24.12.17

In Memoriam: Liem Hian Swie (1953–2013)

One of the horrifying things about growing older is that your friends don't all grow older with you. People get sick and then they die. You watch, you try to comfort them, and then you try to comfort yourself. The true horror is that after a while your memories begin to fade. How long can you hold on to the sound of a voice, the memory of a strange event, a bittersweet feeling, a silly story? I was friends with all the dedicatees of the enclosed set of pieces—some were closer friends than others—and I have very personal memories of my dealings with them that I don't want to fade. Each of these little pieces highlights some aspect of my relationship with each friend. I hope this will help me hold on to these memories just a little while longer.” —David Lang, Memory Pieces (1992)

Liem Hian Swie, dalam reuni SMAK Petra Christian School, Surabaya, 15 Maret 2013, saat mayoritas alumni angkatan '69 telah atau tengah memasuki usia 60 tahun.

Hian Swie adalah salah seorang sahabat terbaik yang pernah dikirimkan Tuhan kepada saya. Saya mengenalnya di SMP (Petra Christian School). Walau tidak pernah sekelas, kami bersahabat akrab. Rumah kami berdekatan, Swie di jalan Comal, dan saya di jalan Trunojoyo. Barangkali karena begitu seringnya saya ke rumah Swie, dan sebaliknya—masih zaman bersepeda—ibunya selalu memanggil saya seperti beliau memanggil anaknya: “Hian” Liat.

Mungkin sebagaimana tipikal “arek Suroboyo”, Swie merupakan pribadi yang lurus, gaya berbicaranya tidak berbunga-bunga. Pada dasarnya ia bahkan sedikit pendiam. Swie membutuhkan suasana dan lingkungan yang tepat sebelum “mesinnya panas”. Semasa SMA, kami sering jalan berenam bersama Maritjie, Astrid, Lanne, dan Soen Hok (belakangan berdelapan dengan Hilda dan Hok Liong, lalu bersepuluh dengan Ieneke dan Joe Hwie, dan lebih banyak lagi dengan Ronny Tapiheru, Hientje, dll.). Dalam lingkungan ini, Swie bagai ikan bertemu air.

Swie selalu sangat perhatian pada temannya. Ketika ia telah memiliki motor, setiap pagi Swie menyempatkan diri menjemput saya ke sekolah dan mengantar saya kembali ke rumah seusai sekolah. Dengan kepribadian yang penuh perhatian, setia, dan tulus seperti itu, Swie menjadi teman berbagi yang ideal. Tidak jarang kami menghabiskan waktu bersama, bercakap-cakap hingga larut malam. Atau menonton bioskop.

Kami berpisah setelah saya melanjutkan studi saya di Yogyakarta, dan hanya sesekali sempat berkumpul kembali ketika saya pulang ke Surabaya. Pertemuan terakhir saya dengannya adalah pada reuni pertama alumni Petra pada 22 Januari 2011 di Urban Kitchen, Senayan City, Jakarta. Dalam pertemuan yang serba riuh ini pun Swie lebih banyak duduk di salah satu sudut ruang; ia menikmatinya, tapi tidak larut atau tergoda untuk menjadi show-off.

Natal 2013 menjadi Natal paling kelabu sepanjang hidup saya. Penjemput yang setia ini kembali ke rumah Bapa, seusai ia mengumpulkan persembahan (kolekte) pada malam kebaktian Natal 24 Desember 2013 pukul 20.30 di Gereja Kristen Indonesia (GKI) di kawasan Bendul Merisi, Surabaya.

Selamat jalan sahabat tersayang. Malaikat-malaikat penjemputmu akan membuka lebar-lebar pintu surga bagimu.

(Di kejauhan, terdengar sendu himne Gloria in excelsis Deo…)


Hanny Kardinata
25 Desember 2013 

.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  
                                                     

***

20.12.17

Cakapan bersama Para Mahasiswa DKV

Dengan seorang mahasiswa DKV ITB tingkat akhir, berlangsung pada akhir 2006


T: Saat ini saya sangat tertarik pada karya pak Hanny, ilustrasi poster Guruh Soekarnoputra. Pada karya tersebut saya melihat sebuah desain yang kaya akan nilai seni ditinjau dari segi gaya gambar yang bisa dibilang artistik dengan cat minyak pada kanvas (mungkin, menurut saya, maaf kalau salah) dipadukan dengan sarung batik yang dipergunakan oleh beliau yang mencerminkan gaya kubisme (walau tidak terlihat seperti kubisme namun kalau diperhatikan secara sekilas seperti kubisme, maaf juga kalau salah). Apabila diperbolehkan, saya ingin mengetahui filosofi apa yang bapak 'attach' di poster tersebut atau mungkin ada ide yang memang sengaja dituangkan pada poster tersebut?



Ilustrasi Guruh Soekarnoputera untuk materi promosi (tabloid, sampul kaset, dll.) pergelaran perdana  Guruh Soekarnoputera bersama Swara Maharddhika, Hanny Kardinata, 1978.

J: Guruh adalah figur yang sangat Indonesia, jadi ketika beliau meminta saya menggambarnya untuk kebutuhan poster, brosur dan sampul kaset pertunjukan perdana Swara Mahardhika, saya hanya berpikir bagaimana saya bisa menampilkan beliau se-Indonesia mungkin. Karena itulah ada elemen2 batik, gunung, pedesaan, pohon pisang dan juga unsur warna merah-putih di dalam ilustrasi tersebut, yang membuat orang langsung mengenali bahwa inilah Indonesia. Style yang saya pergunakan adalah art deco (bukan kubisme).

Kenapa art deco? Pertama, karena saya mengenal musik Guruh yang dipengaruhi musik tahun 1920/30an (masa di mana art deco berjaya di Eropa, dan kemudian juga di Indonesia karena 'dibawa' oleh Belanda) dan kedua, karena Guruh sendiri ingin ditampilkan dengan style tersebut. Jadi klop.

Selanjutnya seluruh elemen desain (warna, bentuk, tekstur, garis dll.) saya arahkan untuk 'mengekspresikan musik', supaya secara keseluruhan ilustrasi itu menampilkan kesan 'musical'. Perhatikan terutama elemen garis-garisnya, pada daun pisang, pada motif batik yang saya pilih, juga rumah-rumah di latar belakang. Saya tidak berhenti hanya sampai pada bentuk visual yang kasat mata tapi di sini bentuk telah berubah menjadi irama, sesuatu yang tidak kasat mata tapi barangkali bisa dirasakan.

Gambar Guruh itu saya buat dalam ukuran besar (saya menggambarnya di lantai) menggunakan poster color dengan teknik gambar dry-brush.


T: Dengar-dengar pak Hanny memang suka teknik manual ya (maksudnya non-computing)?


J: Barangkali kebetulan saja saya tumbuh di era yang manual itu. Tapi memang ada elemen2 desain yang saya rasa tidak bisa ditampilkan maksimal melalui komputer. Misalnya, tekstur. 

Kembali ke ilustrasi Guruh itu, saya sengaja memilih kertas bertekstur supaya terlihat melalui teknik goresan kuas saya. Mungkin anda tidak melihatnya karena yang bisa kita lihat sekarang ini hanyalah fotonya, tapi kalau berkesempatan melihat gambar aslinya maka tekstur kertas itu akan kelihatan jelas dan memberi 'nyawa' kepada keseluruhan ilustrasi tersebut. Pada ilustrasi yang menggunakan komputer, kita akan melihat hasil yang streril atau tidak memiliki 'roh'. Barangkali ini salah satu kekurangan komputer, tentu saja di samping banyak kelebihan-kelebihannya yang lain.

Guruh Soekarnoputra, ilustrasi untuk materi cetak pertunjukan perdana Swara Mahardhika



T: Sekarang ini kan lagi trend anak-anak desain bikin karya pakai motif kriwil-kriwil, katanya supaya lebih etnik, tanggapan bapak bagaimana? Dan seharusnya bagaimana?

J: Mengenai penggunaan motif kriwil-kriwil itu sebenarnya terpulang kembali kepada makna atau fungsinya, apakah elemen tersebut memiliki makna yang substansial, atau berfungsi di dalam konsep desainnya? Kalau tidak, mengapa kita mesti menggunakannya?


.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  


Dengan seorang desainer grafis lulusan sekolah desain ternama di luar negeri, awal 2007


T: Setelah lulus sekolah saya mulai berkarier sebagai desainer grafis di sebuah studio desain ternama. Setelah beberapa bulan bekerja, saya mulai merasa bahwa hasil karya saya tidak pernah sebagus apa yang dihasilkan teman-teman saya desainer lainnya sekantor. Rasa percaya diri saya mulai berkurang dan timbul pertanyaan apakah saya memang mempunyai talenta dan sudah tepat berada di posisi desainer ini? Kondisi sedemikian ini menghadirkan tekanan-tekanan yang membuat saya selalu merasa tegang berada di lingkungan kantor.



J: Anda tidak harus dan tidak perlu membandingkan kemampuan anda dengan desainer lainnya. Tuhan merancang kita masing-masing sedemikian uniknya sehingga tidak ada yang benar-benar serupa di dunia ini. Dengan demikian tiap desainer diharapkan mampu menemukan keunikannya masing-masing dan kemudian menjalankan perannya yang berbeda-beda. [Lihat: Memaknai Kompetisi]

Ada desainer yang memiliki kelebihan dalam menggambar, sehingga desainnya selalu memiliki kandungan ilustrasi yang menjadi trademark tiap rancangannya. Ada yang memiliki sense yang kuat di bidang tipografi yang membuat hampir seluruh rancangannya merupakan hasil komposisi yang luar biasa dari huruf-huruf. Yang kuat di fotografi akan membuat desain yang menyertakan karya-karya fotografinya. Desainer yang merasa kelebihannya adalah dalam merancang logo akan bekerja di studio yang mengkhususkan diri di bidang branding. Studio yang lain memilih spesialisasi di bidang merancang buku, dan menjadi istimewa di bidang ini. Jadi selalu ada bidang-bidang khusus di mana tiap desainer bisa melayani masyarakatnya sesuai dengan kemampuannya.

[Baca: Perjalanan Desainer Grafis Yogyakarta Merenda Kehidupan]

Rick Warren dalam bukunya ‘The Purpose Driven Life’ mengatakan: “Pengrajin kayu tahu bahwa lebih mudah untuk bekerja sesuai alur kayu ketimbang melawannya. Demikian juga, ketika anda dipaksa untuk melayani dengan cara yang ‘tidak sebagaimana mestinya’ untuk temperamen anda, hal tersebut menimbulkan ketegangan dan ketidaknyamanan, membutuhkan usaha dan tenaga ekstra, dan menghasilkan kurang dari yang terbaik. Karena itu meniru pelayanan orang lain tidak pernah berhasil. Anda tidak memiliki kepribadian mereka.”

.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  


Dengan seorang mahasiswa DKV ITB tingkat akhir, awal 2007

T:
Melihat perjalanan karier pak Hanny mulai dari IPGI, bagaimana pak Hanny melihat perkembangan gerakan seni rupa baru?


J: Peran gerakan seni rupa baru penting dalam mengubah pandangan mengenai seni rupa yang tadinya hanya dibatasi pada fine art saja (seni lukis, seni patung dan seni grafis). Gerakan ini menerima semua kemungkinan berekspresi (yang tidak dibatasi hanya pada elemen-elemen seni rupa lama), termasuk di antaranya elemen-elemen ruang, gerak dan waktu, yang pada gilirannya telah berjasa melahirkan karya-karya instalasi.


T: Berhubung saya banyak melihat pak Hanny di event-event Adgi (lihat di majalah Concept), ada satu hal yang ingin saya tanyakan mengenai neo-Adgi ini.

Jikalau boleh jujur (pendapat saya pribadi) entah kenapa neo-Adgi ini punya sifat eksklusif? Hal tersebut saya tangkap dari beberapa point yakni:

1. Pendaftaran keanggotaan dipungut biaya lumayan tinggi (menurut saya, untuk kelompok F/akademisi-mahasiswa) rasanya kurang sanggup untuk membayar sebesar itu.

2. Kenapa pendaftaran harus mendapat approval dari member yang sudah terdaftar? (minimal 3 orang)? Saya melihat apabila ada kasus seorang desainer grafis mempunyai reputasi buruk atau dia punya permasalahan dengan salah satu approvan maka dia akan dipersulit/ditolak untuk menjadi member Adgi?

J: Adgi baru terkesan eksklusif? Berapa ya iuran untuk anggota yang akademisi/mahasiswa? Sebetulnya mahal tidaknya iuran anggota ini relatif, yaitu kalau nilainya sebanding dengan apa yang diterima mungkin akan dirasa tidak mahal. Masalahnya, Adgi mungkin kurang mensosialisasikan manfaat keanggotaannya, sehingga iuran dianggap mahal.

Adanya klausul mengenai persetujuan dari 3 orang anggota lama itu memang akan 'mempersulit' masuknya anggota baru. Itu dilakukan barangkali dengan tujuan menyaring. Saya tidak tahu apakah ini ada hubungannya dengan standar keprofesian yang biasa berlaku pada organisasi-organisasi profesi? Artinya, dengan menjadi anggota Adgi otomatis seseorang diakui telah memenuhi standar kerja sebagai desainer profesional? Dan mungkin karena—saya kira— standarnya memang belum ada, maka untuk menghindari subyektivitas individual penilainya, dicantumkanlah keharusan melalui persetujuan 3 orang itu. Saya rasa standar keprofesian ini sudah diterapkan pada organisasi-organisasi profesi yang sudah lebih mapan seperti IDI atau IAI.

Saya akan coba melayangkan pertanyaan anda ini ke milis Adgi, supaya memperoleh tanggapan yang lebih proporsional.


Berikut adalah jawaban dari Danton Sihombing (salah seorang anggota presidium Adgi 2006–2007): 

PENDAFTARAN YANG DIPUNGUT BIAYA LUMAYAN TINGGI

• Bahwa biaya sebesar Rp. 900.000,- + Rp. 50.000,-(biaya admin) sudah diperhitungkan dengan matang dengan landasan sbb:

  1. Vision = Money, the bigger vision you set, the bigger money you need, artinya "KITA BERUPAYA UNTUK TERUS MEMBESARKAN KERANGKA/WACANA BERPIKIR KITA UNTUK TUJUAN YANG LEBIH BESAR".
  2. Untuk merealisasikan visi dan misi Adgi, diperlukan 'Capital Gain' untuk mencapai tujuan jangka pendek dan jangka panjang dalam membangun fondasi dari keseluruhan cakupan-cakupan produk Adgi, seperti produk2 regulasi, komersial dan peningkatan kualitas keprofesionalan/SDM.
  3. Bila kita melakukan 'breakdown' setiap program benefit yang sudah dan akan diluncurkan oleh Adgi, maka value for money dari akumulatif program benefit bagi member dalam setahun melebihi dari jumlah Rp. 950.000,-
  4. Jadi relativitas angka Rp. 950.000,- tergantung bagaimana kita melihatnya dan bagaimana KOMITMEN kita bersama untuk memajukan industri desain grafis Indonesia via Adgi. Apa kita bisa bergerak tanpa 'start up capital' yang memadai, pengalaman sudah bicara and the answer is absolutely NO.
  5. Bahwa organisasi yang baik harus mampu menjawab komponen 3K = Ketertarikan, Kepentingan, Keuntungan setiap anggotanya. Money talkright?

MENGAPA PENDAFTARAN HARUS MENDAPAT APPROVAL DARI MEMBER YANG SUDAH TERDAFTAR?

Singkatnya, ini adalah suatu cara untuk nurturing leadership bagi setiap anggota. Bagi yang membawa/meng-approved, dia punya kewajiban untuk mem-promote dan bertanggung jawab atas anggota baru yang dibawanya. Jadi 'scanning process' tidak berbasis pada like or dislike—bagi yang bereputasi buruk ya kita harus sehatkan!

Demikian penjelasan singkat dari saya. Mudah2an dapat memberikan pemahaman yang lebih baik. Terima kasih sekali atas kepeduliannya dengan mengajukan pertanyaan tersebut di atas.

Salam,
Danton Sihombing, MFA


T: Saya ingin bertanya ke pak Hanny saja. Menurut saya, kelompok akademisi dalam Adgi itu sifatnya kan edukasi, jadi apakah tidak sebaiknya dilindungi sehingga kader-kader Adgi berikutnya akan lahir dari kelompok tersebut yang akan menjaga establishment Adgi di masa depan, yang nota bene saat ini belum mapan dalam hal keuangan. Saya melihat (mungkin) dengan iuran yang lebih terjangkau, kelompok ini akan membantu Adgi dari beberapa hal (saya melihat studi kasus AIGA dengan kampus-kampus desain di US):

  1. ketika Adgi butuh venue untuk menyelenggarakan konferensi akan lebih mudah rasanya bila mendapat tempat di kampus, lebih murah dari segi budget, dibantu koordinasi oleh mahasiswa untuk menyelenggarakan event-nya, serta merupakan suatu promosi yang baik.
  2. keuntungan bagi kampus: mahasiswa belajar, dosen belajar, kampusnya naik namanya (mungkin) dan keuntungan Adgi: mendapatkan dukungan yang baik dari lingkungan edukasi desain, penumbuhan kader2 baru serta mendapat bantuan koordinasi event.

Visi dan misi Adgi sudah jelas di bidang penjagaan profesi desain grafis bagi yang memiliki dan menjalankan usaha desain grafis. Namun, apakah visi dan misi ini sudah mencakup kebijakan atau regulasi kerja atas profesinya sendiri, misalnya problematika tentang kompensasi dan perlakuan adil terhadap karyawan desain? Saya melihat banyak contoh desainer grafis di ibukota yang digaji dengan kompensasi pas-pasan untuk hidup, padahal eksploitasi mereka di biro-biro desain tertentu melebihi kapasitasnya. Saya merasa visi dan misi Adgi belum menjangkau mereka.
Ini sifatnya hanya usulan pemikiran saya mengingat juga neo-Adgi ini baru established dalam beberapa tahun. Pemikiran saya muncul hanya atas azas pembelajaran saya dalam usaha memahami profesi desainer grafis di Indonesia ini.

Menurut pak Hanny bagaimana?

J: Idealnya sebuah organisasi profesi itu memang bisa mengakomodasi kepentingan semua pihak termasuk akademisi, juga kepentingan para desainer yang bekerja di studio-studio desain, bukan owner-nya saja. Tetapi bagaimana kita bisa mengharapkan Adgi bisa menghindari benturan-benturan yang mungkin saja terjadi akibat kemungkinan kompleksnya keanggotaannya ini?

Di zaman IPGI dulu pernah tercetus wacana untuk membedakan organisasi desainer dengan organisasi perusahaan. Bahkan sebetulnya sudah sempat terbentuk semacam persatuan perusahaan-perusahaan desain grafis (diberi nama GRID) yang sayangnya belum sempat beraktivitas, sehingga kita tidak pernah memperoleh pembelajaran dari kemungkinan-kemungkinan permasalahan yang mungkin terjadi di antara kedua jenis organisasi itu.

Sebetulnya desainer sekarang beruntung punya dua pilihan untuk berorganisasi, karena juga sudah ada FDGI (Forum Desainer Grafis Indonesia) yang kelihatannya keanggotaannya lebih didominasi oleh individu desainernya daripada owner studio-studio desain. Menarik mengamati manuver kedua organisasi ini dalam blantika industri desain grafis kita di masa depan.


T: Wacana organisasi profesi ini memang sangat menarik untuk dikaji, terutama ketika saya kemarin sempat ingin ikut keanggotaan Adgi untuk kategori akademisi, namun saya agak ragu, mungkin saya akan melihat keadaan terlebih dahulu. Sebelumnya saya minta maaf kalau saya hanya melihat dari sudut pandang mahasiswa, yang masih belajar.

Menurut saya, benturan-benturan dalam kompleksitas keanggotaan Adgi mungkin bisa diredam dengan kebijakan-kebijakan tertentu dari pihak Adgi. Namun dalam keadaan nyatanya memang hal ini sulit untuk terwujud.

Mengenai permasalahan menjadi dua organisasi menurut saya itu makin memperbesar jurang antara desainer-owner dengan desainer yang staf pekerja, jadi semakin memperuncing kekeruhan. Mungkin alangkah baiknya menjadi satu karena misinya kan sebenarnya satu yakni demi kemajuan profesi desain grafis di indonesia.

Mengenai sertifikasi, saya sebenarnya bingung, apabila ada sertifikasi terhadap profesi desain grafis oleh asosiasi seperti Adgi, masalahnya jadi aneh, lalu peran kampus DKV dalam memberi ijazah standarisasi jadi mubazir dong

Maksud saya jadi tidak jelas ketika seseorang lulus dari kampus masih harus diuji lagi kualitasnya oleh asosiasi. 

Kalau IDI kan jelas, untuk melindungi dan menjaga sumpah seorang dokter dalam mengemban kewajibannya di bidang kemanusiaan, walau sekarang nampaknya itu semua sudah semu, dokter sudah lebih memperhitungkan keuntungan material daripada tanggung jawab kemanusiaannya. 

Mungkin saya menangkap maksud pak Hanny seperti notaris/pengacara, mereka lulus dari suatu universitas/law school yang masih perlu ijin praktek dengan surat keabsahan praktek legal. Apakah begitu? (maaf kalau saya salah menafsirkan) atau saya salah? Pendapat saya sih, sepanjang untuk kemajuan desain grafis tapi sifatnya tidak merugikan pihak tertentu sih ok saja, namun prosedurnya agak belum terbayang.

Namun saya pada dasarnya lebih setuju kalau asosiasi seperti Adgi ini punya sifat mengayomi profesi desainer grafis, terutama dalam hal edukasi. Perihal masalah Haki yang sekarang tengah digembar-gemborkan buat saya masih menjadi prioritas kedua karena pada dasarnya suatu karya yang telah dibuat untuk dinikmati publik, rasanya tidak relevan bila masih mempeributkan masalah siapa yang menciptakannya (dalam konteks karya desain, kalau karya musik dan pembajakannya lain hal).

Dalam hal edukasi (menurut saya sih) kalau Adgi menerapkan member fee dalam jumlah sekian tentunya sudah sepatutnya ada pembelajaran bagi member-member-nya, misalnya kan Agustus ini di event FGDexpo akan hadir Stefan Sagmeister—desainer AIGA dari US, mungkin... hehehe... Adgi akan memberi ID pass untuk ikut acara tersebut tanpa biaya—untuk apresiasi/edukasi—atau kompensasi member fee yang memang diperuntukkan untuk kemajuan desain grafis Indonesia... hehehe...

Waduh pak Hanny, lama kelamaan saya bisa di-black list sama graphic-graphic house yang ada di Jakarta atas surat ini... hehehe... atau bahkan tidak boleh masuk Adgi... hehehe... yah... sebelumnya maaf kalau ada kalimat yang kurang sopan, saya tidak bermaksud untuk mendiskreditkan pihak tertentu.

Kalau boleh saya bertanya, pak Hanny kan mengalami masa IPGI, sebenarnya apa yang terjadi apakah sudah benar seperti diceritakan di majalah Concept edisi yang lalu?

J: Saya juga merasa tidak seharusnya ada dua organisasi yang berbeda kepentingan seperti itu, dulu pun tidak dimaksudkan demikian. Apalagi semua anggota GRID ketika itu adalah anggota IPGI (yang sudah memiliki studio-studio desain sendiri).

Masalah sertifikasi ini kebetulan saja saya pernah dimintai pendapat oleh salah seorang pengurus Adgi. Ketika itu saya jawab bahwa ini masalah yang sangat kompleks, terutama di negara kita yang kualitas desainernya sangat beragam mulai dari yang otodidak, ikut kursus sana-sini sampai yang jebolan sekolah luar. ditambah lagi oleh perkembangan teknologi yang menghasilkan disiplin yang begitu beragam mulai dari yang printed, web hingga ke motion graphics

Tapi kabarnya Ontario-Canada sudah berhasil membuatnya. [Lihat: Registered Graphic Designer]
Masalah Haki juga tidak terlalu menarik perhatian saya. Ketika salah seorang klien saya mencak-mencak karena desain-desain yang saya ciptakan bagi mereka diikuti (dijiplak) terus-menerus oleh kompetitornya, saya kok malah merasa bangga.

Tulisan saya mengenai IPGI itu saya maksudkan sebagai tulisan awal yang masih bisa dan harus disempurnakan. Karena itu selama proses penulisannya selalu saya forward ke pak Pri dan pak Gauri untuk dikoreksi. Saya menyadari bahwa saya sudah cukup berumur, mungkin saja ada ingatan yang salah, tetapi sejauh ini saya belum menerima koreksi apa pun dari teman-teman lainnya. 

Mengapa anda menanyakannya? Ada bagian yang ingin dikutip?

Sebetulnya ada kesalahan koreksi yang dilakukan oleh Concept pada paragraf terakhirnya yang diakibatkan program yang dipakai tidak bisa membedakan antara Adgi lama dan Adgi baru. Tetapi itu sudah diralat pada Concept edisi berikutnya: seluruh paragraf itu dimuat ulang! Tolong anda melihat ralatnya pada edisi 14.

.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  




*** 

19.12.17

Perbincangan dengan Irwan Ahmett

Video rekaman perbicangan yang ditayangkan pada acara Dinner with Designer: DWD # 1: A Sustainable Design (Prolog).


Irwan Ahmett (IA): Kesibukan terakhir?

Hanny Kardinata (HK): Mengelola Situs Desain Grafis Indonesia (DGI).


IA: Visi mengenai Situs DGI?

HK: Situs DGI ini perwujudan sementara dari obsesi pada sejarah desain grafis Indonesia karena sejauh ini kita belum mempunyai sejarah yang tertulis mengenai kita sendiri. Cikal bakalnya adalah milis tertutup SDGI (Sejarah Desain Grafis Indonesia) yang pada awalnya beranggotakan beberapa orang pemerhati sejarah seperti Priyanto Sunarto, Henricus Kusbiantoro, Lucia Dambies, saya sendiri dll. Milis SDGI saya luncurkan sekitar Oktober 2003 dan situs DGI diawali pada Maret 2007.


IA: Target yang ingin dicapai?

HK: Sebuah buku sejarah yang lengkap, dan sebuah museum desain grafis Indonesia.


IA: Bagaimana reaksi dari teman-teman terhadap situs tersebut?

HK: Secara moral saya memperoleh dukungan dari banyak teman-teman desainer, saya juga memperoleh bantuan nyata dari beberapa teman yang rajin menyumbangkan tulisan-tulisannya yang inspiratif, tapi saya membutuhkan lebih banyak lagi tindakan nyata dengan misalnya setiap desainer mengirimkan profil dan karya-karyanya (dari sejak awal kariernya hingga sekarang) supaya kelak kita bisa memiliki sebuah galeri yang secara jelas memperlihatkan trend yang terjadi di negara kita setiap tahunnya. Situs DGI ini bukan milik perorangan tapi milik kita semua, rumah kita bersama dimana saya juru kuncinya… :-) Jadi setiap desainer grafis Indonesia diharapkan kontribusinya, supaya upaya merangkai kembali sejarah kita ini cepat selesai.


IA: Makna desain grafis bagi seorang Hanny Kardinata?

HK: Bagian dari tugas pelayanan saya di dunia ini.


IA: Proyek desain yang masih dimimpikan?

HK: Berkolaborasi terus dengan desainer-desainer muda. Ini sudah saya awali bersama Ika Putranto pada pameran poster ‘One Globe One Flag’ pada FGDexpo Agustus yang lalu. Di sini yang menarik adalah prosesnya, bukan terutama hasilnya, yaitu bagaimana mensinkronkan perbedaan visi dari dua desainer yang berbeda generasi. Saya dari angkatan 70′an, sedangkan Ika baru saja menyelesaikan S1-nya di UPH (Universitas Pelita Harapan).


IA: Pekerjaan terbesar dan menantang dari seorang desainer?

HK: Jawaban akan berbeda bagi tiap desainer dan di kurun waktu di mana dia berkarya. Bagi saya saat ini, adalah merangkai kembali mata rantai sejarah desain kita yang selama ini terpisah-pisah, atau menyatukan jejak-jejak sejarah dgi yang berserakan di mana-mana. Ini menjadi commitment seumur hidup.


IA: Dalam ‘chaos’ situation ini, peranan dan tanggung jawab apa yang diemban dari seorang desainer grafis?

HK: Desainer grafis adalah bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika sosial yang terjadi di sekelilingnya, sebagai bagiannya desainer grafis tidak bisa berdiam diri saja menyaksikan misalnya planet bumi yang merupakan rumah besar kita bersama ini sedang menuju kehancuran akibat pemanasan global. Setiap desainer, dengan caranya masing-masing, seyogyanya berperan serta dalam upaya mengurangi efek rumah kaca ini.


IA: Bagaimana mencari karakter desain agar tidak berhenti di satu titik?

HK: Saya tidak begitu peduli dengan usaha pencarian karakter yang saya anggap akan muncul dengan sendirinya dalam perjalanan panjang kita sebagai desainer grafis (yang berkarya secara intens), artinya masalah karakter ini bagi saya merupakan prioritas yang kesekian. Dalam berkarya yang saya utamakan adalah upaya menciptakan karya desain yang terbaik, harus selalu lebih baik dari yang kemarin, seperti kalau mendaki gunung, untuk mencapai puncak tertinggi seseorang mesti melangkah lebih tinggi dan lebih tinggi lagi.


IA: Adakah mekanisme kerja kreatif ideal bagi desainer agar tidak mematikan dirinya sendiri?

HK: Dalam berkarya jangan terpaku hanya pada tujuan jangka pendek penciptaannya: fungsi desain sebagai alat promosi; tapi juga fungsi jangka panjangnya, bagaimana sebuah desain, setelah fungsi promosinya berakhir, tetap menarik sebagai sebuah karya seni, sebagai ‘a piece of art’. Terjadinya metamorfosis ini adalah konsekwensi logis dari hasil pemikiran yang sudah sejak awal diupayakan.


IA: Apakah sustainable design itu?

HK: Mirip seperti jawaban di atas adalah sebuah desain yang memiliki durability. Contohnya banyak sekali, misalnya poster-poster AM Cassandre, atau Milton Glaser.


IA: Apakah investasi terbaik seorang desainer yang harus disiapkan untuk hari tuanya?

HK: Menjadi pendidik dkv – formal maupun informal – adalah ‘investasi’ terbaik. Mengapa? Karena di hari tua nanti anda bisa selalu tersenyum bahagia menyaksikan si A atau si B yang notabene dulu adalah murid-murid anda, kini telah berada di puncak-puncak pendakiannya.


Sumber: DWD # 1: A Sustainable Design (Prolog)


***

14.12.17

Cakapan dengan Lauren Suria


Buku FI9UR, karya Tugas Akhir (TA) Lauren Suria di DKV Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Trisakti.


FI9UR adalah buku yang ditulis oleh desainer grafis lulusan Universitas Trisakti, Lauren Suria, mengungkap perjalanan hidup 9 orang desainer grafis. Perbincangan dengan saya terjadi pada akhir April 2014 melalui surat elektronik atau pun berlangsung di rumah saya di Bintaro. 

.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  



Lauren Suria (LS): Berapa orang yang sekarang aktif di dalam situs DGI?

Hanny Kardinata (HK): Akhir 2013, DGI memasuki proses perkembangan yang paling signifikan sebagai sebuah organisasi. 80% di antaranya bisa dikatakan sangat aktif dan cukup aktif, berikut susunan organisasinya:

Founder
Hanny Kardinata, Jakarta
Advisory Board
Priyanto Sunarto, BandungYongky Safanayong, JakartaHermawan Tanzil, JakartaHenricus Kusbiantoro, New York
Bureau Chief
Ismiaji Cahyono, Jakarta
Superintendent
Citra Lestari, Jakarta
Managing Editor
Vincent Hadi Wijaya, Jakarta
Online Editor
Berti Alia Bahaduri, Bandung
Program Board
Yan Mursid, JakartaNovita Angka, JakartaAdi Handoyo, Jakarta
Development
Peter Natadihardja, JakartaYoga Iswara, Jakarta
Research
Hastjarjo Boedi Wibowo, Jakarta
Creative Board
Henricus Kusbiantoro, New YorkBambang Widodo, New Jersey
International Affairs
Eve Vogelein, Berlin-New York
Contributors
Andi Rahmat, BandungSumbo Tinarbuko, YogyakartaObed Bima Wicandra, Surabaya
2. Mengapa lebih memilih sarana blog/situs dibandingkan menuliskannya menjadi sebuah buku?

Situs web lebih mudah dan lebih cepat menjangkau sebanyak mungkin orang, dan bisa diakses dari mana saja. Juga bisa diakses secara gratis. Pilihan itu seharusnya lebih populer untuk memperkenalkan sejarah, bidang yang bukan prioritas untuk dibaca atau dipelajari oleh kalangan muda.

Tapi sejak 2 tahun yang lalu saya telah menyiapkan sebuah buku, setiap hari saya sempatkan menulis beberapa halaman, dan sampai hari ini sudah mencapai 600 halaman lebih. Saya berharap penulisan buku (Bakal) Sejarah Desain Grafis Indonesia ini bisa saya selesaikan dan terbit pada 2014 ini.

3. Target terdekat yang akan dilakukan oleh DGI? 


Mendesain ulang situs DGI, menyempurnakan strukturnya, dan memperbaiki sistem navigasinya. Dan akan lebih banyak mengadakan aktivitas-aktivitas offline. Dan menyelenggarakan ajang penghargaan Indonesian Graphic Design Award (IGDA) ke-2 pada 2015.

Dan target kedepannya untuk DGI?

Mewujudkan Museum DGI, sebuah proyek yang tertunda akibat lahan peruntukannya semula yang berlokasi di Ciganjur ternyata tidak bisa dibangun karena termasuk daerah resapan air DKI Jakarta. Rupanya bangunan-bangunan yang berdiri di daerah ini tidak ada yang memiliki IMB.

4. Mengapa Pak Hanny sangat tertarik menjadi bagian yang mengungkapkan sejarah desain grafis Indonesia?

Mata pelajaran sejarah selalu menarik perhatian saya sejak SD, tapi dalam konteks DGI, awalnya sederhana: saya hanya ingin membagi kliping desain grafis yang saya kumpulkan sejak 1970-an agar bermanfaat bagi banyak orang. Rupanya langkah itu keterusan sampai sekarang.

5. Bagaimana Pak Hanny mengumpulkan data-data dulu sehingga menjadi catatan sejarah desain grafis Indonesia sekarang? Apakah cukup sulit untuk menggumpulkan data-data yang bersangkutan?

Awalnya tidak sulit, karena saya sendiri adalah bagian dari sejarah zaman itu (1970–1990-an) dan masih memiliki ingatan dan catatan-catatannya. Lalu dengan berjalannya waktu, dengan terbangunnya kepercayaan pada DGI, kerja pencatatan dan pengarsipan bahkan semakin dimudahkan.

6. Pak Hanny sebagai penulis sejarah desain grafis Indonesia, menurut Bapak siapa yang paling berperan memajukan dunia grafis Indonesia dahulu? Apa Pak Hanny termasuk yang mengagumi beliau?

Saya menyinggung hal ini dalam kata pengantar saya untuk buku yang sedang saya siapkan itu, yaitu bahwa:

“Sejarah desain grafis erat kaitannya dengan masalah-masalah budaya, sosial, politik, dan ekonomi, nilai-nilai yang terbentuk juga adalah nilai-nilai budaya, sosial, politik, dan ekonomi sebuah bangsa. Sebuah karya—bentuknya, warnanya—tercipta bukan saja tidak lepas dari pengaruh lingkungan di sekitar desainernya: trend, gaya, aliran, tetapi juga dari perjalanan ide-ide dan nilai-nilai itu; dari suatu jalinan proses yang kompleks dan tidak pernah berhenti.” 
[...]
“Itu sebabnya, kita tidak bisa menyebut seseorang atau sekelompok orang sebagai satu-satunya yang berjasa atas terjadinya suatu peristiwa. Dalam berproses, seseorang atau sekelompok orang itu tidak pernah ‘bekerja sendiri’.”

7. Apa yang dapat dipetik oleh Pak Hanny sendiri dari setiap sejarah desain grafis yang sudah dicatat?

Bahwa perjalanan desain grafis Indonesia tidak terlepas dari perjalanan desain grafis dunia.

Saya percaya bahwa berbagai kejadian itu memang berhubungan dan berinteraksi satu sama lain, misalnya dengan cara saling memengaruhi atau menginspirasi, mungkin juga saling berbenturan. Selalu saja, ketika ada satu hal, hal baru lain akan berkembang. Dan saat tak ada apa-apa, tak banyak terjadi perkembangan. Sebuah aliran dalam seni rupa timbul sebagai akibat dari, atau karena mereaksi terhadap, aliran-aliran sebelumnya. Demikian halnya, peristiwa desain grafis yang satu telah berdampak bagi terjadinya peristiwa lainnya. Dan bukan hanya terkait atau tidak bisa dipisahkan dari peristiwa desain grafis lainnya saja, tetapi juga dengan apa yang terjadi di cabang-cabang seni rupa lainnya. Bahkan juga dari peristiwa-peristiwa budaya, sosial, politik, dan ekonomi, yang terjadi di negeri ini maupun di negara-negara lainnya. 

8. Cerita apa yang terkandung dibalik penemuan teknik drybrush?

Teknik ini saya temukan secara kebetulan ketika suatu ketika saya mencoret-coretkan sebuah kuas cat minyak di atas selembar koran. Efek yang terjadi memesona saya, dan kemudian mendorong saya untuk menggali kemungkinan-kemungkinan pencapaian artistiknya lebih jauh. Ini meliputi pilihan pada jenis kuas cat minyaknya, jenis kertas dengan tekstur dan ketebalan tertentu, jenis cat posternya, dsb. 

Teknik ini sangat spesifik, dan membutuhkan ketekunan serta konsentrasi tinggi dalam mengaplikasikannya supaya memberi hasil yang sempurna. Nyaris tidak mentolerir kesalahan, mungkin seperti teknik menggambar dengan cat air yang harus sekali jadi.Pak Gauri berkali-kali mendorong supaya saya menulis buku mengenai teknik ini, tapi saya pikir pada masa kini di mana desainer telah memperoleh berbagai kemudahan teknis, siapa yang masih mau bersusah payah mempelajari dan mempraktikkannya?

9. Saya sempat membaca satu artikel, di mana pada periode 2000-an penglihatan Pak Hanny mengalami penurunan, apakah karena hal tersebut Pak Hanny sekarang tidak pernah lagi berkarya menggunakan teknik drybrush?

Ya betul, bahkan sejak 1990-an. Karya terakhir saya yang menggunakan teknik dry-brush adalah poster Buatan Indonesia. Mengapa tidak? itu.

10. Antara berkarya dengan teknik drybrush dengan sekarang berkarya di situs DGI, mana yang ternyata lebih menyenangkan? Dan kenapa?

Keduanya sama menyenangkannya. Mungkin karena keduanya adalah ”anak” saya?

11. Bisa diceritakan bagaimana dulu situasi dan kondisi “Pameran Rancangan Grafis ’80 Hanny, Gauri, Didit”? Apa yang mendasari berlangsungnya pameran tersebut?

Pameran ini mengemban misi memperkenalkan profesi desainer grafis ke masyarakat luas, di samping agar karya desain grafis diapresiasi sebagai karya seni. Tujuan ini dinyatakan tidak hanya dengan memeragakan hasil akhir, tapi juga proses penciptaan sebuah karya, hingga perjalanan proses penautan separasi warna (color separation).

Menurut Agus Dermawan T., kritikus seni, pameran ini merupakan pameran desain grafis pertama di Indonesia yang diadakan oleh desainer-desainer grafis Indonesia. Dikatakan olehnya bahwa pada tahun 1979, bulan November di Bandung, pernah ada pameran desain grafis non-komersial, tapi bukan oleh desainer-desainer Indonesia—mereka datang dari Belanda.

12. Tidak ada keinginan untuk mengulang kembali di masa sekarang “Pameran Rancangan Grafis ’80 Hanny, Gauri, Didit”?

Ah saya sekarang kan sudah tidak memiliki karya lagi. Sekarang giliran yang muda-muda untuk unjuk karya.

13. Melihat pameran-pameran desain grafis sekarang yang mulai banyak diselenggarakan, apa tanggapan Pak Hanny?

Belakangan ini saya jarang mengunjungi pameran-pameran karena sudah tidak begitu mobile lagi. Tapi senang sekali melihat semangat ’go public’ yang tumbuh hampir di semua sekolah DKV.

14. Salah satu karya Pak Hanny yang paling terkenal yaitu poster “Buatan Indonesia, Mengapa Tidak?”. Bisa jelaskan konsep dibalik poster tersebut?

Seluruh elemen desain (dasi kupu-kupu, tas belanja dengan label Buatan Indonesia, warna merah putih, dan hitam) dimaksudkan untuk menggambarkan citra perempuan kelas atas yang berdasarkan analisa psikologis ketika itu (tahun 1980-an):

  • Merupakan golongan yang gemar mengkonsumsi barang-barang bermerek produksi luar negeri.
  • Mode bergerak dari atas ke bawah. Kalau anjuran ditujukan ke kalangan atas, yang di bawah (kelas menengah) akan mengikutinya. Anjuran untuk menggunakan produk dalam negeri jelas tidak akan mengenai sasaran bila ditujukan ke kalangan bawah.
15. Boleh sharing tips untuk desainer-desainer muda yang nantinya mungkin berminat untuk membuat blog atau situs seperti DGI, apa yang harusdipikirkan dan diutamakan terlebih dahulu?

Secara keseluruhan, sebisa mungkin bersikap tidak berpihak, bersikap netral pada trend yang ada, juga pada tiap ciri khas desainer, pada kelompok-kelompok desain yang eksis.

a. Selama perjalanan berkarya, bagian tertinggi dan terendah yang pernah dijalani apa saja?

Semuanya saling berhubungan, kalau pun ada yang tertinggi tidak lain merupakan konsekwensi saja karena telah melalui perjalanan-perjalanan sebelumnya. 

b. Siapa Inspirasi desainer grafis Pak Hanny? Internasional maupun nasional.

Tidak ada yang spesifik, tapi karena hidup dan berkarya di masa Modernisme, mungkin prinsip-prinsip Modernisme yang paling banyak berpengaruh, dengan demikian termasuk juga desainer-desainernya.

c. Desain Indonesia saat ini apa yang kurang, dalam artian harus diperbaiki untuk kedepannya, dan apa yang baik sehingga perlu dipertahankan atau ditinggikan lagi?

Saya kuatir pertanyaan ini akan menggiring pada kondisi yang terlalu general, padahal pengertian ’desain Indonesia saat ini’ mencakup karya-karya yang sangat luas, mulai dari yang super hingga yang mediocre

d. Harapan Pak Hanny mengenai desainer-desainer grafis muda sekarang?

Berani berkompetisi di ajang-ajang penghargaan desain internasional.

Belasan tahun silam, atas rekomendasi Sheila Levrant de Bretteville, salah seorang desainer grafis penandatatangan Manifesto First Things First 2000, saya diminta oleh Florian Pfeffer, inisiator ajang penghargaan (awards) :output, International Award for Students in Design, untuk membantunya sebagai editor buku :output yang dipublikasikannya setiap tahun bersama German Design Council. Motivasi di balik gagasan ini adalah karena “Graphic design created at universities, usually disappears into the drawers of the authors, after it has been presented to a small university audience. There the works remain invisible”. Florian, melalui proyek :output ini berniat mengubahnya.

Sebagai editor artinya: “Every editor can/should send up 3 works of his students each year, which he/she would like to be published in :output. Out of the board of editors every year a commission will be composed to make the final selection for the book. The commission has got the commitment, to select at least one work from each editor so the editors will have a big influence on the content of the book. The commission will meet every year in a different country to make :output a world-based project”.

Saya memberanikan diri menerima tawarannya, dan kemudian bergabung sebagai Board of Editors sejak edisi kedua buku :output bersama Irma Boom (Belanda), Sheila Levrant de Breteville (Amerika Serikat), Werner Jeker (Swiss), Dieter Kretschmann (Jerman), Florian Pfeffer (Jerman), Peter Rea (Inggris), Erik Spiekermann (Jerman), dan Teal Triggs (Inggris). Maka sejak edisi kedua itu, karya mahasiswa-mahasiswa desain grafis Indonesia mulai hadir dalam buku :output, bersanding dengan karya-karya yang berasal dari negara-negara yang merupakan kiblat desain grafis dunia tersebut di atas.

Sayang, walau telah memperoleh berbagai keringanan, bahkan entry fee pun ditiadakan—saya jelaskan pada Florian, bahwa kondisi Indonesia sedang krisis saat itu—gairah menyertakan karya dari mahasiswa-mahasiswa kita menurun terus, hingga akhirnya tidak lagi hadir sejak edisi kelima dan seterusnya. Sebuah kesempatan yang telah disia-siakan? 

Sebuah peta desain grafis dunia versi :output yang dipublikasikan pada buku :output 13 tidak lagi mencantumkan negara Indonesia di dalamnya [Lihat: Revolusi Mental* Desainer Indonesia]

Catatan perjalanan :ouput di Indonesia ini bisa disimak pada link ini » :output (International Yearbook for Students Design Projects) – Catatan Perjalanannya di Indonesia

Kini Indonesia bahkan tidak diperhitungkan dalam lingkup Asia! Tahun lalu, untuk ajang penghargaan Design for Asia (DFA) Awards 2013 yang diselenggarakan oleh Hong Kong Design Centre (HKDC), saya mendistribusikan call for entry melalui situs DGI dan media-media sosial terkait; bahkan link ke situs DFAA ini saya cantumkan pada ruang banner yang tersedia di situs DGI supaya menjadi perhatian. Tapi, ketika kemudian saya menerima kiriman buku yang mempublikasikan karya-karya pemenangnya (bukunya cukup mewah, format 27x27 cm, tebal 276 halaman), saya menjumpai tidak ada satu pun karya desainer Indonesia tercakup di dalamnya. Bahkan, di dalam sebuah peta yang menggambarkan lingkup desain di Asia (Design in Asia: Now and Future), nama negara kita tidak dicantumkan walau kepulauan Indonesia tergambarkan dengan jelas (di antara Singapura, Malaysia, Thailand, Hong Kong, Taiwan, Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang), yang berarti: tidak ada satu pun karya dari Indonesia disertakan pada ajang ini. Dan sebagai akibatnya Indonesia bahkan tidak diperhitungkan dalam percaturan desain di kawasan Asia. Kalau kondisi ini mengusik kita, bagaimana kalau kita bersama-sama mencoba mengubahnya? 

[Lihat pula: Yongky Safanayong (1950-2015) dalam FI9UR]




***

Dalam Kenangan: Johnny Wibowo (1951–2017)

Johnny Wibowo  (1951–2017)

Each day is born with a sunrise and ends in a sunset, the same way we open our eyes to see the light, and close them to hear the dark.  

Barangkali saya tak pernah memimpikannya, tapi benar telepon itu memang darinya. Di suatu malam tahun 2009.

“Kamu masih menggambar komik?” demikian ia membuka pembicaraan dengan hangat. 

Kami pun kemudian larut dalam berbagai topik berkepanjangan. Hingga tak terasa satu setengah jam berlalu. Mempercakapkan apa yang sedang kami kerjakan, mengenai kabar terakhir teman-teman kami yang telah 40 tahun berpisah, hingga menyentuh isu-isu politik terkini. Dan sesudahnya, berkat kebaikannya, saya terhubung kembali dengan beberapa teman lama, yang juga menelepon saya malam itu. 

Ia, Johnny Wibowo, sekelas saya di SMAK Petra, Surabaya. Tak banyak yang bisa saya ingat mengenai dirinya kecuali beberapa perilakunya yang bandel. Seusai SMA, ia lanjut ke Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga. Dan setelah berkeluarga, Johnny dan isterinya yang profesinya sama, Olivia Maria Rahmawati, memutuskan membuka praktik profesionalnya di rumah. Pertimbangannya, agar anak-anak bisa tetap berada dalam pengawasan mereka saat bekerja. 

Klinik dokter gigi keluarga ini, Wibowo Dental Clinic, kemudian menjadi langganan figur publik terkemuka, dan memperoleh rekomendasi dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta sebagai rujukan berobat bagi warga Amerika yang berada di Indonesia Timur. Sesuatu yang menjadi kebanggaannya bahwa tiga generasi keluarga mereka turun-temurun berprofesi sebagai dokter gigi, sejak orang tua isterinya, hingga ke putra-putranya. Johnny dan Olivia dikarunia tiga putra, dan seorang putri. Kecuali putrinya yang dokter umum, ketiga putranya mengikuti jejak ayah ibunya.

Siang hari, Rabu 26 Juli 2017, ketika mendengar berita Johnny tengah dirawat di rumah sakit, saya meneleponnya. Seperti biasa, ia menyambutnya dengan ceria dan penuh semangat. Tiada sedikit pun nada katanya menandakan ia tengah sakit serius. Ia tak membersitkan risaunya. Kami bernostalgia sebentar mengenai masa-masa SMA kami, sebelum diceritakannya kondisi sakitnya dan pilihannya atas metode perawatannya. Johnny begitu kuat dalam keberserahannya.

“Kamu masih suka menggambar?” pertanyaan yang masih sama ia lontarkan. Sejenak saya terbenam dalam keharuan karena ketegarannya.

Kemudian kami saling bertukar informasi mengenai kesehatan. Ia masih sempat menganjurkan pemakaian herbal tertentu, dan lalu mengirimkan beberapa tautan informasinya.

Maka sungguh mengejutkan, bahwa seminggu kemudian, pada Rabu 9 Agustus 2017, Johnny dipanggil menghadapNya. Tak ada lagi telepon, tiada pula kiriman berita-berita politik yang hampir setiap hari saya terima darinya. Perjalanannya di Bumi telah digenapkan.

Selamat jalan, sahabat Johnny. Selamat beristirahat dengan damai dalam pelukanNya.

Every spark returns to darkness.Every sound returns to silence.And every flower returns to sleep with the earth. 
—Suzy Kassemm, Rise Up and Salute the Sun, 2010


Hanny Kardinata

Bintaro Jaya, 9 Agustus 2017

Unggulan

Merajut Keterhubungan

Sebuah esai merespons tema pameran Forum Grafika Digital 2017 (FGDexpo 2017), Connectivity (Jakarta Convention Center, 24–27 Agustus 2017). ...