10.11.17

Persinggahan Sementara (4)

“Tanggung jawab guru ialah menciptakan suatu generasi baru untuk mengubah struktur sosial yang secara total menyibukkan diri dengan pencarian nafkah saja. Barulah mengajar itu menjadi tindakan yang sepi dari pamrih (suci).” 
—J. Krishnamurti, Surat untuk Sekolah, 1 Desember 1978
.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  


[Sambungan dari Persinggahan Sementara (3). Bagian ketiga dari lima tulisan]


Diwisuda oleh tentara

“Apakah guru itu mempertahankan, secara sadar atau tidak, perasaan superiornya, dan dengan demikian selalu berdiri lebih tinggi, membuat siswa selalu merasa inferior, seseorang yang harus diajari? Jelaslah, bahwa dalam hal ini tak ada keterhubungan. Dari sini timbul rasa takut dari pihak siswa, perasaan tertekan dan perasaan tegang, dan karena itu siswa belajar, sejak muda, tentang sifat superioritas ini; ia dibuat merasa kecil, dan dengan demikian menjadi seorang agresor atau orang yang selalu mengalah dan tunduk, seumur hidup.”  —J. Krishnamurti (1895–1986), Surat untuk Sekolah, 1 Oktober 1978
Suatu siang pada pertengahan 1975, seusai mengikuti acara wisuda di aula STSRI Asri, saya berada dalam perjalanan ke rumah makan Ayam Goreng Kalasan ‘Suharti’ membonceng sepeda motor Honda yang dikemudikan oleh pelukis Fadjar Sidik (1930–2004) [Lihat: Kawah Candradimuka pada Persinggahan Sementara (1). “Kamu mesti ke Jakarta, Han” katanya, “Kalau sudah menguasai Jakarta, yang lainnya tentu lebih mudah”. Saya mengiyakannya saja karena memang sudah ada niat untuk pergi dan mengasah kemampuan di ibu kota. Tapi rupanya begitulah citra umum mengenai Jakarta di masa itu, sebagai akibat dari politik Orde Baru yang serba sentralistik, yang mengubah wajah kota terbesar di Indonesia ini bagai magnet bagi angkatan kerja, termasuk calon desainer grafis. Di bawah pemerintahan Presiden Soeharto (1921–2008), kondisi politik dan ekonomi yang dengan berbagai cara diupayakan stabil [melalui wacana Trilogi Pembangunan] itu telah berakibat pada derasnya investasi asing yang masuk, menjadi bahan bakar bagi pembangunan infrastruktur di segala sektor, terutama di Jakarta [sementara perhatian pada Human Development terabaikan].

Terlepas dari sepiring nasi hangat dengan ayam goreng lezat yang kami nikmati sesudahnya, acara wisudanya sendiri berjalan sangat singkat, serba dingin dan kaku, dan menegangkan. Bayangkan, mungkin baru kali itu pernah terjadi dalam sejarah pendidikan di tanah air, bahkan di dunia—kecuali mungkin di AKABRI—bahwa sebuah acara wisuda perguruan tinggi dipimpin oleh seorang petinggi militer, Pangkowilhan (Panglima Komando Wilayah Pertahanan) IV Jawa-Madura, Letjen Widodo, sementara semua pintu masuk ke kampus Gampingan dijaga ketat oleh tentara. Hanya yang betul-betul berkepentingan serta namanya tidak tercantum dalam “daftar hitam” yang diizinkan masuk.

Peristiwa di atas saya alami ketika dunia seni rupa Indonesia, baru saja diguncang oleh peristiwa yang disebut Desember Hitam, pecah di ujung tahun 1974, yang dipicu oleh sebuah pernyataan perlawanan para seniman muda terhadap pemberian penghargaan pemerintah kepada lima pelukis yang karyanya dikritisi sebagai bercorak ragam sama (seragam) yaitu abstrak-dekoratif. Juri kompetisi yang terdiri dari Affandi (1907–1990), Kusnadi (1921–1997), Umar Kayam (1932–2002), Fadjar Sidik (1930–2004), Sudjoko (1928–2006), Alex Papadimitrou, dan Popo Iskandar (1926–2000) telah memilih karya-karya Abas Alibasyah (1928–2016), Irsam (l. 1942), Aming Prayitno, A.D. Pirous, dan Widajat sebagai yang terbaik. Dalam pernyataan pertanggungjawabannya para juri melontarkan kritik kepada seniman-seniman muda yang mendasarkan karya-karyanya pada eksperimentasi: “Usaha bermain-main dengan apa yang asal ‘baru‘ dan ‘aneh‘ saja, dapatlah dianggap sebagai usaha coba-coba, cari-cari, atau sekadar iseng, atau bukti langkanya ide dan kreativitas”. Dan menegaskan perlunya junjungan terhadap “…cara-cara dan kecenderungan-kecenderungan melukis yang sudah lama dikenal”. Sementara kelanjutan dari upaya junjungan atas “yang sudah lama dikenal” itu ialah berupa pengangkatan unsur-unsur seni rupa yang berangkat dari tradisionalisme Indonesia. Dan tradisionalisme Indonesia tak lain adalah dekorativisme Indonesia. Itu sebabnya lukisan-lukisan yang dimenangkan dalam kompetisi biennale itu adalah yang dekoratif.[8]

Desember Hitam menentang keras pernyataan dewan juri Biennale Seni Lukis Indonesia itu (cikal bakal Jakarta Biennale) [berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 18–31 Desember 1974]. Pernyataan Desember Hitam yang “marah” tersebut di antaranya berbunyi: “...untuk perkembangan yang menjamin kelangsungan kebudayaan kita, para pelukis terpanggil untuk memberikan kearahan rohani yang berpangkal pada nilai-nilai kemanusiaan dan berorientasi pada kenyataan hidup sosial, budaya, politik dan ekonomi”. Dengan kata lain, para seniman muda penandatangan Pernyataan Desember Hitam 1974 menolak pemikiran para juri yang hanya ingin mengangkat unsur-unsur seni lama sebagai roh seni yang diciptakan pada masa kini.[8] Pernyataan ini dideklarasikan oleh Muryoto Hartoyo, Juzwar, F.X. Harsono (l. 1949), Bonyong Munni Ardhi, M. Sulebar Soekarman, Ris Purwana, Daryono, Siti Adiyati, D.A. Peransi [yang menuliskan pemikiran kelompok ini], Baharuddin Marasutan, Ikranagara, Adri Darmadji, Hardi, dan Abdul Hadi W.M.

Penyampaian protes mereka disertai dengan happening art sarkastik menghaturkan krans berteks “Ikut berdukacita atas matinya seni lukis Indonesia”. Krans atau karangan bunga itu disampaikan di panggung Teater Arena TIM, di mana penerimaan hadiah bagi para pemenang biennale berlangsung. Atas kejadian yang menghebohkan ini STSRI Asri Yogyakarta mengenakan hukuman skorsing tanpa batas waktu kepada sejumlah mahasiswanya yang turut menandatangani pernyataan itu, yaitu F.X. Harsono, B. Munni Ardhi, Ris Purwana, Hardi, dan Siti Adiyati.

Tradisi pengekang kebebasan
Upaya pembebasan seni rupa Indonesia dari kungkungan tradisionalisme dilakukan pula oleh para perupa di luar kelompok Desember Hitam. Salah satunya lewat pameran ‘Nusantara! Nusantara!’ yang berlangsung di gedung Pusat Kebudayaan Belanda Karta Pustaka, Yogyakarta pada 24–29 Maret 1975. Pameran ini diikuti oleh Suatmadji, Agustinus Sumargo, Sudarisman, Wardoyo Sugianto, Samikun, I Gusti Bagus Wijaya, Nisan Kristiyanto, dan Agus Dermawan T., yang semuanya adalah mahasiswa jurusan Seni Lukis STSRI Asri. Menurut Agus Dermawan, para peserta pameran ini bukannya menolak begitu saja ‘desain besar’ pemerintah tersebut. Mereka juga adalah pengagum seni klasik dan tradisional Indonesia. Namun, mereka menginginkan kebebasan mencipta sepenuhnya, menghendaki dunia kreasi yang tidak diganggu oleh rambu-rambu budaya yang sempit. Tujuannya adalah untuk mengantisipasi gejala pemaksaan politik ‘kebudayaan nasional bertradisi Nusantara’. Karena itu, karya-karya yang dipamerkan semuanya sengaja bergaya dekoratif. Selain sebagai medium sinisme dan satirisme, juga untuk menunjukkan kemampuan semua perupa muda itu dalam mengolah unsur-unsur seni rupa tradisional dalam lukisan dekoratif. Dalam pengantar kuratorial yang dimuat dalam sebuah brosur tipis dinyatakan antara lain bahwa:

“Nusantara! Sebentuk rahim yang pernah melahirkan budaya adiluhung. Ini tidak dapat dipungkiri. Begitu pula kata kodrat, Nusantara adalah ibu sekian juta bayi manusia pencipta budaya yang terus beranak cucu. Dan tentu saja yang terakhir ini, pada tataran masa, akan melahirkan wawasan baru dari kepalanya. Pandangan baru dari matanya, yang lantas menjenuh dan mengkristal dan berperan dalam satu lingkup, membentuk jiwa yang baru lagi.”
                   
“Dari jiwa baru itulah kami merasa di“ada”kan, dan dari situ pula tersulut semangat kami sebagai orang yang harus sampai pada tingkat berbudaya. Yang alhasil ternyata kesenian kami pakai sebagai kereta serta seni lukis sebagai rodanya! Sekarang kami tak bisa menolak kenyataan, jikalau roda kereta menggelinding masuk ke sebuah kerajaan yang bernama teknologi, industri… dengan polusi, peperangan, bencana sebagai bagiannya. Inilah raut kebudayaan baru di mata kami, yang selalu berproses dan bergerak bagai arus. Itu pula tantangan-tantangan yang datang kepada kami terus-menerus.”[8]

Lalu mengenai lukisan-lukisan dekoratif yang digelar itu ditegaskan demikian: 
                  
“Inilah lukisan-lukisan Nusantara kita, dan kamilah pelukis-pelukis pribumi yang akan dapat bintang ‘Patriot Budaya Tanah Air’, kami penina-bobo tradisi. Namun sekaligus kamilah pengecut yang disetir ketumpulan otak dalam menanggapi arti tradisi yang ditindas slogan-slogan picisan yang menjagal kreativitas sendiri. Kami pembantai seni dan kamilah pengulang masa lalu… Lantas lengkaplah kami untuk Saudara gelari: germo-germo yang melacurkan tradisi.”
                  
“Barangkali itulah kesalahan pemikiran dunia seni lukis kita kini: kreativitas telah dikebiri oleh anjuran-anjuran yang keliru, dan dicorongkan justru lewat mulut besar pengaruh dalam bidang ini. Sementara kita cuma menerima dengan modal kedunguan. Namun apa boleh buat kalau yang tak dungu tak dapat tempat?!”[8]

Pameran ini berakhir dengan tragis. Ketika terdengar isu bahwa mereka yang berpameran akan mendapat sanksi berat dari sekolahnya, ketujuh peserta di antaranya membuat pernyataan minta maaf kepada pemegang tampuk kuasa waktu itu, rektor, Abas Alibasyah, yang notabene adalah sekretaris Direktur Jenderal Kebudayaan RI. Agus Dermawan, yang menuliskan pengantar pameran itu, menolak untuk minta maaf, dan menyatakan bertanggungjawab. Penolakannya menghadirkan ekses berat: fitnah-fitnah politis lewat grafiti di kampus. Dan semua itu berujung pada keluarnya surat keputusan yang menyatakan pembekuan semua aktivitasnya, yang secara tak langsung berarti dikeluarkannya Agus dari perguruan tinggi. Berangkai-rangkai dengan berbagai peristiwa tersebut, beberapa pengajar seperti Soedarso, Sudarmadji, dan Budiani juga dikeluarkan dari STSRI Asri. Dalam mingguan Tribun, 3 April 1975 penyair W.S. Rendra (1935–2009) mengatakan bahwa “tindakan otoriter yang terjadi di Asri adalah cermin dari penguasanya. Dan hal itu kalau dibiarkan akan terus terjadi.” Sementara penyair dan psikolog Darmanto Jatman (l. 1942) menulis bahwa sikap otoriter itu merupakan “kultur baru” yang segera melahirkan kekejian, ketakutan, distorsi mental dan moral di kalangan seniman.[8]

Seni rupa pembebasan
Konflik yang bersumber dari lingkungan pendidikan di kampus ini kemudian menyatukan sekelompok mahasiswa STSRI Asri dan ITB. Mereka membentuk Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI) yang dideklarasikan melalui pamerannya yang pertama di TIM pada awal Agustus 1975. GSRBI mengeluarkan pernyataan yang menandai sikap mereka dalam penciptaan seni rupa, dikenal sebagai ‘Lima jurus gebrakan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia’. Bagi GSRBI, kesenian tidak harus dikategorikan menurut jenjang: ada kesenian kelas wahid (high art) dan ada yang kelas kambing. GSRBI juga menolak batasan antara seni murni dan seni terap [yang pertama berorientasi pada pencarian nilai, dan oleh sebab itu diposisikan  lebih tinggi dari yang kedua; sementara yang kedua dianggap lebih rendah karena berfungsi melayani kebutuhan orang banyak], serta semua fenomena kesenian termasuk desain pun dianggap sederajat. Pameran ini diikuti oleh sebelas perupa muda: Siti Adiyati, Nanik Mirna, Pandu Sudewo, Muryoto Hartoyo, F.X. Harsono, Jim Supangkat (l. 1948), Anyool Subroto, B. Munni Ardhi, Bachtiar Zainoel, Hardi, dan Ris Purwana. Sepanjang perjalanannya (1975–1979, dan 1987), eksponen GSRBI yang juga desainer grafis antara lain F.X. Harsono, Syahrinur Prinka (1947–2004), Wagiono Sunarto, Priyanto Sunarto (1947–2014), Gendut Riyanto (1955–2003), Harris Purnama, dan Oentarto.

Persoalan yang dipermasalahkan berakar pada pertentangan antara Timur dan Barat sebagaimana yang merebak sebelumnya pada Polemik Kebudayaan (1935) antara Sutan Takdir Alisyahbana (1908–1994) yang lebih dikenal dengan sebutan STA, dengan Dr. Soetomo (1888–1938), Sanusi Pane (1905–1968), dan kawan-kawan. STA mengajukan pandangan agar kita sepenuhnya mengarahkan mata ke Barat, kepada kebudayaannya yang progresif (dikuasai oleh nilai-nilai ilmu dan ekonomi yang melahirkan teknologi). Sebaliknya Dr. Soetomo menganjurkan agar kita tetap berorientasi ke Timur dengan kebudayaannya yang ekspresif (kebudayaan tradisional kita yang dikuasai oleh nilai agama dan seni). Perdebatan sekitar Seni Rupa Baru juga berkaitan dengan masalah identitas, tegangan antara Timur dan Barat, ketradisian dan kemodernan, sebagaimana tercermin misalnya dalam polemik antara Kusnadi dan Sudarmadji (keduanya kritikus seni rupa) yang dimuat secara beruntun di koran Kedaulatan Rakyat edisi September–Oktober 1975. 

Kusnadi dalam sebuah wawancara misalnya, menyampaikan kritiknya terhadap vandalisme yang dilakukan oleh Jim Supangkat melalui karyanya Ken Dedes (Gb. 7): 

“Demikian pula patung Ken Dedes dalam gaya klasik-kepurbakalaan (dikopi secara serampangan) diberi celana yang lepas kancingnya, merupakan penodaan artistik maupun budaya bangsa sendiri.”[9]

Yang dibela oleh Sudarmadji demikian:

“Dalam kitab Pararaton diceritakan bahwa Ken Dedes, isteri Tunggul Ametung, konon parasnya cantik. Pada waktu ia hamil tiga bulan, suaminya dibunuh oleh Ken Arok. Kendati ia tahu, ia mau diperisteri oleh Ken Arok. Mungkin karena parasnya cantik, orang memujanya dan mematungkannya. Tentu saja hak seniman penciptanya yang sekaligus juga interpretator untuk menggambarkan kecantikan sebagai suatu kesempurnaan.”

“Budaya Indonesia yang sekarang juga mengenal pemujaan kecantikan tubuh. Lihat saja majalah hiburan dan bermacam kontes kecantikan. Barangkali di sekitar situ interpretasi Jim Supangkat dalam kreasinya Ken Dedes. Dan ia punya hak untuk itu. Hasilnya memang mengagetkan. Jim Supangkat telah menggambarkan Ken Dedes sebagai wanita murahan, memakai celana jeans yang terbuka kancingnya hingga agak nampak auratnya.”

“Tafsiran pematung Ken Dedes yang dulu: keanggunan dan kekhusukan tentu tak dapat dikatakan keliru, tetapi salahkah Jim Supangkat dengan interpretasinya yang sekarang? Meski pun penulis termasuk orang yang kaget melihat Ken Dedes dalam gambaran yang berbeda sekali dari imaji yang umum.”[10]

7. Ken Dedes, Jim Supangkat, 1975. 

Karya ini dibuat ulang untuk pameran Out Now (Telah Terbit) di Singapore Art Museum, 2006, dan dewasa ini menjadi koleksi National Gallery Singapore. 

Sumber gambar: F.X. Harsono

Sudarmadji, yang lebih dikenal sebagai Drs. Sudarmadji, adalah salah satu dosen favorit saya. Dengan suara khasnya yang nyaring, secara jelas ia mengajarkan mata kuliah Pengantar Kritik Seni pada semester ganjil dan genap 1972. Kemudian, pada 1974 ia menjadi pembimbing skripsi saya pula. Sebagai “korban” akibat pembelaannya terhadap Desember Hitam, saya masih ingat betapa terguncangnya ia dengan pemecatan dirinya. Ketika saya ke rumahnya untuk minta tanda tangan persetujuannya atas skripsi saya, ia tak lagi tampak seperti Sudarmadji yang bersinar dan lantang gaya berbicaranya. Ia terlihat lesu, matanya tercenung memandang kosong jauh ke depan. Ketika saya menyodorkan skripsi saya, ia pun seperti tidak bergairah menerimanya. Ia bahkan tidak memeriksa isinya dan langsung menandatanganinya saja. Sepertinya ia betul-betul terpukul atas perlakuan otoritas kampusnya, tempatnya mengabdi selama ini, terhadapnya. Tetapi tak lama setelah pemecatannya itu, saya dengar ia diangkat menjadi Kepala Balai Seni Rupa Fatahillah, Jakarta (yang pada tahun 1990 menjadi Museum Seni Rupa dan Keramik); sementara Soedarso menjadi Atase Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia di Belanda; dan Budiani menjadi Direktur Museum Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.

8. Paling Top ’75, F.X. Harsono, 1975. 

Karya ini juga dibuat ulang untuk pameran Out Now (Telah Terbit) di Singapore Art Museum, 2006, dan dewasa ini menjadi koleksi National Gallery Singapore. 

Sumber gambar: F.X. Harsono.
9. Transmigrasi, F.X. Harsono, 1979. 

Pameran GSRBI 1979 di Taman Ismail Marzuki (TIM).

Dalam ulasannya, Agus Dermawan T. menulis: “Sebuah peta Indonesia yang koyak berceceran di lantai. Di atasnya kain-kain bersampiran ke sana ke mari. Di situ nampak tertimbun ratusan boneka krupuk secara tak beraturan. Gambaran yang memilukan barangkali mengenai kependudukan di tanah air. Karya ini bagai sebuah ‘teater diam’.Ia bergerak dalam pijar asosiasi. Kain-kain yang dubentuk, mengarah pada gelombang laut, ombak yang menggelisahkan dan mengharubiru.”[11]

Sumber gambar: F.X. Harsono.

10. Seandainya Pistol Krupuk ini Menjadi Pistol Beneran, F.X. Harsono, 1977.

Karya ini dibuat ulang untuk pameran Concept Context Contestation: Art and the Collective in Southeast Asia, Bangkok Art and Cultural Center, Thailand, 13 Desember 2013–2 Maret 2014. Kemudian dipamerkan juga di ArtJog 2014 dengan tema Legacies of Power, Taman Budaya Yogyakarta, 7–22 Juni 2014.

———
[8] Dermawan T., Agus. Atmosfir Seni dan Politik pada Sekitar Era
Gerakan Seni Rupa Baru. gerakgeraksenirupa, https://gerakgeraksenirupa.wordpress.com/2013/05/19/atmosfir-seni-dan-politik-pada-sekitar-era-gerakan-seni-rupa-baru/, diakses 23 November 2015.

[9] Seni Rupa Baru menurut Kusnadi–Wawancara Supono Pr. 1979.   Buku Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.

[10] Sudarmadji. Visi Masa Lampau Kusnadi. 1979. Buku Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.

[11] Dermawan T., Agus. Eceng Gondok Seni Rupa Baru. Jakarta: Kompas, Senin, 22 Oktober 1979, h. 5.


[Bersambung » Persinggahan Sementara (5)]

***


Tulisan-tulisan lainnya di sini.

Tidak ada komentar:

Unggulan

Merajut Keterhubungan

Sebuah esai merespons tema pameran Forum Grafika Digital 2017 (FGDexpo 2017), Connectivity (Jakarta Convention Center, 24–27 Agustus 2017). ...