[Bagian kedua dari tiga bagian. Sambungan dari Keteladanan Kesederhanaan Membangun Jiwa Merdeka (1)]
Menempatkan diri pada posisi rendah
Menempatkan diri pada posisi rendah
Tiga dekade kemudian, saat karakter bangsa terperosok ke ambang darurat, ternyata saya masih bisa menjumpai seseorang dengan nilai-nilai esensial serupa pada dirinya. Saya tak mengenalnya langsung. Tapi dia Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke-7. Jadi ada banyak kisah mengenai diri dan kehidupannya bisa dijumpai dan dibaca.
Jokowi yang lahir di tengah keluarga sederhana, tumbuh tegar dalam tempaan kesulitan hidup yang dialaminya. Sejak kecil ia sudah mesti berjualan, mengojek payung, atau jadi kuli panggul demi memenuhi kebutuhan sekolah dan uang jajannya. Ia mengawali pendidikan formalnya di sebuah sekolah untuk kalangan menengah ke bawah. Saat teman-temannya bersepeda ke sekolah, ia harus berjalan kaki. Dan dengan kemahirannya bertukang—yang dipelajarinya dari sang ayah—pada usianya yang ke-12 ia telah menjadi tukang penggergaji kayu.
Tak seperti kacang lupa pada kulitnya, setelah menjadi Wali Kota Solo, Jokowi dikenal dengan pendekatannya yang “memanusiakan manusia” (Jawa: nguwongke wong, ngemong). Penghayatannya atas nilai-nilai kemanusiaan ia terapkan saat harus merelokasi ratusan pedagang kaki lima dari Banjarsari ke Notoharjo. Upaya relokasi ini membuahkan penolakan keras. Ia lantas memanggil seluruh pemegang lapak untuk bersantap bersama. Setidaknya sebanyak 54 kali; makan pagi, siang, maupun malam. Acara makan pertama hingga pertengahan tak menyinggung sedikit pun soal relokasi. Sekadar makan bersama. Para pedagang kaki lima itu dibuatnya bingung, karena sejak awal hingga akhir Jokowi tak membicarakan kebijakan relokasi sama sekali. Topik itu baru disentuhnya pada makan bersama edisi ke-54. Kepada mereka, Jokowi menyampaikan sejumlah kebijakan pendukung yang telah disiapkannya. Misalnya, mengenai pemberian sejumlah fasilitas di kios baru, pembukaan akses transportasi umum, hingga publikasi keberadaan kios baru ke masyarakat luas. Akhirnya Jokowi berhasil merelokasi mereka.
Sebagai Gubernur DKI Jakarta, dengan naturnya yang merakyat dan tak berjarak, Jokowi terkadang bisa dijumpai melenggang santai dan tak canggung di salah satu taman hijau. Bergerak bebas tanpa pengawalan, berbaur dengan publik yang sedang menikmati musik orkestra (2014). Ia juga pernah tertangkap kamera sedang menumpang sepeda motor warga (ojek) akibat terperangkap kemacetan (2012). Kebiasaannya blusukan pun berlanjut hingga di Jakarta, bahkan setelah menjadi Presiden RI. Ke pasar-pasar, kampung padat penduduk, daerah bencana, lokasi pengungsian, atau berdialog dengan warga pedalaman, dan melakukan inspeksi mendadak ke tempat-tempat pelayanan publik. Nyaris tak terhitung banyaknya daerah di Indonesia yang telah dikunjunginya; Maluku Utara; Kupang Barat, NTT; Banjarbaru, Kalimantan Selatan; Aceh; Papua Barat, dll.
Pesan-pesan kesederhanaan acap kali dilayangkannya saat Jokowi telah menjadi orang nomer satu di negeri ini. Tak enggan ia mengundang masuk para pedagang kaki lima ke istana dan mengajak menteri-menterinya menikmati hidangan angkringan seperti nasi goreng, sate, bakso, atau tauge goreng. Bahkan pada malam tahun baru ada penjaja nasi goreng yang diundangnya masuk ke Istana Bogor.
Dari koki istana, Tri Supriharjo, yang diboyongnya dari Solo, diperoleh kisah kebiasaan makan Jokowi yang jauh dari mewah. Makanan sehari-harinya tetap makanan rumahan khas Indonesia, seperti sop ayam, sayur bening bayam, tumis pepaya muda, tumis oseng-oseng tempe, mie ketoprak, soto kuning, tempe tahu bacem, dan teri medan goreng. Itu pun diambilnya sendiri dari sebuah konter, tidak minta disediakan di meja makan. Camilannya jagung rebus, singkong goreng, lento, dan bakwan jagung atau bakwan sayur. Dan untuk sarapan paginya setiap hari, jamu serta teh pahit. Yang diminumnya pakai cangkir kaleng jadul (cangkir blirik).
Hidup sederhana bisa jadi merupakan kewajaran oleh sebab perkara nasib, tapi tetap sederhana ketika telah menjadi Wali Kota, lalu Gubernur, dan kemudian Presiden adalah sesuatu yang tidak biasa. Hanya mungkin dilakukan oleh seseorang yang telah “selesai dengan dirinya”. Di jenjang tertinggi itu Jokowi tetap menempatkan dirinya pada posisi rendah, demi jalan kehidupan yang lebih bebas, berintegritas, dan tak koruptif. Keteladanannya ini sesungguhnya adalah “pencapaian” tertingginya, dan menjadi tolok ukur serta kunci utama membuka gerbang Revolusi Mental.
Membangun jiwa merdeka
“Revolusi Mental adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala.” —Soekarno (1901–1970), pada Peringatan Hari Kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1956
Tujuh dekade setelah bangsa kita merdeka, kita masih harus melakukan revolusi. Bukan lagi dengan mengangkat senjata, tapi membangun jiwa bangsa. Membangun jalan, irigasi, pelabuhan, bandara, atau pembangkit energi juga penting. Namun seperti kata Bung Karno, membangun suatu negara tak sekadar fisiknya, juga jiwanya.
Ide ini yang menginspirasi digaungkannya kembali gerakan Revolusi Mental oleh Jokowi. Menurutnya, jiwa bangsa yang terpenting adalah jiwa merdeka, yang bebas meraih kemajuan. Jiwa merdeka yang disebutnya positivisme itu, dalam praktiknya adalah menjadi manusia yang berintegritas, mau bekerja keras, dan punya semangat gotong royong. Berubah dari kebiasaan buruk seperti suka korupsi, kolusi dan nepotisme, tidak disiplin, etos kerja tidak baik, yang membawa akibat pada bobroknya birokrasi. Menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan (sebagai kelanjutan konsep Trisakti yang digagas oleh Bung Karno). Pembangunan karakter ini dijalankannya serentak dengan pembangunan infrastruktur, terutama di daerah tertinggal.
Dalam kunjungan kerja ke Brebes, 11 April 2016, Presiden meluncurkan Program Sinergi Aksi untuk Ekonomi Rakyat di Desa Larangan (Gb. 3). Program ini merupakan solusi untuk berbagai persoalan dalam proses pembangunan ekonomi di desa yang diakibatkan oleh ketidaktepatan model pendekatan dan kebijakan di masa lalu. Program ini juga merupakan perwujudan Nawa Cita ketiga dan ketujuh, membangun Indonesia dari pinggiran dengan menguatkan daerah dan desa.[i]
3. Jiwa merdeka, bebas menempatkan diri.
Presiden Joko Widodo di tengah masyarakat desa Larangan, Brebes, 11 April 2016.
Sumber gambar: PresidenRI,go.id.
|
Dewasa ini masih terlalu dini menilai keberhasilan atau kegagalan gerakan yang baru dicanangkan oleh Jokowi sejak masa kampanye Pilpres 2014 itu. Korea Selatan yang dinilai berhasil menjalankan gerakan Saemaul Undong[ii] itu pun telah menjalankannya sejak 1970. Gerakan ini telah mengubah mental orang Korea yang sebelumnya pesimis dan berpikiran negatif irasional, menjadi optimis dan positif rasional. Keberhasilannya ini menjadikan Korea Selatan sebagai salah satu pionir gerakan pembangunan melalui pemberdayaan desa, yang kemudian dirujuk oleh berbagai negara termasuk Indonesia.
———
[i] Nawa Cita (Sanskerta: nawa = sembilan, cita = harapan, agenda, keinginan) adalah program yang digagas oleh pasangan calon presiden/calon wakil presiden Joko Widodo/Jusuf Kalla dalam Pemilu Presiden 2014 untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan (sebagai kelanjutan konsep Trisakti yang digagas oleh Bung Karno).
Sembilan program tersebut sebagaimana disarikan dari situs kpu.go.id:
- Menghadirkan kembali negara untuk melindungi dan memberikan rasa aman pada seluruh warganya, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu berlandaskan kepentingan nasional, serta memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
- Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas kepada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.
- Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
- Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
- Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program ”Indonesia Pintar”, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program ”Indonesia Kerja” dan ”Indonesia Sejahtera”, dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 hektar, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi, serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019.
- Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.
- Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
- Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia.
- Memperteguh kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.
[ii] Hingga akhir 1960-an, sebagian besar warga Korea Selatan masih hidup dalam kemiskinan dengan kesenjangan antara wilayah pedesaan dan perkotaan yang semakin lebar. Kondisi ini membuat pemerintah Korea Selatan menginisiasi gerakan Saemaul Undong, yaitu pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat dengan penekanan pada semangat ketekunan, swadaya, dan kerja sama. Keberhasilan gerakan ini dapat dilihat dari adanya peningkatan rata-rata pendapatan rumah tangga secara drastis dari 825 dolar menjadi 4.602 dolar dalam kurun waktu 10 tahun.
[Bersambung » Keteladanan Kesederhanaan Membangun Jiwa Merdeka (3)]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . [Bersambung » Keteladanan Kesederhanaan Membangun Jiwa Merdeka (3)]
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar