Pola-pola semesta dalam praktik permakultur
Menjelang tahun delapan puluhan muncul pergerakan di bidang ekologi yang berlandaskan pada prinsip-prinsip alam yang disebut dengan permakultur. Istilah permakultur awalnya diciptakan oleh dua warga Australia, Bill Mollison (l. 1928) dan David Holmgren (l. 1955) untuk menggambarkan sistem desain yang mereka rintis yang merespons apa yang mereka pandang sebagai tantangan serius terhadap kelangsungan hidup manusia. Mulanya berasal dari kata permanent agriculture, kemudian berkembang hingga melampaui pengertian asalnya itu menjadi permanent culture atau permaculture, adalah pergerakan global yang mencakup segala aspek tentang bagaimana manusia bisa hidup harmonis dengan Bumi dan sumber dayanya yang terbatas. Sebagai filosofi desain terpadu, permakultur mencakup kegiatan-kegiatan berkebun, arsitektur, hortikultura, ekologi, bahkan manajemen keuangan, dan sistem perancangan komunitas (community design).
Perkembangannya saat ini telah membawa permakultur memiliki banyak definisi, sebanyak praktisi yang menjalankannya. Tapi ada satu definisi yang berguna untuk memahaminya, yaitu ‘menciptakan habitat yang berkelanjutan dengan cara mengikuti pola-pola semesta’ (creating sustainable human habitats by following nature‘s patterns).[4]
Perkembangannya saat ini telah membawa permakultur memiliki banyak definisi, sebanyak praktisi yang menjalankannya. Tapi ada satu definisi yang berguna untuk memahaminya, yaitu ‘menciptakan habitat yang berkelanjutan dengan cara mengikuti pola-pola semesta’ (creating sustainable human habitats by following nature‘s patterns).[4]
Ribuan tahun evolusi yang telah berlangsung mengakibatkan bentuk-bentuk dan pola-pola tertentu muncul secara sangkil demi tujuan-tujuan tertentu. Bentuk-bentuk dasar yang ada di alam itu dapat diidentifikasi, dipahami serta digunakan untuk berbagai kebutuhan perancangan. Mereka bisa ditemukan di semua dimensi, termasuk dimensi waktu, dan dapat dipadukan dengan pola lain untuk menciptakan struktur yang lebih kompleks. Kita bisa menghabiskan waktu seumur hidup kita belajar pola. Ini adalah subjek dengan banyak kedalaman. Sekali kita menyadari apa yang kita cari, kita akan melihat pola di mana-mana di alam, serta mengerti kenapa mereka terbentuk seperti itu dan apa fungsinya, yang akan membantu kita memahami bagaimana sistem alam bekerja. Kita kemudian bisa mengambilnya sebagai inspirasi dan memakainya pada desain permakultur yang kita rancang, demi menciptakan sistem desain yang efektif.
Misalnya saja pola simetri. Simetri berarti sebuah objek yang memiliki dua bagian yang sama pada sisi yang berlawanan yang terpisah, yang satu sama lain merupakan cerminannya. Pola ini ada dua macam, pertama yang memperlihatkan ketepatan kesamaannya secara geometris, dan yang satunya lagi tidak persis sama, mencerminkan rasa harmonis dan keseimbangan yang umum di antara kedua bagiannya. Kebanyakan binatang-bergerak, seperti kupu-kupu, kuda, lipan, juga manusia menunjukkan pola simetri bilateral, yang timbal-balik. Tanaman di sisi lain, sering memiliki pola simetri radial, dengan beberapa bagiannya yang serupa tersusun mengitari sebuah titik pusat. Pola simetri berperan penting dalam kehidupan bermasyarakat. Apa yang dibuat oleh manusia sering kali berpola sangat simetris, seperti yang dapat dijumpai pada desain arsitektur, rumus persamaan dalam aljabar, dan juga musik.
Ada juga ‘rasa simetri’, atau yang sifatnya timbal-balik di dalam konsepsi-konsepsi sosial, seperti gagasan tentang keadilan, permintaan maaf (sebagai pengganti sesuatu yang tak seimbang), dan dialog. Ketika kita memiliki hubungan yang seimbang dengan teman kita, hubungan itu sifatnya simetris, kedua belah pihak berada dalam keadaan setara. Sementara hubungan kekuasaan tidak memiliki karakteristik ini, karenanya sudah sifatnya bila tidak seimbang.
Dalam pandangan Mollison:
“Membuat mal (patterning) adalah cara kita membingkai rancangan kita, merupakan template di mana kita menyelaraskan berbagai informasi, entitas, dan objek yang kita kumpulkan selama proses observasi, serta memilihkan materi dan teknologi yang tepat. Patterning inilah yang memungkinkan masing-masing elemennya berfungsi dan mengalir dalam hubungan-hubungan yang bermanfaat. The pattern is design and design is the subject of permaculture.”[5]
Revolusi sunyi permakultur
Mollison mengembangkan permakultur setelah menghabiskan puluhan tahun waktunya memelajari ekosistem langsung di hutan-hutan hujan dan padang pasir Australia. Ia mengamati bahwa tumbuh-tumbuhan secara alami mengelompokkan dirinya dalam komunitas yang keberadaannya masing-masing saling menguntungkan. Dia menggunakan ide ini untuk mengembangkan pendekatan berbeda di bidang pertanian dan perancangan masyarakat, antara lain dengan cara menempatkan unsur-unsur yang selaras secara bersama-sama sehingga mereka saling mempertahankan diri dan mendukung satu sama lain. Dalam sebuah wawancara, ia mengisahkan pertemuannya dengan seorang petani Filipina yang selalu menanam akar pisang dalam satu lubang dengan sebuah cabai dan empat butir kacang. Penelitiannya kemudian mengungkapkan fakta bahwa kacang menyuplai nitrogen dan cabai mencegah kumbang menyerang bibit pisang (symbiotic relationship).[4] [Lihat Ketahanan dalam Keragaman (1), (2)]
Dewasa ini, gagasan-gagasannya telah menyebar hampir di setiap negara di dunia, termasuk di Indonesia (beberapa di antaranya, seperti di Kalimantan Tengah: Permakultur Kalimantan Foundation, di Yogyakarta: Bumi Langit Institute, dan PermaBlitz Jogja, serta Mahayana Permaculture di Salatiga). Permakultur sekarang dipraktikkan di hutan-hutan hujan di Amerika Selatan, di gurun Kalahari, di wilayah Arktik Utara di Semenanjung Skandinavia, dan di berbagai komunitas di seluruh Amerika Utara.
Di New Mexico, misalnya, petani menggunakan permakultur untuk mengubah tanah-tanah keras berbatu menjadi taman yang rimbun dan kebun buah-buahan tanpa menggunakan mesin berat. Di Davis, California, sebuah komunitas menggunakan limbah air mandi dan cucian untuk menyiram toilet dan mengairi kebun. Di Toronto, ada sekelompok arsitek yang menciptakan desain bagi sebuah rumah urban yang diubah peruntukannya (infill) dengan tidak memanfaatkan air kota atau pun infrastruktur pembuangan limbahnya, dengan biaya operasi hanya beberapa ratus dolar setahun.
Di New Mexico, misalnya, petani menggunakan permakultur untuk mengubah tanah-tanah keras berbatu menjadi taman yang rimbun dan kebun buah-buahan tanpa menggunakan mesin berat. Di Davis, California, sebuah komunitas menggunakan limbah air mandi dan cucian untuk menyiram toilet dan mengairi kebun. Di Toronto, ada sekelompok arsitek yang menciptakan desain bagi sebuah rumah urban yang diubah peruntukannya (infill) dengan tidak memanfaatkan air kota atau pun infrastruktur pembuangan limbahnya, dengan biaya operasi hanya beberapa ratus dolar setahun.
Dalam sebuah wawancara Mollison menyebut konsep permakultur sebagai sebuah revolusi. Tapi sejenis revolusi yang tak ada orang yang memperhatikannya.
“Bangunan-bangunan mungkin jadi berfungsi lebih baik karenanya. Anda mungkin jadi membutuhkan lebih sedikit uang karena bisa memperoleh makanan dari sekitar anda, dan anda tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mendapatkan energi. Dengan demikian, sejumlah besar uang bisa dihemat dan kita bisa melengkapi diri kita dengan hal-hal lain yang lebih baik.”[6]
———
[4] So What is Permaculture. Spiralseed, http://spiralseed.co.uk/permaculture/, diakses 24 Oktober 2015.
[5] Regenerative Permaculture Design. Open Permaculture School, www.openpermaculture.com, diakses 24 Oktober 2015.
[6] London, Scott. Permaculture: A Quiet Revolution–An Interview with Bill Mollison. Scott London, http://www.scottlondon.com/interviews/mollison.html, diakses 24 Oktober 2015.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar