31.1.18

Perjalanan Kembali (4)

[Sambungan dari: Perjalanan Kembali (3). Bagian terakhir dari empat bagian]


“Masa depan adalah masa lalu yang berulang dan muncul dalam rupa yang baru. Masa depan era industri adalah era pra-industri dalam wujud baru. Memahami hal seperti itu penting bagi Indonesia yang memiliki ribuan desa, karena masa depan itu sesungguhnya ada sangat dekat dengan kita. Namun kita sekarang ini sudah membelakanginya. Ingin meninggalkannya demi meraih masa depan—yang bentuknya seperti masyarakat industri sekarang ini. Semestinya kita hanya perlu membalikkan badan, serta menggali dan mengembangkan potensi di dekat kita, terutama komunitas desa-desa. Dengan cara seperti itu, kita akan tiba di masa depan jauh lebih cepat daripada negara-negara industri yang sebenarnya juga sedang menuju ke sana. [...] Hal yang paling vital adalah adanya fasilitas pendidikan kontekstual. Fasilitas dan aktivitas tersebut adalah jantungnya komunitas.”—Singgih Susilo Kartono

Tidak bahagia
Gerakan ‘kembali ke desa’ sebenarnya telah berlangsung lebih awal di banyak negara. Sifatnya universal, dan sejauh ini sejalan dengan apa yang dipercayai oleh masyarakat Cina, bahwa apabila sesuatu berkembang ke kondisi ekstrimnya, pasti akan berputar balik ke arah sebaliknya. 

Di Australia misalnya, sementara orang-orang muda berusia 20-an berduyun-duyun ke kota mencari pekerjaan, sebuah laporan dari Regional Australia Institute (RAI) pada 2014 menunjukkan bahwa setelah beberapa tahun mereka akan berbondong-bondong kembali ke daerah asalnya. Hal itu mereka lakukan terutama agar kehidupan yang lebih baik bisa dijangkau, tersedia lebih banyak waktu bersama keluarga, dan demi nilai-nilai baik yang dipahami masih kuat melekat pada masyarakat pedesaan. Pada catatan RAI, sepanjang 2010–2011 saja ada 135 ribu orang meninggalkan ibu kota negara-negara bagian di Australia untuk kembali ke daerah regionalnya masing-masing:

“It’s been a steady flow over the last five years, so it’s not brand new... it’s just ramped up.”[5]

Sama saja halnya dengan proses konter-urbanisasi yang tengah berlangsung di Kanada, khususnya di Toronto. Hanya saja pola yang terjadi di sini umumnya mengikuti dua tahapan, awalnya perpindahan dari kota ke daerah pinggirannya, dan kemudian perpindahan lagi dari daerah pinggiran kota ke pedesaan. Dan yang melakukannya adalah kaum berpunya (affluent). Para eks-urbanis ini bukan mereka yang miskin, melainkan mereka yang berusaha mencari tempat tinggal yang dekat dengan tempat kerjanya. Mereka memiliki penghasilan di atas rata-rata, dan tingkat pendidikan yang lebih baik daripada mereka yang tinggal di kota.[6] 

Serupa juga dengan yang berlangsung di Cina; ketika kaum miskin di pedesaan pindah ke kota, kaum kaya urban justru kembali ke desa. Menurut Bloomberg Business pada laporannya tahun 2013, mereka mengalami tekanan oleh pekerjaannya di kota, dan mencari alternatif kehidupan yang temponya lebih lambat. 

Diilustrasikannya kisah seorang warga Cina, Bei Yi yang pada 2007 melakukan sebuah hal yang dianggap gila oleh banyak orang. Ia berhenti dari pekerjaannya yang berupah tinggi sebagai manajer sebuah perusahaan kaca, menjual mobil serta apartemennya, dan meninggalkan Shanghai, salah satu kota yang paling didambakan di Cina. Destinasinya adalah kota tua Lijiang, terletak jauh di pedalaman Barat Daya propinsi Yunan yang miskin, yang pada masa lalu menjadi tempat pembuangan bagi mereka yang bertentangan dengan Kaisar. Keluarga dan teman-temannya yang keheranan bertanya kepadanya: “Bagaimana mungkin kamu yang berasal dari kota yang demikian hidup dan penting ini bisa pindah ke daerah pegunungan yang jauh dari kehidupan?”   

“Mereka tak mengerti” kenang Bei, yang di kemudian hari mengelola sebuah pesanggrahan di Lijiang, sebuah kota dengan banyak lorong-lorong tua dan sungai yang deras airnya. “Dalam beberapa hal, hidup saya di Shanghai cukup baik. Tapi saya sama sekali tidak bahagia.”

Lijiang, rumah bagi minoritas Naxi yang memiliki sistem aksara tersendiri berkarakter piktografis, terletak di lereng Jade Dragon Snow Mountain dengan ketinggian 5.596 meter dan terkenal karena langitnya yang biru sepanjang tahun. Perkiraan Pan Hongyi, Wakil Direktur Travel Research Institute, Lijiang Normal Technical College: “Dari sekitar 20.000 penduduk Lijiang, 95% di antaranya adalah eks-urbanis, berubah banyak dari keadaannya yang hampir-hampir tak berpenghuni 15 tahun yang lalu. Kebanyakan dari mereka tadinya datang hanya untuk berkunjung, tapi akhirnya mereka menetap di sana.”


13. Pertunjukan spektakuler rancangan sutradara film Zhang Yimou (. 1951) di lereng Jade Dragon Snow Mountain, kota tua Lijiang yang merupakan Situs Warisan Dunia UNESCO. Fotografi: Ka Xiaoxi.


Survei tahun 2012 oleh Regus (RGU:LN) cabang Luxemburg yang menyewakan ruang perkantoran dan ruang konferensi di seluruh dunia menyimpulkan bahwa 75% pekerja Cina merasa beban mental mereka bertambah terus, merupakan persentase terbesar dari keseluruhan survei yang diadakan di 80 negara. Sementara survei yang diadakan oleh Pew Research Center pada tahun yang sama menunjukkan hanya 59% warga Cina yang puas dengan “kehidupan abad ke-21”, turun dari 71% pada survei empat tahun sebelumnya. Masalah keamanan pangan menduduki tempat teratas keprihatinan mereka, berikutnya masalah-masalah seperti kemacetan lalu lintas, kriminalitas, dan polusi.[7]

Heart of nature

People get to used too convenience. They think convenience is better. They throw out what’s truly good.” —Akira Kurosawa, Dreams (1990)

Kehidupan di pedesaan dan masalah lingkungan hidup divisualkan oleh Akira Kurosawa (1910–1998) melalui filmnya yang berjudul Dreams (1990), menggambarkan bagaimana manusia menghancurkan alam atas nama “kemajuan”. Film dengan konsep Realisme Magis ini ditulisnya sendiri berdasarkan mimpi-mimpi yang dialaminya berulang kali. Film ini tidak memiliki narasi tunggal, tetapi agak episodik mengikuti petualangan seorang “pengganti Kurosawa” [sering dikenali mengenakan topi yang merupakan cap (trademark) Kurosawa] melalui delapan segmen, atau “mimpi”, yang berbeda. Dreams mengeksplorasi kesia-siaan perang, bahaya reaktor nuklir, dan terutama mengenai perlunya umat manusia menyelaraskan dirinya dengan alam. 

Yang ingin saya bagikan di sini adalah segmennya yang kedelapan, yang berjudul Village of the Watermills, di mana dalam keheningan atmosferiknya kita diajaknya merenungkan kembali apa prioritas kita dalam kehidupan dewasa ini.

Seorang pemuda mendapatkan dirinya sedang menapaki sebuah desa nan damai sentosa, yang dialiri sungai kecil jernih dan deras airnya. Ia kemudian bertemu dengan seorang laki-laki tua bijak yang sedang memperbaiki roda putar pembangkit-energi (watermill) (Gb. 14) yang rusak. Si penatua bercerita bahwa di masa lampau orang-orang desa ini memutuskan meninggalkan kotanya yang kotor akibat teknologi modern (polusi) untuk kembali ke kehidupan yang lebih bersih dan sehat (tanpa teknologi modern). Mereka mengupayakan sendiri keberlanjutan kehidupannya dengan melangsungkan gaya hidup alami. Desa ini tidak mengkonsumsi listrik. Penduduknya menggunakan minyak biji rami dan lentera di malam hari. Sawah mereka dibudidayakan menggunakan kuda dan sapi, bukan traktor. Dan untuk bahan bakar, mereka memakai kotoran sapi dan kayu bakar (dari ranting pohon yang patah). Dengan tinggal di desa ini mereka telah memilih kesehatan (fisik dan spiritual) daripada kenyamanan hidup. 


14. Watermills di peternakan Daio Wasabi, Distrik Nagano, di mana segmen kedelapan film Dreams, Village of the Watermills diambil. 


We try to live the man used to. That’s the natural way of life. People today have forgotten they’re really just a part of nature. Yet, they destroy the nature on which our lives depend. They always think they can make something better. Especially scientist. They may be smart, but most don’t understand the heart of nature. They only invent things that in the end make people unhappy. Yet they’re so proud of their inventions. What’s worse, most people are too. They view them as they were miracles. They worship them. They don’t know it, but they’re losing nature. They don’t see that they’re going to perish. The most important thing for human beings are clean air and clean water... and the trees and grass that produce them. Everything is being dirtied, polluted forever. Dirty air, dirty water... dirtying the hearts of men.”  


15. Sampul depan laser disc film Dreams (1990) karya sutradara Akira Kurosawa (1910–1998).

Film ini dengan satu dan lain cara melibatkan pula George Lucas (l. 1944), Francis Ford Coppola (l. 1939), Steven Spielberg (l. 1946), dan Martin Scorsese (l. 1942).

Pemuda itu terkejut mendengarnya tapi tergugah dengan gagasan tersebut. Hal lain yang menarik, tidak ada yang meninggal sebelum waktunya. Semua orang hidup hingga usia sembilan puluhan. Pak tua itu sendiri telah berumur seratus tiga tahun. Pada bagian akhir, diperlihatkan jalannya sebuah prosesi pemakaman bagi seorang perempuan tua. Alih-alih mengiringinya dengan isak tangis, seluruh warga desa merayakannya dengan penuh suka cita, melukiskan akhir yang pantas bagi sebuah perjalanan hidup yang telah dilalui dengan baik. Adegan ditutup dengan nukilan musik yang melankolis dan menggugah hati, In the Village yang merupakan bagian dari Caucasian Sketches, Suite No. 1 (1894, 1896) karya komposer Rusia, Mikhail Ippolitov-Ivanov (1859–1935).





Melihat ke dalam

We search for something not knowing what it is. We search for happiness and fulfillment. But we search in the outer world not realizing that we find these things by looking within.” —Slow Movement

Namun, guna mengikuti prinsip-prinsip Slow Movement [Lihat pula Slow Design pada Nada dalam Tautan Bidang-Bidang (2)], ada juga orang-orang yang memilih tidak pindah dari kota yang tengah mereka diami. Mereka tetap tinggal, tapi secara dramatis memperlambat diri dan mengubah gaya hidup mereka. Mereka beranggapan tetap bisa melakukan perlambatan atau perubahan besar, sekali pun tetap berada di lingkungan atau posisi mereka saat ini. Agar bisa terhubung ke kehidupan, ‘bukan keadaan sekitar yang diubah, tapi diri sendiri’. 

“Terhubung ke kehidupan berarti terhubung dengan tiap aspeknya: dengan diri kita sendiri, tubuh dan pikiran kita; dengan spiritualitas; dengan jalan hidup; dan dengan irama alam yang menuntun hidup kita. Kalau banyak di antara kita yang tak terhubung, itu karena kita mencarinya di luar, tidak menyadari bahwa kita bisa memperolehnya dengan mencarinya di dalam. Pada saat kita melihat ke dalam, kita akan menyadari bahwa diri kita lengkap dan hidup kita sempurna. Kita tak lagi mesti berjuang menapaki jenjang jabatan dalam pekerjaan, atau meningkatkan status sosial kita. Kita akan melihat diri kita sebagai bagian dari keseluruhan yang sangat kompleks—saling tergantung atas segala hal.”[8] 

Gerakan Slow City (atau Cittaslow) yang dimulai di Greve, sebuah kota kecil di wilayah Chianti, Tuscany, Italia Utara pada 1999, mendapat respons sensasional dari penduduk kotanya yang termotivasi untuk segera mengubah irama keseharian mereka. Tapi pengertian ‘slow’ di sini tidak serta merta merupakan kebalikan dari ‘fast’. Kata ini juga menyiratkan keterhubungan dengan alam, sikap respek terhadap lingkungan, dan bagaimana orang meluangkan waktu untuk menghargai hal-hal seperti perubahan musim, guna membuat hidup sedikit lebih mudah, serta menyediakan waktu untuk merenung.


16. Logo Gerakan Slow City (Cittaslow).

Pengertian dari slow life diutarakan di dalam manifesto Cittaslow (jaringan internasionalnya Slow City), yang berarti bebas berjalan-jalan kemana saja, tak berbuat apa-apa atau bahkan hanya melamun, mendengarkan saja, puas dengan menunggu saja, merenung, dan mempraktikkan “cara hidup analog”. Yang artinya menolak segala sesuatu yang lebih cepat, atau gaya hidup yang sangat kompetitif dari dunia digital modern. Tujuannya di antaranya adalah untuk membangun kehidupan yang lebih baik di lingkungan urban, meningkatkan kualitas hidup, menolak homogenisasi dan globalisasi kota di seluruh dunia, mempromosikan keragaman budaya dan keunikan kota masing-masing, memberikan inspirasi mengenai gaya hidup sehat, dsb.

Untuk bisa digolongkan sebagai Slow City (Kota Lamban), sebuah kota perlu memiliki beberapa karakteristik tertentu. Tidak cukup sekadar melambat saja. Beberapa di antaranya, penduduknya tidak lebih dari 50.000 orang; warganya memiliki keahlian khusus atau spesialisasi yang dilangsungkan dengan cara-cara lama, tidak menggunakan mesin, dan warisan tradisionalnya harus terawat baik. Kota seharusnya tidak memiliki toko makanan cepat saji atau toko diskon besar, dan kuliner lokal asli harus tersedia. Hingga 2009, hanya 111 kota di 16 negara yang memenuhi standar itu, menunjukkan tidak mudahnya sebuah kota memiliki predikat sebagai Slow City.

Jauh sebelumnya, filsuf dan ekonom E.F. Schumacher (1911–1977) dalam buku terakhir yang ditulisnya, A Guide for the Perplexed (1977) telah menyinggung mengenai kesadaran atas berbagai krisis kehidupan kemanusiaan dengan saran bahwa pemulihan harus datang ‘dari dalam diri manusia’:

“Beberapa orang tidak lagi marah kalau diberitahu bahwa pemulihan harus datang dari dalam. Sangkaan bahwa segala sesuatu adalah “politik” dan bahwa pengaturan kembali “sistem” secara radikal akan memadai untuk menyelamatkan peradaban, tak lagi dianut dengan fanatisme yang sama seperti duapuluh lima tahun lampau, di mana-mana di dunia modern sekarang terdapat percobaan-percobaan gaya hidup baru dan kesederhanaan secara sukarela; kesombongan ilmu-ilmu materialistik telah berkurang, dan bahkan adakalanya orang telah bertenggang hati bila nama Tuhan disebut di dalam pergaulan yang sopan. Harus diakui bahwa beberapa di antara perubahan pikiran ini pada mulanya tidak berasal dari wawasan rohani, melainkan dari kecemasan materialistik yang ditimbulkan oleh krisis lingkungan, krisis bahan bakar, ancaman akan krisis bahan makanan dan petunjuk-petunjuk akan datangnya krisis kesehatan.” [...]

“Serempak dengan itu, kepercayaan kepada kemahakuasaan manusia, kini telah menipis. Bahkan jika semua masalah “baru” dapat dipecahkan dengan rumus-rumus teknologi, keadaan yang sia-sia, kekalutan dan kebejatan akan tetap. Keadaan itu telah ada sebelum krisis-krisis yang ada sekarang menjadi gawat dan ia tak akan pergi dengan sendirinya. Semakin banyak orang yang mulai menyadari “percobaan modern” telah gagal. Percobaan itu mendapatkan rangsangannya mula-mula dari apa yang saya sebut  revolusi ala Descartes, yang dengan logikanya memisahkan manusia dari Tingkat-Tingkat yang Lebih Tinggi, yang dapat mempertahankan keinsaniannya. Manusia menutup gerbang-gerbang Surga terhadap dirinya sendiri dan mencoba dengan daya kerja dan kecerdikan yang besar sekali, mengurung diri mereka di bumi. Kini ia mulai mengetahui bahwa bumi hanyalah tempat persinggahan sementara, sehingga suatu penolakan untuk mencapai Surga berarti tak sengaja turun ke Neraka.”[9]

Kesia-siaan yang bodoh

“Ketika manusia telah mencampuri Tao,Langit menjadi suram,Bumi terkuras,Keseimbangan menjadi remuk,Ciptaan menjadi musnah.” —Tao Te Ching 39

Ada sebuah film yang secara spektakuler merekam proses ketakseimbangan yang sedang berlangsung di berbagai belahan dunia. Pada 1982, bekerjasama dengan komposer Philip Glass (l. 1937) dan sinematografer Ron Fricke, sutradara Godfrey Reggio (l. 1940) melahirkan sebuah film dokumenter eksperimental berjudul Koyaanisqatsi: Life out of Balance. Film apokaliptik ini menonjolkan kontras antara keheningan alam versus kekisruhan kehidupan perkotaan dan teknologi modern; dibesut dengan teknik slow motion (gerakan-lamban) dan time-lapse (penyusunan serangkaian gambar menjadi klip video) yang memanjakan mata. Sebuah puisi visual tanpa dialog atau narasi, suasananya dibangun semata oleh gambar dan musik secara berdampingan. 


17. Sampul depan film Koyaanisqatsi (1982) karya Godfrey Reggio (l. 1940).

Kata Koyaanisqatsi berasal dari bahasa yang dipakai oleh orang-orang Hopi, penduduk asli Amerika yang berdiam di Timur Laut Arizona, berarti ‘hidup tak seimbang’ (unbalanced life).

Koyaanisqatsi berupaya mengungkap keindahan dari suatu keburukan. Kita terbiasa melihat dunia kita, gaya hidup kita, sebagai indah karena tidak ada pembandingnya. Bila seseorang hidup di dunia ini, di dunia teknologi tinggi yang mendunia ini, yang dapat dilihat oleh semua orang adalah sebuah lapisan komoditas yang melapisi komoditas lainnya. Di dunia kita ini, yang “orisinal” itu adalah proliferasi dari apa yang telah dibakukan. Salinan adalah salinan dari salinan. Sepertinya tak ada jalan lain untuk melihat apa yang berada di luarnya, melihat bahwa kita telah mengemas diri kita di dalam lingkungan yang artifisial, yang sungguh-sungguh telah menggantikan yang orisinal, yaitu alam itu sendiri. Kita tak lagi hidup bersama alam; kita hidup di atasnya, jauh darinya. Alam telah menjadi sumber daya untuk menjaga agar alam buatan atau alam baru itu hidup.”[10]

Sebagaimana halnya dengan Dreams, pesan yang ingin diteruskan melalui film ini sangat jelas: umat manusia sedang dalam proses menghancurkan bumi, seluruh kemajuan yang dicapainya adalah suatu ‘kesia-siaan yang bodoh’ belaka.

When airwaves swing.Distant voices sing. 
Here is the West German Broadcasting Station with the news.Fifty nuclear power stations will be built in the West German Republic.In the next ten years.Each one can supply a city of millions with power.[i]


———
[i] Lirik ini diambil dari sebuah karya musik Kraftwerk yang berjudul Airwaves. Kraftwerk (Ingg.: Power Station) adalah sebuah band elektronik Jerman yang dibentuk pada 1970 di Düsseldorf. Karakteristik suaranya: irama yang repetitif, melodi yang mudah diingat, mengikuti harmonisasi Klasik Barat, dengan instrumentasi elektronik yang minimalistik. Lirik-liriknya yang sederhana dilagukan melalui vocoder atau dihasilkan melalui program komputer. Tema karya-karyanya berhubungan dengan teknologi modern dan kehidupan kalangan urban di Eropa pasca Perang Dunia: berkendara di Autobahn, melakukan perjalanan dengan kereta api, memakai komputer, dsb. Lirik-liriknya sangat minimal, tapi mengungkapi baik perhelatan maupun kewaspadaan terhadap dunia modern, mengekspresikan paradoksal dalam kehidupan perkotaan modern: kuatnya rasa keterasingan yang hidup berdampingan dengan suka cita kehidupan modern.[11]


———
[5] Younger Australians flocking back to the countryside. 2014. Guardian Australia, http://www.theguardian.com/world/2014/jan/22/younger-australians-flocking-back-to-the-countryside, diakses 19 Juli 2015.

[6] Walker, Gerald. Urbanites Creating New Ruralities: Reflections on Social Action and Struggle in the Greater Toronto Area.

[7] Roberts, Dexter. 2013. Stressed Chinese Leave Cities, Head for the Countryside. Bloomberg Business, http://www.bloomberg.com/bw/articles/2013-05-02/stressed-chinese-leave-cities-head-for-the-countryside#p1, diakses 19 Juli 2015.

[8] Making the connection to life. Slow Movement, http://www.slowmovement.com/life.php, diakses 20 Juli 2015.

[9] Schumacher, E.F. 1981. Keluar dari Kemelut: Sebuah Peta Pemikiran Baru [A Guide for the Perplexed (1977)]. Jakarta: LP3ES.

[10] Koyaanisqatsi, http://www.koyaanisqatsi.com/films/koyaanisqatsi.php, diakses 28 Juli 2015.

[11] Kraftwerk-Das Model, http://germannn.tumblr.com/post/72540053586/willkommen-in-germany-kraftwerk-das-model, diakses 29 Juli 2015.yakin bahwa ‘desa adalah masa depan’.

.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  
.  .  .  .  





Prophecies (Koyaanisqatsi), Philip Glass (1983)

yaw itam it (If we)
awk haykyanayawk (dig precious things from the land)
yaw oova iwiskövi (we will invite disaster)

naanahoy lanatini (Near the day of Purification)
naap yaw itamit hiita kya-hak (there will be cobwebs)
hiita töt sqwat angw ipwaye (spun back and forth)
yaw itam hiita qa löl mat awkökin (in the sky)

yaw yannak yangw sen kisats (A container of ashes might one day be thrown from the sky)
köö tsaptangat yaw (which could burn the land
töövayani oongawk (and boil the oceans)

Koyaanisqatsi (life out of balance)


Sumber: Kutipan » http://awanombak.blogspot.co.id/p/kutipan.html

***

30.1.18

Perjalanan Kembali (3)

[Sambungan dari: Perjalanan Kembali (2). Bagian ketiga dari empat bagian]

We will only keep people from fleeing the countryside into urban favelas, villas miseries, shantytowns and squatter villages when the productivity gap is closed between what brute labor on the soil can accomplish and what advanced technology makes possible today—and will make possible tomorrow.” —Alvin Toffler

Ritual membubuhkan roh
Di Indonesia, gagasan untuk ‘kembali ke kota asal’ atau ‘kembali ke desa’ mulai mendapat perhatian. Salah seorang yang telah berhasil menjalankannya adalah desainer produk Singgih Susilo Kartono (l. 1968) yang lahir dan besar di Desa Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah. Ia memutuskan kembali menetap di desa kelahirannya pada tahun 1994, setelah menyelesaikan kuliahnya di Jurusan Desain Industri Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1992. Keputusannya itu diambil karena terinspirasi oleh buku Alvin Toffler (l. 1928), Future Shock (1970) yang menyadarkannya bahwa walau tinggal di pelosok, seseorang akan tetap bisa berkarya bila terkoneksi secara global melalui teknologi informasi dan komunikasi. 

Bermula dari sebuah rumah kontrakan sederhana ia mulai membangun usahanya yang diberinya nama Piranti Works. Ada keinginan besar di dalam dirinya untuk membidani lahirnya produk kayu karya Indonesia yang bisa menjadi ikon desain dunia. Alasannya, karena sebagai negara yang sangat kaya dengan kayu, Indonesia belum menghasilkan rancangan produk kayu yang mendunia. Singgih tak begitu peduli impiannya itu akan terwujud atau tidak, ia hanya berusaha merancang karya terbaiknya. Namun akhirnya pada 2005 ia berhasil melahirkan radio kayu Magno yang kemudian mendunia (Gb. 8). Dengan bergulirnya waktu, ia menjadi semakin yakin bahwa ‘desa adalah masa depan’.


8. Desain radio kayu Magno, hasil rancangan Singgih Susilo Kartono. 


Magno berasal dari kata ‘magnify’ pada magnifying glass (kaca pembesar), yang juga merupakan produk pertama yang dirancangnya. Dengan nama itu, Singgih memaknainya sebagai mencermati sesuatu yang detail, layaknya peruntukan dari sebuah kaca pembesar. Benda-benda kecil, sederhana, dan indah yang dikerjakan dengan tingkat ketukangan (craftsmanship) yang tinggi akan menyedot perhatian orang pada detailnya [eksterior radio Magno yang terbuat dari bahan kayu lokal itu seluruhnya dikerjakan dengan tangan (handcrafted)]. Dengan jumlah produksi yang dibatasi hanya 1.500 unit per tahun [85% di antaranya diekspor ke Australia, Asia Timur, Eropa, dan Amerika], perhatian pada kualitas bisa sepenuhnya dicurahkan.  

Melalui rancangannya, Singgih ingin menyampaikan bahwa pada setiap produk terkandung ideologi, spirit, dan pesan. Sebuah produk semestinya dipandang sebagai makhluk hidup yang dengan cara pasif membawa pesan dan makna spiritual tertentu. Masyarakat modern sering kali abai akan hal itu, produk diperlakukan sebagai robot atau hamba. Relasi antara pengguna dengan produknya itu seyogyanya bukan sekadar hubungan subjek-objek. Produk adalah bagian integral dari kehidupan.

Kemajuan teknologi dan persaingan dalam perekonomian telah menciptakan produk dengan fitur-fitur canggih. Di satu sisi, hal itu membuat berbagai tugas dalam hidup menjadi lebih mudah untuk ditunaikan, tapi di sisi lain menciptakan perilaku tertentu: membentuk model perilaku subjek-objek, dan pada saat yang sama menciptakan penyekat dan hubungan yang sifatnya temporer.  Dalam pandangan Singgih, perilaku ini merupakan ekses dari gaya hidup industrial modern. 

Memadukan material alami dalam produk-produk modern merupakan ritual membubuhkan roh ke dalamnya. Tujuannya adalah untuk mengembalikan kepekaan manusia terhadap alam, seperti di masa lalu. 

Kewajiban moral
Dalam merancang, Singgih berusaha menciptakan produk-produk yang tak-sempurna dan belum-selesai, dengan cara meniadakan fitur-fitur yang tidak perlu. Ketaksempurnaan diciptakan secara sengaja dan terencana, yang diharapkan akan membuka peluang bagi para pengguna produknya untuk menjadi sangat terlibat dengannya (Baca pula mengengenai estetika wabi-sabi pada Keheningan yang Berbicara (3)].

Semua produk Magno tidak dilapisi (coated). Singgih hanya menerapkan minyak kayu sebagai finalisasi. Penyelesaian ini tidak akan benar-benar melindungi produknya. Namun, akan memberikan kesempatan kepada pemiliknya untuk “merasakan” kayunya; juga guna menjaganya, dimana perawatan oleh pemiliknya adalah satu-satunya perlindungan yang real. 

Ia tidak sepakat dengan model pendekatan bebas-perawatan. Orang seharusnya menjaga dan merawat produk yang dibelinya, sebagai kewajiban moralnya. Sementara bentuknya yang sederhana dipercayainya akan meningkatkan siklus kehidupan suatu produk. Dan karakteristiknya yang rapuh (fragile) dimaksudkan agar penggunanya terhubung dalam dengan produknya. Ini juga merupakan salah satu upaya untuk mengurangi berkembangnya masyarakat penghasil-limbah. 

Kerja merancang memiliki pengertian lebih daripada sekadar menghasilkan produk yang bagus, yang diproduksi dan dikonsumsi dalam jumlah kolosal. Melainkan, desain semestinya menjadi jalan untuk memecahkan atau meminimalisasi suatu masalah. Selain itu, pemakaian material alami itu juga mestinya sesuai dengan kepemilikan yang psiko-materialistik dan memaksimalkan material berbasis lokal. Produk-produk kerajinan kayu berukuran kecil yang fungsional akan memberikan kontribusi penting bagi penghematan material dasarnya, serta membuka lapangan kerja, masalah yang sering harus dihadapi di desa-desa di Indonesia.

Wabi-sabi is a beauty of things imperfect, impermanent, and incomplete.” —Leonard Koren (l. 1948)

Belajar dari kayu
Mengenai pilihan memakai kayu sebagai materi dasar, Singgih mengutarakan:

“Kayu memiliki keseimbangan. Padanya terkandung kekuatan sekaligus kelemahan, kelebihan tetapi juga keterbatasan, dan kekesatan sebagaimana juga kelembutan. Dibanding bahan sintetis, saya merasakan adanya roh di dalamnya. Keindahannya muncul dari perjalanannya. Bagaimana ia bertumbuh merupakan proses menakjubkan, terekam dalam garis-garis lingkaran usianya (age lines) (Gb. 10). Garis-garis itu bercerita mengenai momen-momen baik dan buruk yang dilaluinya. Urat dan teksturnya yang indah adalah kisah kehidupannya. Ia materi yang sempurna karena ketaksempurnaannya. Karakteristiknya mengajarkan kepada kita perkara kehidupan, keseimbangan, keterbatasan.”

10. Lingkar tahunan (age lines) sebatang pohon.

Karenanya, Singgih merasa bertanggungjawab mengganti pohon yang telah dipakainya, sebagai jaminan bahwa kegiatannya itu tidak merusak alam. Caranya adalah dengan menanam kembali setiap pohon yang telah diambilnya dari hutan. Jumlah pohon yang dipilih dan ditanamnya kembali itu didasarkan pada konsumsi tahunannya, kepantasan usianya untuk menjadi dewasa serta ditebang, dan kebutuhan luas lahan per pohonnya. 

Estimasinya, 40 orang yang dipekerjakannya, mampu menanam kembali 1-2 hektar lahan. Desa Kandangan pada masa itu hampir tidak memiliki hutan. Populasinya sekitar 4.000 orang. Seandainya bisa mempekerjakan seluruh penduduknya, hal ini tentu akan meniadakan pengangguran; tapi yang lebih utama, dengan program regenerasi hutan ini akan terwujud lebih banyak lagi hutan. 

Dan sebagai bonus, ada pemasukan sebesar 2.500–3.000 dolar setiap bulannya, yang cukup untuk menopang kehidupan 10 keluarga pekerjanya. Bila mempekerjakan 1.000 warga desa, penerimaan per bulannya akan sebesar 250.000–300.000 dolar—lebih dari cukup guna menunjang kehidupan seluruh desa. 

Dalam hal regenerasi hutan, selain mempersiapkan bibitnya sendiri, Singgih juga bekerjasama dengan SMP Gunung Sumbing. Mereka bersama-sama membuat kurikulum praktis dalam bidang generasi lingkungan hidup. 

Sebelumnya, murid-murid sekolah ini membantu menanam bibit. Pada saatnya, bibit-bibit itu bertumbuh menjadi 1.000 pohon muda yang siap tanam. Penanamannya dilakukan di sekitar sekolah; para murid memang mendambakan lingkungan sekolahnya dikelilingi pepohonan. Seluruh kegiatan ini didanai sepenuhnya oleh sebagian penerimaan Singgih dari usaha kerajinannya.


11. Jam kayu Magno, rancangan Singgih Susilo Kartono.

Keseimbangan antara yang tradisional dan modern
Dalam melangsungkan usahanya, Singgih mempraktikkan jalan New Craft. Proses manufakturnya menggunakan ketrampilan tradisional sebagai sarana utama produksi, serta teknik manajemen modern dalam mengelola kegiatannya. Sistem dasar New Craft memastikan bahwa setiap tahapan produksi memenuhi standar operasi manufaktur, standar kualitas, serta standar materi yang dipakai dan hasil akhirnya (output). 

Pertama-tama, setiap rancangan atau produk baru dianalisis guna menciptakan pedoman produksi (manual). Aktivitas manufaktur pun diimplementasikan berdasarkan pedoman itu. Tak ada sistem atau pun teknologi baru dalam metode New Craft ini. Namun demikian, metode dasar manajemen produksi modern ini rupanya tidak banyak digunakan dalam bidang manufaktur kerajinan. Dalam kerajinan, faktor utamanya adalah sumber daya manusia di belakangnya—sangatlah penting tiap pengrajin memiliki sikap yang tepat terhadap kerajinan. 

Metode New Craft memperhitungkan faktor-faktor ini. Seseorang yang baru bekerja bisa langsung melompat ke kegiatan produksi. Bagi mereka yang mempunyai bakat kerajinan, dalam beberapa hari saja sudah akan memperlihatkan tingkat ketukangan dan kemampuan yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. 

Pendekatan dengan metode New Craft ini memiliki beberapa keuntungan. Dengan cara demikian, siapa pun bisa mempersiapkan pendirian pabrik kerajinan di sebuah desa yang warganya tidak memiliki latar belakang kerajinan. Ini menjadi alternatif sumber pendapatan baru yang dapat menampung surplus tenaga kerja pada saat kegiatan pertanian menurun. Juga bisa diimplementasikan untuk menumbuhkan kembali atau membangkitkan suatu usaha kerajinan yang sedang mengalami penurunan. 

Konsekwensinya, dengan metode New Craft akan dihasilkan produk-produk berkualitas tinggi yang memiliki potensi bersaing di pasar ekspor. Dengan menjualnya di pasar ekspor, kegiatan produksi akan berkelanjutan serta memberikan penghasilan yang dapat memajukan pertumbuhan ekonomi desa.

Pada 1997, desain radio kayu Magno memperoleh penghargaan dari International Design Resource Award (IDRA), Seatle, Amerika. Indonesia Good Design Selection diterimanya dari Indonesia Design Center pada 2005, lalu Good Design Award dari Pemerintah Jepang pada 2008, Design for Asia Award 2008 dari Hong Kong Design Center, dan Design Plus Award dari Ambiente-Frankfurt Germany pada 2009. Penghargaan demi penghargaan mengalir dengan sendirinya tanpa upaya apa pun untuk sengaja meraihnya.

Sepeda pagi
Singgih tak ingin berpuas diri pada kesuksesan Magno. Sejak 2015, ia menginisiasi gerakan global yang dinamainya Spedagi, berasal dari kata “sepeda pagi”. Slogannya It’s time back to village.

Bersepeda pagi di tengah alam pedesaan dilakukan Singgih pada awalnya untuk menurunkan kadar kolesterol di dalam tubuhnya. Kegiatan ini ternyata menuntunnya menemukan cara unik untuk mengembangkan desa. Lahirlah ide untuk merancang sepeda bambu (Gb. 12), sepeda yang kemudian menjadi ikon Spedagi. Singgih yakin keunikan sepeda bambu, keindahan alam desa, dan kenangan akan desa sesungguhnya adalah “magnet” yang bisa menarik orang datang kembali ke desa. 


12. Salah satu model Spedagi rancangan Singgih Susilo Kartono.

Di balik keindahan dan kedamaiannya, desa sebenarnya juga menyimpan banyak masalah. Permasalahan desa yang semakin menumpuk terus menggerogoti potensi desa. Warga desa saat ini tidak mampu lagi mengurai berbagai permasalahan yang dihadapi akibat brain drain dari desa ke kota. 

Menurut Singgih, perlu upaya untuk mengajak para “pemikir” agar mau tinggal di desa dan membantu memecahkan masalah yang ada. Dengan pendidikan dan keahlian yang dimiliki, kehadiran pihak luar bisa menolong masyarakat desa mengatasi permasalahannya sekaligus mengembangkan potensi desa. Kehadiran pihak luar ke desa menjadi dukungan untuk menyadarkan masyarakat desa tentang pentingnya menjaga berbagai kearifan lokal yang kini mulai ditinggalkan. 

Panggilan ‘kembali ke desa’ ini dinyatakannya demikian:  

“Spedagi merupakan sebuah gerakan yang bertujuan melakukan revitalisasi desa, membawa desa kembali menemukan jati dirinya sebagai komunitas lestari dan mandiri. Peran desa terhadap keberhasilan upaya membangun kehidupan yang berkelanjutan sangat signifikan di saat ini dan masa mendatang. Kehidupan yang lestari di bumi tidak akan berhasil diraih jika populasi manusia masih terkonsentrasi di wilayah perkotaan. Redistribusi populasi dari kota ke desa adalah sebuah keharusan jika kita ingin kehidupan di bumi ini berkelanjutan.”

“Hidup di desa memberikan peluang untuk menekan serendah mungkin emisi karbon, memperoleh makanan sehat dari sumber terdekat, menghasilkan sumber energi sendiri dan juga membangun hubungan sosial yang baik. Desa memberikan peluang lebih besar untuk meraih kehidupan berkualitas yang sesungguhnya, ketika kesejahteraan manusia dan kesejahteraan alam bisa dibangun bersamaan. Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini, di mana batas-batas geografis bukan halangan lagi, merupakan momentum dan kesempatan yang tepat untuk kembali ke desa dan menghidupkannya kembali.”[4]


———
[3] Magno Design, http://www.magno-design.com/, diakses 21 Juli 2015.

[4] Spedagi: Sepeda Bambu untuk Revitalisasi Desa. Spedagi, http://dev.spedagi.org/, diakses 19 Juli 2015.


[Bersambung » Perjalanan Kembali (4)]

.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  




***


Tulisan-tulisan lainnya di sini.

29.1.18

Perjalanan Kembali (2)

[Sambungan dari: Perjalanan Kembali (1). Bagian kedua dari empat bagian]


Sadari selalu pikiran yang jernih seperti ruang hampa besar di dalam hidupmu, dan berfungsilah menolong orang lain dengan ketajaman sebuah jarum.” —Seung Sahn (1927–2004), The Compass of Zen 

Rindu kebersamaan 
Ingatan pun melayang ke kisah lain—kali ini bukan fiksi—ke sebuah perbincangan bersama seorang teman, Iwan Esjepe (l. 1967), yang terjadi di tengah kemacetan parah lalu lintas Jakarta seusai menghadiri acara Sewindu DGI, 18 Maret 2015 di Dia.Lo.Gue Artspace. Iwan bercerita bahwa ia baru saja meninggalkan perusahaan yang ia sendiri ikut mendirikannya, Biro Iklan Ideasphere (2003) di Jakarta, dan melepas seluruh sahamnya, demi kehidupan yang lebih baik bersama keluarganya. Ia mengutarakan hasratnya tinggal di sebuah kota kecil, karena rindu akan kidung kebersamaan yang semakin sayup terdengar di Jakarta. Dan berharap dengan tidak lagi bekerja di kantor, ia bisa lebih mengoptimalkan penggunaan waktunya yang selama ini dinilainya tidak produktif karena terbuang sia-sia di jalan.

Pada tahun 2004, Iwan bersama isterinya Indah menginisiasi gerakan Indonesia Bertindak (Action for the Nation). Gerakan ini mewadahi sejumlah program kampanye Cinta Indonesia. Indah adalah seorang pekerja desain, sementara Iwan penulis naskah iklan yang pernah berkarya sebagai direktur kreatif di beberapa agensi periklanan multinasional. Sebagai sebuah gerakan nyata, Indonesia Bertindak bertujuan menciptakan perbaikan, kekompakan, dan kebersamaan di antara sesama warga Indonesia—yang kala itu sedang berjuang lepas dari masa-masa sulitnya—dengan mengangkat isu-isu yang terkait langsung dengan kebutuhan masyarakat dan kebanggaan terhadap negerinya. Dalam mengaktualisasi seluruh programnya, mereka bersikap independen: tidak mewakili suara pemerintah, dan tidak berdiri di atas kepentingan agama, suku, partai, golongan, atau ras tertentu. 

Mereka spontan terpanggil untuk berbuat sesuatu ketika Aceh ditimpa bencana gempa tektonik 8,5 SR yang disusul dengan gelombang pasang tsunami, pada 26 Desember 2004. Dalam kebingungan karena tak tahu mesti berbuat apa, timbul ide untuk melakukan penggalangan dana. Gagasan itu direalisasikan dengan cara memproduksi kaos yang dirancang khusus dengan mencantumkan kata-kata I Love (dengan gambar hati) NAD, dan menjualnya di kalangan dekat di sekitarnya. Keuntungannya kemudian didonasikan sepenuhnya ke Aceh untuk membantu membangun sekolah-sekolah yang rusak akibat bencana. Langkah mereka ini dipermudah karena Iwan dan Indah memiliki alat sablon kaos di tempat kediaman mereka di kawasan Perumahan Bintaro Jaya, Tangerang Selatan. 

Kesempatan untuk membantu sesama timbul kembali ketika gempa bumi melanda Yogyakarta dan Jawa Tengah, 27 Mei 2006. Iwan dan Indah menggerakkan masyarakat untuk peduli dengan menjual kaos oblong sederhana bertuliskan Eling Sedulur (Ingat Sesama) yang seluruh keuntungannya juga mereka sumbangkan. Lagi-lagi alat sablon milik mereka berjasa besar. Menurut Iwan: “Kalau di zaman revolusi mesin cetak adalah alat terpenting, di masa seperti sekarang ini mesin sablonlah yang terpenting. Itu karena hanya dalam waktu beberapa jam, kita sudah dapat menyampaikan pesan di selembar kaos, memakainya, dan hanya dengan berjalan-jalan, pesan dapat tersampaikan.” 

Musibah yang berulangkali menimpa negerinya ini menumbuhkan keprihatinan mendalam, dan semakin meneguhkan tekad mereka untuk terus melakukan sesuatu bagi negerinya. Ketika Indonesia divonis dengan travel warning oleh sejumlah negara—Amerika, Uni Eropa, Australia memasukkan Indonesia ke dalam daftar negara yang berbahaya untuk dikunjungi (red zone)—Iwan dan Indah melakukan kampanye terbalik (reversed campaign). Mereka “ikut menyampaikan peringatan”, bahwa keindahan Indonesia sungguh luar biasa dan mampu membius siapa pun yang mengunjunginya—yang dianalogikan sebagai dangerously beautiful—dengan slogan Travel Warning: Indonesia, Dangerously Beautiful. Slogan ini kemudian dituangkan ke media poster, stiker, kaos, tas, dan pin yang mulai disebarkan pada medio Maret 2007. (Gb. 5).

Kampanye dinyatakan secara bergerilya dan berkesinambungan, melalui sejumlah relasi: orang-orang asing di berbagai negara, dan warga Indonesia sendiri yang hendak bepergian, baik di dalam maupun ke luar negeri, yang bersedia membantu menyebarkan stiker dan mengenakan kaosnya. Atau terjun sendiri secara langsung, dibantu teman dan mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di dalam atau di luar negeri, seperti yang mereka lakukan di Bandung dan di Den Haag (Gb. 5). Berkat militansi para mahasiswa Indonesia di luar negeri, kampanye ini menyebar hampir ke seluruh negara di muka bumi. Pada 2008, bekerjasama dengan Creative Circle Indonesia (CCI) dan Imago School of Modern Advertising, Indonesia Bertindak mengadakan lomba pembuatan iklan propaganda Travel Warning: Indonesia, Dangerously Beautiful. Program ini bertujuan untuk menciptakan komunikasi berkualitas untuk memperbaiki citra Indonesia.


5. Kampanye Travel Warning: Indonesia, Dangerously Beautiful di Malakastraat, Den Haag, 2007.

Indonesia Bertindak seperti tak pernah kehabisan ide untuk melakukan kampanye guna membantu sesama atau pun menanamkan rasa cinta tanah air. Di antaranya, kegiatan kampanye Ayo Bangun Indonesia untuk menyambut 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional pada tahun 2008, Kemah Merah Putih pada setiap Hari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus, dsb. 

Melalui penyebaran stiker Kecerdasan Tanpa Etika Tidaklah Elok misalnya, Indonesia Bertindak berupaya mendidik masyarakat untuk menggunakan intelektualitasnya bagi hal-hal bermanfaat. Bukan disalahgunakan untuk mengumpulkan kekayaan melalui korupsi seperti yang dilakukan oleh sebagian pejabat negara. Pada 28–30 November 2008, Indonesia Bertindak menyelenggarakan acara Kemah Pelangi 2008 di Rancaupas, Ciwidey, Jawa Barat, dengan tujuan menikmati keindahan alam Indonesia. Memperbesar rasa cinta tanah air sambil menambah teman. Kegiatan berlanjut dengan Kemah Pelangi 2009 di Gunung Puntang, Bandung Selatan, 13–15 November 2009.

Ketika terjadi bencana banjir bandang di Wasior, Papua Barat pada 4 Oktober 2010, Indonesia Bertindak kembali menggerakkan masyarakat melalui desain yang provokatif bertajuk Pakaian Dalam dari yang Terdalam. Demikian pula ketika terjadi gempa bumi berkekuatan 7,2 SR di Sumatera Barat yang mengakibatkan tsunami di pulau Mentawai, 25 Oktober 2010, juga saat gunung Merapi meletus, 26 Oktober 2010.

Dan dengan sering terjadinya konflik berkepanjangan antara Indonesia dan Malaysia (masalah sengketa perbatasan, tenaga kerja, ikon-ikon budaya, dsb.), Iwan dan Indah berkampanye melalui kaos bertuliskan Kibarkan Merah Putih di Kuala Lumpur, atau Saya Kapok Melancong ke Malaysia. Melalui kampanye ini Indonesia Bertindak mencoba mengajak masyarakat untuk menghindari nasionalisme sempit, dan bertindak nyata tanpa harus terjerumus ke dalam tindakan anarkis.

Optimisasi umum
Pengamatan mereka atas semakin banyaknya warga masyarakat yang mengalami tekanan mental, stres hingga depresi, terutama di Jakarta, memunculkan gagasan untuk menyebar kata-kata yang mengandung motivasi:

“Efek dari tekanan emosional dan beban hidup ini sangatlah dahsyat, selain mudah memicu amarah dan konflik, stres dan depresi ini adalah faktor penting yang bisa mengakibatkan menurunnya produktivitas. Beberapa ahli malah ada yang berpendapat bahwa depresi dapat mengakibatkan makan berlebih dan malas beraktivitas. Jika terus-terusan, kondisi stres bisa menurunkan kondisi tubuh, keadaan yang menjadikan badan rentan terkena berbagai penyakit. Itu berarti menimbulkan ketegangan baru dan meningkatnya biaya kesehatan yang harus ditanggung keluarga. Namun demikian, kondisi ini bukan akhir dari segalanya, masih ada upaya yang bisa dicoba, selain usaha dan doa, motivasi adalah kunci penting bagi kita untuk keluar dari kondisi buruk yang sedang melanda.”[2]

Gerakan yang mereka namakan Optimisasi Umum ini (diinisiasi pada 2015) diharapkan berfungsi sebagai percikan air segar bagi siapa saja yang sedang dirundung duka, yang sedang berputus asa, hingga yang mungkin sudah sedemikian frustrasinya dan berencana untuk bunuh diri. Iwan dan Indah merajut kata-kata afirmasi yang dicetak di berbagai media, antara lain stiker, dan kemudian menyebarkannya ke tempat-tempat umum di Jakarta, atau melalui media sosial, seperti “Hei, jangan bersedih”, “Pasti ada jalan”. Atau “Tersenyumlah seperti saat dapat arisan”, “Rasa sakit itu muncul ketika kamu menengok ke belakang”, “Kalau rezeki tak lari kemana...”, “Tuhan tersenyum, jangan kau cemberut”, “Bajaj pasti berlalu”, dsb. (Gb. 6–7).



6–7. Stiker-stiker untuk memotivasi warga masyarakat yang sedang mengalami tekanan emosional, disebar di ruang-ruang publik agar mudah dilihat dan dibaca. Merupakan perwujudan empati kepada sesama dalam bentuk kata-kata afirmatif, sebagai upaya untuk membantu membuka jalan kembali ke keseimbangan diri.

“Setiap saat dalam hidup, dengan pikiran yang bersih dan jernih dari segala kepentingan diri dan beban masa lalu maupun masa depan, kita berusaha untuk memahami keadaan yang ada, memahami peran dan hubungan dengan diri kita serta kemudian bertindak untuk memperbaiki keadaan, sesuai dengan kemampuan kita.” —Seung Sahn (1927–2004), The Compass of Zen (interpretasi Reza A.A. Wattimena)


———
[2] Keluarga Esjepe. 2015. Optimisasi Umum. Copyvisual, http://keluargaesjepe.com/2015/05/24/optimisasi-umum/, diakses 16 Juli 2015.


[Bersambung » Perjalanan Kembali (3)]

.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  




***


Tulisan-tulisan lainnya di sini.

25.1.18

Perjalanan Kembali (1)

[Bagian pertama dari empat bagian]

Oleh: Hanny Kardinata


“Saya telah menemukan terminologi yang tepat, yaitu yin dan yang untuk menguraikan ketimpangan yang terjadi. Budaya Barat terlampau bersifat maskulin (yang) dan telah mengabaikan pasangan pelengkapnya yang feminin (yin). [...] Pertumbuhan yang sepihak ini telah mencapai lampu kuning berupa krisis sosial, ekologi dan moral. Karenanya dengan meminjam istilah Cina, dapat dikatakan bahwa unsur yang telah mencapai klimaksnya dan kembali ke arah yin. Dua puluh tahun belakangan ini telah melahirkan serangkaian gerakan yang pola dasarnya menuju ke arah sebaliknya. Orang mulai menyadari pentingnya pelestarian lingkungan (ekologi), semakin menguatkan kepercayaan kepada spiritualitas” —Fritjof Capra, Kearifan Tak Biasa (2002)[1]  

Harapan yang kandas
Jakarta, 4 April 2015. Gerimis kecil sore itu menghantar sejumlah pekerja desain bertolak ke Coworkinc.—sebuah ruang berbagi-kerja bagi wirausahawan muda kreatif, yang berlokasi di Kemang, Jakarta—untuk menghadiri pembukaan pameran Designers’ Response: Jakarta City. Pameran yang diselenggarakan oleh Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI) Chapter Jakarta ini menghadirkan karya poster sepuluh desainer grafis Jakarta yang dianggap memiliki pengaruh. Masing-masing desainer diminta menanggapi tema pameran: What designers can do for Jakarta through design, atau bagaimana desain bisa berdampak bagi Jakarta. 

Dinamika kota Jakarta dengan berbagai persoalannya langsung menyergap dan hadir nyata, menyongsong kedatangan saya di lokasi pameran yang ternyata berada di lantai 3 sebuah toko sepatu. Tak terelakkan, kehadiran sebuah pameran desain di tempat ini jadi terkesan dipaksakan. Keterbatasan ruang yang tersedia pun jadi persoalan. Karena setelah berlangsungnya sebuah sesi pertemuan di salah satu ruang, para pengunjung masih harus menunggu proses pengalihan fungsi ruang pertemuan itu menjadi “art space”. Tahapan yang memacu kreativitas penyelenggaranya ini setidaknya membutuhkan waktu sekitar satu jam agar tuntutan penyelenggaraan pameran terpenuhi. Selain ketakhadiran ruang pamer yang sepatutnya, lahan parkir di toko ini juga kurang memadai untuk bisa menampung pengunjung sebuah acara pembukaan pameran. Semestinya dapat diperkirakan sebelumnya bahwa jumlah kendaraan yang diparkir akan melampaui kondisi normal sehari-harinya. 

Sebagai salah satu peserta, saya mencoba merespons masalah pertumbuhan jumlah penduduk Jakarta yang semakin tak terkendali. Kondisi ini menjadi ‘akar’ dari berbagai masalah sosial yang terjadi di Jakarta, seperti kemacetan, banjir, penumpukan sampah, kurangnya ruang hijau, tingginya angka kriminalitas, biaya hidup yang mahal; berbagai hal yang mengarah pada indikasi telah terjadinya suatu kehidupan yang ‘out of balance’. Akumulasi dari berbagai problem itu pada gilirannya tentu bisa menyebabkan terjadinya tekanan atau gangguan emosional (stress) dan penderitaan (distress). Berkolaborasi dengan desainer muda Pradnya Paramita, saya menyajikan konsep tersebut dalam bentuk poster sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh ADGI Jakarta (Gb. 1). 

1. Jakarta Clock, Hanny Kardinata dan Pradnya Paramita (Tim DGI), 2015.


Tapi desain poster itu sebenarnya hanyalah bentuk abstraksi dari solusi nyata yang ingin saya tawarkan, yang bentuk konkretnya berupa Jakarta Clock. Realisasi dari konsep Jakarta Clock ini saya bayangkan demikian: sejumlah jam digital berukuran sangat besar diletakkan di beberapa lokasi strategis di Jakarta. Selain berfungsi sebagai penunjuk waktu biasa, pada badan jam itu ditambahkan data yang menggambarkan perkembangan mutakhir jumlah penduduk Jakarta. Data ini berubah terus seiring berjalannya waktu (ada kelahiran, ada kematian, ada pendatang baru, ada yang pindah keluar Jakarta, dst.). Juga ditampilkan angka-angka yang menunjukkan rasio (perbandingan) antara jumlah peduduk dengan ruang yang tersedia, disandingkan dengan rasio idealnya. Informasi ini didigitalisasi, terhubung dengan kantor Dinas Pemda terkait, yang melakukan pembaruan (updating) setiap saat (otomatis). Diharapkan, data yang bisa dipantau perubahannya setiap hari oleh warga Jakarta itu akan ada dampak psikologisnya, terutama bagi pendatang yang mempunyai rencana menetap di Jakarta, atau yang ingin membawa sanak keluarga dan kerabatnya pindah ke Jakarta.

Mana kala ada waktu lebih, saya sebenarnya ingin merancang satu poster lagi dengan konsep ‘konter-Jakarta’ atau ‘konter-urbanisasi’, yang menawarkan kehidupan di kota pedesaan (rural town) bersama nilai-nilai yang pada umumnya masih melekat seperti nilai-nilai kesahajaan, kepolosan, ketulusan, kebaikan, kebersamaan, keterusterangan, cita-cita sederhana, saling membantu, saling menjaga, dsb. Tapi bisa jadi poster ini akan merupakan negasi dari harapan desainer Eric Widjaja terhadap Jakarta (yang ternyata berakhir kandas) sebagaimana tergambar pada posternya yang berjudul Harap–Parah (Gb. 2–3).


2–3. Harap-Parah, Eric Widjaja, 2015.

Poster dengan dua sisi ini (depan-belakang) menggambarkan harapan-harapan yang berakhir kandas.


Tempo lebih lambat 

“Suatu sore, saya menemui beberapa petani di daerah yang berbeda beda. Ada sebuah keluhan yang sama terhadap nasib mereka. Harga pupuk yang tinggi, hasil panen yang murah! Ketidakberdayaan mereka berujung dengan tingkat ketertarikan yang rendah di sektor pertanian oleh anak cucu mereka dan berakhir dengan berpindah tangannya lahan pertanian ke pemilik modal yang kelak akan menancapkan bangunan beton di bekas lahan subur mereka. Sektor pertanian yang penting menjadi sebuah kejijikan bagi sebagian orang. Padahal sektor ini adalah tulang punggung bagi pemenuhan kebutuhan pokok umat manusia. Petanilah yang merupakan pekerja riil. Kita semua yg lain hanya sebagai penikmat. Seandainya distribusi hasil pembangunan merata, tidak perlu kita berbondong-berbondong meninggalkan ladang. Seandainya kebijakan berpihak, tidak ada petani yang miskin.” —Ardian Purwoseputro, Diary Ardian (2015)

Walau bukan merupakan tema utamanya, gambaran ideal kehidupan sehari-hari di pedesaan tercermin pada film animasi Wolf Children (2012) karya sutradara Jepang, Mamoru Hosoda (l. 1967). Sinema puitis ini mengikuti perjalanan Hana, seorang wanita yang jatuh hati pada manusia-serigala dan melahirkan dua anak yang setengah-manusia setengah-serigala. Betapa pun pandainya Hana menutupi, keganjilan fisik dan peri laku kedua anaknya tetap saja mengundang berbagai kekacauan. Setelah kematian tragis kekasihnya, Hana mencari perlindungan di sebuah pedesaan di mana ia mencoba membangun kehidupan baru bagi dirinya dan anak-anaknya. Film yang menggambarkan kehidupan keluarga-keluarga bersahaja, yang diperkuat dengan gaya animasi sederhana dan bersih ini seperti berniat mengabarkan bahwa keharmonisan hidup di desa adalah sesuatu yang nyata, bukan impian. 

Tentu ada masa-masa adaptasi yang harus dilalui oleh Hana terlebih dulu. Saat uang peninggalan suaminya hampir habis, ia mulai berpikir untuk bercocok tanam sendiri. Berbagai kesulitan pun menyertainya, karena ternyata belajar dari buku saja tidaklah cukup. Beruntung ada tetangga yang bersedia mengajarinya. Hana belajar hal baru setiap harinya. Seperti: “Tak ada pupuk. Pakai daun kering saja.” atau “Jangan diberi air. Biarkan saja.” Perlahan-lahan ladangnya pun membuahkan hasil. Di depan foto suaminya, ia bercurah hati: “Kami pindah kemari untuk menghindari pandangan orang, tapi kami menjadi akrab dengan penduduk desa. Awalnya memang sulit, tapi kami akan mengatasinya.” (Gb. 4)

4. Sebuah adegan dalam film Wolf Children (2012), Mamoru Hosoda (1967).

Kisah tentang seorang ibu yang baik hatinya dan sangat mencintai anak-anaknya walau fisik mereka berbeda (separuh-manusia separuh-serigala). Hana menggambarkan karakter seorang ibu yang kuat, berani, dan bersedia melakukan apa pun demi kehidupan yang lebih baik bagi kedua anaknya, Yuki dan Ame.

Bangsa Jepang memang banyak sekali melahirkan karya film, terutama animasi, yang berlatarbelakang kehidupan di pedesaan. Menggambarkan masyarakat pedusunan yang dekat dengan alam sekitarnya, atau dengan kebiasaan-kebiasaannya yang dirasa ganjil bagi orang kota. Beberapa di antaranya menonjolkan kontras antara gaya hidup di kota dan di desa, memperlihatkan bagaimana warga pendatang berusaha keras beradaptasi dengan tempo yang lebih lambat di desa. 

Misalnya pada karya-karya animasi yang diproduksi oleh Studio Ghibli (1985), yang terkemuka melalui kedua pendirinya, Hayao Miyazaki (l. 1941), dan Isao Takahata (l. 1935). Keduanya memiliki kepedulian serupa terhadap lingkungan hidup, nilai-nilai tradisi pedesaan, dan spirit animisme yang terkandung di dalam cerita-cerita rakyat Jepang. Walau belakangan Studio Ghibli mengadopsi teknologi baru (komputer grafis), karya-karyanya tetap menunjukkan komitmen mereka untuk (sebagian besar) tetap digambar menggunakan teknik tradisional, yaitu dengan tangan (hand-drawn technique).


———
[1] Capra, Fritjof. 2002. Kearifan Tak Biasa: Percakapan dengan Orang-orang Luar Biasa. Yogyakarta: Bentang Budaya.


[Bersambung » Perjalanan Kembali (2)]

.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  




***


Tulisan-tulisan lainnya di sini.

Unggulan

Merajut Keterhubungan

Sebuah esai merespons tema pameran Forum Grafika Digital 2017 (FGDexpo 2017), Connectivity (Jakarta Convention Center, 24–27 Agustus 2017). ...