“One of the horrifying things about growing older is that your friends don't all grow older with you. People get sick and then they die. You watch, you try to comfort them, and then you try to comfort yourself. The true horror is that after a while your memories begin to fade. How long can you hold on to the sound of a voice, the memory of a strange event, a bittersweet feeling, a silly story? I was friends with all the dedicatees of the enclosed set of pieces—some were closer friends than others—and I have very personal memories of my dealings with them that I don't want to fade. Each of these little pieces highlights some aspect of my relationship with each friend. I hope this will help me hold on to these memories just a little while longer.” —David Lang, Memory Pieces (1992)
Liem Hian Swie, dalam reuni SMAK Petra Christian School, Surabaya, 15 Maret 2013, saat mayoritas alumni angkatan '69 telah atau tengah memasuki usia 60 tahun. |
Hian Swie adalah salah seorang sahabat terbaik yang pernah dikirimkan Tuhan kepada saya. Saya mengenalnya di SMP (Petra Christian School). Walau tidak pernah sekelas, kami bersahabat akrab. Rumah kami berdekatan, Swie di jalan Comal, dan saya di jalan Trunojoyo. Barangkali karena begitu seringnya saya ke rumah Swie, dan sebaliknya—masih zaman bersepeda—ibunya selalu memanggil saya seperti beliau memanggil anaknya: “Hian” Liat.
Mungkin sebagaimana tipikal “arek Suroboyo”, Swie merupakan
pribadi yang lurus, gaya berbicaranya tidak berbunga-bunga. Pada dasarnya ia
bahkan sedikit pendiam. Swie membutuhkan suasana dan lingkungan yang tepat
sebelum “mesinnya panas”. Semasa SMA, kami sering jalan berenam bersama
Maritjie, Astrid, Lanne, dan Soen Hok (belakangan berdelapan dengan Hilda dan
Hok Liong, lalu bersepuluh dengan Ieneke dan Joe Hwie, dan lebih banyak lagi
dengan Ronny Tapiheru, Hientje, dll.). Dalam lingkungan ini, Swie bagai ikan
bertemu air.
Swie selalu sangat perhatian pada temannya. Ketika ia telah
memiliki motor, setiap pagi Swie menyempatkan diri menjemput saya ke sekolah
dan mengantar saya kembali ke rumah seusai sekolah. Dengan kepribadian yang
penuh perhatian, setia, dan tulus seperti itu, Swie menjadi teman berbagi yang
ideal. Tidak jarang kami menghabiskan waktu bersama, bercakap-cakap hingga
larut malam. Atau menonton bioskop.
Kami berpisah setelah saya melanjutkan studi saya di Yogyakarta,
dan hanya sesekali sempat berkumpul kembali ketika saya pulang ke Surabaya.
Pertemuan terakhir saya dengannya adalah pada reuni pertama alumni Petra pada
22 Januari 2011 di Urban Kitchen, Senayan City, Jakarta. Dalam pertemuan yang
serba riuh ini pun Swie lebih banyak duduk di salah satu sudut ruang; ia
menikmatinya, tapi tidak larut atau tergoda untuk menjadi show-off.
Natal 2013 menjadi Natal paling kelabu sepanjang hidup saya. Penjemput yang setia ini kembali ke rumah Bapa, seusai ia mengumpulkan persembahan (kolekte) pada malam kebaktian Natal 24 Desember 2013 pukul 20.30 di Gereja Kristen Indonesia (GKI) di kawasan Bendul Merisi, Surabaya.
Natal 2013 menjadi Natal paling kelabu sepanjang hidup saya. Penjemput yang setia ini kembali ke rumah Bapa, seusai ia mengumpulkan persembahan (kolekte) pada malam kebaktian Natal 24 Desember 2013 pukul 20.30 di Gereja Kristen Indonesia (GKI) di kawasan Bendul Merisi, Surabaya.
Selamat jalan sahabat tersayang. Malaikat-malaikat penjemputmu
akan membuka lebar-lebar pintu surga bagimu.
(Di kejauhan, terdengar sendu himne Gloria in excelsis Deo…)
Hanny Kardinata
25 Desember 2013
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar