Bagai awan, mereka berarak seiring jalan hidup masing-masing. Serupa awan, mereka melayani dengan hati berserah, acap kali dilandasi cinta-kasih, dan tanpa pamrih. Seperti ombak, riaknya menggugah gairah hati. Mengingatkan mengenai berbagai perubahan yang tak bisa dihindari, atau ruh yang berevolusi lestari. Tentang kemajuan yang sering kali merupakan kesia-siaan belaka. Atau mengenai segala sesuatu yang akan bergerak menuju ke arah sebaliknya.
Di beberapa daerah, ketiga nilai Revolusi Mental itu (mandiri, berkarakter, dan berdaya saing) sesungguhnya telah diterjemahkan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai bentuk pengejawantahan dari pemahaman bahwa perubahan mendasar seyogyanya dimulai dari diri sendiri, dari keluarga, dan dari masyarakat.
Tengok kelompok masyarakat di Desa Pekon Gemahripah, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pringsewu, Lampung yang berhasil mengembangkan energi baru dari kotoran sapi, menggantikan peran gas. Atau di Kecamatan Teluk Meranti, Semenanjung Kampar, Kabupaten Pelalawan, Riau yang banyak ditumbuhi pohon bintaro. Berkat penelitian Prof. Budi Indra Setiawan dan rekan-rekannya dari Institut Pertanian Bogor (IPB) sejak 2010 biji bintaro (Cerbera manghas) dapat diubah menjadi salah satu alternatif energi masa depan, sebagai pengganti minyak tanah, briket, dan solar. Tentunya, penelitian ini tidak hanya untuk diterapkan di kawasan Semenanjung Kampar semata. Di berbagai pelosok Nusantara, ribuan bahkan jutaan pohon bintaro tumbuh liar dan tidak pernah dimanfaatkan.
Tidak sedikit daerah atau desa yang melakukan hal yang sama. Ini menggambarkan sebagian masyarakat yang optimis, berdaya saing, mandiri dan inovatif. Mentalitas dan cara berpikir yang menonjol adalah pertama, tak mau tergantung, kedua pantang menyerah terhadap keadaan, dan ketiga menganggap kendala sebagai peluang untuk maju dan berdaya saing.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, implementasi awal gerakan Saemaul Undong telah dilaksanakan di tiga desa di Kabupaten Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Bantul melalui kerja sama antara Provinsi DIY dengan Provinsi Gyeongsangbuk-do, Korea Selatan pada 2008 silam. Hingga saat ini, program tersebut telah membawa keberhasilan dalam perbaikan infrastruktur desa, peningkatan pendapatan penduduk, penyediaan air bersih, dan peningkatan etos kerja warga desa.
Meraih masa depan
Seorang teman, desainer Singgih Susilo Kartono menjadi teladan bagaimana ia merevolusi dirinya. Ia memutuskan kembali menetap di desa kelahirannya Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah, setelah menyelesaikan kuliahnya di Jurusan Desain Industri Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1994.
Besar keinginannya untuk bisa membidani lahirnya produk kayu karya Indonesia yang bisa menjadi ikon desain dunia. Singgih tak begitu peduli impiannya itu akan terwujud atau tidak, ia hanya berusaha merancang karya terbaiknya, dalam serba kesahajaan. Namun, akhirnya pada 2005 ia berhasil melahirkan radio kayu Magno yang kemudian mendunia (Gb. 4), meraih penghargaan dari sejumlah lembaga desain internasional, serta menjadi satu-satunya karya desainer Indonesia yang dikoleksi oleh Museum of Modern Art (MoMA), New York. Ia menjadi semakin yakin bahwa ‘desa adalah masa depan’.
4. Sosok berkualitas yang lahir dalam serba kesahajaan.
Radio Magno yang terbuat dari bahan kayu lokal itu seluruhnya dikerjakan dengan tangan (handcrafted). Dengan jumlah produksi yang dibatasi hanya 1.500 unit per tahun [85% di antaranya diekspor ke Australia, Asia Timur, Eropa, dan Amerika], perhatian pada kualitas bisa sepenuhnya dicurahkan.
Tak ingin berpuas diri pada kesuksesan Magno, sejak 2015 Singgih menginisiasi gerakan global yang dinamainya Spedagi, berasal dari kata “sepeda pagi” (bersepeda di pagi hari) sebuah kegiatan bersepeda dengan rute mengelilingi Kandangan dan desa-desa sekitarnya. Slogannya It’s time back to village.
Spedagi menggunakan sepeda bambu (Gb. 5) yang dikendarai lintas desa untuk menarik sumber daya eksternal mau datang dan tinggal bersama penduduk desa. Program ini diharapkan akan membantu memenuhi desa dengan para pemikir yang sempat “hilang” akibat arus hijrah (brain drain) dari desa ke kota. Untuk memfasilitasi kegiatan ini, Singgih bekerja sama dengan Froghouse membangun rumah tinggal bagi peserta Spedagi dan juga untuk memprakarsai proyek Revitalisasi Desa dari aspek sosial dan budaya.
5. Berkepribadian dalam kesahajaannya.
Salah satu model Spedagi rancangan Singgih Susilo Kartono.
Jokowi, yang rupanya menangkap gagasan besar di balik Spedagi pun tergugah untuk memiliki sepeda bambu buatan Singgih ini. Jiwa merdeka itu melebur dengan dan dalam kesahajaan.
Tiga dekade kemudian, saat karakter bangsa terperosok ke ambang darurat, ternyata saya masih bisa menjumpai seseorang dengan nilai-nilai esensial serupa pada dirinya. Saya tak mengenalnya langsung. Tapi dia Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke-7. Jadi ada banyak kisah mengenai diri dan kehidupannya bisa dijumpai dan dibaca.
Jokowi yang lahir di tengah keluarga sederhana, tumbuh tegar dalam tempaan kesulitan hidup yang dialaminya. Sejak kecil ia sudah mesti berjualan, mengojek payung, atau jadi kuli panggul demi memenuhi kebutuhan sekolah dan uang jajannya. Ia mengawali pendidikan formalnya di sebuah sekolah untuk kalangan menengah ke bawah. Saat teman-temannya bersepeda ke sekolah, ia harus berjalan kaki. Dan dengan kemahirannya bertukang—yang dipelajarinya dari sang ayah—pada usianya yang ke-12 ia telah menjadi tukang penggergaji kayu.
Tak seperti kacang lupa pada kulitnya, setelah menjadi Wali Kota Solo, Jokowi dikenal dengan pendekatannya yang “memanusiakan manusia” (Jawa: nguwongke wong, ngemong). Penghayatannya atas nilai-nilai kemanusiaan ia terapkan saat harus merelokasi ratusan pedagang kaki lima dari Banjarsari ke Notoharjo. Upaya relokasi ini membuahkan penolakan keras. Ia lantas memanggil seluruh pemegang lapak untuk bersantap bersama. Setidaknya sebanyak 54 kali; makan pagi, siang, maupun malam. Acara makan pertama hingga pertengahan tak menyinggung sedikit pun soal relokasi. Sekadar makan bersama. Para pedagang kaki lima itu dibuatnya bingung, karena sejak awal hingga akhir Jokowi tak membicarakan kebijakan relokasi sama sekali. Topik itu baru disentuhnya pada makan bersama edisi ke-54. Kepada mereka, Jokowi menyampaikan sejumlah kebijakan pendukung yang telah disiapkannya. Misalnya, mengenai pemberian sejumlah fasilitas di kios baru, pembukaan akses transportasi umum, hingga publikasi keberadaan kios baru ke masyarakat luas. Akhirnya Jokowi berhasil merelokasi mereka.
Sebagai Gubernur DKI Jakarta, dengan naturnya yang merakyat dan tak berjarak, Jokowi terkadang bisa dijumpai melenggang santai dan tak canggung di salah satu taman hijau. Bergerak bebas tanpa pengawalan, berbaur dengan publik yang sedang menikmati musik orkestra (2014). Ia juga pernah tertangkap kamera sedang menumpang sepeda motor warga (ojek) akibat terperangkap kemacetan (2012). Kebiasaannya blusukan pun berlanjut hingga di Jakarta, bahkan setelah menjadi Presiden RI. Ke pasar-pasar, kampung padat penduduk, daerah bencana, lokasi pengungsian, atau berdialog dengan warga pedalaman, dan melakukan inspeksi mendadak ke tempat-tempat pelayanan publik. Nyaris tak terhitung banyaknya daerah di Indonesia yang telah dikunjunginya; Maluku Utara; Kupang Barat, NTT; Banjarbaru, Kalimantan Selatan; Aceh; Papua Barat, dll.
Pesan-pesan kesederhanaan acap kali dilayangkannya saat Jokowi telah menjadi orang nomer satu di negeri ini. Tak enggan ia mengundang masuk para pedagang kaki lima ke istana dan mengajak menteri-menterinya menikmati hidangan angkringan seperti nasi goreng, sate, bakso, atau tauge goreng. Bahkan pada malam tahun baru ada penjaja nasi goreng yang diundangnya masuk ke Istana Bogor.
1. Menjauhi berlebih, demi jalan kehidupan yang lebih bebas.
Presiden Joko Widodo, dengan mengenakan kemeja putih dan kain sarung tanpa alas kaki, duduk santai menikmati terbitnya matahari pertama pada 1 Januari 2016 di dermaga pantai Waiwo, Raja Ampat, Papua Barat.
Foto: Agus Suparto, Istana Presiden.
Dari koki istana, Tri Supriharjo, yang diboyongnya dari Solo, diperoleh kisah kebiasaan makan Jokowi yang jauh dari mewah. Makanan sehari-harinya tetap makanan rumahan khas Indonesia, seperti sop ayam, sayur bening bayam, tumis pepaya muda, tumis oseng-oseng tempe, mie ketoprak, soto kuning, tempe tahu bacem, dan teri medan goreng. Itu pun diambilnya sendiri dari sebuah konter, tidak minta disediakan di meja makan. Camilannya jagung rebus, singkong goreng, lento, dan bakwan jagung atau bakwan sayur. Dan untuk sarapan paginya setiap hari, jamu serta teh pahit. Yang diminumnya pakai cangkir kaleng jadul (cangkir blirik).
Hidup sederhana bisa jadi merupakan kewajaran oleh sebab perkara nasib, tapi tetap sederhana ketika telah menjadi Wali Kota, lalu Gubernur, dan kemudian Presiden adalah sesuatu yang tidak biasa. Hanya mungkin dilakukan oleh seseorang yang telah “selesai dengan dirinya”. Di jenjang tertinggi itu Jokowi tetap menempatkan dirinya pada posisi rendah, demi jalan kehidupan yang lebih bebas, berintegritas, dan tak koruptif. Keteladanannya ini sesungguhnya adalah “pencapaian” tertingginya, dan menjadi tolok ukur serta kunci utama membuka gerbang Revolusi Mental.
2. Membangun jiwa serentak dengan fisik.
Presiden Joko Widodo bersiap menjajal satu ruas jalan Trans Papua di Danau Habema, Jayawijaya, 10 Mei 2017. Dengan motor trail, ia ingin merasakan sendiri sulitnya medan pembangunan di Papua. Pantauannya ini menimbulkan gagasan agar Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPera) bekerja sama dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada awal pembangunan. Dengan bergotong royong, kedua instansi pemerintah ini bisa mempercepat penyelesaian proyek Trans Papua.
Foto: Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden.
Membangun jiwa merdeka
“Revolusi Mental adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala.” —Soekarno (1901–1970), pada Peringatan Hari Kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1956
Tujuh dekade setelah bangsa kita merdeka, kita masih harus melakukan revolusi. Bukan lagi dengan mengangkat senjata, tapi membangun jiwa bangsa. Membangun jalan, irigasi, pelabuhan, bandara, atau pembangkit energi juga penting. Namun seperti kata Bung Karno, membangun suatu negara tak sekadar fisiknya, juga jiwanya.
Ide ini yang menginspirasi digaungkannya kembali gerakan Revolusi Mental oleh Jokowi. Menurutnya, jiwa bangsa yang terpenting adalah jiwa merdeka, yang bebas meraih kemajuan. Jiwa merdeka yang disebutnya positivisme itu, dalam praktiknya adalah menjadi manusia yang berintegritas, mau bekerja keras, dan punya semangat gotong royong. Berubah dari kebiasaan buruk seperti suka korupsi, kolusi dan nepotisme, tidak disiplin, etos kerja tidak baik, yang membawa akibat pada bobroknya birokrasi. Menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan (sebagai kelanjutan konsep Trisakti yang digagas oleh Bung Karno). Pembangunan karakter ini dijalankannya serentak dengan pembangunan infrastruktur, terutama di daerah tertinggal.
Dalam kunjungan kerja ke Brebes, 11 April 2016, Presiden meluncurkan Program Sinergi Aksi untuk Ekonomi Rakyat di Desa Larangan (Gb. 3). Program ini merupakan solusi untuk berbagai persoalan dalam proses pembangunan ekonomi di desa yang diakibatkan oleh ketidaktepatan model pendekatan dan kebijakan di masa lalu. Program ini juga merupakan perwujudan Nawa Cita ketiga dan ketujuh, membangun Indonesia dari pinggiran dengan menguatkan daerah dan desa.[i]
3. Jiwa merdeka, bebas menempatkan diri.
Presiden Joko Widodo di tengah masyarakat desa Larangan, Brebes, 11 April 2016.
Sumber gambar: PresidenRI,go.id.
Dewasa ini masih terlalu dini menilai keberhasilan atau kegagalan gerakan yang baru dicanangkan oleh Jokowi sejak masa kampanye Pilpres 2014 itu. Korea Selatan yang dinilai berhasil menjalankan gerakan Saemaul Undong[ii] itu pun telah menjalankannya sejak 1970. Gerakan ini telah mengubah mental orang Korea yang sebelumnya pesimis dan berpikiran negatif irasional, menjadi optimis dan positif rasional. Keberhasilannya ini menjadikan Korea Selatan sebagai salah satu pionir gerakan pembangunan melalui pemberdayaan desa, yang kemudian dirujuk oleh berbagai negara termasuk Indonesia.
———
[i] Nawa Cita (Sanskerta: nawa = sembilan, cita = harapan, agenda, keinginan) adalah program yang digagas oleh pasangan calon presiden/calon wakil presiden Joko Widodo/Jusuf Kalla dalam Pemilu Presiden 2014 untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan (sebagai kelanjutan konsep Trisakti yang digagas oleh Bung Karno).
Sembilan program tersebut sebagaimana disarikan dari situs kpu.go.id:
Menghadirkan kembali negara untuk melindungi dan memberikan rasa aman pada seluruh warganya, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu berlandaskan kepentingan nasional, serta memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas kepada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.
Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program ”Indonesia Pintar”, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program ”Indonesia Kerja” dan ”Indonesia Sejahtera”, dengan mendorongland reformdan program kepemilikan tanah seluas 9 hektar, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi, serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019.
Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.
Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia.
Memperteguh kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.
[ii] Hingga akhir 1960-an, sebagian besar warga Korea Selatan masih hidup dalam kemiskinan dengan kesenjangan antara wilayah pedesaan dan perkotaan yang semakin lebar. Kondisi ini membuat pemerintah Korea Selatan menginisiasi gerakan Saemaul Undong, yaitu pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat dengan penekanan pada semangat ketekunan, swadaya, dan kerja sama. Keberhasilan gerakan ini dapat dilihat dari adanya peningkatan rata-rata pendapatan rumah tangga secara drastis dari 825 dolar menjadi 4.602 dolar dalam kurun waktu 10 tahun. [Bersambung » Keteladanan Kesederhanaan Membangun Jiwa Merdeka (3)]
Oleh: Hanny Kardinata [Bagian pertama dari tiga bagian]
“Wajah lama sudah tak keruan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas.” —Mochtar Lubis (1922–2004), Manusia Indonesia, Yayasan Idayu, 1978
Menjauhi berlebih
Hari ini, ketika nilai-nilai kebaikan dirasa semakin memudar, ingatan saya melayang ke tahun-tahun tujuhpuluhan saat saya baru menapaki karier dan bekerja sebagai desainer independen. Saya bersyukur telah dipertemukan dengan seorang klien yang kesahajaan dan etos kerjanya telah begitu menyentuh saya. Ia, yang usianya sepantaran ayah saya pada waktu itu adalah salah seorang direktur sekaligus pemilik sebuah perusahaan industri cukup besar dengan lingkup pasar nasional.
Sebagai klien sebetulnya ia berhak meminta saya datang ke kantornya untuk mempresentasikan hasil rancangan saya. Tapi, justru ia yang selalu datang ke tempat kos saya, baik untuk menginformasikan ringkasan proyeknya yang akan datang, atau menyampaikan revisi atas hasil rancangan saya. Terkadang bahkan sekadar mengantar imbalan atas jasa saya! Sepertinya ada pengertian—yang tak pernah diutarakannya—bahwa ia yang mobilitasnya lebih tinggilah yang semestinya berkunjung, bukan sebaliknya.
Ia selalu berkunjung pada sore hari selepas jam kerja, dengan berkendara helicak atau bajaj. Dengan pakaian sangat sederhana; atasan berlengan pendek polos pucat, dan hanya beralaskan sandal. Hanya sekali waktu saja ia terlihat diantar supirnya langsung dari kantor, itu pun karena sedang bergegas.
Pada pertengahan 1980-an, saat berkesempatan mengunjungi rumahnya di kawasan Kampung Bali, Jakarta Pusat, saya berjumpa dengan isterinya yang juga bersahaja dan halus tutur katanya. Rumahnya tampak biasa-biasa saja, tapi teratur rapi dan bersih sekali. Tak ada tanda-tanda kemewahan dan pemanjaan diri pada perabotnya. Sungguh saya menaruh hormat terhadap mereka. Nilai-nilai kehidupan yang mengejawantah dalam kehidupan mereka nyaris tak saya jumpai lagi di kota-kota besar seperti Jakarta ini. Ekspresi kesederhanaan yang hanya mungkin lahir dari batin yang rendah hati alami. Mengenangnya kembali, mengingatkan saya kepada ujaran LaoTzu (604 SM–531 SM):
”Orang bijak menghindari kelebihan, pemborosan, dan pemanjaan diri.”
[Bersambung » Keteladanan Kesederhanaan Membangun Jiwa Merdeka (2)]
[Sambungan dari Membaca Alam (2). Bagian terakhir dari tiga bagian]
Pola-pola semesta dalam praktik permakultur
Menjelang tahun delapan puluhan muncul pergerakan di bidang ekologi yang berlandaskan pada prinsip-prinsip alam yang disebut dengan permakultur. Istilah permakultur awalnya diciptakan oleh dua warga Australia, Bill Mollison (l. 1928) dan David Holmgren (l. 1955) untuk menggambarkan sistem desain yang mereka rintis yang merespons apa yang mereka pandang sebagai tantangan serius terhadap kelangsungan hidup manusia. Mulanya berasal dari kata permanent agriculture, kemudian berkembang hingga melampaui pengertian asalnya itu menjadi permanent culture atau permaculture, adalah pergerakan global yang mencakup segala aspek tentang bagaimana manusia bisa hidup harmonis dengan Bumi dan sumber dayanya yang terbatas. Sebagai filosofi desain terpadu, permakultur mencakup kegiatan-kegiatan berkebun, arsitektur, hortikultura, ekologi, bahkan manajemen keuangan, dan sistem perancangan komunitas (community design). Perkembangannya saat ini telah membawa permakultur memiliki banyak definisi, sebanyak praktisi yang menjalankannya. Tapi ada satu definisi yang berguna untuk memahaminya, yaitu ‘menciptakan habitat yang berkelanjutan dengan cara mengikuti pola-pola semesta’ (creating sustainable human habitats by following nature‘s patterns).[4]
Ribuan tahun evolusi yang telah berlangsung mengakibatkan bentuk-bentuk dan pola-pola tertentu muncul secara sangkil demi tujuan-tujuan tertentu. Bentuk-bentuk dasar yang ada di alam itu dapat diidentifikasi, dipahami serta digunakan untuk berbagai kebutuhan perancangan. Mereka bisa ditemukan di semua dimensi, termasuk dimensi waktu, dan dapat dipadukan dengan pola lain untuk menciptakan struktur yang lebih kompleks. Kita bisa menghabiskan waktu seumur hidup kita belajar pola. Ini adalah subjek dengan banyak kedalaman. Sekali kita menyadari apa yang kita cari, kita akan melihat pola di mana-mana di alam, serta mengerti kenapa mereka terbentuk seperti itu dan apa fungsinya, yang akan membantu kita memahami bagaimana sistem alam bekerja. Kita kemudian bisa mengambilnya sebagai inspirasi dan memakainya pada desain permakultur yang kita rancang, demi menciptakan sistem desain yang efektif.
8. Mandala evolusi.
Maka, makhluk apakah gerangan setelah manusia?
Misalnya saja pola simetri. Simetri berarti sebuah objek yang memiliki dua bagian yang sama pada sisi yang berlawanan yang terpisah, yang satu sama lain merupakan cerminannya. Pola ini ada dua macam, pertama yang memperlihatkan ketepatan kesamaannya secara geometris, dan yang satunya lagi tidak persis sama, mencerminkan rasa harmonis dan keseimbangan yang umum di antara kedua bagiannya. Kebanyakan binatang-bergerak, seperti kupu-kupu, kuda, lipan, juga manusia menunjukkan pola simetri bilateral, yang timbal-balik. Tanaman di sisi lain, sering memiliki pola simetri radial, dengan beberapa bagiannya yang serupa tersusun mengitari sebuah titik pusat. Pola simetri berperan penting dalam kehidupan bermasyarakat. Apa yang dibuat oleh manusia sering kali berpola sangat simetris, seperti yang dapat dijumpai pada desain arsitektur, rumus persamaan dalam aljabar, dan juga musik.
Ada juga ‘rasa simetri’, atau yang sifatnya timbal-balik di dalam konsepsi-konsepsi sosial, seperti gagasan tentang keadilan, permintaan maaf (sebagai pengganti sesuatu yang tak seimbang), dan dialog. Ketika kita memiliki hubungan yang seimbang dengan teman kita, hubungan itu sifatnya simetris, kedua belah pihak berada dalam keadaan setara. Sementara hubungan kekuasaan tidak memiliki karakteristik ini, karenanya sudah sifatnya bila tidak seimbang.
Dalam pandangan Mollison:
“Membuat mal (patterning) adalah cara kita membingkai rancangan kita, merupakan template di mana kita menyelaraskan berbagai informasi, entitas, dan objek yang kita kumpulkan selama proses observasi, serta memilihkan materi dan teknologi yang tepat. Patterning inilah yang memungkinkan masing-masing elemennya berfungsi dan mengalir dalam hubungan-hubungan yang bermanfaat. The pattern is design and design is the subject of permaculture.”[5]
Revolusi sunyi permakultur
Mollison mengembangkan permakultur setelah menghabiskan puluhan tahun waktunya memelajari ekosistem langsung di hutan-hutan hujan dan padang pasir Australia. Ia mengamati bahwa tumbuh-tumbuhan secara alami mengelompokkan dirinya dalam komunitas yang keberadaannya masing-masing saling menguntungkan. Dia menggunakan ide ini untuk mengembangkan pendekatan berbeda di bidang pertanian dan perancangan masyarakat, antara lain dengan cara menempatkan unsur-unsur yang selaras secara bersama-sama sehingga mereka saling mempertahankan diri dan mendukung satu sama lain. Dalam sebuah wawancara, ia mengisahkan pertemuannya dengan seorang petani Filipina yang selalu menanam akar pisang dalam satu lubang dengan sebuah cabai dan empat butir kacang. Penelitiannya kemudian mengungkapkan fakta bahwa kacang menyuplai nitrogen dan cabai mencegah kumbang menyerang bibit pisang (symbiotic relationship).[4] [Lihat Ketahanan dalam Keragaman (1), (2)]
Dewasa ini, gagasan-gagasannya telah menyebar hampir di setiap negara di dunia, termasuk di Indonesia (beberapa di antaranya, seperti di Kalimantan Tengah: Permakultur Kalimantan Foundation, di Yogyakarta: Bumi Langit Institute, dan PermaBlitz Jogja, serta Mahayana Permaculture di Salatiga). Permakultur sekarang dipraktikkan di hutan-hutan hujan di Amerika Selatan, di gurun Kalahari, di wilayah Arktik Utara di Semenanjung Skandinavia, dan di berbagai komunitas di seluruh Amerika Utara.
9. Logo Mahayana Permakultur yang aktivitasnya berbasis di Salatiga.
Sejumlah organisasi dan komunitas di Indonesia telah menerapkan sistem desain permakultur, salah satunya adalah Mahayana Permakultur. Terdiri dari sekelompok anak muda yang memiliki beragam keterampilan—mereka berspesialisasi dalam bidang budidaya, kehutanan pangan, dan energi terbarukan—Mahayana berharap bisa menciptakan masa depan yang berkelanjutan dan regeneratif menggunakan prinsip-prinsip permakultur. Dengan permakultur, mereka mempraktikkan alternatif cara hidup yang benar, meliputi cara hidup sehari-hari, cara memilih makanan, juga cara mencari uang. Melalui praktik nyata dan aplikasi langsung, mereka ingin membuktikan bahwa prinsip-prinsip permakulktur itu applicable (tidak sulit) dan betul-betul efektif.
Di New Mexico, misalnya, petani menggunakan permakultur untuk mengubah tanah-tanah keras berbatu menjadi taman yang rimbun dan kebun buah-buahan tanpa menggunakan mesin berat. Di Davis, California, sebuah komunitas menggunakan limbah air mandi dan cucian untuk menyiram toilet dan mengairi kebun. Di Toronto, ada sekelompok arsitek yang menciptakan desain bagi sebuah rumah urban yang diubah peruntukannya (infill) dengan tidak memanfaatkan air kota atau pun infrastruktur pembuangan limbahnya, dengan biaya operasi hanya beberapa ratus dolar setahun.
Dalam sebuah wawancara Mollison menyebut konsep permakultur sebagai sebuah revolusi. Tapi sejenis revolusi yang tak ada orang yang memperhatikannya.
“Bangunan-bangunan mungkin jadi berfungsi lebih baik karenanya. Anda mungkin jadi membutuhkan lebih sedikit uang karena bisa memperoleh makanan dari sekitar anda, dan anda tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mendapatkan energi. Dengan demikian, sejumlah besar uang bisa dihemat dan kita bisa melengkapi diri kita dengan hal-hal lain yang lebih baik.”[6]
———
[4] So What is Permaculture. Spiralseed, http://spiralseed.co.uk/permaculture/, diakses 24 Oktober 2015.
[5] Regenerative Permaculture Design. Open Permaculture School, www.openpermaculture.com, diakses 24 Oktober 2015.
[6] London, Scott. Permaculture: A Quiet Revolution–An Interview with Bill Mollison. Scott London, http://www.scottlondon.com/interviews/mollison.html, diakses 24 Oktober 2015.
[Sambungan dari Membaca Alam (1). Bagian kedua dari tiga bagian]
Dalam kehampaan (emptiness)[i], bentuk pun hadir. Ketika seseorang menjadi hampa dari asumsi, kesimpulan, dan penilaian yang diakuisisinya selama bertahun-tahun, ia datang menghampiri alam aslinya dan mampu mengandung janin ide-ide yang orisinal serta bisa bereaksi secara sama sekali baru. [Bandingkan dengan ajaran J. Krishnamurti, pada Bebas dari yang Dikenal]
—Stewart W. Holmes dan Chimyo Horioka, Fifteen Zen Tenents
Dialog dengan Maggie Macnab
Pada Oktober 2015 saya berkesempatan berbincang daring dengan Maggie dari kediamannya di Santa Fe, New Mexico, AS mengenai gagasan-gagasan di balik bukunya ini [catatan: bukankah dialog itu sendiri adalah perwujudan dari ‘rasa simetri’ (sense of symmetry) yang terdapat dalam gagasan mengenai kemasyarakatan, sesuatu yang berpola timbal-balik?][Lihat sub-judul berikutnya: Pola-pola semesta dalam praktik permakultur].
Berikut ini bagian utama dari dialog tersebut:
Hanny Kardinata (HK): Dari sudut pandang sejarah, sejak kapan hubungan manusia dengan Alam terputus sehingga kita kehilangan kemampuan untuk membaca Alam? Bisakah menjelaskan mengapa hal itu terjadi?
Maggie Macnab (MM): Pertanyaan sulit, Hanny! Saya bukan seorang sejarawan tetapi kesadaran saya memberitahu saya bahwa lapisan sistem-sistem yang manusia tempatkan di antara dirinya dengan Alam selalu mengarah pada akhir yang buruk. Kita tidak bisa memutuskan hubungan kita dengan asal muasal kita itu tanpa meniadakan diri kita sendiri. Dalam sejarah hal ini menjadi sedemikian nyata pada abad industri, ketika mesin mulai menggantikan tenaga kerja manual. Ada banyak hal yang baik tentangnya, tapi, kita harus tetap waspada dan menaruh hormat pada asal kita. Ketika Alam telah menjadi tidak lebih dari sekadar komoditas, ia digunakan dan disalahgunakan demi kejatuhan kita sendiri. Banyak yang menyadari hal ini, tetapi perusahaan-perusahaan terus saja menjarah. Dan tak seorang pun tampaknya tahu bagaimana menghentikannya.
HK: Tapi apakah mungkin kita memelajari elemen dan prinsip desain semata dari Alam? Dengan kata lain, apakah Alam bisa memberikan segala yang kita butuhkan sebagai desainer?
MM: Alam adalah batu loncatan, konektor yang efisien dan brilian bagi bermacam-macam perihal yang masing-masing berlainan itu. Saya pikir kita bisa belajar banyak hal dari Alam, namun tidak berarti kita tidak bisa memulai sesuatu tanpanya serta mengembangkan ide-ide kita sendiri. Alam adalah tempat yang sangat baik untuk mulai, sebagaimana tercermin dari pandangan saya ketika anda membaca buku Design by Nature.
HK: Saya berpendapat yang sama. Pasca Revolusi Industri, kita semua bertanggung jawab atas terpuruknya hubungan kita dengan Alam.
MM: Di situlah kuncinya! Seandainya manusia mau belajar bertanggung jawab kita tidak akan memiliki masalah ini. Tapi manusia beroleh banyak keuntungan dari sistem-sistem yang dibuatnya dari kebodohannya, dan kebodohan itu disebarluaskan melalui pendidikan, politik, dan agama. Perang adalah contoh yang bagus mengenai hal ini. Perang hanya menguntungkan para tukang catut, bukan kemanusiaan secara keseluruhan. Mengenai ketiadaan respek dan keterputusan hubungan kita dengan Alam yang telah berakibat membahayakan kita semua ini merupakan isu yang lebih besar yang disampaikan melalui Design by Nature. Semua mahasiswa saya tertarik pada isu ini! Orang-orang dibangkitkan kesadarannya, tapi apakah itu cukup?
HK: Saya kira, upaya penyadaran selalu baik, dan dibutuhkan. Bila dilakukan banyak pihak, secara terus-menerus, akumulasinya akan berdampak.
Apakah anda memercayai bahwa segala sesuatu di dunia saat ini mulai bergerak ke arah sebaliknya? Sebagaimana yang diajarkan oleh falsafah Cina kuno, Yin-Yang? [Lihat: Kenali diri pribadi, pada Bebas dari yang Dikenal]. Beberapa gejalanya sudah di depan mata, seperti munculnya Slow Movement, konter-urbanisasi, permakultur, dan buku Design by Nature ini sendiri. [Lihat pula pandangan Fritjof Capra pada Tarian Alam Semesta]. Dalam salah satu wawancara dengan Whiteboard Journal pada awal tahun ini, saya mengabarkan pula tentang terjadinya kecenderungan ini. Berikut adalah salah satu bagian dari wawancara tersebut:
“Tetapi, sebagaimana dengan segala hal yang terjadi di dunia ini, dalam desain pun mulai timbul gerakan yang pola dasarnya menuju ke arah sebaliknya. Gejala munculnya gerakan Slow Design ini sudah bisa dilihat akhir-akhir ini di berbagai belahan dunia. Pola yang sama pernah terjadi sebelumnya, dan berulang terus, sejak Revolusi Industri pada abad ke-18. Ketika ancaman mesin semakin meresahkan, kerja kekriyaan dan sentuhan yang sifatnya personal pun dirindukan kembali.”[2]
MM: Saya berharap bisa membacanya! Kita memiliki banyak kesamaan, Hanny (selain sebagai manusia tentunya).
Buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia pada bagian mengenai Zaman Industri: Dari Masyarakat Pertanian ke Masyarakat Industri (± 1760–1830) juga mencatat bahwa:
“Bagaimana pun, Revolusi Industri sering dipandang
sebagai penyebab terjadinya perubahan dari peradaban
yang menganut nilai-nilai humanistis menjadi peradaban
yang didominasi oleh benda-benda materi. Hubungan
intim manusia dengan Alam, juga pengalaman-pengalaman
estetika dan spiritualnya menjadi berkurang.”[3] ———
[i] Arti khusus ”emptiness” berbeda-beda dalam konteks tertentu dan pada tradisi agama atau budaya di mana istilah itu digunakan. Sementara kekristenan serta para sosiolog dan psikolog Barat memandang keadaan kosong sebagai kondisi negatif yang tidak diinginkan, dalam filsafat Timur seperti Buddhisme dan Taoisme, kekosongan merupakan pencapaian yang disadari. Di luar filsafat Timur, beberapa penulis juga menyarankan agar orang menggunakan keadaan kekosongan sementara sebagai sarana untuk membebaskan dirinya demi perkembangan pribadi.
———
[1] Design by Nature: An Interview with Maggie Macnab. 2011. Peachpit, http://www.peachpit.com/articles/article.aspx?p=1755414, diakses 4 Oktober 2015.
[2] Hilmi, Muhammad. 2015. Esensi Desain bersama Hanny Kardinata. Jakarta: Whiteboard Journal, http://www.whiteboardjournal.com/interview/23151/esensi-desain-bersama-hanny-kardinata/, diakses 8 Oktober 2015
[3] Kardinata, Hanny. 2016. Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia. Jakarta: DGI Press.
Manusia adalah spesies yang paling tidak waras. Ia memuja Tuhan yang tak kelihatan sembari menjagal Alam yang terlihat jelas... tanpa menyadari bahwa Alam yang ia bantai itu adalah Tuhan yang dipujanya.
“Kitab agung Alam, yang selalu terbuka bagi kita, ditulis dalam bahasa matematika. Karakteristiknya adalah segitiga, lingkaran, dan bermacam bentuk geometris lainnya, yang tanpanya manusia tidak akan bisa mengerti Alam; tanpanya, seseorang akan berkeliaran di labirin yang gelap.” —Galileo Galilei (1564–1642), 1623
Salah satu mata kuliah yang saya tunggu-tunggu saat belajar di jurusan Seni Reklame STSRI Asri [sekarang: Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta (1972–1975), adalah Nirmana yang pada masa itu disebut dengan Desain Elementer. Berbeda dengan mata kuliah lain yang sedikit banyak sudah saya kenal sebelumnya melalui buku atau majalah seni, Nirmana merupakan metode penataan elemen-elemen dasar seni atau desain seperti titik, garis, warna, ruang, dan tekstur menjadi suatu kesatuan yang serasi [dan efektif (dalam kaitannya dengan fungsi desain komunikasi visual)]. Dosen pengampunya, Sadjiman Ebdi Sanyoto (lahir: 1942) di kemudian hari berhasil merumuskan sistematika belajar Nirmana, dan menuangkannya ke dalam sebuah buku yang terbit pada tahun 2009 dengan judul Nirmana: Dasar-Dasar Seni dan Desain [Lihat: Persinggahan Sementara (1)]. Ini sesuatu yang sama sekali baru bagi saya, karenanya selalu mengundang rasa ingin tahu.
Seiring dengan berjalannya waktu, dalam upaya memahami misterinya, saya seperti terus-menerus disadarkan bahwa sebetulnya elemen-elemen Nirmana ada dan bisa ditemui di alam dan di sekitar saya. Tinggal kepekaan dan ketekunan saya saja dalam upaya “membaca” dan mengobservasinya. Sebagai prinsip penting dalam mendesain, ihwalnya bisa dipahami sebagai ‘bentuk yang tak berbentuk’, yang hadir dalam ketidakhadirannya[i]. Bisa dikatakan demikian karena nirmana berada di area perlambangan (symbolism). Lingkaran misalnya merepresentasikan keseluruhan, kesatuan, integritas, atau keutuhan.
1. Bangun spiral pada sidik jari manusia.
Tapi kita manusia modern telah lupa bagaimana membaca simbol-simbol itu. Simbol-simbol—yang menjadi bahasa alam ini—sesungguhnya sangat penting untuk dimengerti karena mengandung informasi mengenai bagaimana dunia ini berlangsung. Kemampuan membaca pola (pattern) yang hadir di alam merupakan dasar pengetahuan karena hal itu menunjang kelangsungan hidup manusia. Walau telah memiliki berjuta informasi dan teknologi hasil ciptaannya sendiri, secara instingtif manusia tetap mengakui adanya suatu otoritas, membutuhkan, dan menggunakan prinsip-prinsipnya yang universal untuk memahami dunianya. Prinsip-prinsip itu, yang bila diintegrasikan ke dalam bidang komunikasi visual akan bisa menyampaikan pesan secara tepat-guna, kuat dampaknya, dan berdayatahan lama.
2. Rumah keong (nautilus shell) dengan spiral logaritma.
Sumber gambar: Wikipedia.
Desainer Maggie Macnab, melalui bukunya Design by Nature: Using Universal Forms and Principles in Design (2011) menerangkan bahwa bentuk-bentuk dasar (forms) bisa dilihat dengan sangat jelas di dalam fungsinya masing-masing. Kurva (curve) dan sudut (angle) misalnya memiliki fungsi berbeda, kurva fungsinya menautkan, sementara sudut menegaskan. Bentuk segi-empat misalnya [walau sulit ditemukan di alam, bisa dijumpai di dalam dunia buatan manusia], dibutuhkan untuk membangun stabilitas atau sesuatu yang kokoh. Lembaga-lembaga yang berurusan dengan uang seperti bank, asuransi, pajak, dan pasar saham yang ingin menampilkan citra bisa dipercaya, atau bisa diandalkan, kerap menggunakan logo berbentuk segi-empat untuk mengomunikasikan gagasan mengenai keamanan.
3. Pola cuaca di atas Tanah Es (Islandia). Sumber gambar: Wikipedia.
Di alam, pola bisa dijumpai dalam berbagai dimensi, dari yang mikroskopik hingga galaktik. Seperti pola simetri, pola menyebar, bergelombang, bergaris (stripes), fraktal, dsb. Beberapa jenis pola, seperti pola bercabang (ranting, dahan) dan pola berkelok-kelok (meander) hadir secara nyata di sekeliling kita menggambarkan ‘gerakan’ energi dari satu titik ke titik lain. Pola bercabang mentransfer energi, misalnya dari daun ke seluruh batang tubuh sebuah tanaman, sebagaimana pola yang sama menggerakkan impuls-impuls di dalam sistem syaraf kita (sifatnya langsung), sementara meander menditribusikan energi dengan cara yang “santai” seperti pada otak dan usus manusia (sifatnya perlahan-lahan tapi merata).
4. Sulur pokok anggur. Sumber gambar: Wikimedia.
Pola-pola bersusun (stacking) dan membungkus (packing) berfungsi sebagai ‘penyimpanan’ energi—tapi yang tetap bisa diakses oleh mereka yang membutuhkannya. Bentuk heksagon dari sarang lebah menunjukkan fungsi ini. Sarang lebah terbentuk secara sempurna demi mendukung suatu ruang agar memiliki kekuatan yang luar biasa dan ekonomis—bentuk yang juga diadopsi oleh arsitek Buckminster Fuller (1895–1983) untuk membangun kubah geodesik yang menggunakan energi secara ultra-efisien. Dengan meminjam prinsip-prinsip dan proses yang terjadi di alam, kita akan mendapatkan kenyataan bahwa berbagai pola itu sangat efektif bila diaplikasikan ke dalam praktik-praktik merancang seni dan desain. Dan bahwa dengan menerima prinsip, pola, dan proses yang terjadi di alam, kita bisa menciptakan desain yang elegan dan estetik secara intuitif, bukan karena kebetulan semata.
5. Bangun spiral pada bunga matahari.
Contoh lain, misalnya bangun spiral. Spiral, atau pun helix, terkait dengan energi yang ‘menghubungkan’. Spiral mengekspresikan gerak yang repetitif, tapi juga bisa dilihat sebagai sejumlah kurva yang berkesinambungan dan mengembang secara geometris. Ia mengikuti bentuk asalnya sebagai kurva, tapi juga mengembangkan dirinya. Spiral merupakan bangun (shape) yang sangat penting bagi kehidupan. Ia adalah embrio dari segala yang tumbuh dan bergerak dari titik pusatnya ke arah luar dan kemudian membentang ke dalam kehidupan, menghirup kehidupan. Pola spiral bisa dijumpai secara luas di alam—dikodekan pada tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia, bumi, dan galaksi di sekitar kita (15.1–15.5).
6. Biosfer Montreal, Buckminster Fuller, 1967. Sumber gambar: Wikimedia.
“Spiral adalah bangun yang menakjubkan untuk dipakai sebagai model (template) dalam merancang logo atau grafis bagi institusi yang bisnisnya terkait pada produk atau jasa kreatif, bidang pengembangan (progressed), atau yang berkaitan dengan daya cipta (inventive). Merupakan penjelmaan dari evolusi: terhubung, dan serupa dalam banyak hal (misalnya, serupa dengan generasi sebelumnya), tapi juga ekspansif (perpaduan para induk yang memperkenalkan keragaman). Bangun spiral secara sempurna mengekspresikan fungsinya sebagai mirip dengan dan sekaligus berbeda dari—yang merupakan bentuk terbaik dari kreativitas.”[1]
Menurut Maggie, pola yang sifatnya menghubungkan (connection and regeneration patterns), menggerakkan (patterns of movement), dan menyimpan (stacking and packing patterns) itu adalah pola-pola dasar.
Pola dan bangun yang hadir di alam ini berproses dalam berbagai bentuk yang bisa ‘dialami’ oleh manusia melalui inderanya. Keberadaannya merupakan hal biasa bagi semua orang. Sejumlah pola yang mengekspresikan energinya secara nyata itu bisa dipahami oleh setiap orang terlepas dari mana orang itu berasal, prinsip-prinsip universalnya menuntun prosesnya dalam mengada. Masih menurut Maggie:
“Kita memahaminya secara intuitif; kata-kata merupakan bahasa pikiran, tapi visual adalah wujud bahasa perasaan.”[1]
7. Pandangan sebagian dari Olympiapark (pandangan ke bawah dari Menara Olympia (Olympiaturm), Stadion Olimpiade yang dirancang untuk Olimpiade Musim Panas 1972, Munich. Struktur tarik-menarik (tensile structure) yang menutupi sebagian taman ini dirancang oleh arsitek dan insinyur Jerman Frei Otto (1925–2015) dan Günther Behnisch (1922–2010). Einar Thorsteinn (1942–2015), seorang arsitek Islandia yang menaruh minat pada struktur geometris, pada 1969–1972 bekerja pada Frei Otto membantu merancang Olympiapark.
Dalam pandangan Maggie, bahasa alam yang universal itu merupakan bahasa manusia yang paling awal dan utama. Dalam bukunya, Maggie berkisah mengenai upaya merebut kembali ‘seni membaca alam’ yang menurutnya telah hilang, untuk menciptakan komunikasi visual yang lebih baik, di samping menanamkan pengertian dan memberikan penghargaan yang lebih kepada alam.