Dalam kehampaan (emptiness)[i], bentuk pun hadir. Ketika seseorang menjadi hampa dari asumsi, kesimpulan, dan penilaian yang diakuisisinya selama bertahun-tahun, ia datang menghampiri alam aslinya dan mampu mengandung janin ide-ide yang orisinal serta bisa bereaksi secara sama sekali baru. [Bandingkan dengan ajaran J. Krishnamurti, pada Bebas dari yang Dikenal]
—Stewart W. Holmes dan Chimyo Horioka, Fifteen Zen Tenents
Dialog dengan Maggie Macnab
Pada Oktober 2015 saya berkesempatan berbincang daring dengan Maggie dari kediamannya di Santa Fe, New Mexico, AS mengenai gagasan-gagasan di balik bukunya ini [catatan: bukankah dialog itu sendiri adalah perwujudan dari ‘rasa simetri’ (sense of symmetry) yang terdapat dalam gagasan mengenai kemasyarakatan, sesuatu yang berpola timbal-balik?][Lihat sub-judul berikutnya: Pola-pola semesta dalam praktik permakultur].
Berikut ini bagian utama dari dialog tersebut:
Hanny Kardinata (HK): Dari sudut pandang sejarah, sejak kapan hubungan manusia dengan Alam terputus sehingga kita kehilangan kemampuan untuk membaca Alam? Bisakah menjelaskan mengapa hal itu terjadi?
Maggie Macnab (MM): Pertanyaan sulit, Hanny! Saya bukan seorang sejarawan tetapi kesadaran saya memberitahu saya bahwa lapisan sistem-sistem yang manusia tempatkan di antara dirinya dengan Alam selalu mengarah pada akhir yang buruk. Kita tidak bisa memutuskan hubungan kita dengan asal muasal kita itu tanpa meniadakan diri kita sendiri. Dalam sejarah hal ini menjadi sedemikian nyata pada abad industri, ketika mesin mulai menggantikan tenaga kerja manual. Ada banyak hal yang baik tentangnya, tapi, kita harus tetap waspada dan menaruh hormat pada asal kita. Ketika Alam telah menjadi tidak lebih dari sekadar komoditas, ia digunakan dan disalahgunakan demi kejatuhan kita sendiri. Banyak yang menyadari hal ini, tetapi perusahaan-perusahaan terus saja menjarah. Dan tak seorang pun tampaknya tahu bagaimana menghentikannya.
HK: Tapi apakah mungkin kita memelajari elemen dan prinsip desain semata dari Alam? Dengan kata lain, apakah Alam bisa memberikan segala yang kita butuhkan sebagai desainer?
MM: Alam adalah batu loncatan, konektor yang efisien dan brilian bagi bermacam-macam perihal yang masing-masing berlainan itu. Saya pikir kita bisa belajar banyak hal dari Alam, namun tidak berarti kita tidak bisa memulai sesuatu tanpanya serta mengembangkan ide-ide kita sendiri. Alam adalah tempat yang sangat baik untuk mulai, sebagaimana tercermin dari pandangan saya ketika anda membaca buku Design by Nature.
HK: Saya berpendapat yang sama. Pasca Revolusi Industri, kita semua bertanggung jawab atas terpuruknya hubungan kita dengan Alam.
MM: Di situlah kuncinya! Seandainya manusia mau belajar bertanggung jawab kita tidak akan memiliki masalah ini. Tapi manusia beroleh banyak keuntungan dari sistem-sistem yang dibuatnya dari kebodohannya, dan kebodohan itu disebarluaskan melalui pendidikan, politik, dan agama. Perang adalah contoh yang bagus mengenai hal ini. Perang hanya menguntungkan para tukang catut, bukan kemanusiaan secara keseluruhan. Mengenai ketiadaan respek dan keterputusan hubungan kita dengan Alam yang telah berakibat membahayakan kita semua ini merupakan isu yang lebih besar yang disampaikan melalui Design by Nature. Semua mahasiswa saya tertarik pada isu ini! Orang-orang dibangkitkan kesadarannya, tapi apakah itu cukup?
HK: Saya kira, upaya penyadaran selalu baik, dan dibutuhkan. Bila dilakukan banyak pihak, secara terus-menerus, akumulasinya akan berdampak.
Apakah anda memercayai bahwa segala sesuatu di dunia saat ini mulai bergerak ke arah sebaliknya? Sebagaimana yang diajarkan oleh falsafah Cina kuno, Yin-Yang? [Lihat: Kenali diri pribadi, pada Bebas dari yang Dikenal]. Beberapa gejalanya sudah di depan mata, seperti munculnya Slow Movement, konter-urbanisasi, permakultur, dan buku Design by Nature ini sendiri. [Lihat pula pandangan Fritjof Capra pada Tarian Alam Semesta]. Dalam salah satu wawancara dengan Whiteboard Journal pada awal tahun ini, saya mengabarkan pula tentang terjadinya kecenderungan ini. Berikut adalah salah satu bagian dari wawancara tersebut:
“Tetapi, sebagaimana dengan segala hal yang terjadi di dunia ini, dalam desain pun mulai timbul gerakan yang pola dasarnya menuju ke arah sebaliknya. Gejala munculnya gerakan Slow Design ini sudah bisa dilihat akhir-akhir ini di berbagai belahan dunia. Pola yang sama pernah terjadi sebelumnya, dan berulang terus, sejak Revolusi Industri pada abad ke-18. Ketika ancaman mesin semakin meresahkan, kerja kekriyaan dan sentuhan yang sifatnya personal pun dirindukan kembali.”[2]
MM: Saya berharap bisa membacanya! Kita memiliki banyak kesamaan, Hanny (selain sebagai manusia tentunya).
Buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia pada bagian mengenai Zaman Industri: Dari Masyarakat Pertanian ke Masyarakat Industri (± 1760–1830) juga mencatat bahwa:
“Bagaimana pun, Revolusi Industri sering dipandang
sebagai penyebab terjadinya perubahan dari peradaban
yang menganut nilai-nilai humanistis menjadi peradaban
yang didominasi oleh benda-benda materi. Hubungan
intim manusia dengan Alam, juga pengalaman-pengalaman
estetika dan spiritualnya menjadi berkurang.”[3]
———
[Bersambung » Membaca Alam (3)]
———
[i] Arti khusus ”emptiness” berbeda-beda dalam konteks tertentu dan pada tradisi agama atau budaya di mana istilah itu digunakan. Sementara kekristenan serta para sosiolog dan psikolog Barat memandang keadaan kosong sebagai kondisi negatif yang tidak diinginkan, dalam filsafat Timur seperti Buddhisme dan Taoisme, kekosongan merupakan pencapaian yang disadari. Di luar filsafat Timur, beberapa penulis juga menyarankan agar orang menggunakan keadaan kekosongan sementara sebagai sarana untuk membebaskan dirinya demi perkembangan pribadi.
———
[1] Design by Nature: An Interview with Maggie Macnab. 2011. Peachpit, http://www.peachpit.com/articles/article.aspx?p=1755414, diakses 4 Oktober 2015.
[2] Hilmi, Muhammad. 2015. Esensi Desain bersama Hanny Kardinata. Jakarta: Whiteboard Journal, http://www.whiteboardjournal.com/interview/23151/esensi-desain-bersama-hanny-kardinata/, diakses 8 Oktober 2015
[3] Kardinata, Hanny. 2016. Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia. Jakarta: DGI Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar