24.4.18

Merawat Taman Bukan Tamannya (2)

[Bagian terakhir dari dua bagian. Sambungan dari Merawat Taman Bukan Tamannya (1)]


Titik balik
Guncangan yang dirasakannya akibat dua peristiwa beruntun itu mengakibatkan Halim stres berat. Sehingga ketika keadaan telah menjadi “normal”, berat baginya untuk kembali melanjutkan tugasnya sehari-hari sebagai dokter gigi. Kehidupannya yang sering kali dibatasi oleh ruang praktik berukuran 4x5 meter dengan pekerjaan yang berkisar hanya pada mencabut atau menambal gigi pasien membuatnya dirundung rasa jenuh. Gairah bekerjanya pun menurun drastis. Serta merta timbul perasaan tidak puas atas apa yang telah dicapainya selama ini yang acap kali tercetus melalui pertanyaan yang ditujukan kepada dirinya sendiri: “Is this all about life?” Ia butuh lebensraum, ruang untuk memperluas hidupnya, dan tak mau lagi terbatas hanya pada tempat praktiknya. Isterinya, Tieme yang merasa iba melihat keadaannya, juga mendorongnya untuk berganti pekerjaan: “Kalau tidak suka, keluar saja, dan cari pekerjaan baru.” Sebuah dilema baginya, karena pada waktu itu ia sudah berusia 45 tahun, dan telah menjadi ayah dari tiga anak. 

Namun akhirnya Halim memberanikan diri juga untuk coba mengubah haluan. Ia melamar pekerjaan di beberapa perusahaan, tapi yang hanya menyebabkan orang terheran-heran setelah mengetahui profesinya. Pada 1970-an, profesi sebagai dokter masih merupakan simbol status seseorang, sesuatu yang dipandang prestisius. 

Nasib baik menghampirinya ketika  seorang importir mobil mewah, Hasyim Ning (1916–1995) mengembangkan usaha baru di bidang pariwisata dengan membeli Pacto Tours & Travel. Meski belum memiliki pengalaman di bidang travel, Halim diterimanya bekerja karena penguasaannya yang fasih atas bahasa-bahasa dan budaya Eropa. Maka sejak tahun 1973, Halim memulai karier keduanya sebagai Branch Manager di Pacto Surabaya.

Kepercayaan besar yang diperolehnya dari si Raja Mobil Indonesia, julukan bagi Hasyim waktu itu, mendorong Halim untuk tekun belajar mengenai pekerjaan barunya itu. Ia memang suka hal-hal baru. Jadi waktu diterima, ia belajar praktik selama sebulan di Bali. Mulai dari praktik operasional, penanganan tiket, dan sejumlah hal-hal terkait lainnya.

Belum setahun menjalani profesi barunya, tantangan besar menanti. Sebuah kapal pesiar dengan seribu wisatawan akan singgah di Surabaya. Celakanya, saat itu belum ada profesi sebagai guide (pramuwisata) di Surabaya. Padahal kebutuhannya sangat banyak. Halim menghubungi Dinas Pariwisata setempat. Mereka bersedia membantu, dan segera menyelenggarakan kursus pramuwisata selama tiga bulan. Dengan kerja ekstra keras, penyambutan bagi seribu wisatawan itu berlangsung sukses.

“Mereka hanya sehari di Jawa Timur. Makanya begitu kapal masuk pagi, kita bawa ke airport. Pesawatnya sudah kita carter terlebih dahulu. Kita bawa ke Yogyakarta, Borobudur, dan Prambanan. Jadi kayak operasi militer, serba cepat. Tidak boleh meleset, karena kapal akan berangkat pukul 6 sore.”[2]

Kesuksesan demi kesuksesan yang diraih Halim selama memimpin Pacto Surabaya rupanya menjadi catatan tersendiri bagi Hasyim. Setelah enam tahun di Surabaya dan Bali, Halim dipindahtugaskan ke Jakarta, sebagai Manager Tours Operation. Dan kebetulan kemudian keluar peraturan pemerintah yang melarang warga negara asing bekerja di bidang tour and travel. Halim pun ditunjuk menempati posisi pemasaran internasional, menggantikan Warwick Purser yang berkebangsaan Australia, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.  

“Saya bilang, saya tidak tahu apa-apa tentang marketing. Tapi Wakil Direktur bilang, ya belajar pak Halim. Nanti saya kasih buku. Jadi saya dikasih text book tentang marketing. Ini saya pelajari. Tapi kemudian saya ketahui bahwa ternyata marketing service itu berbeda dengan marketing barang. Jadi harus pintar ngomong dan menguasai bidang kita. Bagaimana kita menjelaskan paket wisata yang mau kita jual, kalau kita tidak menguasai seluruh aspek tentang daerah tujuan wisata tersebut.”[2]

Tugas-tugasnya ini mengantarnya kemudian ke kedudukan sebagai Marketing Director. Dan akhirnya... sebagai President Director

Selama bertugas di bagian pemasaran, Halim memiliki kesempatan mengunjungi seluruh pelosok Nusantara, dan juga hampir semua tempat memikat di berbagai belahan dunia. Dan karena popularitasnya, mereka yang berkecimpung di dunia pariwisata internasional memanggilnya dengan sebutan ‘Mr. Pacto’. 

Pacto pun meraih masa keemasannya pada periode kepemimpinan Halim. Majalah TravelAsia edisi 16 Mei, 1997 terdorong mengulas serta menampilkan Halim di sampulnya dengan judul utama Halim Indrakusuma: Keeping Pacto on Top

Pada tahun 1993, Halim mengembangkan bidang baru, Pacto Convex, yang bergerak di bidang convention dan exhibition (sebagai Event Organizer), menjadi sister company dari Pacto Tours and Travel. 

Ikuti arus air

“Live a good and honorable life. Then when you get older and think back, you’ll be able to enjoy it a second time.” —Dalai Lama (l. 1935)

Setelah 32 tahun berkarya bagi Pacto, pada 2004 Halim pensiun. Namun, walau sudah pensiun, Halim tetap diperlakukan sebagai anggota keluarga Pacto yang terhormat. Namanya terus diabadikan di jajaran Board of Directors hingga kini. Sesungguhnya, bersama Pacto-lah, Halim merasa “tugas”nya di dunia ini telah dipenuhkan. Pengalaman langsungnya di dunia pariwisata sejauh ini telah menyadarkannya akan jati diri sejatinya. Pariwisata adalah takdirnya. Pariwisata merupakan kehidupannya. “It was the best time in my life.” demikian kenangnya atas masa-masa indah saat di mana hobi dan pekerjaannya menjadi satu.

Pada usianya yang ke-87 saat kehadirannya di Dia.Lo.Gue Artspace itu, Halim masih terlihat sehat, jauh dari citraan mengenai orang tua yang berjalan tertatih-tatih dibantu tongkat. Ia bahkan masih main tenis dua kali seminggu. Rupanya ia mewarisi kesehatan dan umur panjang dari ibunya (yang wafat pada usia 98 tahun). Tapi mungkin juga gaya hidupnya yang apa adanya (ia dikenal easy going) berpengaruh besar terhadap kondisi fisiknya. Nasehatnya:

“Jadi dalam hidup, penting menjaga keseimbangan dan ambisi. Ambisi perlu namun jangan berlebihan, karena bisa merusak jika tidak tercapai.”

Tapi bisa jadi juga itu semua berkat falsafah Tiongkok kuno yang senantiasa menjadi pegangan hidupnya, seperti:

“Menjalani hidup jangan neko-neko. Ikuti arus air yang mengalir. Sesuaikan dirimu dengan alam sekitar, mencari harmoni dan mensyukuri hidup ini sebagai pemberian Tuhan.”


Halim Indrakusuma, di usianya yang ke-88.

Berkembangnya segala sesuatu secara bebas dan tanpa paksaan seperti yang dijalani oleh Halim ini menurut Alan Watts (1915–1973) merupakan jalan Tao. Diumpamakannya, jika pohon dapat tumbuh besar dan tinggi, maka pohon tersebut telah menjalin relasi yang harmonis dengan sekitarnya. Melalui ajaran tersebut, Lao Tzu, yang diperkirakan hidup di abad ke-6 SM, membawa manusia untuk hidup secara alami seperti alam, apa adanya. Mengalir begitu saja seperti air di sungai, secara spontan, namun bermakna memberikan ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan. 

Air yang mengalir menuju ke laut memberikan kehidupan kepada apa saja yang ia lewati, dan ini terjadi tanpa disengaja (tanpa tindakan atau disebut Wu Wei) [i]. Air dengan lincahnya mengalir tanpa pernah terhambat. Hidup manusia juga akan lebih alami dan optimal, jika dibiarkan mengalir sejalan dengan alam, tanpa diganggu oleh beragam bentuk pertimbangan pikiran.[3]

What we desire, what we work for, or what we seek after, are those things that merely lead us along the paths of our lives.” —Wu WeiI Ching Wisdom: More Guidance from the Book of Answers, Vol. 2


———
[i] Dalam manuskrip Tiongkok kuno dinyatakan bahwa tahap yang terendah adalah ketika seseorang tidak melakukan apa-apa. Tahap selanjutnya yang lebih tinggi adalah berbuat sesuatu. Dan tahap tertinggi adalah kita berbuat sesuatu tetapi tidak merasa berbuat. Pengertian Wu Wei sama dengan Wu Suo Bu Wei dan adalah Wu Bu Wei atau “tidak tidak berbuat” yang sama juga dengan Wu Suo Wei El Wei, atau ‘tidak menargetkan kerja’. Dengan demikian dari kerja nyata (You Wei) berubah menjadi tidak menargetkan kerja (Wu Wei). Tindakan Wu Wei yang tidak memikirkan target yang harus dicapai ini, bukan berarti bermalas-malasan atau seenaknya sendiri. Tahap seenaknya sendiri ini masih merupakan tahap tidak berbuat [justru pada tahap ini harus diterapkan suatu target untuk menjadi tahap berbuat]. Pada tahap Wu Wei, sikap atau tindakan itu sudah menyatu dengan dirinya, sehingga sama sekali tidak ada paksaan dari dalam dirinya untuk melakukannya.


———
[3] Windar Santoso, SJ. Tao. Filsafat Cina, http://winsig-cina.blogspot.co.id/2007/04/tao.html.

.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  





***


Tulisan-tulisan lainnya di sini.

Tidak ada komentar:

Unggulan

Merajut Keterhubungan

Sebuah esai merespons tema pameran Forum Grafika Digital 2017 (FGDexpo 2017), Connectivity (Jakarta Convention Center, 24–27 Agustus 2017). ...