2.5.18

Membaca Alam (1)

Manusia adalah spesies yang paling tidak waras. Ia memuja Tuhan yang tak kelihatan sembari menjagal Alam yang terlihat jelas... tanpa menyadari bahwa Alam yang ia bantai itu adalah Tuhan yang dipujanya. 


—Hubert Reeves (1932)

.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .



Oleh: Hanny Kardinata




[Bagian pertama dari tiga bagian]



Merebut kembali ‘seni membaca alam’

“Kitab agung Alam, yang selalu terbuka bagi kita, ditulis dalam bahasa matematika. Karakteristiknya adalah segitiga, lingkaran, dan bermacam bentuk geometris lainnya, yang tanpanya manusia tidak akan bisa mengerti Alam; tanpanya, seseorang akan berkeliaran di labirin yang gelap.” —Galileo Galilei (1564–1642), 1623 

Salah satu mata kuliah yang saya tunggu-tunggu saat belajar di jurusan Seni Reklame STSRI Asri [sekarang: Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta (1972–1975), adalah Nirmana yang pada masa itu disebut dengan  Desain Elementer. Berbeda dengan mata kuliah lain yang sedikit banyak sudah saya kenal sebelumnya melalui buku atau majalah seni, Nirmana merupakan metode penataan elemen-elemen dasar seni atau desain seperti titik, garis, warna, ruang, dan tekstur menjadi suatu kesatuan yang serasi [dan efektif (dalam kaitannya dengan fungsi desain komunikasi visual)]. Dosen pengampunya, Sadjiman Ebdi Sanyoto (lahir: 1942) di kemudian hari berhasil merumuskan sistematika belajar Nirmana, dan menuangkannya ke dalam sebuah buku yang terbit pada tahun 2009 dengan judul Nirmana: Dasar-Dasar Seni dan Desain [Lihat: Persinggahan Sementara (1)]. Ini sesuatu yang sama sekali baru bagi saya, karenanya selalu mengundang rasa ingin tahu. 

Seiring dengan berjalannya waktu, dalam upaya memahami misterinya, saya seperti terus-menerus disadarkan bahwa sebetulnya elemen-elemen Nirmana ada dan bisa ditemui di alam dan di sekitar saya. Tinggal kepekaan dan ketekunan saya saja dalam upaya “membaca” dan mengobservasinya. Sebagai prinsip penting dalam mendesain, ihwalnya bisa dipahami sebagai ‘bentuk yang tak berbentuk’, yang hadir dalam ketidakhadirannya[i]. Bisa dikatakan demikian karena nirmana berada di area perlambangan (symbolism). Lingkaran misalnya merepresentasikan keseluruhan, kesatuan, integritas, atau keutuhan. 


1. Bangun spiral pada sidik jari manusia. 

Tapi kita manusia modern telah lupa bagaimana membaca simbol-simbol itu. Simbol-simbol—yang menjadi bahasa alam ini—sesungguhnya sangat penting untuk dimengerti karena mengandung informasi mengenai bagaimana dunia ini berlangsung. Kemampuan membaca pola (pattern) yang hadir di alam merupakan dasar pengetahuan karena hal itu menunjang kelangsungan hidup manusia. Walau telah memiliki berjuta informasi dan teknologi hasil ciptaannya sendiri, secara instingtif manusia tetap mengakui adanya suatu otoritas, membutuhkan, dan menggunakan prinsip-prinsipnya yang universal untuk memahami dunianya. Prinsip-prinsip itu, yang bila diintegrasikan ke dalam bidang komunikasi visual akan bisa menyampaikan pesan secara tepat-guna, kuat dampaknya, dan berdayatahan lama.


2. Rumah keong (nautilus shell) dengan spiral logaritma.

Sumber gambar: Wikipedia.

Desainer Maggie Macnab, melalui bukunya Design by Nature: Using Universal Forms and Principles in Design (2011) menerangkan bahwa bentuk-bentuk dasar (forms) bisa dilihat dengan sangat jelas di dalam fungsinya masing-masing. Kurva (curve) dan sudut (angle) misalnya memiliki fungsi berbeda, kurva fungsinya menautkan, sementara sudut menegaskan. Bentuk segi-empat misalnya [walau sulit ditemukan di alam, bisa dijumpai di dalam dunia buatan manusia], dibutuhkan untuk membangun stabilitas atau sesuatu yang kokoh. Lembaga-lembaga yang berurusan dengan uang seperti bank, asuransi, pajak, dan pasar saham yang ingin menampilkan citra bisa dipercaya, atau bisa diandalkan, kerap menggunakan logo berbentuk segi-empat untuk mengomunikasikan gagasan mengenai keamanan. 


3. Pola cuaca di atas Tanah Es (Islandia). Sumber gambar: Wikipedia.

Di alam, pola bisa dijumpai dalam berbagai dimensi, dari yang mikroskopik hingga galaktik. Seperti pola simetri, pola menyebar, bergelombang, bergaris (stripes), fraktal, dsb. Beberapa jenis pola, seperti pola bercabang (ranting, dahan) dan pola berkelok-kelok (meander) hadir secara nyata di sekeliling kita menggambarkan ‘gerakan’ energi dari satu titik ke titik lain. Pola bercabang mentransfer energi, misalnya dari daun ke seluruh batang tubuh sebuah tanaman, sebagaimana pola yang sama menggerakkan impuls-impuls di dalam sistem syaraf kita (sifatnya langsung), sementara meander menditribusikan energi dengan cara yang “santai” seperti pada otak dan usus manusia (sifatnya perlahan-lahan tapi merata). 


4. Sulur pokok anggur. Sumber gambar: Wikimedia.

Pola-pola bersusun (stacking) dan membungkus (packing) berfungsi sebagai ‘penyimpanan’ energi—tapi yang tetap bisa diakses oleh mereka yang membutuhkannya. Bentuk heksagon dari sarang lebah menunjukkan fungsi ini. Sarang lebah terbentuk secara sempurna demi mendukung suatu ruang agar memiliki kekuatan yang luar biasa dan ekonomis—bentuk yang juga diadopsi oleh arsitek Buckminster Fuller (1895–1983) untuk membangun kubah geodesik yang menggunakan energi secara ultra-efisien. Dengan meminjam prinsip-prinsip dan proses yang terjadi di alam, kita akan mendapatkan kenyataan bahwa berbagai pola itu sangat efektif bila diaplikasikan ke dalam praktik-praktik merancang seni dan desain. Dan bahwa dengan menerima prinsip, pola, dan proses yang terjadi di alam, kita bisa menciptakan desain yang elegan dan estetik secara intuitif, bukan karena kebetulan semata. 


5. Bangun spiral pada bunga matahari.

Contoh lain, misalnya bangun spiral. Spiral, atau pun helix, terkait dengan energi yang ‘menghubungkan’. Spiral mengekspresikan gerak yang repetitif, tapi juga bisa dilihat sebagai sejumlah kurva yang berkesinambungan dan mengembang secara geometris. Ia mengikuti bentuk asalnya sebagai kurva, tapi juga mengembangkan dirinya. Spiral merupakan bangun (shape) yang sangat penting bagi kehidupan. Ia adalah embrio dari segala yang tumbuh dan bergerak dari titik pusatnya ke arah luar dan kemudian membentang ke dalam kehidupan, menghirup kehidupan. Pola spiral bisa dijumpai secara luas di alam—dikodekan pada tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia, bumi, dan galaksi di sekitar kita (15.1–15.5). 


6. Biosfer Montreal, Buckminster Fuller, 1967. Sumber gambar: Wikimedia.

“Spiral adalah bangun yang menakjubkan untuk dipakai sebagai model (template) dalam merancang logo atau grafis bagi institusi yang bisnisnya terkait pada produk atau jasa kreatif, bidang pengembangan (progressed), atau yang berkaitan dengan daya cipta (inventive). Merupakan  penjelmaan dari evolusi: terhubung, dan serupa dalam banyak hal (misalnya, serupa dengan generasi sebelumnya), tapi juga ekspansif (perpaduan para induk yang memperkenalkan keragaman). Bangun spiral secara sempurna mengekspresikan fungsinya sebagai mirip dengan dan sekaligus berbeda dari—yang merupakan bentuk terbaik dari kreativitas.”[1]

Menurut Maggie, pola yang sifatnya menghubungkan (connection and regeneration patterns), menggerakkan (patterns of movement), dan menyimpan (stacking and packing patterns) itu adalah pola-pola dasar. 

Pola dan bangun yang hadir di alam ini berproses dalam berbagai bentuk yang bisa ‘dialami’ oleh manusia melalui inderanya. Keberadaannya merupakan hal biasa bagi semua orang. Sejumlah pola yang mengekspresikan energinya secara nyata itu bisa dipahami oleh setiap orang terlepas dari mana orang itu berasal, prinsip-prinsip universalnya menuntun prosesnya dalam mengada. Masih menurut Maggie:

“Kita memahaminya secara intuitif; kata-kata merupakan bahasa pikiran, tapi visual adalah wujud bahasa perasaan.”[1]


7. Pandangan sebagian dari Olympiapark (pandangan ke bawah dari Menara Olympia (Olympiaturm), Stadion Olimpiade yang dirancang untuk Olimpiade Musim Panas 1972, Munich. Struktur tarik-menarik (tensile structure) yang menutupi sebagian taman ini dirancang oleh arsitek dan insinyur Jerman Frei Otto (1925–2015) dan Günther Behnisch (1922–2010). Einar Thorsteinn (1942–2015), seorang arsitek Islandia yang menaruh minat pada struktur geometris, pada 1969–1972 bekerja pada Frei Otto membantu merancang Olympiapark.

Dalam pandangan Maggie, bahasa alam yang universal itu merupakan bahasa manusia yang paling awal dan utama. Dalam bukunya, Maggie berkisah mengenai upaya merebut kembali ‘seni membaca alam’ yang menurutnya telah hilang, untuk menciptakan komunikasi visual yang lebih baik, di samping menanamkan pengertian dan memberikan penghargaan yang lebih kepada alam.


[Bersambung » Membaca Alam (2)]

.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  




***


Tulisan-tulisan lainnya di sini.

Tidak ada komentar:

Unggulan

Merajut Keterhubungan

Sebuah esai merespons tema pameran Forum Grafika Digital 2017 (FGDexpo 2017), Connectivity (Jakarta Convention Center, 24–27 Agustus 2017). ...