[Bagian pertama dari tiga bagian]
Oleh: Hanny Kardinata
“Musik adalah capaian rasa batin tertinggi manusia. Kita digerakkan oleh musik. Denyut nadi, detak jantung, langkah kaki, dan gerakan tubuh adalah musik. Bahkan perputaran planet dan bintang-bintang semesta adalah musik yang indah. Jika suara atau bunyi dari setiap pergerakan itu dimunculkan lebih keras sehingga mampu ditangkap telinga, semua akan menjadi orkestra musikal yang memukau.” —Slamet Abdul Sjukur, Slamet Abdul Sjukur dan Bunyi yang Berkisah, Jawa Pos, Minggu, 29 Maret 2015
Menghadiri upacara pemakamannya sendiri
Slamet Abdul Sjukur (SAS), komponis yang didaulat sebagai ikon penyebar paham musik kontemporer di Indonesia itu meninggal dunia pada Selasa, 24 Maret 2015 sekitar pukul 06.00 wib, setelah menjalani dua minggu perawatan di Graha Amerta, RSUD dr. Soetomo, Surabaya. Dalam kesendirian, ia terjatuh di lantai rumahnya di jalan Keputran Panjunan, tanpa diketahui oleh siapa pun. Insiden itu telah mencederai kaki kanannya yang rentan akibat terserang polio [sejak usia enam bulan], dan yang telah menjadi kendala bagi mobilitas dirinya selama ini.
Kepergiannya yang tiba-tiba itu meninggalkan kekosongan bagi dunia seni Indonesia, terutama karena ketika itu SAS masih sedang di puncak rangkaian kegiatannya seusai menggelar karya-karya musiknya dalam performansi bertajuk Sluman Slumun Slamet, 27 September 2014 di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Tak luput pula menyisakan penyesalan terdalam pada diri saya karena gagal menghadiri pertunjukan terakhirnya itu. Yang juga berarti gagal bertegur sapa dengannya untuk terakhir kalinya. Saya jatuh sakit dua hari menjelang berlangsungnya acara yang diadakan untuk merayakan usianya yang ke-79 itu.
1. Slamet Abdul Sjukur. Sketsa oleh Wiwik Hidayat, 1990.
|
SAS (30 Juni 1935–24 Maret 2015) yang pernah mengenyam pendidikan serta menetap di Paris selama 14 tahun (1962–1976), telah menerima banyak penghargaan internasional. Di antaranya penghormatan tertinggi L’Officier de l’Ordre des Arts et des Lettres (Tokoh dalam Bidang Seni dan Sastra) dari Pemerintah Perancis. Saya beruntung bisa menjadi bagian dari seremoni penganugerahan penghargaan itu, yang berlangsung khidmat pada Kamis, 24 Oktober 2002 di tempat kediaman Duta Besar Perancis di Jakarta. Pidatonya yang berjudul Terima Kasih kepada Kuburan, yang disampaikannya sebagai ungkapan terima kasihnya, menandai ingatannya pada kepergian orang-orang yang dicintainya sebagai ‘saat-saat penting yang tidak bisa dihadirinya’.
“Saya masih di Perancis ketika nenek saya meninggal, dan sedang di Jerman waktu ayah saya tiada. Di saat ibu saya menghadapi sekaratul maut, saya tidak berada di sampingnya sebagaimana yang diinginkannya.”[1]
Serta memaknai acara penghormatan bagi dirinya itu sebagai upacara pemakaman bagi dirinya sendiri:
“Upacara petang ini yang kembali mengingatkan pada mereka yang meninggalkan saya di ‘saat-saat penting yang tidak saya hadiri’, menimbulkan perasaan seolah-olah saya menghadiri pemakaman diri saya sendiri.”
“Pemberian penghargaan, bukankah ini langkah awal menuju kuburan? Penghormatan tinggi terhadap seseorang yang masa lalunya patut mendapat sanjungan, bukankah pertanda yang tegas bahwa penghormatan hanya diperuntukkan pada masa lalu orang itu? Sepertinya dia akan mati untuk menjadi orang yang berarti?”
“Penghargaan yang mendebarkan yang dipasang di atas kuburan ini justru membuat saya semakin mengagumi kehidupan, kerapuhannya yang membingungkan, keindahannya yang hanya sesaat...”[1]
Dan SAS pun seperti ingin menunjukkan bahwa ia tak lalu ingin ‘mati menjadi orang yang berarti’. Sosok yang lempeng, anti-kompromi, dan tak kenal kata pamrih itu hingga detik-detik terakhir hidupnya masih mencurahkan segenap hatinya untuk musik, musik, dan musik. Dalam kondisi lemah dan kesakitan, SAS masih sempat menyampaikan kepada beberapa murid yang setia menungguinya di rumah sakit, bahwa ia masih ingin mengajar, ingin menyelesaikan karyanya yang belum selesai, dan masih ingin berbagi ilmu kepada siapa saja. Ia berpesan agar Pertemuan Musik Surabaya (PMS), juga Pertemuan Musik Jakarta (PMJ), tidak sampai mati.
PMS yang didirikannya pada 1957 bersama Ruba’i Katjasungkana [waktu itu redaktur harian Surabaya Post] dan The Lan Ing [yang baru kembali dari studi musiknya di Amsterdam] itu adalah forum pertemuan di antara para pecinta musik. Atas jasanya menyebarluaskan pendidikan musik—sebagaimana tertuang dalam cita-cita PMS: Kudjadikan Rakjatku Tjinta Musik—pada 1983 SAS menerima penghargaan Medaille Commemorative Zoltan Kodaly dari pemerintah Hungaria.
Tahun-tahun bergairah
beta
ada di malam
ada di siang
mari
menari
mari
—Bagian dari olahan Slamet Abdul Sjukur atas sajak Chairil Anwar, Tjerita Buat Dien Tamaela (1943) untuk Parentheses 5 (1981)
Sajak Chairil Anwar, Tjerita Buat Dien Tamaela itu mempertemukan saya dengan Mas Slamet. Ketika itu, bersama Soedarmadji Jean-Henry Damais (Mas Adji), saya membantunya mempersiapkan buku acara pergelaran perdana karya ciptanya, Parentheses 5 (Gb. 2–6) yang akan diselenggarakan di Libra Room, Hilton Executive Club, Hotel Hilton (sekarang: The Sultan Hotel) pada 12 Agustus 1981, dan pada 13 Agustus 1981 di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Parentheses 5 merupakan penafsiran Mas Slamet atas sajak itu.[i]
Mas Adji adalah putera Louis-Charles Damais (1911–1966), ilmuwan, sejarawan, penulis buku Epigrafi dan Sejarah Nusantara (1995), guru di École Pratique des hautes Études (EPHE), yang bekerja bagi lembaga École française d’Extrême-Orient (EFEO). Pada awalnya, sebagai wakil EFEO di Indonesia, L.C. Damais bekerja di rumahnya sendiri yang diubahnya menjadi kantor EFEO di jalan Sunda 5A, Menteng, Jakarta. Rumah ini kelak dipakai pula oleh saya dan Tjahjono Abdi (1952–2005) sebagai kantor studio grafis Citra Indonesia (1980–sekitar 1983). Pengetahuan L.C. Damais tentang kebudayaan Jawa sangat mengagumkan dan hasil penelitiannya membuktikan bahwa dia adalah ahli epigrafi Jawa yang paling terkemuka di dunia. L.C. Damais meninggal mendadak pada Mei 1966 pada usia 55 tahun. Salah seorang muridnya adalah Denys Lombard, (1938–1998), pakar keindonesiaan (indonesianist) berkebangsaan Perancis untuk Asia Timur dan Tenggara.[1]
Saat-saat bertukarpikiran di Citra Indonesia—baik semasa persiapan pergelaran maupun sesudahnya—menjadi awal persahabatan saya dengan Mas Slamet.[2] Apresiasinya sangat baik dan sama sekali tidak mau mencampuri urusan desain. Padahal, Mas Slamet pada masa itu telah menjadi figur penting dan dihormati di kalangan seni internasional, sementara saya masih belum lama berkarya nyata [selesai studi 1975]. dan baru sekitar setahun mendirikan Citra Indonesia (1980).
Sejak itu, kami sering menghabiskan waktu bersama-sama, sekadar berjalan-jalan, atau bercakap-cakap. Obrolan bersamanya tidak pernah membosankan karena begitu beragamnya topik yang diminati dan dikuasainya. Hampir setiap hari, Mas Slamet menjemput saya dengan Honda Civic-nya yang berwarna hijau metalik, untuk menyusuri berbagai tempat kesenian atau pusat-pusat kebudayaan asing di Jakarta, dan mengantar saya kembali ke rumah indekos di Jalan Yusuf Adiwinata (d/h Waringin) 30, Menteng [belakangan, karena adanya suatu kebutuhan, Mas Slamet tinggal pula di sini untuk sementara waktu]. Siang atau malam, kami melewati masa-masa indah, “menari” dan “beria” bagai “ganggang” dalam sajak Chairil Anwar itu.[ii] Sesekali, kami hanya berjalan dan berjalan, tak tentu arah. Hotel Hilton sering kali menjadi pilihan favorit untuk beristirahat sekadar menikmati alunan gamelan Jawa di pendapa belakang hingga jelang malam hari. Dalam gairah dan keheningan, kami dipersatukan.
Memercayai kehadiran rasa
Suatu siang yang terik di Departemen Musik Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ), sekarang: Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Saat itu Mas Slamet sedang tidak mengajar. Ia yang tahu bahwa saya menyukai karya-karya Erik Satie (1866–1925), sengaja memainkan salah satu komposisinya untuk piano yang paling terkenal, Gymnopédies (1888).
Bilah-bilah piano yang diketuk dengan kedalaman rasa, cermat dan terukur itu, perlahan-lahan mengubah atmosfer ruang yang sengangar menjadi sejuk. Kabut seperti turun dan menyusup masuk melalui celah-celah lubang angin, menyelubungi relung-relung jiwa. Bunyi yang berasal dari sentuhan tangan yang lembut, yang dikontrol dengan tempo yang sangat terjaga itu (slow tempo) terasa begitu mengendap di hati, lebih daripada yang pernah saya rasakan selama ini melalui kaset-kaset koleksi saya. Saya seperti disadarkan bahwa saya tengah berhadapan dengan bukan sembarang orang.
Sahabatnya, musikus, pedagog, pemikir dan penulis musik Suka Hardjana (l. 1940), pernah mengatakan bahwa Mas Slamet sangat perasa, tapi juga sangat tangguh dalam kepribadian. Mengulang kembali apa yang pernah diutarakan oleh Mas Slamet: “Walaupun saya tak pernah bermaksud mau melawan”, menurut Pak Suka, Mas Slamet tak pernah mau surut dan tunduk terhadap keadaan apa pun yang diyakini.
“Ia keras seperti batu karang dan tak tertundukkan, tapi ramah dan santun dalam tutur bahasanya. Gestur perilakunya elegan dan terbuka kepada siapa pun, terutama kalangan muda. Ia sangat perasa dalam banyak hal.”
Tak heran kalau kepekaannya itu diwarisi pula oleh anaknya. Suatu sore, Mas Slamet bersama isterinya, Françoise, Svara anaknya (l. 1979), dan saya berjalan-jalan di TIM. Di tengah obrolan yang mengasyikkan, kami baru menyadari bahwa Svara tidak berada lagi di antara kami. Kami berbalik, dan menjumpainya sedang menempelkan telinganya di pohon beringin yang tumbuh besar di halaman tengah kompleks TIM. Entah sudah berapa lama ia berada di situ. Ketika ditegur, Svara hanya menjawab pendek: “Oh, aku sedang mendengarkan suara pohon itu.”
Saat diwawancarai oleh majalah arsitektur dan interior Laras, Mas Slamet pernah menguraikan peran rasa dalam penciptaan, dengan menganalogikan kerja mencipta musik dengan kerja seorang arsitek.
“Konsepnya harus kuat dan memenuhi kebutuhan. Fondasinya harus kokoh. Aspek keindahannya harus lahir dari ketepatan kebutuhan. Memang, terkadang saya tidak mau terikat dengan kerangka yang saya bikin lebih dulu. Biasanya, ini baru bisa saya rasakan setelah musik saya jadi. Dalam keadaan seperti ini, saya kembali memercayai kehadiran rasa. Hal-hal yang rasional saya lupakan.”[3]
Kebutuhan menarik diri
SAS bergaul akrab dengan piano sejak usia dini. Pada 1944–1945, ia mulai belajar pada guru-guru piano pertamanya. Pendidikan musik formalnya sendiri dimulai di Sekolah Musik Indonesia (SMIND) Yogyakarta (1952–1956)[iii]. Di sini Mas Slamet belajar pada guru-guru yang sangat mengesankannya, seperti Sumaryo L.E. [yang kelak bersama Suka Hardjana mendorongnya kembali ke Indonesia untuk mengajar di LPKJ], Nicolaj Varvolomeyeff [pemain cello, penganut ajaran-ajaran Krishnamurti dan Subud], serta Joseph Bodmer [salah satu guru piano pertamanya yang berasal dari Swis].
Atas beasiswa dari Perancis (1962–1963, yang diperpanjang tiap tahun hingga tahun keempat), Mas Slamet kemudian menempuh pendidikan musik tingkat lanjut di Conservatoire National Supérieur de Musique de Paris dan belajar dari sejumlah tokoh seperti Jules Gentil (piano), Victor Gentil (musik kamar), ilmu harmoni (Georges Dandelot), Madame Simone Plé Caussade (kontrapung dan fuga), dan Henri Dutilleux (teori komposisi).
Sementara di École Normale de Musique de Paris (1962–1967), Mas Slamet menerima pelajaran analisis musik dari Olivier Messian (1908–1992). Pada 1968, ia juga berkesempatan belajar singkat pada Pierre Schaeffer (1910–1995) dan kelompoknya Groupe de Recherches Musicales (GRM) untuk musik elektro akustik. Pada 1975, Mas Slamet menerima penghargaan Piringan Emas dari Académie Charles Cros, Perancis untuk penampilan karya ciptanya Angklung di Festival Musik Folklor di Dijon.
Khusus mengenai Henri Dutilleux (1916–2013), Mas Slamet pernah menyatakan bahwa langkahnya lamban, bahkan sangat lamban, tapi kokoh. Dan tanpa kecuali sekarang ini tidak ada komponis yang tidak segan terhadap kehadirannya. Dutilleux sendiri pernah mengatakan:
“...untuk menciptakan karya-karya baru, saya membutuhkan waktu yang lama untuk menyendiri, barangkali lebih lama dari orang-orang lain, dan ini rasanya tidak sesuai dengan tuntutan pendidikan yang harus dilakukan terus-menerus. Di sinilah sebenarnya sifat mendua yang sering orang katakan tentang saya; hasrat komunikasi dan berbagi pengalaman dan di samping itu semua merasakan kebutuhan untuk menyepi dan meditasi.”[4]
Seperti halnya dengan Dutilleux, kebanyakan karya-karya Mas Slamet pun dibuat dalam kurun waktu lama, satu karya bisa memakan waktu proses hingga tiga tahun lebih. Kadang kala ia butuh menyepi secara total, yang biasanya dilakukannya dengan mengurung diri di kamar sebuah hotel.
Sekembalinya ke Indonesia (1976), Mas Slamet menjadi Ketua Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta (1977–1981), dan Ketua Jurusan Musik LPKJ (1981–1983) mengajar teori musik dan komposisi. Tapi sikapnya yang non-konformis terhadap sistem pendidikan di LPKJ telah mengakibatkan Mas Slamet dipecat pada 1987. Kebanyakan mahasiswanya [yang berpihak kepadanya dan merasa kehilangan gurunya itu] tetap melanjutkan kerjasamanya dengan Mas Slamet setelah itu. Mereka inilah, seperti Tony Prabowo, Otto Sidharta, Saut Sitompul, Arjuna, dan Franki Raden, yang di kemudian hari paling berperan dalam masyarakat.[5]
———
[i] Nama Parentheses, yang berarti tanda-kurung, dimaksudkan sebagai sesuatu yang di luar lalu lintas Tesis-Antitesis-Sintesis. Sumbernya dari sajak-sajak R.D. Laing (1927–1989) yang terhimpun dalam Knots yang sudah dipakai oleh Slamet Abdul Sjukur sebelumnya dalam Parentheses 3 (1970–1975).
[i] Nama Parentheses, yang berarti tanda-kurung, dimaksudkan sebagai sesuatu yang di luar lalu lintas Tesis-Antitesis-Sintesis. Sumbernya dari sajak-sajak R.D. Laing (1927–1989) yang terhimpun dalam Knots yang sudah dipakai oleh Slamet Abdul Sjukur sebelumnya dalam Parentheses 3 (1970–1975).
[ii] Cerita Buat Dien Tamaela, Chairil Anwar, 1946
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu
Beta Pattirajawane
Kikisan laut
Berdarah laut
Beta Pattirajawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan
Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala.
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.
Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.
Mari menari!
Mari beria!
Mari berlupa!
Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!
Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau….
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.
[iii] Sekolah Musik Indonesia (SMIND) Yogyakarta didirikan pada 1952 oleh Ki Hadjar Dewantara (1889–1959), Mohammad Hatta (1902–1980), Mohamad Yamin (1903–1962), Hamengku Buwono IX (1912–1988), dll. Slamet Abdul Sjukur adalah murid pertama SMIND bersama Paul Goetama Soegijo (l. 1934), F.X. Warsono, F.X. Soetopo (1937–2006), dan Idris Sardi (1938–2014). SMIND berkembang menjadi Akademi Musik Indonesia (AMI) pada 1961, dan disatukan dengan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) dan STSRI Asri menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) pada 1984.
———
[1] Chambert-Loir, Henri. 2011. Sultan, Pahlawan dan Hakim: Lima Teks Indonesia Lama. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
[1] Chambert-Loir, Henri. 2011. Sultan, Pahlawan dan Hakim: Lima Teks Indonesia Lama. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
[2] Slamet Abdul Sjukur. Desain Grafis Indonesia, http://dgi-indonesia.com/slamet-abdul-sjukur/, diakses 12 April 2015.
[3] Rumah Segi Tiga. Jakarta: Laras No. 19, Oktober 1988.
[4] Sjukur, Slamet Abdul. 2014. Sluman Slumun Slamet: Esai-esai Slamet Abdul Sjukur (1976–2013). Yogyakarta: Art Music Today.
[5] Awuy, Tommy F. (Penyunting). 2005. Tiga Jejak Seni Pertunjukan Indonesia: Rendra, Sardono W. Kusumo, Slamet A. Sjukur. Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI).
[Bersambung » Keheningan yang Berbicara (2)]
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Game Land 5 karya Slamet Abdul Sjukur, dipersembahkan oleh Slamet Abdul Sjukur (kemanak, clap hands, voice), Aishah Sudiarso Pletscher (piano), Sri Aksan Sjuman (gong ageng).
***
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar