'SukartOen'.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Agustus 2009
Pada pertengahan Agustus 2009, Riama Maslan mewakili tim survei Museum DGI mengunjungi Museum of the Image (MOTI), Breda, Belanda (sebelumnya: Graphic Design Museum in Breda), museum desain grafis pertama di dunia.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Kamis, 20 Agustus 2009
Situs DGI memamerkan karya Tugas Akhir (TA) Eva Winata, seorang mahasiswi DKV Universitas Pelita Harapan (UPH): Kokoro: Selected Tanka from Kanashiki Gangu–Visual Interpretation of Ishikawa Takuboku’s Poetry. Jumlah komentar: 22.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Sabtu, 12 Desember 2009
Artikel Garis Waktu Desain Grafis Indonesia (Key Moments in Indonesian Graphic Design History Time Line) dirilis di situs DGI. Garis waktu ini merupakan upaya pertama mengkompilasi data-data sejarah desain grafis Indonesia dalam format garis-waktu. Dimulai dari abad ke-17 ketika mesin cetak pertama tiba di Indonesia (1659), hingga tahun 2012, saat buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia sedang dipersiapkan. Selanjutnya, Garis Waktu Desain Grafis Indonesia ini juga dipakai sebagai kerangka dasar penulisan buku ini. Jumlah komentar yang masuk: 63.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Kamis, 17 September 2009
Harian The Jakarta Post edisi Kamis, 17 September 2009 memuat sebuah artikel mengenai DGI, MDGI dan IGDA: Browsing Virtual Galleries. Artikel tersebut menyertakan beberapa karya yang diarsipkan pada ruang Gallery situs DGI: poster karya Priyanto Sunarto, Pameran Gambar Cetak Saring, 1975; ilustrasi Priyanto Sunarto, Empat Kerbau, 1969; dan kulit muka brosur Laras Antar Bangsa, 1982, karya Tjahjono Abdi.
Berikut di bawah ini adalah bagian dari artikel tersebut:
Browsing Virtual Galleries
By Anissa S. Febrina
You have the masterpieces, you are overwhelmed with art and you want to share them all with the world.
But with money and space always a consideration, what is the best place to store them?
Think digital—build your gallery or museum in the ultimate space: cyberspace.
On the Internet, anyone can browse the pictures and learn about art with a click of a mouse. It is perhaps the future of art archiving—not really a replacement, and more than a supplement, but rather a complement to existing or planned physical museums and galleries.
Seasoned graphic designer Hanny Kardinata is one of the artists carrying this vision.
His dream of an Indonesian Graphic Design Museum (MGDI), for which he has already picked out a physical site in South Jakarta’s Ciganjur, had to be delayed as he gets together the means and resources.
In the meantime, he is building his museum online, on a website he set up in 2007 from his home in Tangerang’s Bintaro.
“I want to build a museum where young people can learn about the history of Indonesian graphic design. They have only ever been introduced to the international history of the subject,” Han explained.
“Choosing to go online helps provide access for a lot more people to gain information on what Indonesian graphic design is all about—its history and development,” said Han, adding that it was initially a form of temporary storage, which later grew to be a complement to the planned physical museum.
Unexpectedly—and rather unconventionally—the online archive is now practically a museum, hosting digitized graphic design works from Indonesia from the 1930s through to today. You enter by simply typing the address in your browser; you can then explore a wealth of graphic design works.
Arsip DGI: Priyanto Sunarto, Poster “Pameran Gambar Cetak Saring”, 1975. |
It makes it convenient too: There is no need to travel any distance to view an old stamp from the 1940s bearing the image of one of the earliest pieces of Indonesian graphic design work, or to take a look at the work of senior graphic artists such as A. D. Pirous or Prijanto Sunarto.
Anyone researching a specific subject can also browse a wealth of academic papers and theses open for all. And unlike researching in a library, it is possible to engage in an online discussion with fellow students, lecturers and even practitioners in the field.
Arsip DGI: Priyanto Sunarto, Illustration “Empat Kerbau”, 1969. |
Indeed, Han seems to be on track to putting Indonesian graphic design on the global map, as his virtual museum also getting plenty of hits from browsers abroad.
“One of the strategies is to include an archive on the history of international graphic design,” he added.
So far, the virtual museum has been built using the free blog service WordPress. Han’s initial resources were his own archive; the collection later expanded to contain more and more digitized old works, as well as extra material submitted by contributors.
The online archive also features a who’s who of the Indonesian graphic design world, through the personal pages of designers from the 1970s to today.
Arsip DGI: Tjahjono Abdi, Brochure “Laras Antar Bangsa”, 1982. |
Han and his team are considering developing it into an independent website to be launched early next year at the latest, partly so it can host entries for next year’s Indonesian Graphic Design Award.
“Online submissions will be added to the blog while the physical item will be added to the collection of the future physical museum,” Han explained. “In the future, the expansion of the collection will be done more systematically and not rely solely on me.”
Despite the success of the online archive, the original dream of the physical gallery, to be built at painter Arifien Neif’s Chandari Creative Cluster, lives on. Once completed, MDGI will be the world’s second museum dedicated to graphic design; so far, the only other one is the Netherlands’ Breda.
[Kelanjutan dari artikel ini bisa disimak pada Browsing Virtual Galleries]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Senin, 21 September 2009
DGI menggelar karya-karya Sandy Karman, desainer lulusan DKV FSRD ITB 2005, yang berhasil menembus biennial-biennial poster internasional seperti Golden Bee 8 (2008), Moscow International Biennial of Graphic Design (2008), dan 9th Toyama International Poster Triennial (2009). Karya-karya yang dipamerkan memiliki gaya internasional sekaligus cita rasa keIndonesiaan, meliputi periode penciptaan 2007–2009. Jumlah komentar: 63.
|
———
Referensi
[1] Heller, Steven, Bob Noorda Is Dead at 82; Designer Took Modernism Underground, The New York Times, http://www.nytimes.com/2010/01/24/arts/design/24noorda.html?_r=1&ref=obituaries, 2010.
[2] Lucia C. Sumarijanto, In Search of a Style, http://dgi-indonesia.com/indonesia-graphic-design-%E2%80%BA-create-new-post-%E2%80%94-wordpress/, 2007.
[3] Situs DGI (Desain Grafis Indonesia), Logo Situs DGI dan Harapan Bagi Kita Semua, http://dgi-indonesia. com/logo-situs-dgi-dan-harapan-bagi-kita-semua/, 2007.
[4] Situs DGI (Desain Grafis Indonesia), DWD # 3 (Prolog): Siapakah Desainer Termiskin di Indonesia?, http://dgi-indonesia.com/dwd-3-prolog-siapakah-desainer-termiskin-di-indonesia/, 2007.
[Bersambung » Perjalanan Tujuh Tahun Situs Desain Grafis Indonesia (DGI): 2007–2014 (2)]
[Bersambung » Perjalanan Tujuh Tahun Situs Desain Grafis Indonesia (DGI): 2007–2014 (2)]
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar