|
Buku FI9UR, karya Tugas Akhir (TA) Lauren Suria di DKV Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Trisakti. |
|
FI9UR adalah buku yang ditulis oleh desainer grafis lulusan Universitas
Trisakti, Lauren Suria, mengungkap perjalanan hidup 9 orang desainer
grafis. Perbincangan dengan saya terjadi pada akhir April 2014 melalui surat elektronik atau pun berlangsung di rumah saya di Bintaro.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Lauren Suria (LS): Berapa orang yang sekarang aktif di dalam situs DGI?
Hanny Kardinata (HK): Akhir 2013, DGI memasuki proses perkembangan yang paling signifikan sebagai sebuah organisasi. 80% di antaranya bisa dikatakan sangat aktif dan cukup aktif, berikut susunan organisasinya:
Founder
Advisory Board
Priyanto Sunarto, BandungYongky Safanayong, JakartaHermawan Tanzil, JakartaHenricus Kusbiantoro, New York
Bureau Chief
Superintendent
Managing Editor
Vincent Hadi Wijaya, Jakarta
Online Editor
Berti Alia Bahaduri, Bandung
Program Board
Yan Mursid, JakartaNovita Angka, JakartaAdi Handoyo, Jakarta
Development
Peter Natadihardja, JakartaYoga Iswara, Jakarta
Research
Hastjarjo Boedi Wibowo, Jakarta
Creative Board
Henricus Kusbiantoro, New YorkBambang Widodo, New Jersey
International Affairs
Eve Vogelein, Berlin-New York
Contributors
Andi Rahmat, BandungSumbo Tinarbuko, YogyakartaObed Bima Wicandra, Surabaya
2. Mengapa lebih memilih sarana blog/situs dibandingkan menuliskannya menjadi sebuah buku?
Situs web lebih mudah dan lebih cepat menjangkau sebanyak mungkin orang, dan bisa diakses dari mana saja. Juga bisa diakses secara gratis. Pilihan itu seharusnya lebih populer untuk memperkenalkan sejarah, bidang yang bukan prioritas untuk dibaca atau dipelajari oleh kalangan muda.
Tapi sejak 2 tahun yang lalu saya telah menyiapkan sebuah buku, setiap hari saya sempatkan menulis beberapa halaman, dan sampai hari ini sudah mencapai 600 halaman lebih. Saya berharap penulisan buku (Bakal) Sejarah Desain Grafis Indonesia ini bisa saya selesaikan dan terbit pada 2014 ini.
3. Target terdekat yang akan dilakukan oleh DGI?
Mendesain ulang situs DGI, menyempurnakan strukturnya, dan memperbaiki sistem navigasinya. Dan akan lebih banyak mengadakan aktivitas-aktivitas offline. Dan menyelenggarakan ajang penghargaan Indonesian Graphic Design Award (IGDA) ke-2 pada 2015.
Dan target kedepannya untuk DGI?
Mewujudkan Museum DGI, sebuah proyek yang tertunda akibat lahan peruntukannya semula yang berlokasi di Ciganjur ternyata tidak bisa dibangun karena termasuk daerah resapan air DKI Jakarta. Rupanya bangunan-bangunan yang berdiri di daerah ini tidak ada yang memiliki IMB.
4. Mengapa Pak Hanny sangat tertarik menjadi bagian yang mengungkapkan sejarah desain grafis Indonesia?
Mata pelajaran sejarah selalu menarik perhatian saya sejak SD, tapi dalam konteks DGI, awalnya sederhana: saya hanya ingin membagi kliping desain grafis yang saya kumpulkan sejak 1970-an agar bermanfaat bagi banyak orang. Rupanya langkah itu keterusan sampai sekarang.
5. Bagaimana Pak Hanny mengumpulkan data-data dulu sehingga menjadi catatan sejarah desain grafis Indonesia sekarang? Apakah cukup sulit untuk menggumpulkan data-data yang bersangkutan?
Awalnya tidak sulit, karena saya sendiri adalah bagian dari sejarah zaman itu (1970–1990-an) dan masih memiliki ingatan dan catatan-catatannya. Lalu dengan berjalannya waktu, dengan terbangunnya kepercayaan pada DGI, kerja pencatatan dan pengarsipan bahkan semakin dimudahkan.
6. Pak Hanny sebagai penulis sejarah desain grafis Indonesia, menurut Bapak siapa yang paling berperan memajukan dunia grafis Indonesia dahulu? Apa Pak Hanny termasuk yang mengagumi beliau?
Saya menyinggung hal ini dalam kata pengantar saya untuk buku yang sedang saya siapkan itu, yaitu bahwa:
“Sejarah desain grafis erat kaitannya dengan masalah-masalah budaya, sosial, politik, dan ekonomi, nilai-nilai yang terbentuk juga adalah nilai-nilai budaya, sosial, politik, dan ekonomi sebuah bangsa. Sebuah karya—bentuknya, warnanya—tercipta bukan saja tidak lepas dari pengaruh lingkungan di sekitar desainernya: trend, gaya, aliran, tetapi juga dari perjalanan ide-ide dan nilai-nilai itu; dari suatu jalinan proses yang kompleks dan tidak pernah berhenti.”
[...]
“Itu sebabnya, kita tidak bisa menyebut seseorang atau sekelompok orang sebagai satu-satunya yang berjasa atas terjadinya suatu peristiwa. Dalam berproses, seseorang atau sekelompok orang itu tidak pernah ‘bekerja sendiri’.”
7. Apa yang dapat dipetik oleh Pak Hanny sendiri dari setiap sejarah desain grafis yang sudah dicatat?
Bahwa perjalanan desain grafis Indonesia tidak terlepas dari perjalanan desain grafis dunia.
Saya percaya bahwa berbagai kejadian itu memang berhubungan dan berinteraksi satu sama lain, misalnya dengan cara saling memengaruhi atau menginspirasi, mungkin juga saling berbenturan. Selalu saja, ketika ada satu hal, hal baru lain akan berkembang. Dan saat tak ada apa-apa, tak banyak terjadi perkembangan. Sebuah aliran dalam seni rupa timbul sebagai akibat dari, atau karena mereaksi terhadap, aliran-aliran sebelumnya. Demikian halnya, peristiwa desain grafis yang satu telah berdampak bagi terjadinya peristiwa lainnya. Dan bukan hanya terkait atau tidak bisa dipisahkan dari peristiwa desain grafis lainnya saja, tetapi juga dengan apa yang terjadi di cabang-cabang seni rupa lainnya. Bahkan juga dari peristiwa-peristiwa budaya, sosial, politik, dan ekonomi, yang terjadi di negeri ini maupun di negara-negara lainnya.
8. Cerita apa yang terkandung dibalik penemuan teknik drybrush?
Teknik ini saya temukan secara kebetulan ketika suatu ketika saya mencoret-coretkan sebuah kuas cat minyak di atas selembar koran. Efek yang terjadi memesona saya, dan kemudian mendorong saya untuk menggali kemungkinan-kemungkinan pencapaian artistiknya lebih jauh. Ini meliputi pilihan pada jenis kuas cat minyaknya, jenis kertas dengan tekstur dan ketebalan tertentu, jenis cat posternya, dsb.
Teknik ini sangat spesifik, dan membutuhkan ketekunan serta konsentrasi tinggi dalam mengaplikasikannya supaya memberi hasil yang sempurna. Nyaris tidak mentolerir kesalahan, mungkin seperti teknik menggambar dengan cat air yang harus sekali jadi.Pak Gauri berkali-kali mendorong supaya saya menulis buku mengenai teknik ini, tapi saya pikir pada masa kini di mana desainer telah memperoleh berbagai kemudahan teknis, siapa yang masih mau bersusah payah mempelajari dan mempraktikkannya?
9. Saya sempat membaca satu artikel, di mana pada periode 2000-an penglihatan Pak Hanny mengalami penurunan, apakah karena hal tersebut Pak Hanny sekarang tidak pernah lagi berkarya menggunakan teknik drybrush?
Ya betul, bahkan sejak 1990-an. Karya terakhir saya yang menggunakan teknik dry-brush adalah poster Buatan Indonesia. Mengapa tidak? itu.
10. Antara berkarya dengan teknik drybrush dengan sekarang berkarya di situs DGI, mana yang ternyata lebih menyenangkan? Dan kenapa?
Keduanya sama menyenangkannya. Mungkin karena keduanya adalah ”anak” saya?
11. Bisa diceritakan bagaimana dulu situasi dan kondisi “Pameran Rancangan Grafis ’80 Hanny, Gauri, Didit”? Apa yang mendasari berlangsungnya pameran tersebut?
Pameran ini mengemban misi memperkenalkan profesi desainer grafis ke masyarakat luas, di samping agar karya desain grafis diapresiasi sebagai karya seni. Tujuan ini dinyatakan tidak hanya dengan memeragakan hasil akhir, tapi juga proses penciptaan sebuah karya, hingga perjalanan proses penautan separasi warna (color separation).
12. Tidak ada keinginan untuk mengulang kembali di masa sekarang “Pameran Rancangan Grafis ’80 Hanny, Gauri, Didit”?
Ah saya sekarang kan sudah tidak memiliki karya lagi. Sekarang giliran yang muda-muda untuk unjuk karya.
13. Melihat pameran-pameran desain grafis sekarang yang mulai banyak diselenggarakan, apa tanggapan Pak Hanny?
Belakangan ini saya jarang mengunjungi pameran-pameran karena sudah tidak begitu mobile lagi. Tapi senang sekali melihat semangat ’go public’ yang tumbuh hampir di semua sekolah DKV.
Seluruh elemen desain (dasi kupu-kupu, tas belanja dengan label Buatan Indonesia, warna merah putih, dan hitam) dimaksudkan untuk menggambarkan citra perempuan kelas atas yang berdasarkan analisa psikologis ketika itu (tahun 1980-an):
- Merupakan golongan yang gemar mengkonsumsi barang-barang bermerek produksi luar negeri.
- Mode bergerak dari atas ke bawah. Kalau anjuran ditujukan ke kalangan atas, yang di bawah (kelas menengah) akan mengikutinya. Anjuran untuk menggunakan produk dalam negeri jelas tidak akan mengenai sasaran bila ditujukan ke kalangan bawah.
15. Boleh sharing tips untuk desainer-desainer muda yang nantinya mungkin berminat untuk membuat blog atau situs seperti DGI, apa yang harusdipikirkan dan diutamakan terlebih dahulu?
Secara keseluruhan, sebisa mungkin bersikap tidak berpihak, bersikap netral pada trend yang ada, juga pada tiap ciri khas desainer, pada kelompok-kelompok desain yang eksis.
a. Selama perjalanan berkarya, bagian tertinggi dan terendah yang pernah dijalani apa saja?
Semuanya saling berhubungan, kalau pun ada yang tertinggi tidak lain merupakan konsekwensi saja karena telah melalui perjalanan-perjalanan sebelumnya.
b. Siapa Inspirasi desainer grafis Pak Hanny? Internasional maupun nasional.
Tidak ada yang spesifik, tapi karena hidup dan berkarya di masa Modernisme, mungkin prinsip-prinsip Modernisme yang paling banyak berpengaruh, dengan demikian termasuk juga desainer-desainernya.
c. Desain Indonesia saat ini apa yang kurang, dalam artian harus diperbaiki untuk kedepannya, dan apa yang baik sehingga perlu dipertahankan atau ditinggikan lagi?
Saya kuatir pertanyaan ini akan menggiring pada kondisi yang terlalu general, padahal pengertian ’desain Indonesia saat ini’ mencakup karya-karya yang sangat luas, mulai dari yang super hingga yang mediocre.
d. Harapan Pak Hanny mengenai desainer-desainer grafis muda sekarang?
Berani berkompetisi di ajang-ajang penghargaan desain internasional.
Belasan tahun silam, atas rekomendasi Sheila Levrant de Bretteville, salah seorang desainer grafis penandatatangan Manifesto First Things First 2000, saya diminta oleh Florian Pfeffer, inisiator ajang penghargaan (awards) :output, International Award for Students in Design, untuk membantunya sebagai editor buku :output yang dipublikasikannya setiap tahun bersama German Design Council. Motivasi di balik gagasan ini adalah karena “Graphic design created at universities, usually disappears into the drawers of the authors, after it has been presented to a small university audience. There the works remain invisible”. Florian, melalui proyek :output ini berniat mengubahnya.
Sebagai editor artinya: “Every editor can/should send up 3 works of his students each year, which he/she would like to be published in :output. Out of the board of editors every year a commission will be composed to make the final selection for the book. The commission has got the commitment, to select at least one work from each editor so the editors will have a big influence on the content of the book. The commission will meet every year in a different country to make :output a world-based project”.
Saya memberanikan diri menerima tawarannya, dan kemudian bergabung sebagai Board of Editors sejak edisi kedua buku :output bersama Irma Boom (Belanda), Sheila Levrant de Breteville (Amerika Serikat), Werner Jeker (Swiss), Dieter Kretschmann (Jerman), Florian Pfeffer (Jerman), Peter Rea (Inggris), Erik Spiekermann (Jerman), dan Teal Triggs (Inggris). Maka sejak edisi kedua itu, karya mahasiswa-mahasiswa desain grafis Indonesia mulai hadir dalam buku :output, bersanding dengan karya-karya yang berasal dari negara-negara yang merupakan kiblat desain grafis dunia tersebut di atas.
Sayang, walau telah memperoleh berbagai keringanan, bahkan entry fee pun ditiadakan—saya jelaskan pada Florian, bahwa kondisi Indonesia sedang krisis saat itu—gairah menyertakan karya dari mahasiswa-mahasiswa kita menurun terus, hingga akhirnya tidak lagi hadir sejak edisi kelima dan seterusnya. Sebuah kesempatan yang telah disia-siakan?
Kini Indonesia bahkan tidak diperhitungkan dalam lingkup Asia! Tahun lalu, untuk ajang penghargaan Design for Asia (DFA) Awards 2013 yang diselenggarakan oleh Hong Kong Design Centre (HKDC), saya mendistribusikan call for entry melalui situs DGI dan media-media sosial terkait; bahkan link ke situs DFAA ini saya cantumkan pada ruang banner yang tersedia di situs DGI supaya menjadi perhatian. Tapi, ketika kemudian saya menerima kiriman buku yang mempublikasikan karya-karya pemenangnya (bukunya cukup mewah, format 27x27 cm, tebal 276 halaman), saya menjumpai tidak ada satu pun karya desainer Indonesia tercakup di dalamnya. Bahkan, di dalam sebuah peta yang menggambarkan lingkup desain di Asia (Design in Asia: Now and Future), nama negara kita tidak dicantumkan walau kepulauan Indonesia tergambarkan dengan jelas (di antara Singapura, Malaysia, Thailand, Hong Kong, Taiwan, Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang), yang berarti: tidak ada satu pun karya dari Indonesia disertakan pada ajang ini. Dan sebagai akibatnya Indonesia bahkan tidak diperhitungkan dalam percaturan desain di kawasan Asia. Kalau kondisi ini mengusik kita, bagaimana kalau kita bersama-sama mencoba mengubahnya?
[Lihat pula: Yongky Safanayong (1950-2015) dalam FI9UR]