4.1.18

Keheningan yang Berbicara (3)

[Sambungan dari: Keheningan yang Berbicara (2). Bagian terakhir dari tiga bagian]


“Kepada pikiran yang hening, alam semesta berserah.” —Chuang Tzu

Swaraning sepi
Walau belasan tahun berada di sentra budaya Barat di Paris, Mas Slamet memiliki pengetahuan yang mendalam pada ajaran-ajaran spiritual Timur. Ia misalnya, gemar melakukan pembacaan kode-kode I Ching (Book of Changes), menginterpretasi paradoks dalam naskah-naskah Chuang Tzu (399–295 SM), atau mengeksplorasi kisah-kisah tasawuf Jalaluddin Rumi (1207–1273).  

Sebuah buku mengenai estetika wabi-sabi[v] yang ditulis oleh Leonard Koren (l. 1948) dikirimkannya kepada saya, yang pada hemat saya yang bukan berasal dari disiplin seni musik, esensinya tak jauh dari praktiknya dalam bermusik. Bahkan sosok Mas Slamet, dalam penafsiran saya, bisa dilihat sebagai “perwujudan” dari wabi-sabi itu sendiri: bersahaja; merasa nyaman dengan hal-hal yang ambigu; mensarankan pendekatan yang intuitif dan relatif; yang mencari solusi-solusi personal; dan yang percaya bahwa segala hal itu terjadi karena ada alasannya.


8. Estetika wabi-sabi pada sebuah mangkuk kayu. 

Wabi-sabi mengedepankan kualitas otentik lebih daripada perfeksi. Ditandai dengan ketidakteraturan, asimetri, kesederhanaan, kehematan, kejatmikaan, kerendahan hati, dan keintiman—wabi-sabi menghargai objek-objek alami dan kepada proses, sebagai lambang eksistensi manusia yang serba fana. Karat, urat kayu, bintik-bintik di kulit—adalah tekstur kehidupan. Berkembang di abad ke-15 sebagai reaksi terhadap ornamentasi berlebihan nan mewah dan vulgar dari kalangan ningrat, wabi-sabi berkisi pada tiga prinsip: ‘tidak ada yang sempurna, tidak ada yang abadi, dan tidak ada yang selesai.’

Keheningan yang Berbicara adalah istilah yang dipakai oleh Mas Slamet sendiri untuk menggambarkan dirinya, sebagai koreksi atas judul tulisan tentang dirinya yang ditulis oleh komponis dan etnomusikolog Dieter Mack (l. 1954). Dalam buku Tiga Jejak Seni Pertunjukan Indonesia: Rendra, Sardono W. Kusumo, Slamet A. Sjukur[5] yang diberikannya kepada saya pada 2005, Mas Slamet membuat coretan pada halaman judul tulisan tentangnya itu yang tertulis: Slamet Abdul Sjukur: Istirahat yang Berbunyi, dan menggantinya dengan Slamet Abdul Sjukur: Keheningan yang Berbicara (Gb. 9). Di atas judul itu, Mas Slamet masih menambahkan kata-kata Swaraning sepi (Suara keheningan) yang mungkin dimaksudkannya sebagai asal kata atau intisari dari judul tersebut.


9. Bagian dari buku Tiga Jejak Seni Pertunjukan Indonesia: Rendra, Sardono W. Kusumo, Slamet A. Sjukur

Judul bab mengenai SAS, Istirahat yang Berbunyi, dikoreksi oleh SAS menjadi Keheningan yang Berbicara

Hening kosong, hening berisi

“Energi perlu, baik lahiriah maupun batiniah, untuk bertindak ataupun untuk benar-benar diam.” —J. Krishnamurti (1895–1986), Surat untuk Sekolah, 15 Februari 1979

Filosofi kehidupan Mas Slamet berasal dari neneknya yang orang Eskimo, Astikea yang mengajarinya nilai keheningan (value of silence) dan untuk “melakukan segala sesuatu dengan cinta, karena itu adalah hal paling penting dalam hidup”. Di masa kecilnya, neneknya ini suka mengajaknya ke luar rumah untuk menonton pergelaran konser musik. Di situ dia disuruh diam “agar musik bisa berbicara kepadanya”. Tak heran jika musik Mas Slamet selalu dekat dengan suasana batin yang hening, dan mencerminkan konsepsinya mengenai keheningan. 

Menurutnya, ada hening yang kosong, ada hening yang berisi. Misalnya, ketika datang ke sebuah rumah ada perasaan tidak enak. Tapi memasuki rumah lain yang modelnya sama tidak ada perasaan apa-apa. Di sinilah ada hening yang kosong dan hening yang dihuni.

“Saya sendiri menghendaki ada intensitas itu dimana-mana, termasuk di dalam sebuah keheningan. Dalam keramaian, maupun dalam keheningan, hendaknya selalu ada dan dijaga sebentuk intensitas itu.”

Dijelaskannya bahwa batin yang hening itu peka pada kemurahan hati alam.

“Suara laut, atau desau angin, kalau kita tahu dan bisa menangkap keindahannya, itu sebenarnya sebuah musik. Jadi sebenarnya dalam kehidupan ini sudah begitu kaya akan musik. Baik musik yang menyenangkan, maupun musik yang mengerikan sekali pun.”

Sehingga sebetulnya sudah tidak ada lagi kebutuhan untuk membuat musik:

“Kalau melihat kenyataan alam yang sudah dipenuhi dengan musik, sebagai komponis saya itu merasa malu. Ngapain lagi, di sekeliling kita ini sudah berlimpah dengan musik kok. Tetapi karena musik saya bertujuan mengembangkan kepekaan orang-orang di sekitar saya kepada bunyi yang sebenarnya musik, lantas saya bikin musik yang saya ambil dari alam. Kalau kawan-kawan sudah terbiasa mendengarkan musik saya, harapan selanjutnya mereka bisa juga mendengarkan musik gemericiknya air sungai.”

“Dan kalau semua orang sudah bisa mendengarkan musik alam, maka saya akan pensiun. Tapi sampai kapan, saya tidak tahu. Bahkan sampai mati pun barangkali belum tercapai cita-cita seperti itu. Ya, itulah keinginan saya, manusia mbok yang peka terhadap musik di sekitarnya, sehingga tidak perlu ada yang membuat musik lagi.”[4]

Hening sedemikian ini yang agaknya dimaksudkan oleh J. Krishnamurti (1895–1986) sebagai ‘senggang’, suatu senggang yang berbeda sama sekali dengan pengertian kebanyakan orang. Senggang pada umumnya diartikan sebagai tidak disibukkan oleh hal-hal yang harus kita lakukan, seperti mencari nafkah, pergi ke kantor, pabrik, dan sebagainya; dan hanya apabila pekerjaan itu selesai, kita merasa senggang. Dalam senggang semacam ini yang ada hanya keinginan bersenang diri, bersantai, atau melakukan hal-hal yang betul-betul disenangi. Arti kata senggang yang seseungguhnya adalah ‘suatu waktu di mana batin tidak dipenuhi dengan apa pun juga’. Batin yang siap untuk melakukan observasi. Karena hanya batin yang tidak penuh kesibukan yang dapat mengobservasi. Dan observasi yang bebas adalah ‘gerak belajar’, yang membebaskan kita dari kehidupan yang mekanis. Jenis belajar yang sepenuhnya berbeda dengan pengertian belajar demi mengumpulkan pengetahuan sebagai bekal memperoleh mata pencaharian. 

Dalam surat yang ditujukannya kepada beberapa sekolah di India, Inggris, Amerika, dan Kanada, dipaparkan oleh Krishnamurti:

“Senggang berarti bahwa batin tenang, tak ada motif, dan karena itu tidak ada arah. Inilah senggang, dan hanya dalam keadaan inilah batin mungkin belajar, tidak hanya sains, sejarah, matematika, tetapi juga tentang dirinya sendiri; dan orang dapat belajar tentang dirinya sendiri dalam keadaan berhubungan.”[9]

Ketepatan kebutuhan

“Kebutuhan nyata manusia sederhana saja. Dan cukup mudah memenuhinya. Televisi dan mobil tidak dibutuhkan untuk mempertahankan hidup dan sesungguhnya benda-benda itu menyebabkan konflik. Bila anda menginginkannya dan bersusah payah untuk mendapatkannya, di situlah konflik muncul dalam kehidupan. Anda tidak pernah puas.” —J. Krishnamurti (1895–1986),  sebagaimana dituliskan oleh John E. Coleman dalam bukunya The Quiet Mind, 1971

Mengamati laku hidupnya, kiranya tidak berlebihan bila menganggap Mas Slamet sebagai pengejawantahan sosok Ki Ageng Soerjomentaram (1892–1962), pemikir eksistensialis Jawa itu. Pemikiran-pemikiran Ki Ageng seolah mewujud pada diri Mas Slamet. Juga pada proses penciptaan karya musiknya, yang sejalan dengan falsafah 6-sa: sapenake, saperlune, sabutuhe, sacukupe, samestine, dan sabenere (seenaknya, seperlunya, sebutuhnya, secukupnya, semestinya dan sebenarnya). Bahwa membuat musik, “Konsepnya harus kuat dan memenuhi kebutuhan. Fondasinya harus kokoh. Aspek keindahannya harus lahir dari ketepatan kebutuhan”[3]. 

Jejak kesinambungannya dengan Soerjomentaram ini bisa ditelusuri pada pendidikan yang dilaluinya di masa kecil di Taman Siswa. Seperti kita ketahui Taman Siswa didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara (1889–1959), yang mengajar di sekolah itu bersama Ki Ageng Soerjomentaram Taman Siswa yang didirikan pada 1922 ini mengedepankan nilai-nilai budaya Jawa dalam sistem pendidikannya. Hal ini sekaligus dimaksudkan untuk meredam pengaruh Barat. Walau ide-ide dasar secara pedagogis dipengaruhi oleh Barat, yaitu oleh metode pendidikan Montesorri (1870–1952), filsafat antroposofi Rudolf Steiner (1861–1925), pemikiran Rabindranath Tagore (1861–1941), dll.[4]

Gaya hidup Mas Slamet yang juga bersahaja membuat standar hidupnya cukup stabil. Seperti halnya Erik Satie, Mas Slamet yakin bahwa sebaiknya aspek-aspek material (ruang hidup, kebutuhan sehari-hari, dll.) dialihkan ke posisi yang rendah demi kehidupan mental yang lebih bebas. Sikapnya yang sering ironis terhadap diri sendiri, serta humornya yang kerap kali kritis dan tajam terhadap orang lain atau terhadap sistem politik yang ada, tidak saja membuat dia banyak berteman, tapi juga membuatnya berbeda dengan hampir semua komponis Indonesia lainnya. Dengan cara sedemikian, ia selalu dapat memastikan suatu sikap netral dan individual yang sehat.[6] 

Segitiga Bermuda
Kami tak lagi leluasa “menari” bersama setelah saya berkeluarga pada 1983. Dalam bahasa Mas Slamet: “Kesibukan membuat kita terpelanting di kutub yang berjauhan”. Pada masa ini saya telah pindah ke sebuah rumah kontrakan di Ciputat Raya, supaya bisa mengawasi pembangunan rumah saya di Desa Sawah Lama, Ciputat [selesai 1987]. Tapi, terkadang kami masih meluangkan waktu untuk bertemu, sekadar kangenan. Biasanya di toko musik Aquarius di Jalan Arteri Pondok Indah, dan berlanjut di toko buku QB, yang lokasinya berseberangan. QB layaknya oase bagi kami. Di tengah lautan buku di kedua lantainya, kami biasa menghabiskan waktu dari siang hingga jelang sore hari. 

Lain waktu, Mas Slamet mengunjungi saya, baik di rumah saya di Desa Sawah Lama [mulai kami tinggali pada 1988], maupun setelah saya pindah ke kawasan Bintaro [2004]. Sambil menikmati es campur kesukaannya, atau membalik-balik buku desain John Maeda (1966) yang karyanya serba musikal itu. 

Pernah dalam salah satu obrolan, kami dikejutkan oleh sebuah temuan bahwa di masa lalu ternyata kedua ayah kami juga saling mengenal dan bersahabat. Sungguh suatu kebetulan yang membuat kami takjub! Sesudahnya, Mas Slamet pun mengatur pertemuan kembali di antara kedua keluarga yang kemudian berlangsung pada sebuah hari baik di rumah saya di Jalan Trunojoyo 101, Surabaya. Selanjutnya, bila kebetulan membaca berita mengenai Mas Slamet di koran-koran Surabaya, ibu saya akan selalu mengguntingnya untuk dikirimkan kepada saya.

Kesenjangan yang terjadi akibat perbedaan ruang dan waktu yang semakin melebar, berkat internet, bisa didekatkan. Pernah pada akhir 2013 Mas Slamet menulis begini: “Kapan-kapan dalam waktu dekat, Mas Hanny akan ‘kupaksa‘ ikut nonton Wayang Orang Bharata[vii] di jalan Kalilio, Senen. Adanya hanya Sabtu petang (pukul 20.00–23.00) dan bisa sambil makan ketoprak [hal yang tak mungkin dilakukan di gedung opera mana pun!].” Itu pun akhirnya tak kesampaian. Walau sudah diiming-iminginya dengan kiriman foto pada surat berikutnya (Gb. 10). 


10. Mas Slamet di depan gedung WO Bharata, 2013.

Dalam suratnya tertanggal 1 September 2013, Mas Slamet berkomentar mengenai WO Bharata ini demikian: 

“WO Bharata is only one example among many others that art in Indonesia can support itself. They do it because it is their faith, to earn the living most of them do other things avoiding to derange the government who is already very bussy for themselves.”

Atau juga melalui lintas layanan pesan pendek (sms), keasyikan yang terkadang saling kami bagikan di tengah malam menjelang (saya) tidur. Sekadar bersilat kata tanpa punya tujuan. 

Suatu malam, pada 21 Oktober 2012, hampir setahun saya terbenam dalam proses menulis naskah buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia (DGIDPDGD) [Lihat: Perjalanan Ide, Nilai, dan Makna], telepon selular saya menerima pesannya: “Perjalanan setiap detik itu mulanya masih jauh sekali, lalu mendekat dan singgah hanya sedetik. Terus melanjutkan perjalanannya tanpa henti ke masa lalu yang semakin jauh dan tidak pernah kembali lagi.” Walau Mas Slamet menuliskannya tanpa maksud apa-apa (ia tidak mengetahui bahwa saya sedang menulis buku sejarah), saya menangkap keterhubungannya yang halus dengan buku DGIDPDGD. Saya pun bercerita mengenai buku saya itu, dan menyampaikan niat untuk mencantumkan pesan Mas Slamet tersebut sebagai kutipan pembuka buku. Tapi saya merasa ada yang belum “selesai” dengan kalimat itu, jadi kami lalu saling bertukar kata lagi (Jawa: otak-atik gatok) dan terciptalah rangkaian kata berikutnya: “Dia hanya menoleh kalau ada yang menyapanya”. 

Kepadanya lalu sekalian saja saya tanyakan, apakah menurutnya ada kalimat yang lebih baik yang sekiranya bisa menggantikan judul DGIDPDGD itu? Jawabnya:

“Segitiga Bermuda, Mas Hanny. Kata PUSARAN itu sudah dahsyat! Sulit untuk mencari yang lebih puitis, mas. DALAM PUSARAN DESAIN GRAFIS DUNIA terbayang arus melingkar yang menelan kapal induk raksasa di Segitiga Bermuda. Saya jadi seperti anak kecil yang nangis karena tidak dapat ’njawab ujian’.”

Hening abadi
Sesekali, kami memang bisa bertemu pada pergelaran acara-acara seni, terutama saat Mas Slamet melangsungkan konser karya musiknya. Tapi justru pada pergelaran terakhirnya, Konser 79 Tahun Sluman Slumun Slamet pada 27 September 2014, di Taman Ismail Marzuki itu saya gagal hadir. Waktu itu, kondisi kesehatan saya tiba-tiba menurun. Sebuah penyesalan besar, tapi tetap bersyukur karena masih bisa menikmati musik-musiknya melalui piringan cakram rekamannya yang dikirimkan oleh murid dan sahabatnya, Ariani Ririn beberapa saat sesudahnya. 

Kepergiannya yang meninggalkan saya di ‘saat-saat penting yang tidak saya hadiri’ itu menyisakan kekosongan besar yang menyesakkan di dalam diri saya. Mungkinkah ini yang dimaksudnya dengan ‘hening yang kosong’ itu? Selama ini, bersamanya, saya telah mengecap sebuah persahabatan sejati, yang tulus, dan tidak ditumpangi oleh suatu pretensi atau perhitungan apa pun. Sebuah persahabatan yang lugu, dan karenanya senantiasa mengharu biru. Pada 1 Oktober 2014, dalam sebuah surat pribadinya—surat terakhir yang saya terima sebelum Mas Slamet kembali untuk selamanya—ia menulis:

“Tinggal kita berdua saja sebagai sahabat sejak sebelum zaman batu...”

Rekannya sesama komposer, Michael Asmara (l. 1956), yang menggagas Yogyakarta Contemporary Music Festival (YCMF), mengatakan bahwa Indonesia beruntung memiliki genius seperti Mas Slamet: 

“Slamet should be inaugurated as a national hero. His music was inspired by the gamelan. He explored the slow tempo and silences. He opened the door to contemporary music; now it’s our duty to continue his dream of sounds.”[10]

Tapi, bukankah nyaris mustahil berharap penghargaan semulia itu akan diberikan oleh bangsa dan dari negerinya sendiri? Pula, bukankah semasa hidupnya Mas Slamet telah menunjukkan bahwa ia tidak pernah membutuhkannya?

Soe Tjen Marching dalam euloginya di Koran Tempo, Minggu, 10 Mei 2015, mengakhiri tulisannya dengan kalimat: 

“Pada 24 Maret lalu (tanggal wafatnya Mas Slamet —penulis), ia merampungkan mahakarya terakhirnya: Senyap.”



Salah satu karya Slamet Abdul Sjukur, Dedicace beserta biografi singkatnya.



———
[vi] Wabi-sabi, estetika Jepang mengenai segala sesuatu yang tak sempurna, tak kekal, dan tak selesai. Pakar estetika Leonard Koren dalam bukunya Wabi-Sabi for Artists, Designers, Poets & Philosophers (1994) menggambarkan wabi-sabi sebagai berikut:

Wabi-sabi is a beauty of things imperfect, impermanent, and incomplete.

It is a beauty of things modest and humble.

It is a beauty of things unconventional. 

[vii] Seni pertunjukan tradisi Jawa haute couture yang dibentuk pada 1972. Gedungnya di kawasan Senen berhimpitan dengan toko kelontong dan pedagang kaki lima di sekitar terminal Senen. Di tengah hingar bingarnya gaya hidup hedonis di Jakarta, kehadiran kelompok ini menandai masih hidupnya rasa kebersamaan, kecintaan, pelayanan, melu handarbeni (rasa ikut memiliki), keheningan, dsb.


———
[9] Krishnamurti, J. 1983. Surat untuk Sekolah, 1 Oktober 1978, Yayasan Krishnamurti Indonesia.

[10] Graham, Duncan. In memoriam: Slamet Abdul Sjukur; Silence or music beyond the grave? Jakarta Post, http://www.thejakartapost.com/news/2015/03/26/in-memoriam-slamet-abdul-sjukur-silence-or-music-beyond-grave.html, diakses 27 Mei 2015.

***

Tidak ada komentar:

Unggulan

Merajut Keterhubungan

Sebuah esai merespons tema pameran Forum Grafika Digital 2017 (FGDexpo 2017), Connectivity (Jakarta Convention Center, 24–27 Agustus 2017). ...