Johnny Wibowo (1951–2017) |
Each day is born with a sunrise and ends in a sunset, the same way we open our eyes to see the light, and close them to hear the dark.
Barangkali saya tak pernah memimpikannya, tapi benar telepon itu memang darinya. Di suatu malam tahun 2009.
“Kamu masih menggambar komik?” demikian ia membuka pembicaraan dengan hangat.
Kami pun kemudian larut dalam berbagai topik berkepanjangan. Hingga tak terasa satu setengah jam berlalu. Mempercakapkan apa yang sedang kami kerjakan, mengenai kabar terakhir teman-teman kami yang telah 40 tahun berpisah, hingga menyentuh isu-isu politik terkini. Dan sesudahnya, berkat kebaikannya, saya terhubung kembali dengan beberapa teman lama, yang juga menelepon saya malam itu.
Ia, Johnny Wibowo, sekelas saya di SMAK Petra, Surabaya. Tak banyak yang bisa saya ingat mengenai dirinya kecuali beberapa perilakunya yang bandel. Seusai SMA, ia lanjut ke Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga. Dan setelah berkeluarga, Johnny dan isterinya yang profesinya sama, Olivia Maria Rahmawati, memutuskan membuka praktik profesionalnya di rumah. Pertimbangannya, agar anak-anak bisa tetap berada dalam pengawasan mereka saat bekerja.
Klinik dokter gigi keluarga ini, Wibowo Dental Clinic, kemudian menjadi langganan figur publik terkemuka, dan memperoleh rekomendasi dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta sebagai rujukan berobat bagi warga Amerika yang berada di Indonesia Timur. Sesuatu yang menjadi kebanggaannya bahwa tiga generasi keluarga mereka turun-temurun berprofesi sebagai dokter gigi, sejak orang tua isterinya, hingga ke putra-putranya. Johnny dan Olivia dikarunia tiga putra, dan seorang putri. Kecuali putrinya yang dokter umum, ketiga putranya mengikuti jejak ayah ibunya.
Siang hari, Rabu 26 Juli 2017, ketika mendengar berita Johnny tengah dirawat di rumah sakit, saya meneleponnya. Seperti biasa, ia menyambutnya dengan ceria dan penuh semangat. Tiada sedikit pun nada katanya menandakan ia tengah sakit serius. Ia tak membersitkan risaunya. Kami bernostalgia sebentar mengenai masa-masa SMA kami, sebelum diceritakannya kondisi sakitnya dan pilihannya atas metode perawatannya. Johnny begitu kuat dalam keberserahannya.
“Kamu masih suka menggambar?” pertanyaan yang masih sama ia lontarkan. Sejenak saya terbenam dalam keharuan karena ketegarannya.
Kemudian kami saling bertukar informasi mengenai kesehatan. Ia masih sempat menganjurkan pemakaian herbal tertentu, dan lalu mengirimkan beberapa tautan informasinya.
Maka sungguh mengejutkan, bahwa seminggu kemudian, pada Rabu 9 Agustus 2017, Johnny dipanggil menghadapNya. Tak ada lagi telepon, tiada pula kiriman berita-berita politik yang hampir setiap hari saya terima darinya. Perjalanannya di Bumi telah digenapkan.
Selamat jalan, sahabat Johnny. Selamat beristirahat dengan damai dalam pelukanNya.
Every spark returns to darkness.Every sound returns to silence.And every flower returns to sleep with the earth.
—Suzy Kassemm, Rise Up and Salute the Sun, 2010
Hanny Kardinata
Bintaro Jaya, 9 Agustus 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar