11.12.17

Dalam Kenangan: Tjahjono Abdi (1952–2005)

Tjahjono Abdi (1952–2005)


P E R T E M U A N   P E R T A M A

Saya mulai kenal Tjahjono pada tahun 1972 ketika pertama kali saya menjejakkan kaki di tempat in-de-kost saya di jalan Purwodiningratan 188, Yogyakarta dalam rangka studi di STSRI 'Asri'. Tjahjono sudah terlebih dulu kos di tempat itu. Ketika itu dia bersekolah di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) di jurusan Seni Lukis dan "sudah jadi" seniman—penampilan mau pun ketrampilannya—sementara saya sendiri masih sebagai remaja yang baru lulus SMA.

Kesan yang segera terpancar dari dirinya adalah sikap individualistiknya. Dia tinggal di kamar yang disediakan untuk satu orang, sementara saya memilih kamar untuk berdua. Dia lebih senang pergi sendirian sementara kami (sekitar sepuluh orang di tempat kos itu) lebih suka pergi bersama-sama. 

Tjahjono seorang yang fanatik pada Beethoven. Dia memiliki kesembilan simfoninya (di samping karya lainnya) dan juga sebuah patung Beethoven di kamarnya. Kalau dia melukis, kamarnya akan dikuncinya rapat-rapat dan yang terdengar dari luar hanyalah gema musik Beethoven itu. Terkadang, dari lubang kunci pintunya kami melihat dia mengayun-ayunkan tangannya mengiringi gelegar irama musik. 

Lukisannya sendiri bercorak abstrak ekspresionistik dengan sapuan kuas dan palet besar-besar dengan dominasi warna merah, biru, putih dan hitam. Dominasi keempat warna ini juga tampil pada karya-karya posternya waktu itu.

Kami berpisah ketika dia lulus sekolah (mungkin sekitar 1974) dan bermaksud melanjutkan studinya ke LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, sekarang; IKJ). Sejak itu hubungan kami terjalin lewat korespondensi. 

Dalam salah satu suratnya Tjahjono mengungkapkan kekecewaannya pada sistem pendidikan yang diterimanya di LPKJ. Menurutnya, apa yang diajarkan sudah pernah diterimanya semasa di SSRI. Dia segera meninggalkan LPKJ dan memutuskan untuk bekerja saja di biro reklame. Beberapa karyanya semasa bekerja di biro-biro reklame di Jakarta itu dia lampirkan dalam surat-suratnya dan saya segera saja kagum dengan kemampuan adaptasinya yang luar biasa—dari seorang seniman lukis abstrak menjadi seorang desainer iklan.

P E R T E M U A N   K E D U A

Pertemuan berikutnya dengan Tjahjono adalah di Jakarta tahun 1976. Ketika itu dia bekerja sebagai visualizer di Matari Advertising. Saya baru saja menyelesaikan studi di Yogyakarta dan datang melamar bekerja di kantornya (waktu itu di jalan Tanah Abang II) karena menurutnya Matari membutuhkan seorang visualizer lagi. 

Selama bekerja di Matari (1976–1977) lagi-lagi saya tinggal satu kos dengannya, kali ini sekamar. Pada periode ini Tjahjono yang saya lihat adalah Tjahjono yang sepenuhnya desainer iklan, yang sangat terampil mengolah dan mengeksekusi ide-ide untuk kampanye periklanan perusahaan-perusahaan besar. 

Saya juga menyaksikan bagaimana sepulang dari kantor dia masih sempat mengerjakan sampul majalah Tempo yang waktu pengerjaannya selalu sangat terbatas—sering-sering hanya semalam, demi aktualitas topik utamanya—di mana pada pagi harinya Tjahjono sudah harus menyerahkannya ke kantor Tempo di jalan Senen Raya, dilakukannya dalam perjalanan dengan sepeda motor bebeknya ke Matari. Pada masa ini S. Prinka (yang juga pernah bekerja di Matari) belum bekerja di Tempo.

Matari, yang kemudian berkantor di Slipi, pada saat itu mulai merintis pemisahan kerja antara desainer iklan (khusus proyek-proyek above-the-line) dan desainer grafis (khusus below-the-line). Tjahjono tetap menangani desain iklan sementara saya lebih ke proyek-proyek desain grafis, mengerjakan logo, brosur, poster, kalender, dsb. 

Semasa berkarya di Matari, Tjahjono menjadi orang Indonesia pertama yang mendapatkan Clio Awards (1978). Penghargaan ini segera disusul dengan penghargaan-penghargaan lainnya.

Kebersamaan saya dengan Tjahjono di Matari berlangsung selama setahun lebih. Kembali kita berpisah ketika saya keluar dari Matari dan melanjutkan karier saya sepenuhnya di bidang desain grafis secara free lance

Pada tahun 1980 saya mengadakan pameran desain grafis bersama Gauri Nasution dan Didit Chris yang berlangsung di Pusat Kebudayaan Belanda 'Erasmus Huis'. Pada tahun yang sama kami, para perancang grafis Indonesia, mulai merintis berdirinya Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI) dan pada kesempatan itulah saya dan Tjahjono dipertemukan kembali. Tjahjono yang kemudian ditunjuk duduk di seksi publikasi, menangani publikasi-publikasi pameran IPGI yang berlangsung hingga tiga kali pameran berturut-turut.

P E R T E M U A N   K E T I G A

Masih di tahun yang sama, seusai bersama-sama mengurus penyelenggaraan pameran IPGI yang pertama di Mitra Budaya, Tjahjono, saya, dan beberapa kawan, mendirikan studio desain grafis Citra Indonesia. Citra Indonesia awalnya berkantor di sebuah ruang kecil di Jalan Sunda, di tempat tinggal Soedarmadji J.H. Damais (mas Adji). Tjahjono ketika itu sudah keluar dari Matari. [Lihat: Mengikuti Jalan (2)].

"KeIndonesiaan" Tjahjono barangkali mulai terasah di sini dengan pertemuannya yang intens dan berlangsung setiap sore dengan mas Adji yang pakar kebudayaan Indonesia. Inilah kebersamaan saya yang paling lama dengan Tjahjono, mungkin berlangsung selama lebih kurang 10 tahun (on-and-off), mulai dari jalan Sunda, kemudian jalan Sawo, hingga ke Bintaro dan jalan Cibeber, kemudian dari jalan Bangka hingga ke Kemang, dan sejak Tjahjono keluar dan kemudian masuk lagi ke Matari dan kemudian keluar lagi. 

Hampir bersamaan dengan keluarnya (yang terakhir kali) dari Matari itu Tjahjono kemudian juga keluar dari Citra Indonesia dan mendirikan Mindglow. Setelah itu kami hampir tidak pernah bertemu lagi kecuali secara kebetulan dalam beberapa peristiwa, hingga meninggalnya pada 3 Februari 2005. [Lihat: Sang Maestro dengan Tempo Allegro] [Lihat juga: Buku “Shalat, Shalawat, Doa” (proses pembuatannya)]


Hanny Kardinata
11 Februari 2005

***

Tidak ada komentar:

Unggulan

Merajut Keterhubungan

Sebuah esai merespons tema pameran Forum Grafika Digital 2017 (FGDexpo 2017), Connectivity (Jakarta Convention Center, 24–27 Agustus 2017). ...