6. Poster pameran Grafis ’89,
pameran bersama desainer-desainer Indonesia dan Jepang, yang dirancang oleh Lesin, 1989.
|
[Sambungan dari: Mengikuti Jalan (4). Bagian terakhir dari lima bagian]
Anti komputer grafis
Pameran IPGI–JAGDA yang kedua bertajuk Grafis ‘89 diselenggarakan berturut-turut di tiga kota: Jakarta, 23–30 Maret di Gedung Pameran Seni Rupa Depdikbud (sekarang Galeri Nasional), jalan Merdeka Timur 14; Bandung, 12–20 April 1989 di Yayasan Pusat Kebudayaan, jalan Naripan; dan Yogyakarta, 26 April–3 Mei di Kampus Institut Seni Indonesia (ISI), jalan Gampingan.
Masih dengan bantuan pembiayaan dari Japan Foundation, Miyazaki menggagas kedatangan Shigeo Fukuda (1932–2009) sebagai pembicara. Fukuda yang dijuluki sebagai Japan’s Houdini of Design, dianggap sebagai pelopor generasi kedua desainer grafis Jepang bersama antara lain Tadanori Yokoo (l. 1936), Mitsuo Katsui (l. 1931), Ikko Tanaka (l. 1930). Karya-karyanya bisa dikenali dari kesederhanaannya (logo-like simplicity), dan dari penerapan teknik ilusi visual (deception). Kebanyakan dirancang agar berdampak sosial atau merupakan bentuk komunikasi kultural daripada demi tujuan komersial; Fukuda merupakan pendukung kuat pasifisme dan environmentalisme. Ia juga menjadi desainer grafis Jepang pertama yang terpilih masuk dalam New York Art Directors Club Hall of Fame.
Dalam kunjungannya ke Indonesia itu, Fukuda tampil sebagai pembicara dalam sebuah ceramah pada tanggal 29 Maret 1989 di Pusat Kebudayaan Jepang, Summitmas Tower lantai 2, Jakarta. Sekitar satu jam sebelumnya, beberapa penulis dari majalah desain grafis F/A [ii] berkesempatan mewawancarinya. Saya hadir dalam sesi wawancara itu.
Menurut Fukuda, masyarakat Jepang tadinya juga tidak menganggap produk desain grafis sebagai karya seni. Diungkapkannya:
“Tapi saat ini Jepang sudah mulai mengakui desain grafis sebagai seni. Hal itu ditunjukkan dengan membuat museum poster, yang setahun lagi akan selesai. Sejauh ini, poster-poster di Jepang segera dibuang setelah dipakai; berbeda sekali dengan Amerika, Chekoslovakia, Belanda, Perancis, dan Polandia yang sejak lama telah menyimpan dan menghargai poster sebagai benda seni. Dan di Jepang, kehadiran museum poster yang sedang dibangun itu merupakan perlakuan serta sikap baru yang jelas berbeda.”
Khusus mengenai desain grafis Indonesia, Fukuda berpesan:
“Jepang telah melalui tahap-tahap tertentu untuk sampai ke puncaknya dalam 20 tahun terakhir ini. Ada baiknya Indonesia memerhatikan langkah-langkah yang telah ditempuh Jepang, dan jangan punya ambisi untuk melompat-lompat agar segera sampai di puncak, meskipun secara ajaib hal yang khusus ini terjadi pada Korea. Dalam bidang apa pun, budaya, sastra, dan lainnya, terdapat generasi yang di dalamnya perlu ada persaingan agar bisa maju. Bagus bila Indonesia secara periodik mengumpulkan seniman-seniman grafis untuk berpameran, hingga selalu didapatkan masukan-masukan tertentu sebagai titik untuk maju terus.”
Dan tentang pengaruh teknologi pada desain grafis:
“Saya anti komputer grafis. Di Jepang ada komputer grafis, tapi itu hanya terbatas pada orang-orang yang tahu komputer, serta mengenal program-programnya. Bagi saya, itu tidak menarik, dan tidak yakin bisa menghasilkan sesuatu yang menarik. Pasti ada saatnya komputer tidak bisa mencetuskan apa-apa yang diinginkan oleh seniman, karena komputer memiliki sejumlah keterbatasan, misalnya hanya mampu membuat garis-garis tertentu sesuai programnya saja. Padahal kebutuhan dalam desain grafis lebih dari itu. Saya sendiri berminat besar kepada daya lihat manusia sebagai titik pangkal dari ilusi atau pembuatan trik-trik tertentu. Penglihatan bagi desainer grafis merupakan sesuatu yang amat penting. Komputer sendiri bagus sejauh dianggap sebagai alat, seperti halnya penggaris dan jangka. Sebagaimana layaknya robot, komputer pasti kalah pintar dari manusia. Setelah era komputer terlewati, tidak akan lahir apa-apa lagi.”
Dalam pengamatan saya [saya tak lagi terlibat dalam kepanitiaan], terselenggaranya pameran IPGI–JAGDA kedua ini tidak terlepas dari peran Yongky Safanayong (1950–2015). Yongky yang pada waktu itu mengajar di Jurusan Desain Grafis Universitas Trisakti dan belum lama bergabung dengan IPGI itu seperti mendadak kejatuhan tanggung jawab besar sebagai “Ketua Pameran” akibat tidak efektifnya Ketua Pameran terpilih. Keterlibatannya yang bisa dibilang all out dalam mempersiapkan pameran menjadi faktor penting kesuksesan pameran di Gedung Pameran Seni Rupa Depdikbud, Jakarta itu.
Menyatu dengan alam
Setelah pameran kedua itu, Miyazaki seperti “menarik diri”. Dari Yongky, saya mendengar kabar mengenai kekecewaannya atas sikap penanggung jawab pameran itu. Tak berapa lama kemudian, kontrak kerjanya di Indonesia pun berakhir. Ia kembali ke negaranya, meninggalkan warisan berupa dua kali pameran besar desain grafis internasional, yang hingga kini mungkin masih tergolong yang terbesar yang oernah diadakan di Indonesia (di tiga kota).
Sebelum Miyazaki pulang ke Jepang, saya mengunjunginya di tempat kediamannya di bilangan Kebayoran Baru. Ia memperkenalkan isterinya, Miho yang juga merupakan pribadi yang sangat santun dan bersahaja. Miho seorang penggambar. Selama tinggal di Jakarta, ia membuat banyak karya gambar yang melukiskan sketsa kehidupan sehari-hari penduduk Jakarta dan sekitarnya. Melalui penggunaan teknik cat air, ia seakan-akan ingin mengabarkan nilai-nilai kesederhanaan, sebagaimana kehidupan yang juga dilakoninya. Ada suasana pasar, pasar burung, warung makan, suasana hari kemerdekaan, juga pemandangan sawah bertingkat (terasering). Saya dihadiahinya satu seri kartu ucapan yang dihiasi dengan gambar-gambarnya itu, yang dicetaknya di bawah label Miho Arts (Gb. 9).
Di negaranya dewasa ini, Miyazaki menjalani kehidupan barunya yang tenteram dan sentosa—walau menurutnya “biasa-biasa” saja—di Perfektur Yamagata, dengan nama barunya Nobu Araki. Sejak 1 April 2012, 17% dari lahan perfektur ini ditetapkan sebagai Taman Nasional guna perlindungan alam yang lestari. Bisa jadi karena kondisi alamnya yang asri itu, Yamagata menjadi salah satu dari tiga propinsi yang tertinggi tingkat usia harapan hidupnya; lebih dari 12% populasinya mencapai usia hingga di atas 75 tahun [Baca juga mengenai gerakan konter-urbanisasi pada Bukan perkara baru, dan Selaras dengan alam, di Perjalanan Kembali].
Perfektur Yamagata terkenal dengan produksi ceri (pangsanya 70% dari produksi nasional) dan pemandangan musimannya yang berwarna-warni. Tiap area perfektur memiliki budaya, iklim, dan karakter alaminya masing-masing. Dikaruniai gunung dengan ketinggian di atas 1000 meter, mata air panas, sungai, dan lembah yang ideal untuk hiking, ski, dan kegiatan luar ruang lainnya. Yamagata juga terkenal dengan kota-kota budaya dan sejarahnya, bangunan-bangunan tradisional dan reruntuhan bersejarah yang dilindungi hingga dewasa ini.
Bukankah Miyazaki dan keluarganya kini tengah menjalani hidup yang berkualitas? Sebagai downshifters[iii] [Lihat: Perjalanan Kembali]?
———
[iii] Menurut Urban Dictionary, downshifters berarti people who had a good professional job and (usually) a house which had significantly increased in value—but then they realised that by selling the house and moving to another (usually rural, far cheaper) area of the country, they could ’downshift’ their lives and yet still have a small fortune in the bank + less stress, less work, more time with the family, more money.
Sementara situs Slow Movement mendefinisikan Downshifters are people who adopt long-term voluntary simplicity in their life. They accept less money through fewer hours worked in order to have time for the important things in life. Downshifters also place emphasis on consuming less in order to reduce their ecological footprint.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
———
[iii] Menurut Urban Dictionary, downshifters berarti people who had a good professional job and (usually) a house which had significantly increased in value—but then they realised that by selling the house and moving to another (usually rural, far cheaper) area of the country, they could ’downshift’ their lives and yet still have a small fortune in the bank + less stress, less work, more time with the family, more money.
Sementara situs Slow Movement mendefinisikan Downshifters are people who adopt long-term voluntary simplicity in their life. They accept less money through fewer hours worked in order to have time for the important things in life. Downshifters also place emphasis on consuming less in order to reduce their ecological footprint.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar