Dengan seorang mahasiswa DKV ITB tingkat akhir, berlangsung pada akhir 2006
T: Saat ini saya sangat tertarik pada karya pak Hanny, ilustrasi poster Guruh Soekarnoputra. Pada karya tersebut saya melihat sebuah desain yang kaya akan nilai seni ditinjau dari segi gaya gambar yang bisa dibilang artistik dengan cat minyak pada kanvas (mungkin, menurut saya, maaf kalau salah) dipadukan dengan sarung batik yang dipergunakan oleh beliau yang mencerminkan gaya kubisme (walau tidak terlihat seperti kubisme namun kalau diperhatikan secara sekilas seperti kubisme, maaf juga kalau salah). Apabila diperbolehkan, saya ingin mengetahui filosofi apa yang bapak 'attach' di poster tersebut atau mungkin ada ide yang memang sengaja dituangkan pada poster tersebut?
Ilustrasi Guruh Soekarnoputera untuk materi promosi (tabloid, sampul kaset, dll.) pergelaran perdana Guruh Soekarnoputera bersama Swara Maharddhika, Hanny Kardinata, 1978. |
J: Guruh adalah figur yang sangat Indonesia, jadi ketika beliau meminta saya menggambarnya untuk kebutuhan poster, brosur dan sampul kaset pertunjukan perdana Swara Mahardhika, saya hanya berpikir bagaimana saya bisa menampilkan beliau se-Indonesia mungkin. Karena itulah ada elemen2 batik, gunung, pedesaan, pohon pisang dan juga unsur warna merah-putih di dalam ilustrasi tersebut, yang membuat orang langsung mengenali bahwa inilah Indonesia. Style yang saya pergunakan adalah art deco (bukan kubisme).
Kenapa art deco? Pertama, karena saya mengenal musik Guruh yang dipengaruhi musik tahun 1920/30an (masa di mana art deco berjaya di Eropa, dan kemudian juga di Indonesia karena 'dibawa' oleh Belanda) dan kedua, karena Guruh sendiri ingin ditampilkan dengan style tersebut. Jadi klop.
Selanjutnya seluruh elemen desain (warna, bentuk, tekstur, garis dll.) saya arahkan untuk 'mengekspresikan musik', supaya secara keseluruhan ilustrasi itu menampilkan kesan 'musical'. Perhatikan terutama elemen garis-garisnya, pada daun pisang, pada motif batik yang saya pilih, juga rumah-rumah di latar belakang. Saya tidak berhenti hanya sampai pada bentuk visual yang kasat mata tapi di sini bentuk telah berubah menjadi irama, sesuatu yang tidak kasat mata tapi barangkali bisa dirasakan.
Gambar Guruh itu saya buat dalam ukuran besar (saya menggambarnya di lantai) menggunakan poster color dengan teknik gambar dry-brush.
J: Barangkali kebetulan saja saya tumbuh di era yang manual itu. Tapi memang ada elemen2 desain yang saya rasa tidak bisa ditampilkan maksimal melalui komputer. Misalnya, tekstur.
Kembali ke ilustrasi Guruh itu, saya sengaja memilih kertas bertekstur supaya terlihat melalui teknik goresan kuas saya. Mungkin anda tidak melihatnya karena yang bisa kita lihat sekarang ini hanyalah fotonya, tapi kalau berkesempatan melihat gambar aslinya maka tekstur kertas itu akan kelihatan jelas dan memberi 'nyawa' kepada keseluruhan ilustrasi tersebut. Pada ilustrasi yang menggunakan komputer, kita akan melihat hasil yang streril atau tidak memiliki 'roh'. Barangkali ini salah satu kekurangan komputer, tentu saja di samping banyak kelebihan-kelebihannya yang lain.
Guruh Soekarnoputra, ilustrasi untuk materi cetak pertunjukan perdana Swara Mahardhika
T: Sekarang ini kan lagi trend anak-anak desain bikin karya pakai motif kriwil-kriwil, katanya supaya lebih etnik, tanggapan bapak bagaimana? Dan seharusnya bagaimana?
J: Mengenai penggunaan motif kriwil-kriwil itu sebenarnya terpulang kembali kepada makna atau fungsinya, apakah elemen tersebut memiliki makna yang substansial, atau berfungsi di dalam konsep desainnya? Kalau tidak, mengapa kita mesti menggunakannya?
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Dengan seorang desainer grafis lulusan sekolah desain ternama di luar negeri, awal 2007
T: Setelah lulus sekolah saya mulai berkarier sebagai desainer grafis di sebuah studio desain ternama. Setelah beberapa bulan bekerja, saya mulai merasa bahwa hasil karya saya tidak pernah sebagus apa yang dihasilkan teman-teman saya desainer lainnya sekantor. Rasa percaya diri saya mulai berkurang dan timbul pertanyaan apakah saya memang mempunyai talenta dan sudah tepat berada di posisi desainer ini? Kondisi sedemikian ini menghadirkan tekanan-tekanan yang membuat saya selalu merasa tegang berada di lingkungan kantor.
J: Anda tidak harus dan tidak perlu membandingkan kemampuan anda dengan desainer lainnya. Tuhan merancang kita masing-masing sedemikian uniknya sehingga tidak ada yang benar-benar serupa di dunia ini. Dengan demikian tiap desainer diharapkan mampu menemukan keunikannya masing-masing dan kemudian menjalankan perannya yang berbeda-beda. [Lihat: Memaknai Kompetisi]
Ada desainer yang memiliki kelebihan dalam menggambar, sehingga desainnya selalu memiliki kandungan ilustrasi yang menjadi trademark tiap rancangannya. Ada yang memiliki sense yang kuat di bidang tipografi yang membuat hampir seluruh rancangannya merupakan hasil komposisi yang luar biasa dari huruf-huruf. Yang kuat di fotografi akan membuat desain yang menyertakan karya-karya fotografinya. Desainer yang merasa kelebihannya adalah dalam merancang logo akan bekerja di studio yang mengkhususkan diri di bidang branding. Studio yang lain memilih spesialisasi di bidang merancang buku, dan menjadi istimewa di bidang ini. Jadi selalu ada bidang-bidang khusus di mana tiap desainer bisa melayani masyarakatnya sesuai dengan kemampuannya.
[Baca: Perjalanan Desainer Grafis Yogyakarta Merenda Kehidupan]
Rick Warren dalam bukunya ‘The Purpose Driven Life’ mengatakan: “Pengrajin kayu tahu bahwa lebih mudah untuk bekerja sesuai alur kayu ketimbang melawannya. Demikian juga, ketika anda dipaksa untuk melayani dengan cara yang ‘tidak sebagaimana mestinya’ untuk temperamen anda, hal tersebut menimbulkan ketegangan dan ketidaknyamanan, membutuhkan usaha dan tenaga ekstra, dan menghasilkan kurang dari yang terbaik. Karena itu meniru pelayanan orang lain tidak pernah berhasil. Anda tidak memiliki kepribadian mereka.”
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Dengan seorang mahasiswa DKV ITB tingkat akhir, awal 2007
T: Melihat perjalanan karier pak Hanny mulai dari IPGI, bagaimana pak Hanny melihat perkembangan gerakan seni rupa baru?
J: Peran gerakan seni rupa baru penting dalam mengubah pandangan mengenai seni rupa yang tadinya hanya dibatasi pada fine art saja (seni lukis, seni patung dan seni grafis). Gerakan ini menerima semua kemungkinan berekspresi (yang tidak dibatasi hanya pada elemen-elemen seni rupa lama), termasuk di antaranya elemen-elemen ruang, gerak dan waktu, yang pada gilirannya telah berjasa melahirkan karya-karya instalasi.
T: Berhubung saya banyak melihat pak Hanny di event-event Adgi (lihat di majalah Concept), ada satu hal yang ingin saya tanyakan mengenai neo-Adgi ini.
Jikalau boleh jujur (pendapat saya pribadi) entah kenapa neo-Adgi ini punya sifat eksklusif? Hal tersebut saya tangkap dari beberapa point yakni:
1. Pendaftaran keanggotaan dipungut biaya lumayan tinggi (menurut saya, untuk kelompok F/akademisi-mahasiswa) rasanya kurang sanggup untuk membayar sebesar itu.
2. Kenapa pendaftaran harus mendapat approval dari member yang sudah terdaftar? (minimal 3 orang)? Saya melihat apabila ada kasus seorang desainer grafis mempunyai reputasi buruk atau dia punya permasalahan dengan salah satu approvan maka dia akan dipersulit/ditolak untuk menjadi member Adgi?
J: Adgi baru terkesan eksklusif? Berapa ya iuran untuk anggota yang akademisi/mahasiswa? Sebetulnya mahal tidaknya iuran anggota ini relatif, yaitu kalau nilainya sebanding dengan apa yang diterima mungkin akan dirasa tidak mahal. Masalahnya, Adgi mungkin kurang mensosialisasikan manfaat keanggotaannya, sehingga iuran dianggap mahal.
Adanya klausul mengenai persetujuan dari 3 orang anggota lama itu memang akan 'mempersulit' masuknya anggota baru. Itu dilakukan barangkali dengan tujuan menyaring. Saya tidak tahu apakah ini ada hubungannya dengan standar keprofesian yang biasa berlaku pada organisasi-organisasi profesi? Artinya, dengan menjadi anggota Adgi otomatis seseorang diakui telah memenuhi standar kerja sebagai desainer profesional? Dan mungkin karena—saya kira— standarnya memang belum ada, maka untuk menghindari subyektivitas individual penilainya, dicantumkanlah keharusan melalui persetujuan 3 orang itu. Saya rasa standar keprofesian ini sudah diterapkan pada organisasi-organisasi profesi yang sudah lebih mapan seperti IDI atau IAI.
Saya akan coba melayangkan pertanyaan anda ini ke milis Adgi, supaya memperoleh tanggapan yang lebih proporsional.
Berikut adalah jawaban dari Danton Sihombing (salah seorang anggota presidium Adgi 2006–2007):
PENDAFTARAN YANG DIPUNGUT BIAYA LUMAYAN TINGGI
• Bahwa biaya sebesar Rp. 900.000,- + Rp. 50.000,-(biaya admin) sudah diperhitungkan dengan matang dengan landasan sbb:
- Vision = Money, the bigger vision you set, the bigger money you need, artinya "KITA BERUPAYA UNTUK TERUS MEMBESARKAN KERANGKA/WACANA BERPIKIR KITA UNTUK TUJUAN YANG LEBIH BESAR".
- Untuk merealisasikan visi dan misi Adgi, diperlukan 'Capital Gain' untuk mencapai tujuan jangka pendek dan jangka panjang dalam membangun fondasi dari keseluruhan cakupan-cakupan produk Adgi, seperti produk2 regulasi, komersial dan peningkatan kualitas keprofesionalan/SDM.
- Bila kita melakukan 'breakdown' setiap program benefit yang sudah dan akan diluncurkan oleh Adgi, maka value for money dari akumulatif program benefit bagi member dalam setahun melebihi dari jumlah Rp. 950.000,-
- Jadi relativitas angka Rp. 950.000,- tergantung bagaimana kita melihatnya dan bagaimana KOMITMEN kita bersama untuk memajukan industri desain grafis Indonesia via Adgi. Apa kita bisa bergerak tanpa 'start up capital' yang memadai, pengalaman sudah bicara and the answer is absolutely NO.
- Bahwa organisasi yang baik harus mampu menjawab komponen 3K = Ketertarikan, Kepentingan, Keuntungan setiap anggotanya. Money talk, right?
MENGAPA PENDAFTARAN HARUS MENDAPAT APPROVAL DARI MEMBER YANG SUDAH TERDAFTAR?
Singkatnya, ini adalah suatu cara untuk nurturing leadership bagi setiap anggota. Bagi yang membawa/meng-approved, dia punya kewajiban untuk mem-promote dan bertanggung jawab atas anggota baru yang dibawanya. Jadi 'scanning process' tidak berbasis pada like or dislike—bagi yang bereputasi buruk ya kita harus sehatkan!
Demikian penjelasan singkat dari saya. Mudah2an dapat memberikan pemahaman yang lebih baik. Terima kasih sekali atas kepeduliannya dengan mengajukan pertanyaan tersebut di atas.
Salam,
Danton Sihombing, MFA
T: Saya ingin bertanya ke pak Hanny saja. Menurut saya, kelompok akademisi dalam Adgi itu sifatnya kan edukasi, jadi apakah tidak sebaiknya dilindungi sehingga kader-kader Adgi berikutnya akan lahir dari kelompok tersebut yang akan menjaga establishment Adgi di masa depan, yang nota bene saat ini belum mapan dalam hal keuangan. Saya melihat (mungkin) dengan iuran yang lebih terjangkau, kelompok ini akan membantu Adgi dari beberapa hal (saya melihat studi kasus AIGA dengan kampus-kampus desain di US):
- ketika Adgi butuh venue untuk menyelenggarakan konferensi akan lebih mudah rasanya bila mendapat tempat di kampus, lebih murah dari segi budget, dibantu koordinasi oleh mahasiswa untuk menyelenggarakan event-nya, serta merupakan suatu promosi yang baik.
- keuntungan bagi kampus: mahasiswa belajar, dosen belajar, kampusnya naik namanya (mungkin) dan keuntungan Adgi: mendapatkan dukungan yang baik dari lingkungan edukasi desain, penumbuhan kader2 baru serta mendapat bantuan koordinasi event.
Visi dan misi Adgi sudah jelas di bidang penjagaan profesi desain grafis bagi yang memiliki dan menjalankan usaha desain grafis. Namun, apakah visi dan misi ini sudah mencakup kebijakan atau regulasi kerja atas profesinya sendiri, misalnya problematika tentang kompensasi dan perlakuan adil terhadap karyawan desain? Saya melihat banyak contoh desainer grafis di ibukota yang digaji dengan kompensasi pas-pasan untuk hidup, padahal eksploitasi mereka di biro-biro desain tertentu melebihi kapasitasnya. Saya merasa visi dan misi Adgi belum menjangkau mereka.
Ini sifatnya hanya usulan pemikiran saya mengingat juga neo-Adgi ini baru established dalam beberapa tahun. Pemikiran saya muncul hanya atas azas pembelajaran saya dalam usaha memahami profesi desainer grafis di Indonesia ini.
Menurut pak Hanny bagaimana?
J: Idealnya sebuah organisasi profesi itu memang bisa mengakomodasi kepentingan semua pihak termasuk akademisi, juga kepentingan para desainer yang bekerja di studio-studio desain, bukan owner-nya saja. Tetapi bagaimana kita bisa mengharapkan Adgi bisa menghindari benturan-benturan yang mungkin saja terjadi akibat kemungkinan kompleksnya keanggotaannya ini?
Di zaman IPGI dulu pernah tercetus wacana untuk membedakan organisasi desainer dengan organisasi perusahaan. Bahkan sebetulnya sudah sempat terbentuk semacam persatuan perusahaan-perusahaan desain grafis (diberi nama GRID) yang sayangnya belum sempat beraktivitas, sehingga kita tidak pernah memperoleh pembelajaran dari kemungkinan-kemungkinan permasalahan yang mungkin terjadi di antara kedua jenis organisasi itu.
Sebetulnya desainer sekarang beruntung punya dua pilihan untuk berorganisasi, karena juga sudah ada FDGI (Forum Desainer Grafis Indonesia) yang kelihatannya keanggotaannya lebih didominasi oleh individu desainernya daripada owner studio-studio desain. Menarik mengamati manuver kedua organisasi ini dalam blantika industri desain grafis kita di masa depan.
T: Wacana organisasi profesi ini memang sangat menarik untuk dikaji, terutama ketika saya kemarin sempat ingin ikut keanggotaan Adgi untuk kategori akademisi, namun saya agak ragu, mungkin saya akan melihat keadaan terlebih dahulu. Sebelumnya saya minta maaf kalau saya hanya melihat dari sudut pandang mahasiswa, yang masih belajar.
Menurut saya, benturan-benturan dalam kompleksitas keanggotaan Adgi mungkin bisa diredam dengan kebijakan-kebijakan tertentu dari pihak Adgi. Namun dalam keadaan nyatanya memang hal ini sulit untuk terwujud.
Mengenai permasalahan menjadi dua organisasi menurut saya itu makin memperbesar jurang antara desainer-owner dengan desainer yang staf pekerja, jadi semakin memperuncing kekeruhan. Mungkin alangkah baiknya menjadi satu karena misinya kan sebenarnya satu yakni demi kemajuan profesi desain grafis di indonesia.
Mengenai sertifikasi, saya sebenarnya bingung, apabila ada sertifikasi terhadap profesi desain grafis oleh asosiasi seperti Adgi, masalahnya jadi aneh, lalu peran kampus DKV dalam memberi ijazah standarisasi jadi mubazir dong?
Maksud saya jadi tidak jelas ketika seseorang lulus dari kampus masih harus diuji lagi kualitasnya oleh asosiasi.
Kalau IDI kan jelas, untuk melindungi dan menjaga sumpah seorang dokter dalam mengemban kewajibannya di bidang kemanusiaan, walau sekarang nampaknya itu semua sudah semu, dokter sudah lebih memperhitungkan keuntungan material daripada tanggung jawab kemanusiaannya.
Mungkin saya menangkap maksud pak Hanny seperti notaris/pengacara, mereka lulus dari suatu universitas/law school yang masih perlu ijin praktek dengan surat keabsahan praktek legal. Apakah begitu? (maaf kalau saya salah menafsirkan) atau saya salah? Pendapat saya sih, sepanjang untuk kemajuan desain grafis tapi sifatnya tidak merugikan pihak tertentu sih ok saja, namun prosedurnya agak belum terbayang.
Namun saya pada dasarnya lebih setuju kalau asosiasi seperti Adgi ini punya sifat mengayomi profesi desainer grafis, terutama dalam hal edukasi. Perihal masalah Haki yang sekarang tengah digembar-gemborkan buat saya masih menjadi prioritas kedua karena pada dasarnya suatu karya yang telah dibuat untuk dinikmati publik, rasanya tidak relevan bila masih mempeributkan masalah siapa yang menciptakannya (dalam konteks karya desain, kalau karya musik dan pembajakannya lain hal).
Dalam hal edukasi (menurut saya sih) kalau Adgi menerapkan member fee dalam jumlah sekian tentunya sudah sepatutnya ada pembelajaran bagi member-member-nya, misalnya kan Agustus ini di event FGDexpo akan hadir Stefan Sagmeister—desainer AIGA dari US, mungkin... hehehe... Adgi akan memberi ID pass untuk ikut acara tersebut tanpa biaya—untuk apresiasi/edukasi—atau kompensasi member fee yang memang diperuntukkan untuk kemajuan desain grafis Indonesia... hehehe...
Waduh pak Hanny, lama kelamaan saya bisa di-black list sama graphic-graphic house yang ada di Jakarta atas surat ini... hehehe... atau bahkan tidak boleh masuk Adgi... hehehe... yah... sebelumnya maaf kalau ada kalimat yang kurang sopan, saya tidak bermaksud untuk mendiskreditkan pihak tertentu.
Kalau boleh saya bertanya, pak Hanny kan mengalami masa IPGI, sebenarnya apa yang terjadi apakah sudah benar seperti diceritakan di majalah Concept edisi yang lalu?
J: Saya juga merasa tidak seharusnya ada dua organisasi yang berbeda kepentingan seperti itu, dulu pun tidak dimaksudkan demikian. Apalagi semua anggota GRID ketika itu adalah anggota IPGI (yang sudah memiliki studio-studio desain sendiri).
Masalah sertifikasi ini kebetulan saja saya pernah dimintai pendapat oleh salah seorang pengurus Adgi. Ketika itu saya jawab bahwa ini masalah yang sangat kompleks, terutama di negara kita yang kualitas desainernya sangat beragam mulai dari yang otodidak, ikut kursus sana-sini sampai yang jebolan sekolah luar. ditambah lagi oleh perkembangan teknologi yang menghasilkan disiplin yang begitu beragam mulai dari yang printed, web hingga ke motion graphics.
Tapi kabarnya Ontario-Canada sudah berhasil membuatnya. [Lihat: Registered Graphic Designer]
Masalah Haki juga tidak terlalu menarik perhatian saya. Ketika salah seorang klien saya mencak-mencak karena desain-desain yang saya ciptakan bagi mereka diikuti (dijiplak) terus-menerus oleh kompetitornya, saya kok malah merasa bangga.
Tulisan saya mengenai IPGI itu saya maksudkan sebagai tulisan awal yang masih bisa dan harus disempurnakan. Karena itu selama proses penulisannya selalu saya forward ke pak Pri dan pak Gauri untuk dikoreksi. Saya menyadari bahwa saya sudah cukup berumur, mungkin saja ada ingatan yang salah, tetapi sejauh ini saya belum menerima koreksi apa pun dari teman-teman lainnya.
Mengapa anda menanyakannya? Ada bagian yang ingin dikutip?
Sebetulnya ada kesalahan koreksi yang dilakukan oleh Concept pada paragraf terakhirnya yang diakibatkan program yang dipakai tidak bisa membedakan antara Adgi lama dan Adgi baru. Tetapi itu sudah diralat pada Concept edisi berikutnya: seluruh paragraf itu dimuat ulang! Tolong anda melihat ralatnya pada edisi 14.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar