24.4.18

Merawat Taman Bukan Tamannya (1)

PERJALANAN KEMANUSIAAN SEORANG TOKOH PARIWISATA   

Oleh: Hanny Kardinata


[Bagian pertama dari dua bagian]

You have two gardens: your own garden and that of your beloved. Can you master the art of gardening?”  —Thich Nhat Hanh

Dalam pusaran nasib
Pada suatu siang yang amat cerah di tengah musim penghujan, 23 Januari 2016 di galeri Dia.Lo.Gue Artspace, Kemang, Jakarta. Saat itu tengah berlangsung acara peluncuran buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia jilid ke-1 yang diselenggarakan oleh lembaga Desain Grafis Indonesia (DGI). Terlihat cukup mencolok gaya seseorang yang terkesan paling lanjut usianya di antara para pengunjung yang hadir. Sesekali ia tampak sigap mengabadikan beberapa momen peluncuran buku itu lewat kameranya. Atau memerhatikan artwork buku yang digelar di sepanjang ruang galeri. Ia adalah paman saya Halim Indrakusuma, yang biasa saya sapa dengan nama panggilannya, Willy. Dalam usianya yang ke-87, ia terlihat masih amat antusias mengikuti jalannya acara, sejak siang hingga menjelang malam hari saat pengunjung mulai meninggalkan lokasi acara satu per satu. Bahkan beberapa jam kemudian di rumahnya, ia masih sempat menulis dengan panjang lebar surat elektronik berisi testimoni atas apa yang disaksikannya siang dan sore hari itu yang ditujukannya kepada anak-anaknya yang tinggal di Amerika dan Kanada.

Halim, yang nama aslinya Liem Tiong Gie, dilahirkan di kota Malang, Jawa Timur pada 1928. Tak banyak yang bisa diingatnya tentang ayahnya—yang tidak pernah bercerita mengenai dirinya sendiri—kecuali bahwa ayahnya itu adalah salah satu dari empat belas bersaudara, yang kesemuanya hanya memiliki lima anak, dua di antaranya adalah Halim sendiri dan ibu saya, Betty (mereka bersepupu). Seperti ayahnya, juga kebanyakan warga keturunan Tionghoa yang lazim disebut “baba” atau “peranakan” (Indonesia-born Chinese), Halim tidak bisa berbahasa Cina. Ia justru fasih berbicara dalam empat bahasa Eropa: Belanda, Inggris, Jerman, dan Perancis.

Di zaman perjuangan, Halim beruntung bisa mengenyam pendidikan di sebuah sekolah Belanda; walau hanya sampai 1942 karena Jepang kemudian menduduki Indonesia (yang sebelum merdeka disebut Nederlandsch-Indie atau Hindia Belanda). Ketika Jepang menyerah pada 1945 dan Belanda kembali menduduki Malang (1946–1947), juga Surabaya, ia dapat melanjutkan sekolah menengahnya di RK HBS St. Albertus. Di sini, di tengah berkecamuknya Perang Kemerdekaan (1945–1949) ia bertemu dengan Tieme, teman sekelas, yang di kemudian hari menjadi pendamping setianya. Tieme memiliki garis silisilah keluarga Han, yang di Jawa Timur (terutama di Malang dan Surabaya) merupakan keluarga Tionghoa terpandang [mereka tinggal di Rumah Menjangan, Pecinan]. Di sekolah yang sama pula Halim bersua dengan Han Awal (1930–2016), teman akrabnya sepanjang masa, yang kelak dikenal sebagai arsitek terkemuka. 

Seusai sekolah pada 1949, Halim melanjutkan studinya ke Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga (Unair), Surabaya. Unair, yang merupakan universitas tertua kedua setelah Universitas Indonesia, baru saja didirikan (1948) dan hanya memiliki dua fakultas, Kedokteran dan Kedokteran Gigi. Halim lulus pada 1953. Pada tahun yang sama, Halim dan Tieme melangsungkan pernikahannya. 

Pada 1954, sebagai dokter gigi pemerintah, Halim ditempatkan di Sibolga, Sumatra Utara. Tugas pertamanya ini diterimanya dengan suka cita, karena pada dasarnya di dalam dirinya terpendam jiwa seorang pengelana. Keberangkatannya dengan kapal laut ke Medan, yang disusul dengan perjalanan darat melintasi Bukit Barisan hingga ke pedalaman Sibolga, telah membuka mata hatinya terhadap keindahan tanah airnya, dalam hal ini Sumatra, yang pada waktu itu seperti belum terjamah tangan manusia. Sekaligus menempatkannya sebagai dokter pertama dari Jawa yang mencapai Danau Toba.

Tiga tahun kemudian, Halim dipindahtugaskan ke Bali, pertama ke Denpasar, dan kemudian ke Singaraja yang terletak di pesisir Utara. Panggilan tugasnya meliputi pula sejumlah daerah di luar Bali, seperti Nusa Tenggara dan Sulawesi [orang-orang Portugis yang datang di sekitar abad ke-14/15 menyebutnya dengan Celebes]. Bali pada masa itu telah menjadi tujuan utama pariwisata di Indonesia. Sebelum Perang Dunia II, turis asing telah banyak berdatangan ke pulau yang mendapat julukan Last Paradise atau The Isle of Gods itu. Nasib telah membawa Halim ke tempat yang menakjubkan serta memiliki keunikan tradisi dan seni budaya ini, yang di kemudian hari berpengaruh besar dalam membangkitkan minatnya pada dunia pariwisata di Indonesia.  

Titik nadir
Sejumlah peristiwa besar dan memilukan, yang dialami oleh Halim sepanjang kariernya di Bali kemudian telah mendorongnya mengambil keputusan yang kelak membawa perubahan drastis dalam hidupnya. Pertama, ia menjadi saksi hidup yang melihat sendiri penderitaan masyarakat Bali ketika Gunung Agung meletus pada 1963, setelah tidur panjangnya selama 120 tahun. Gunung ini merupakan gunung tertinggi di Bali dengan ketinggian 3.142 mdpl (meter di atas permukaan laut). Letusannya sebegitu dahsyatnya sehingga menewaskan 1.148 orang ditambah 296 yang luka-luka. Bahkan, dalam laporan yang dibuat oleh Kepala Bagian Vulkanologi Direktorat Geologi Djajadi Hadikusumo untuk UNESCO, letusan itu telah menewaskan 1.549 orang. Sekitar 1.700 rumah hancur, sekitar 225.000 jiwa kehilangan mata pencaharian, dan sekitar 100.000 orang harus dievakuasi dari zona bahaya.[1] Puncak letusannya yang terjadi pada 17 Maret 1963, memuntahkan abu vulkanik sejauh 10 kilometer ke udara dan dirasakan jauh hingga ke Jakarta. Akibatnya, bencana yang lebih besar mengancam. Bukan hanya gagal panen, tapi dalam jangka waktu lama tanah jadi tidak bisa ditanami. Maka terjadilah wabah kelaparan di Bali. 

Untuk menampung para korban, Halim pun ditugaskan sebagai pengurus Palang Merah Indonesia (PMI). Dalam sebuah wawancara, ia menuturkan:

“Waktu itu kita lagi konfrontasi dengan Malaysia. Jadi oleh pemerintah, kelaparan tidak boleh disiarkan karena dianggap memalukan. Padahal orang-orang mati kelaparan. Setelah diteliti, obatnya hanya ada satu, yaitu susu skim. Dan di Indonesia nggak ada. Akhirnya kita dari palang merah harus berjuang mengatasi masalah kekurangan gizi. Sebab busung lapar sangat menghantui. Hingga akhirnya PBB memberikan bantuan susu skim.”[2]

Ketika Gunung Agung meletus, ayah saya, Eddy Kardinata sedang berada di tengah laut di sekitar Banyuwangi, memancing ikan bersama beberapa temannya [Lihat: Jalan Membebaskan (1)]. Bergegas mereka harus kembali ke daratan dan kemudian berusaha secepatnya memacu mobil kembali ke Surabaya. Apa daya lampu mobil tidak mampu menembus kegelapan yang diakibatkan oleh pekatnya hujan abu, padahal peristiwa itu terjadi pada siang hari [hujan abu mulai turun pada pukul 08.00]. Sebuah perjalanan paling menyiksa, dan barangkali “paling lama” sepanjang hidup mereka harus mereka lalui bersama. Setiba di Surabaya pintu mobil pun nyaris tak bisa dibuka karena sela-selanya telah terganjal penuh oleh abu. Surabaya siang itu seperti menjelang malam. Keesokan harinya sekolah-sekolah diliburkan. Dan seluruh warga bergotong royong membersihkan abu vulkanik yang telah mengubah wajah kota menjadi keabu-abuan.

Tak selang lama setelahnya, pada tahun 1965 Halim kembali harus menjadi saksi hidup dari peristiwa yang bahkan jauh lebih mengerikan. Sejumlah aksi kekerasan terjadi di Bali seiring dengan meletusnya peristiwa Gerakan 30 September (G30S) di Jakarta. Enam jenderal paling senior di angkatan bersenjata, dan seorang letnan, dibunuh dan jenazahnya dibuang ke sebuah sumur di Lubang Buaya. Insiden ini kemudian memicu pembunuhan massal terburuk sepanjang abad ke-20. Diperkirakan 500.000–1.500.000 orang tewas hanya dalam tempo empat bulan.

Barisan Tani Indonesia, organisasi di bawah payung Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sedang memperjuangkan reformasi agraria, mendapat sambutan luas di kalangan masyarakat Bali yang tengah disesaki penderitaan. Gerakan itu akhirnya berujung pada pembantaian massal yang menewaskan 80.000 jiwa atau sekitar 5 persen penduduk Bali dalam ontran-ontran politik pada tahun 1965. Bali berada di titik nadir.[1]

Kenang Halim:

“Bayangkan, dulu kita di Rumah Sakit Umum Singaraja ada 120 pegawai. Yang meninggal lebih kurang 11 orang dan itu yang bunuh kawan-kawannya sendiri.”[2]


———
[1] Bencana yang Memukul Bali. Kompas.com, 2 Januari 2012.

[2] Halim Indrakusuma, Masuki Bidang Baru di Usia Paruh Baya. Majalah Alive, Edisi 17 Maret 2010, h. 31–32.



.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  





***


Tulisan-tulisan lainnya di sini.

Tidak ada komentar:

Unggulan

Merajut Keterhubungan

Sebuah esai merespons tema pameran Forum Grafika Digital 2017 (FGDexpo 2017), Connectivity (Jakarta Convention Center, 24–27 Agustus 2017). ...