24.4.18

Merawat Taman Bukan Tamannya (2)

[Bagian terakhir dari dua bagian. Sambungan dari Merawat Taman Bukan Tamannya (1)]


Titik balik
Guncangan yang dirasakannya akibat dua peristiwa beruntun itu mengakibatkan Halim stres berat. Sehingga ketika keadaan telah menjadi “normal”, berat baginya untuk kembali melanjutkan tugasnya sehari-hari sebagai dokter gigi. Kehidupannya yang sering kali dibatasi oleh ruang praktik berukuran 4x5 meter dengan pekerjaan yang berkisar hanya pada mencabut atau menambal gigi pasien membuatnya dirundung rasa jenuh. Gairah bekerjanya pun menurun drastis. Serta merta timbul perasaan tidak puas atas apa yang telah dicapainya selama ini yang acap kali tercetus melalui pertanyaan yang ditujukan kepada dirinya sendiri: “Is this all about life?” Ia butuh lebensraum, ruang untuk memperluas hidupnya, dan tak mau lagi terbatas hanya pada tempat praktiknya. Isterinya, Tieme yang merasa iba melihat keadaannya, juga mendorongnya untuk berganti pekerjaan: “Kalau tidak suka, keluar saja, dan cari pekerjaan baru.” Sebuah dilema baginya, karena pada waktu itu ia sudah berusia 45 tahun, dan telah menjadi ayah dari tiga anak. 

Namun akhirnya Halim memberanikan diri juga untuk coba mengubah haluan. Ia melamar pekerjaan di beberapa perusahaan, tapi yang hanya menyebabkan orang terheran-heran setelah mengetahui profesinya. Pada 1970-an, profesi sebagai dokter masih merupakan simbol status seseorang, sesuatu yang dipandang prestisius. 

Nasib baik menghampirinya ketika  seorang importir mobil mewah, Hasyim Ning (1916–1995) mengembangkan usaha baru di bidang pariwisata dengan membeli Pacto Tours & Travel. Meski belum memiliki pengalaman di bidang travel, Halim diterimanya bekerja karena penguasaannya yang fasih atas bahasa-bahasa dan budaya Eropa. Maka sejak tahun 1973, Halim memulai karier keduanya sebagai Branch Manager di Pacto Surabaya.

Kepercayaan besar yang diperolehnya dari si Raja Mobil Indonesia, julukan bagi Hasyim waktu itu, mendorong Halim untuk tekun belajar mengenai pekerjaan barunya itu. Ia memang suka hal-hal baru. Jadi waktu diterima, ia belajar praktik selama sebulan di Bali. Mulai dari praktik operasional, penanganan tiket, dan sejumlah hal-hal terkait lainnya.

Belum setahun menjalani profesi barunya, tantangan besar menanti. Sebuah kapal pesiar dengan seribu wisatawan akan singgah di Surabaya. Celakanya, saat itu belum ada profesi sebagai guide (pramuwisata) di Surabaya. Padahal kebutuhannya sangat banyak. Halim menghubungi Dinas Pariwisata setempat. Mereka bersedia membantu, dan segera menyelenggarakan kursus pramuwisata selama tiga bulan. Dengan kerja ekstra keras, penyambutan bagi seribu wisatawan itu berlangsung sukses.

“Mereka hanya sehari di Jawa Timur. Makanya begitu kapal masuk pagi, kita bawa ke airport. Pesawatnya sudah kita carter terlebih dahulu. Kita bawa ke Yogyakarta, Borobudur, dan Prambanan. Jadi kayak operasi militer, serba cepat. Tidak boleh meleset, karena kapal akan berangkat pukul 6 sore.”[2]

Kesuksesan demi kesuksesan yang diraih Halim selama memimpin Pacto Surabaya rupanya menjadi catatan tersendiri bagi Hasyim. Setelah enam tahun di Surabaya dan Bali, Halim dipindahtugaskan ke Jakarta, sebagai Manager Tours Operation. Dan kebetulan kemudian keluar peraturan pemerintah yang melarang warga negara asing bekerja di bidang tour and travel. Halim pun ditunjuk menempati posisi pemasaran internasional, menggantikan Warwick Purser yang berkebangsaan Australia, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.  

“Saya bilang, saya tidak tahu apa-apa tentang marketing. Tapi Wakil Direktur bilang, ya belajar pak Halim. Nanti saya kasih buku. Jadi saya dikasih text book tentang marketing. Ini saya pelajari. Tapi kemudian saya ketahui bahwa ternyata marketing service itu berbeda dengan marketing barang. Jadi harus pintar ngomong dan menguasai bidang kita. Bagaimana kita menjelaskan paket wisata yang mau kita jual, kalau kita tidak menguasai seluruh aspek tentang daerah tujuan wisata tersebut.”[2]

Tugas-tugasnya ini mengantarnya kemudian ke kedudukan sebagai Marketing Director. Dan akhirnya... sebagai President Director

Selama bertugas di bagian pemasaran, Halim memiliki kesempatan mengunjungi seluruh pelosok Nusantara, dan juga hampir semua tempat memikat di berbagai belahan dunia. Dan karena popularitasnya, mereka yang berkecimpung di dunia pariwisata internasional memanggilnya dengan sebutan ‘Mr. Pacto’. 

Pacto pun meraih masa keemasannya pada periode kepemimpinan Halim. Majalah TravelAsia edisi 16 Mei, 1997 terdorong mengulas serta menampilkan Halim di sampulnya dengan judul utama Halim Indrakusuma: Keeping Pacto on Top

Pada tahun 1993, Halim mengembangkan bidang baru, Pacto Convex, yang bergerak di bidang convention dan exhibition (sebagai Event Organizer), menjadi sister company dari Pacto Tours and Travel. 

Ikuti arus air

“Live a good and honorable life. Then when you get older and think back, you’ll be able to enjoy it a second time.” —Dalai Lama (l. 1935)

Setelah 32 tahun berkarya bagi Pacto, pada 2004 Halim pensiun. Namun, walau sudah pensiun, Halim tetap diperlakukan sebagai anggota keluarga Pacto yang terhormat. Namanya terus diabadikan di jajaran Board of Directors hingga kini. Sesungguhnya, bersama Pacto-lah, Halim merasa “tugas”nya di dunia ini telah dipenuhkan. Pengalaman langsungnya di dunia pariwisata sejauh ini telah menyadarkannya akan jati diri sejatinya. Pariwisata adalah takdirnya. Pariwisata merupakan kehidupannya. “It was the best time in my life.” demikian kenangnya atas masa-masa indah saat di mana hobi dan pekerjaannya menjadi satu.

Pada usianya yang ke-87 saat kehadirannya di Dia.Lo.Gue Artspace itu, Halim masih terlihat sehat, jauh dari citraan mengenai orang tua yang berjalan tertatih-tatih dibantu tongkat. Ia bahkan masih main tenis dua kali seminggu. Rupanya ia mewarisi kesehatan dan umur panjang dari ibunya (yang wafat pada usia 98 tahun). Tapi mungkin juga gaya hidupnya yang apa adanya (ia dikenal easy going) berpengaruh besar terhadap kondisi fisiknya. Nasehatnya:

“Jadi dalam hidup, penting menjaga keseimbangan dan ambisi. Ambisi perlu namun jangan berlebihan, karena bisa merusak jika tidak tercapai.”

Tapi bisa jadi juga itu semua berkat falsafah Tiongkok kuno yang senantiasa menjadi pegangan hidupnya, seperti:

“Menjalani hidup jangan neko-neko. Ikuti arus air yang mengalir. Sesuaikan dirimu dengan alam sekitar, mencari harmoni dan mensyukuri hidup ini sebagai pemberian Tuhan.”


Halim Indrakusuma, di usianya yang ke-88.

Berkembangnya segala sesuatu secara bebas dan tanpa paksaan seperti yang dijalani oleh Halim ini menurut Alan Watts (1915–1973) merupakan jalan Tao. Diumpamakannya, jika pohon dapat tumbuh besar dan tinggi, maka pohon tersebut telah menjalin relasi yang harmonis dengan sekitarnya. Melalui ajaran tersebut, Lao Tzu, yang diperkirakan hidup di abad ke-6 SM, membawa manusia untuk hidup secara alami seperti alam, apa adanya. Mengalir begitu saja seperti air di sungai, secara spontan, namun bermakna memberikan ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan. 

Air yang mengalir menuju ke laut memberikan kehidupan kepada apa saja yang ia lewati, dan ini terjadi tanpa disengaja (tanpa tindakan atau disebut Wu Wei) [i]. Air dengan lincahnya mengalir tanpa pernah terhambat. Hidup manusia juga akan lebih alami dan optimal, jika dibiarkan mengalir sejalan dengan alam, tanpa diganggu oleh beragam bentuk pertimbangan pikiran.[3]

What we desire, what we work for, or what we seek after, are those things that merely lead us along the paths of our lives.” —Wu WeiI Ching Wisdom: More Guidance from the Book of Answers, Vol. 2


———
[i] Dalam manuskrip Tiongkok kuno dinyatakan bahwa tahap yang terendah adalah ketika seseorang tidak melakukan apa-apa. Tahap selanjutnya yang lebih tinggi adalah berbuat sesuatu. Dan tahap tertinggi adalah kita berbuat sesuatu tetapi tidak merasa berbuat. Pengertian Wu Wei sama dengan Wu Suo Bu Wei dan adalah Wu Bu Wei atau “tidak tidak berbuat” yang sama juga dengan Wu Suo Wei El Wei, atau ‘tidak menargetkan kerja’. Dengan demikian dari kerja nyata (You Wei) berubah menjadi tidak menargetkan kerja (Wu Wei). Tindakan Wu Wei yang tidak memikirkan target yang harus dicapai ini, bukan berarti bermalas-malasan atau seenaknya sendiri. Tahap seenaknya sendiri ini masih merupakan tahap tidak berbuat [justru pada tahap ini harus diterapkan suatu target untuk menjadi tahap berbuat]. Pada tahap Wu Wei, sikap atau tindakan itu sudah menyatu dengan dirinya, sehingga sama sekali tidak ada paksaan dari dalam dirinya untuk melakukannya.


———
[3] Windar Santoso, SJ. Tao. Filsafat Cina, http://winsig-cina.blogspot.co.id/2007/04/tao.html.

.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  





***


Tulisan-tulisan lainnya di sini.

Merawat Taman Bukan Tamannya (1)

PERJALANAN KEMANUSIAAN SEORANG TOKOH PARIWISATA   

Oleh: Hanny Kardinata


[Bagian pertama dari dua bagian]

You have two gardens: your own garden and that of your beloved. Can you master the art of gardening?”  —Thich Nhat Hanh

Dalam pusaran nasib
Pada suatu siang yang amat cerah di tengah musim penghujan, 23 Januari 2016 di galeri Dia.Lo.Gue Artspace, Kemang, Jakarta. Saat itu tengah berlangsung acara peluncuran buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia jilid ke-1 yang diselenggarakan oleh lembaga Desain Grafis Indonesia (DGI). Terlihat cukup mencolok gaya seseorang yang terkesan paling lanjut usianya di antara para pengunjung yang hadir. Sesekali ia tampak sigap mengabadikan beberapa momen peluncuran buku itu lewat kameranya. Atau memerhatikan artwork buku yang digelar di sepanjang ruang galeri. Ia adalah paman saya Halim Indrakusuma, yang biasa saya sapa dengan nama panggilannya, Willy. Dalam usianya yang ke-87, ia terlihat masih amat antusias mengikuti jalannya acara, sejak siang hingga menjelang malam hari saat pengunjung mulai meninggalkan lokasi acara satu per satu. Bahkan beberapa jam kemudian di rumahnya, ia masih sempat menulis dengan panjang lebar surat elektronik berisi testimoni atas apa yang disaksikannya siang dan sore hari itu yang ditujukannya kepada anak-anaknya yang tinggal di Amerika dan Kanada.

Halim, yang nama aslinya Liem Tiong Gie, dilahirkan di kota Malang, Jawa Timur pada 1928. Tak banyak yang bisa diingatnya tentang ayahnya—yang tidak pernah bercerita mengenai dirinya sendiri—kecuali bahwa ayahnya itu adalah salah satu dari empat belas bersaudara, yang kesemuanya hanya memiliki lima anak, dua di antaranya adalah Halim sendiri dan ibu saya, Betty (mereka bersepupu). Seperti ayahnya, juga kebanyakan warga keturunan Tionghoa yang lazim disebut “baba” atau “peranakan” (Indonesia-born Chinese), Halim tidak bisa berbahasa Cina. Ia justru fasih berbicara dalam empat bahasa Eropa: Belanda, Inggris, Jerman, dan Perancis.

Di zaman perjuangan, Halim beruntung bisa mengenyam pendidikan di sebuah sekolah Belanda; walau hanya sampai 1942 karena Jepang kemudian menduduki Indonesia (yang sebelum merdeka disebut Nederlandsch-Indie atau Hindia Belanda). Ketika Jepang menyerah pada 1945 dan Belanda kembali menduduki Malang (1946–1947), juga Surabaya, ia dapat melanjutkan sekolah menengahnya di RK HBS St. Albertus. Di sini, di tengah berkecamuknya Perang Kemerdekaan (1945–1949) ia bertemu dengan Tieme, teman sekelas, yang di kemudian hari menjadi pendamping setianya. Tieme memiliki garis silisilah keluarga Han, yang di Jawa Timur (terutama di Malang dan Surabaya) merupakan keluarga Tionghoa terpandang [mereka tinggal di Rumah Menjangan, Pecinan]. Di sekolah yang sama pula Halim bersua dengan Han Awal (1930–2016), teman akrabnya sepanjang masa, yang kelak dikenal sebagai arsitek terkemuka. 

Seusai sekolah pada 1949, Halim melanjutkan studinya ke Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga (Unair), Surabaya. Unair, yang merupakan universitas tertua kedua setelah Universitas Indonesia, baru saja didirikan (1948) dan hanya memiliki dua fakultas, Kedokteran dan Kedokteran Gigi. Halim lulus pada 1953. Pada tahun yang sama, Halim dan Tieme melangsungkan pernikahannya. 

Pada 1954, sebagai dokter gigi pemerintah, Halim ditempatkan di Sibolga, Sumatra Utara. Tugas pertamanya ini diterimanya dengan suka cita, karena pada dasarnya di dalam dirinya terpendam jiwa seorang pengelana. Keberangkatannya dengan kapal laut ke Medan, yang disusul dengan perjalanan darat melintasi Bukit Barisan hingga ke pedalaman Sibolga, telah membuka mata hatinya terhadap keindahan tanah airnya, dalam hal ini Sumatra, yang pada waktu itu seperti belum terjamah tangan manusia. Sekaligus menempatkannya sebagai dokter pertama dari Jawa yang mencapai Danau Toba.

Tiga tahun kemudian, Halim dipindahtugaskan ke Bali, pertama ke Denpasar, dan kemudian ke Singaraja yang terletak di pesisir Utara. Panggilan tugasnya meliputi pula sejumlah daerah di luar Bali, seperti Nusa Tenggara dan Sulawesi [orang-orang Portugis yang datang di sekitar abad ke-14/15 menyebutnya dengan Celebes]. Bali pada masa itu telah menjadi tujuan utama pariwisata di Indonesia. Sebelum Perang Dunia II, turis asing telah banyak berdatangan ke pulau yang mendapat julukan Last Paradise atau The Isle of Gods itu. Nasib telah membawa Halim ke tempat yang menakjubkan serta memiliki keunikan tradisi dan seni budaya ini, yang di kemudian hari berpengaruh besar dalam membangkitkan minatnya pada dunia pariwisata di Indonesia.  

Titik nadir
Sejumlah peristiwa besar dan memilukan, yang dialami oleh Halim sepanjang kariernya di Bali kemudian telah mendorongnya mengambil keputusan yang kelak membawa perubahan drastis dalam hidupnya. Pertama, ia menjadi saksi hidup yang melihat sendiri penderitaan masyarakat Bali ketika Gunung Agung meletus pada 1963, setelah tidur panjangnya selama 120 tahun. Gunung ini merupakan gunung tertinggi di Bali dengan ketinggian 3.142 mdpl (meter di atas permukaan laut). Letusannya sebegitu dahsyatnya sehingga menewaskan 1.148 orang ditambah 296 yang luka-luka. Bahkan, dalam laporan yang dibuat oleh Kepala Bagian Vulkanologi Direktorat Geologi Djajadi Hadikusumo untuk UNESCO, letusan itu telah menewaskan 1.549 orang. Sekitar 1.700 rumah hancur, sekitar 225.000 jiwa kehilangan mata pencaharian, dan sekitar 100.000 orang harus dievakuasi dari zona bahaya.[1] Puncak letusannya yang terjadi pada 17 Maret 1963, memuntahkan abu vulkanik sejauh 10 kilometer ke udara dan dirasakan jauh hingga ke Jakarta. Akibatnya, bencana yang lebih besar mengancam. Bukan hanya gagal panen, tapi dalam jangka waktu lama tanah jadi tidak bisa ditanami. Maka terjadilah wabah kelaparan di Bali. 

Untuk menampung para korban, Halim pun ditugaskan sebagai pengurus Palang Merah Indonesia (PMI). Dalam sebuah wawancara, ia menuturkan:

“Waktu itu kita lagi konfrontasi dengan Malaysia. Jadi oleh pemerintah, kelaparan tidak boleh disiarkan karena dianggap memalukan. Padahal orang-orang mati kelaparan. Setelah diteliti, obatnya hanya ada satu, yaitu susu skim. Dan di Indonesia nggak ada. Akhirnya kita dari palang merah harus berjuang mengatasi masalah kekurangan gizi. Sebab busung lapar sangat menghantui. Hingga akhirnya PBB memberikan bantuan susu skim.”[2]

Ketika Gunung Agung meletus, ayah saya, Eddy Kardinata sedang berada di tengah laut di sekitar Banyuwangi, memancing ikan bersama beberapa temannya [Lihat: Jalan Membebaskan (1)]. Bergegas mereka harus kembali ke daratan dan kemudian berusaha secepatnya memacu mobil kembali ke Surabaya. Apa daya lampu mobil tidak mampu menembus kegelapan yang diakibatkan oleh pekatnya hujan abu, padahal peristiwa itu terjadi pada siang hari [hujan abu mulai turun pada pukul 08.00]. Sebuah perjalanan paling menyiksa, dan barangkali “paling lama” sepanjang hidup mereka harus mereka lalui bersama. Setiba di Surabaya pintu mobil pun nyaris tak bisa dibuka karena sela-selanya telah terganjal penuh oleh abu. Surabaya siang itu seperti menjelang malam. Keesokan harinya sekolah-sekolah diliburkan. Dan seluruh warga bergotong royong membersihkan abu vulkanik yang telah mengubah wajah kota menjadi keabu-abuan.

Tak selang lama setelahnya, pada tahun 1965 Halim kembali harus menjadi saksi hidup dari peristiwa yang bahkan jauh lebih mengerikan. Sejumlah aksi kekerasan terjadi di Bali seiring dengan meletusnya peristiwa Gerakan 30 September (G30S) di Jakarta. Enam jenderal paling senior di angkatan bersenjata, dan seorang letnan, dibunuh dan jenazahnya dibuang ke sebuah sumur di Lubang Buaya. Insiden ini kemudian memicu pembunuhan massal terburuk sepanjang abad ke-20. Diperkirakan 500.000–1.500.000 orang tewas hanya dalam tempo empat bulan.

Barisan Tani Indonesia, organisasi di bawah payung Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sedang memperjuangkan reformasi agraria, mendapat sambutan luas di kalangan masyarakat Bali yang tengah disesaki penderitaan. Gerakan itu akhirnya berujung pada pembantaian massal yang menewaskan 80.000 jiwa atau sekitar 5 persen penduduk Bali dalam ontran-ontran politik pada tahun 1965. Bali berada di titik nadir.[1]

Kenang Halim:

“Bayangkan, dulu kita di Rumah Sakit Umum Singaraja ada 120 pegawai. Yang meninggal lebih kurang 11 orang dan itu yang bunuh kawan-kawannya sendiri.”[2]


———
[1] Bencana yang Memukul Bali. Kompas.com, 2 Januari 2012.

[2] Halim Indrakusuma, Masuki Bidang Baru di Usia Paruh Baya. Majalah Alive, Edisi 17 Maret 2010, h. 31–32.



.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  





***


Tulisan-tulisan lainnya di sini.

18.4.18

Riak-riak Desain Grafis Indonesia: 1972–2012

Versi awal dipublikasikasikan di buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia I (2016) dengan judul yang sama sebagai Pendahuluan.


Buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia I.
.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  


Oleh: Hanny Kardinata


Suatu hari pada pertengahan 1975, seusai acara wisuda di aula STSRI (Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia) Asri di jalan Gampingan, Yogyakarta, saya berada dalam perjalanan ke rumah makan Ayam Goreng Kalasan 'Suharti' membonceng sepeda motor Honda yang dikemudikan oleh Fadjar Sidik (1930–2004), Ketua Jurusan Seni Lukis waktu itu (yang oleh seniman-seniman Yogyakarta dianggap sebagai Bapak Seni Lukis Modern Indonesia). [1] “Kamu mesti ke Jakarta, Han” katanya, “Kalau sudah menguasai Jakarta, yang lainnya lebih mudah". Rupanya begitulah citra umum mengenai Jakarta tahun 1970-an, diakibatkan oleh politik Orde Baru yang serba sentralistik, yang mengubah wajah Jakarta bagai magnet bagi angkatan kerja, termasuk calon desainer grafis. Di bawah pemerintahan Soeharto, kondisi politik yang dengan berbagai cara diupayakan stabil itu telah berakibat pada derasnya investasi asing yang masuk, menjadi bahan bakar bagi pembangunan infrastruktur di segala sektor, terutama di kota Jakarta.

Terlepas dari sepiring nasi hangat dengan ayam goreng lezat yang kami nikmati sesudahnya, acara wisudanya sendiri berjalan sangat singkat, serba dingin dan kaku, dan menegangkan. Bayangkan, mungkin baru kali itu pernah terjadi dalam sejarah pendidikan di Indonesia, bahkan di dunia, bahwa sebuah acara wisuda perguruan tinggi (kecuali mungkin di AKABRI) dipimpin oleh seorang petinggi militer, sementara semua pintu masuk ke kampus dijaga ketat oleh tentara, dan hanya yang berkepentingan atau yang tidak termasuk di dalam "daftar hitam" yang diizinkan masuk. 
Peristiwa tersebut di atas saya alami ketika dunia seni rupa Indonesia, terutama di STSRI 'Asri', dan juga FSRD ITB, baru saja diguncang oleh peristiwa yang disebut Desember Hitam, yang pecah di ujung tahun 1974; adalah sebuah gerakan perlawanan para seniman muda yang diawali dengan protes terhadap pemberian penghargaan pemerintah kepada lima pelukis, yang karyanya dikritisi sebagai bercorak ragam sama (seragam) yaitu dekoratif, dan lebih mengabdi kepada kepentingan "konsumtif". 


Gerakan Seni Rupa Baru (1975)

Peristiwa Desember Hitam itu adalah cikal bakal terbentuknya Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) pada tahun 1975 yang kelak menghantarkan dunia seni rupa Indonesia ke pemahaman baru mengenai estetika, pengungkapan nilai dan fungsi seni. Bagi GSRB, kesenian tidak harus dikategorikan menurut jenjang, ada kesenian kelas wahid dan ada kesenian kelas kambing. GSRB menolak batasan antara seni murni dan seni terap, dan semua fenomena kesenian termasuk desain pun dianggap sederajat. Sepanjang perjalanannya (1975–1979, 1987), eksponen GSRB yang juga desainer grafis tercatat antara lain F.X. Harsono, Syahrinur Prinka (1947–2004), Wagiono Sunarto, Priyanto Sunarto, Gendut Riyanto (1955–2003), Harris Purnama dan Oentarto.


Pameran desain grafis pertama di Indonesia

Spirit untuk tidak lagi memercayai penjenjangan antara seni murni dan seni terap menghantar tiga desainer grafis mengabarkan eksistensinya melalui sebuah pameran desain grafis di Pusat Kebudayaan Belanda 'Erasmus Huis' pada tanggal 16–24 Juni 1980, sebuah riak kecil yang mengusung misi utama memperkenalkan profesi desainer grafis ke publik yang lebih luas. Pameran bertajuk Pameran Rancangan Grafis Hanny, Gauri, Didit ini kelak tercatat sebagai pameran desain grafis pertama di Indonesia yang diadakan oleh desainer grafis Indonesia. [2] 



Organisasi desainer grafis pertama di Indonesia

Pameran itu juga menjadi ajang berkumpulnya desainer-desainer grafis masa itu yang sedang menggalang pertemuan-pertemuan intensif di jalan Padalarang 1-A, Jakarta—kantor majalah Visi (d/h Maskulin) dan Sport Otak—untuk mempersiapkan dibentuknya sebuah organisasi yang mewadahi desainer grafis Indonesia. Organisasi ini kemudian diresmikan pada tanggal 24 September 1980 dengan nama Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI) bersamaan dengan penyelenggaraan sebuah pameran besar bertajuk Grafis'80 di Wisma Seni Mitra Budaya, Jalan Tanjung 34, Jakarta. Inilah upaya terbesar desainer grafis angkatan ‘70 untuk menyatakan eksistensinya, agar masyarakat apresiatif terhadap bidang ini. “Pameran itu seolah menyadarkan kita, bahwa seni tak hanya yang bisa kita tonton dalam pertunjukan formal saja, tapi juga pada yang melekat dalam kehidupan sehari-hari kita”. [3]

Studio-studio desain grafis pertama di Indonesia

Sepanjang tahun 1970 dan seterusnya mulai bertumbuh perusahaan-perusahaan desain grafis yang sepenuhnya dipimpin oleh desainer grafis. Berbeda dengan biro iklan, perusahaan-perusahaan ini mengkhususkan diri pada desain non-iklan, semuanya berada di Jakarta: Vision (Karnadi Mardio), Grapik Grapos Indonesia (Wagiono Sunarto, Priyanto Sunarto, S. Prinka), Citra Indonesia (Tjahjono Abdi, Hanny Kardinata) dan GUA Graphic (Gauri Nasution). Dan pada dekade berikutnya, di Jakarta muncul antara lain Gugus Grafis (F.X. Harsono, Gendut Riyanto), Polygon (Ade Rastiardi, Agoes Joesoef), Adwitya Alembana (Iwan Ramelan, Djodjo Gozali), Headline (Sita Subijakto), BD+A (Irvan Noe’man), dan di Bandung: Zee Studio (Iman Sujudi, Donny Rachmansjah), MD Grafik (Markoes Djajadiningrat), Studio 'OK!' (Indarsjah Tirtawidjaja) dan lain-lain. 

Setiap studio membawa serta kekhasannya masing-masing sebagai akibat dari ‘ideologi’ desainernya. Misi keIndonesiaan menuntun cara kerja Citra Indonesia dalam mengolah karya-karya desainnya. Di dalam Citra Indonesia ada seorang tokoh budaya, S.J.H. Damais, yang menjadi ‘kamus berjalan’ bagi pendekatan-pendekatan yang ingin diterapkan. Sementara Gugus Grafis berupaya setia dengan ideologi GSRB-nya walau tidak seluruh nilai dan praksis seni rupa kontemporer bisa diterapkan pada semua kesempatan yang didapat. Pada tahun 1973 ada Design Centre Association (Decenta) di Bandung, yang melibatkan A.D. Pirous, G. Sidharta, Adrian Palar, Sunaryo, T. Sutanto, dan Priyanto Sunarto. Saat itu ada pertentangan antara pandangan bahwa seni itu universal dengan pandangan seni yang digali dari bumi sendiri. Decenta menjadi tempat menggali khasanah Indonesia yang diterapkan dalam seni (grafis, lukis, patung) dan desain (pameran, elemen estetis, furnitur, curtain, greeting card, sampul buku). 

Pendekatannya formal atau total, formal melalui olahan artefak budaya, dan total melalui penghayatan terhadap spirit yang hidup dalam masyarakat tradisi. Meski bukan studio desain grafis, Decenta sudah melayani pekerjaan-pekerjaan desain grafis (walau masih sedikit).

Pada masa ini, studio mana pun "dituntut" bisa mengerjakan pekerjaan apa pun, klien datang dengan pekerjaan mulai dari desain logo sampai kepada ilustrasi sampul kaset, desainer bak superman atau superwoman. Studio grafis tidak punya pilihan lain supaya bertahan hidup. Ilustrasi menggunakan teknik air brush, dengan gaya hyper-realism dan Pop Art menjadi trend waktu itu, sejalan dengan perkembangan ilustrasi di dunia maju (majalah Tempo dan Zaman adalah dua penerbitan yang mengakomodasi teknik ini untuk sampulnya). Air brush gun, pensil, kuas, cutter, Cow Gum, Spraymount dan huruf gosok Letraset/Mecanorma adalah alat-alat yang lazim bertengger di meja kerja desainer waktu itu.

Pertumbuhan usaha di bidang desain grafis serentak dengan perkembangan di bidang pendidikannya. Menyusul STSRI Asri di Yogyakarta dan FSRD ITB di Bandung yang sudah ada terlebih dulu, pada tahun 1976 juga dibuka di LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta) dan kemudian di Universitas Trisakti pada tahun 1978. 

Pameran IPGI ke-2 digelar pada tanggal 22–31 Agustus 1983 di Galeri Utama TIM, Jakarta dengan tajuk Grafis‘83. Ini adalah untuk pertama kalinya—setelah 15 tahun berdiri—Dewan Kesenian Jakarta dan TIM (Taman Ismail Marzuki) menyelenggarakan sebuah pameran seni terap, yang secara tidak langsung merupakan pengakuan resmi otoritas kesenian atas desain grafis sebagai seni. Sudarmadji, Ketua Dewan Pekerja Harian Dewan Kesenian Jakarta mengungkap bahwa “Kemasan pasta gigi atau sabun, jika isinya sudah diambil dan digunakan, maka kemasan (pembungkusnya) langsung begitu saja dibuang. Poster atau reklame yang terpampang di jalan, begitu tahu isinya, habis perkara. Jarang yang penghayatannya dilanjutkan dari aspek artistik dan estetisnya”. [4]

Selanjutnya bersama Japan Graphic Designer Association (JAGDA), IPGI pernah menyelenggarakan dua pameran besar, yaitu pada 9–15 Februari 1988 di Galeri Ancol, Pasar Seni Ancol, Jakarta yang dilanjutkan di Aula Timur ITB, Jalan Ganesha 10, Bandung, dan pada tahun 1989 berturut-turut di tiga kota: 23–30 Maret di Gedung Pameran Seni Rupa Depdikbud (sekarang Galeri Nasional) di jalan Merdeka Timur 14, Jakarta; 12–20 April di Yayasan Pusat Kebudayaan, jalan Naripan, Bandung dan 26 April–3 Mei di Kampus Institut Seni Indonesia (d/h STSRI 'Asri') di jalan Gampingan, Yogya.

Selama perjalanannya, desainer yang aktif menggerakkan roda IPGI: Gauri Nasution, Hanny Kardinata (Bendahara), Karnadi Mardio (Wakil Ketua), Priyanto Sunarto, Sadjiroen, Syahrinur Prinka, Tjahjono Abdi, Wagiono Sunarto (Ketua), Yongky Safanayong.

Upaya menyejajarkan desain dengan cabang kesenirupaan yang lain, juga menjadi landasan kurasi Jakarta Art & Design Expo ‘92 atau JADEX‘92 yang digelar di Jakarta Design Center tanggal 25–30 September 1992. Untuk pertama kalinya semua cabang seni rupa—seni lukis, seni patung, seni grafis, seni serat, seni keramik, instalasi, desain interior, desain grafis, desain produk, desain tekstil, desain busana, desain aksesori, kriya kayu, kriya keramik dan kriya bambu—‘dipersatukan’ dalam sebuah pameran besar. “Sejauh ini, pengkajian kemungkinan persentuhan itu­—khususnya melalui sebuah pameran—belum dilakukan. Pameran-pameran yang diselenggarakan umumnya berkaitan dengan keutamaan masing-masing cabang seni rupa yang lalu lebih menunjukkan perbedaan. Pameran desain, mengutamakan aspek fungsi dan kaitannya dengan berbagai bidang usaha. Pameran lukisan, patung atau grafis, bila tak menekankan tujuan menjual, terlalu sibuk dengan apresiasi”. [5]


IPGI ganti nama jadi ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia)

Pada tanggal 7 Mei 1994 IPGI menyelenggarakan kongres pertamanya di Jakarta Design Center dimana berlangsung penggantian nama organisasi menjadi Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI). Pada saat itu dilakukan juga serah terima jabatan dari pengurus IPGI ke pengurus ADGI (Ketua: Iwan Ramelan, Sekretaris: Irvan Noe’man), pemilihan President Elect (Gauri Nasution), pengesahan AD/ART dan kode etik serta pengesahan Majelis Desain Grafis (anggota antara lain: Gauri Nasution, Hanny Kardinata, Priyanto Sunarto, Syahrinur Prinka, Tjahjono Abdi, Wagiono Sunarto). [6]

Seirama dengan pembangunan yang sedang berjalan dengan pesat pada periode 90-an, profesi desainer grafis pun semakin dikenal, demand masyarakat juga meningkat, dan didorong oleh faktor teknologi yang semakin canggih dan memudahkan (komputerisasi terjadi di masa ini), terjadilah pertumbuhan jumlah perusahaan desain grafis, di antaranya di Jakarta: LeBoYe (Hermawan Tanzil), MakkiMakki (Sakti Makki), Afterhours (Lans Brahmantyo), Avigra (Ardian Elkana), di Yogyakarta: Petakumpet (M. Arief Budiman) dan di Bali: Matamera (Arief ‘Ayip’ Budiman). Jenis pekerjaan hampir spesifik: brand/corporate identity, annual report, company profile, marketing brochure, packaging, calendar.

22 Januari 1998: Kurs rupiah menembus 17.000,- per dolar AS 

Setelah berpuluh-puluh tahun terbuai oleh pertumbuhan yang begitu mengagumkan, tahun 1998 ekonomi Indonesia mengalami kontraksi hebat. Krisis dengan cepat merambah ke semua sektor. Puluhan, bahkan ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat, bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent atau nota bene bangkrut. Perusahaan-perusahaan desain grafis pun tidak luput dari hantaman krisis ini, satu per satu ditutup karena sebagian besar klien mereka berasal dari sektor-sektor yang paling terpukul: perbankan, konstruksi dan manufaktur. Hanya studio kecil dengan dua atau tiga orang staf saja yang bisa bertahan karena overhead-nya kecil, studio besar yang mampu bertahan pun dipaksa memangkas drastis jumlah stafnya.


Forum Desainer Grafis Indonesia (FDGI) berdiri

Di tengah kekosongan organisasi yang mewadahi profesi ini, pada awal tahun 2000 Forum Desainer Grafis Indonesia (FDGI) diwacanakan oleh 3 orang desainer yang juga pengajar desain grafis yaitu Hastjarjo B. Wibowo, Mendiola Budi Wiryawan dan Arif P.S.A. FDGI diresmikan bersamaan dengan penyelenggaraan Pameran Poster Melihat Indonesia Damai tanggal 6–14 Juni 2003 di Bentara Budaya, Jakarta. Selanjutnya pada rapat kerja FDGI di Cibubur 11 Juli 2003 dihasilkan perubahan nama organisasi menjadi Forum Desain Grafis Indonesia (FDGI) dengan tujuan untuk menjangkau pemangku kepentingan di luar desainer grafis. Pada tanggal 7–11 September 2005 FDGI berhasil mengadakan pameran poster internasional Light of Hope for Indonesia di arena FGD Expo 2005.


Transformasi Adgi menjadi Adgi (Indonesia Design Professionals Association)

Pada tanggal 8 September 2005 dalam acara Gathering and Talk Show-It’s Graphic Designers United! di arena FGD Expo 2005, Jakarta Convention Center yang diselenggarakan oleh FDGI, diterbitkan Memorandum ADGI kepada Gauri Nasution, Danton Sihombing, Hastjarjo B. Wibowo dan Mendiola B. Wiryawan untuk mempersiapkan Kongres ADGI dalam waktu 6 bulan. Pada bulan Oktober 2005 para penerima mandat membentuk Tim Revitalisasi ADGI sebanyak 16 orang yang bekerja selama 5 bulan untuk merumuskan platform 'Adgi Baru'. Berdasarkan evaluasi terhadap kinerja ADGI pada masa lalu dirumuskanlah branding platform Adgi baru yang hadir dengan deskripsi Indonesia Design Professionals Association. Kata Adgi menjadi nama, bukan lagi akronim (ADGI).


Kongres Nasional Adgi pertama

Pada tanggal 19 April 2006 bertempat di Ballroom Hotel Le Meridien, Jakarta diselenggarakan Kongres Adgi dimana terpilih formasi presidium yang terdiri dari 5 orang yaitu Andi S. Boediman, Danton Sihombing, Hastjarjo B. Wibowo, Hermawan Tanzil dan Lans Brahmantyo untuk mengemban tugas memimpin Adgi selama periode 1 tahun dengan mengusung tema Unifying Spirits. Pada 16–30 Agustus 2006 presidium ini berhasil menyelenggarakan pameran Petasan Grafis di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta dengan sub-judul “Pameran Nasionalisme Indonesia dalam Desain Komunikasi Visual”.


Kongres Nasional Adgi kedua

Pada tanggal 19 April 2007 dilaksanakan Kongres Nasional Adgi kedua di gedung Galeri Nasional, Jakarta. Melalui mekanisme pemungutan suara, Danton Sihombing terpilih sebagai Ketua Umum Adgi 2007–2010. Kemudian bersamaan dengan diselenggarakannya FGD Expo 2007 pada 8–12 Agustus 2007 Adgi menggelar pameran poster internasional One Globe One Flag di Jakarta Convention Center.


Dari Adgi kembali ke ADGI

Pada tanggal 9 November 2007 Adgi menyelenggarakan “Adgi Jakarta Chapter-Member Recruitment and Gathering Night 2007" di Forbidden Citi, Jl. Wijaya I No. 55, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pada peristiwa ini disampaikan antara lain perubahan nama asosiasi dari Adgi-Indonesia Design Professionals Association menjadi ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia), kembali ke nama yang disepakati pada Konggres IPGI ke I di Jakarta Design Center tanggal 7 Mei 1994. 

Demikianlah gambaran singkat perjalanan IPGI hingga menjadi ADGI, kemudian dari ADGI menjadi Adgi dan akhirnya kembali menjadi ADGI (tetapi tetap di tuliskan: Adgi). Sampai uraian ini selesai ditulis, Adgi telah melaksanakan fungsi nasionalnya lewat pemberdayaan chapters di seluruh Indonesia, yang saat ini terdiri dari Adgi Jakarta Chapter, Adgi Surabaya Chapter, Adgi Bali Chapter, Adgi Yogyakarta Chapter dan Adgi Solo Chapter.


Ajang penghargaan desain grafis pertama berskala nasional di Indonesia

Pada tanggal 4 Juli 2009 diadakan konferensi pers Indonesian Graphic Design Award (IGDA) 2009 di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta yang sekaligus menandai dimulainya ajang penghargaan desain grafis pertama berskala nasional ini. IGDA diselenggarakan agar tercipta suatu standar bagi kualitas desain grafis Indonesia, yang setiap tahunnya dinyatakan kepada publik nasional dan internasional sehingga kelak eksistensi desain grafis Indonesia bisa diperhitungkan dalam lingkup global.


Desain grafis Indonesia di jagad industri dunia

Pertumbuhan selalu berawal dari riak kecil, berhimpun menjadi gelombang, dan gelombang lebih besar lagi yang akhirnya membentuk desain grafis Indonesia seperti sekarang ini. Desainer grafis Indonesia kini bisa dengan bangga menyatakan bahwa desain grafis Indonesia telah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Hampir semua sektor membutuhkan sentuhan desainer grafis. Pendidikan desain grafis pun berada di puncak pertumbuhan seperti yang belum pernah dialami sebelumnya. Hingga sekarang sekitar 70an pendidikan tinggi Desain Komunikasi Visual (DKV) telah dan segera berdiri di Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Salatiga, Solo, Malang, Surabaya, Bali, Makassar dan menyusul di beberapa kota lainnya.[7] 

Desain grafis Indonesia kini juga memiliki forum maya Desain Grafis Indonesia (DGI) pada alamat dgi-indonesia.com yang diluncurkan pada Maret 2007, juga Jurnal Grafisosial (2007) pada alamat grafisosial.wordpress.com. Situs DGI adalah embrio dari Museum (to be) DGI yang direncanakan berlokasi di Chandari, Ciganjur, Jakarta Selatan.

Stabilitas ekonomi yang terjaga paska krisis, telah menumbuhkan jumlah perusahaan desain grafis di berbagai daerah. Di Jakarta saja untuk menyebut beberapa di antaranya: Inkara Design (Danton Sihombing, Ilma Noe’man), DesignLab (Divina Natalia), Whitespace Design (Irvan N. Suryanto), H2O Design (Vera Rosana), Kineto (Djoko Hartanto), Octovate (Bernhard Subiakto), Banana Inc. (Nico A. Pranoto), Jerry Aurum Design (Jerry Aurum), Mendiola Design (Mendiola B. Wiryawan), Roundbox (Bima Shaw), Nubrain Design (Ato Hertianto), Fresh Creative (Imelda Dewajani), AhmettSalina (Irwan Ahmett, Tita Salina), Crayon Design (Melvi Samodro), Halfnot Indesign (Heri Mulyadi), Thinking*Room (Eric Wijaya), Lumiére (Ismiaji Cahyono), Paprieka (Eka Sofyan), Songo (Hastjarjo B. Wibowo, Hagung Sihag, Arif P.S.A.), Neuborn (Vera Tarjono) dan masih banyak lagi. 

Tidak sedikit pula desainer-desainer muda Indonesia berkarya dan sukses di luar negeri: Henricus Kusbiantoro (Creative Director, Future Brand, New York), Lucia C. Dambies (Head Designer, Wharton Bradley Mack, Newcastle), John Kudos (Principal, Studio Kudos, Chelsea), Melissa Sunjaya (Principal, Bluelounge Design, Pasadena), Kalim Winata (Computer-Generated Images Artist, ImageMovers Digital, San Francisco), Yolanda Santosa (Principal, Ferroconcrete, Los Angeles), Bambang Widodo (Principal, BWDesign, New Jersey), Aswin Sadha (Founder, Thinking Form, New York) dan Nigel Sielegar (Founder, Corse, New York) adalah beberapa di antaranya.

Uraian pendek ini saya tutup dengan mengutip puisi indah M. Arief Budiman ketika meluncurkan ADGI Yogyakarta Chapter pada 19 Juni 2008: “Langkah besar itu telah dimulai dengan satu lilin kecil yang menyala kedip-kedip dalam hembus angin malam. Tapi nyala lilin itu menular, terus menular dan memenuhi kota. Merembet menembus batas-batas dan menerangi gelap sebuah negara. Lalu menyeberang laut dan menerangi dunia kecil kita ini“. [8]

Hanny Kardinata
Tangerang Selatan
Juli 2009 (direvisi sesuai perkembangan terakhir pada Agustus 2012)

———
[1] Dermawan T., Agus, “In Memoriam” Fadjar Sidik (1930-2004): Tenggelamnya Matahari Seni Rupa Modern. Kompas, Minggu, 25, Januari, 2004.

[2] Dermawan T., Agus, Pameran Rancangan Grafis Hanny, Gauri, Didit: Mau Merubah Dunia. Kompas, Rabu, 25 Juni 1980.

[3] Leonardo, Pameran Grafis ‘80: Karcis Parkir, Uang Kertas sampai Karung Semen. Majalah Gadis no. 29, 1980.

[4] Sudarmadji, Sambutan. Katalog Pameran Grafis ‘83, 1983.

[5] Supangkat, Jim, Kembali ke Satu Seni Rupa. Katalog Pameran Jadex ‘92, 1992.

[6] Kardinata, Hanny, Sejarah IPGI: Upaya Menumbuhkan Apresiasi. Majalah Desain Grafis Concept, Volume 03 Edisi 13, 2006.

[7] Wibowo, Hastjarjo B., Mengkritisi Pendidikan DKV di Indonesia. Majalah Desain Grafis Versus Edisi 3, 2009.
Budiman, M. Arief, Api Kreativitas di Launching ADGI Jogja, http://dgi-indonesia.com/news-launching- adgi-asosiasi-desainer-grafis-indonesia-jogja-chapter, 2008, diakses 4 Agustus 2012.


.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  
.  .  .  .  



***

11.4.18

Dalam Kenangan: Slamet Abdul Sjukur (30 Juni 1935–24 Maret 2015)



Slamet Abdul Sjukur, sketsa oleh Wiwik Hidayat









Slamet Abdul Sjukur, sketsa oleh Wiwik Hidayat
beta
ada di malam
ada di siang
mari
menari
mari
—Bagian dari olahan Slamet Abdul Sjukur atas sajak Chairil Anwar, Tjerita Buat Dien Tamaela (1943) untuk Parentheses 5 (1981)
Indonesia mengalami kehilangan besar. Slamet Abdul Sjukur, maestro dan legenda musik kontemporer Indonesia itu, telah dipanggil kembali oleh Penciptanya pada Selasa, 24 Maret 2015 sekitar pukul 06.00 WIB, setelah melalui dua minggu perawatan di sebuah rumah sakit di Surabaya.
Pribadi yang lurus dan setia pada kebenaran itu hingga detik-detik terakhir perjalanan hidupnya masih setia mendarmabaktikan segenap jiwa raganya demi musik, musik, dan musik.
Pertengahan 1981
Sajak Chairil Anwar Tjerita Buat Dien Tamaela itu telah mempertemukan saya dengan Slamet Abdul Sjukur. Ketika itu, bersama Adjie Damais, saya membantunya mempersiapkan buku acara pergelaran perdana karya ciptanya Parentheses 5 di Hotel Hilton (sekarang: The Sultan Hotel) dan Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Saat-saat diskusi yang kami lalui bersama di kantor biro grafis Citra Indonesia—baik semasa persiapan dan sesudahnya—perlahan-lahan telah mendekatkan hati kami berdua.
Apresiasinya terhadap desain grafis sungguh mengagumkan. Sejak saat itu, kami sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama: untuk sekadar berjalan-jalan atau berdiskusi. Hampir setiap hari, Mas Slamet menjemput saya dengan Honda Civic-nya untuk menyusuri berbagai tempat kesenian atau pusat-pusat kebudayaan asing di Jakarta, lalu mengantar saya pulang kembali ke tempat kos saya di Jalan Yusuf Adiwinata SH 30.
Siang atau malam, kami melewati masa-masa indah, ”menari” dan ”beria” bagai ”ganggang” dalam sajak Chairil Anwar itu. Sesekali, kami hanya berjalan dan berjalan—tak tentu arah. Hotel Hilton acap kali menjadi pilihan favorit untuk beristirahat sekadar mendengarkan alunan gamelan Jawa hingga jelang malam hari. Dalam keheningan, kami sering dipersatukan [Baca: Keheningan yang Berbicara (1), (2), dan (3)].
Jiwa yang halus itu tak ayal diwarisi pula oleh anak-anaknya. Suatu sore, Mas Slamet bersama isterinya, Françoise, Svara anaknya, dan saya berjalan-jalan di TIM. Di tengah obrolan yang menghanyutkan, kami baru menyadari bahwa Svara tidak lagi berada di antara kami. Kami berbalik, dan menjumpainya sedang menempelkan telinganya di pohon beringin yang tumbuh besar di halaman tengah kompleks TIM. Entah sudah berapa lama ia di situ. Ketika ditegur, Svara hanya menjawab, “Aku sedang mendengarkan suaranya.”
Akhir 1980-an
Kami tidak lagi bisa menari bersama setelah saya menikah pada 1985. Tapi, terkadang masih menyempatkan diri bertemu untuk sekadar kangenan. Biasanya kami lakukan di toko buku ’QB’ di Pondok Indah. Tempat ini layaknya oase bagi kami. Di tengah lautan buku di kedua lantainya, kami biasa menghabiskan waktu dari pagi hingga sore hari. Lain waktu, Mas Slamet main ke rumah saya di Bintaro sambil menikmati es campur kesukaannya, dan karya-karya desain John Maeda yang serba musikal itu.
Suatu hari, seingat saya pada kisaran akhir 1980-an, dalam salah satu obrolan kami dikejutkan oleh kenyataan bahwa kedua ayah kami juga saling mengenal dan bersahabat. Sungguh sebuah kebetulan yang membuat kami takjub. Sesudahnya, Mas Slamet pun mengatur pertemuan kembali di antara kedua keluarga yang kemudian berlangsung pada sebuah hari baik di rumah saya di Jalan Trunojoyo 101, Surabaya.
2000-an
Persahabatan kami tidak sampai terputus setelah itu. Berkat internet, kami yang semakin terpisah oleh jarak, didekatkan kembali melalui surat elektronik. Sesekali, kami bertemu pada acara-acara seni, terutama saat Mas Slamet melangsungkan pergelaran-pergelaran karya musiknya yang selalu menggoda itu.
Namun, masih tersisa penyesalan pada diri saya karena batal menghadiri pergelaran terakhirnya, Konser 79 Tahun Sluman Slumun Slamet pada 27 September 2014. Waktu itu, kondisi kesehatan saya tiba-tiba menurun. Meski demikian, masih ada rasa syukur saya karena masih memperoleh kesempatan mendengarkan karya-karya terakhirnya itu melalui piringan cakram rekamannya yang dikirimkan oleh sahabatnya, Ariani Ririn beberapa saat sesudahnya.
Selamat jalan sahabat tersayang. Terima kasih atas masa-masa bahagia yang telah kita lalui bersama. Terima kasih atas sumbangsih luar biasa bagi seni Indonesia. Tuhan beserta segenap malaikatnya akan menyambut kedatanganmu dengan paduan suara suka cita. Selamat beristirahat dalam damai di sisi-Nya.
Gaung pukulan tifa yang bertalu-talu, gema dari sajak ’Tjerita Buat Dien Tamaela’ itu kini terdengar khusyuk mengiringi perjalanan abadinya ke dunia yang tenteram; tanpa tirani kebisingan, dambaannya sepanjang hayatnya.
Hanny Kardinata
Bintaro, 24 Maret 2015

———
Referensi 
Buku Acara Pergelaran Karya Cipta Slamet A. Sjukur ‘Parentheses 5′ (1981)

.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .

Konser 79 Tahun Sluman Slumun Slamet pada 27 September 2014.

***

Unggulan

Merajut Keterhubungan

Sebuah esai merespons tema pameran Forum Grafika Digital 2017 (FGDexpo 2017), Connectivity (Jakarta Convention Center, 24–27 Agustus 2017). ...