[Bagian pertama dari tiga bagian]
“Wajah lama sudah tak keruan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas.” —Mochtar Lubis (1922–2004), Manusia Indonesia, Yayasan Idayu, 1978
Menjauhi berlebih
Hari ini, ketika nilai-nilai kebaikan dirasa semakin memudar, ingatan saya melayang ke tahun-tahun tujuhpuluhan saat saya baru menapaki karier dan bekerja sebagai desainer independen. Saya bersyukur telah dipertemukan dengan seorang klien yang kesahajaan dan etos kerjanya telah begitu menyentuh saya. Ia, yang usianya sepantaran ayah saya pada waktu itu adalah salah seorang direktur sekaligus pemilik sebuah perusahaan industri cukup besar dengan lingkup pasar nasional.
Sebagai klien sebetulnya ia berhak meminta saya datang ke kantornya untuk mempresentasikan hasil rancangan saya. Tapi, justru ia yang selalu datang ke tempat kos saya, baik untuk menginformasikan ringkasan proyeknya yang akan datang, atau menyampaikan revisi atas hasil rancangan saya. Terkadang bahkan sekadar mengantar imbalan atas jasa saya! Sepertinya ada pengertian—yang tak pernah diutarakannya—bahwa ia yang mobilitasnya lebih tinggilah yang semestinya berkunjung, bukan sebaliknya.
Ia selalu berkunjung pada sore hari selepas jam kerja, dengan berkendara helicak atau bajaj. Dengan pakaian sangat sederhana; atasan berlengan pendek polos pucat, dan hanya beralaskan sandal. Hanya sekali waktu saja ia terlihat diantar supirnya langsung dari kantor, itu pun karena sedang bergegas.
Pada pertengahan 1980-an, saat berkesempatan mengunjungi rumahnya di kawasan Kampung Bali, Jakarta Pusat, saya berjumpa dengan isterinya yang juga bersahaja dan halus tutur katanya. Rumahnya tampak biasa-biasa saja, tapi teratur rapi dan bersih sekali. Tak ada tanda-tanda kemewahan dan pemanjaan diri pada perabotnya. Sungguh saya menaruh hormat terhadap mereka. Nilai-nilai kehidupan yang mengejawantah dalam kehidupan mereka nyaris tak saya jumpai lagi di kota-kota besar seperti Jakarta ini. Ekspresi kesederhanaan yang hanya mungkin lahir dari batin yang rendah hati alami. Mengenangnya kembali, mengingatkan saya kepada ujaran LaoTzu (604 SM–531 SM):
”Orang bijak menghindari kelebihan, pemborosan, dan pemanjaan diri.”
[Bersambung » Keteladanan Kesederhanaan Membangun Jiwa Merdeka (2)]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar