24.1.18

Memahat Indonesia dengan Cinta (3)

[Sambungan dari Memahat Indonesia dengan Cinta (2). Bagian ketiga dari tiga bagian]



Untuk rakyatku
“Kerjakan dengan bahasa Cinta, karena itu yang diinginkan setiap orang terhadap dirinya.” —Joko Widodo
Demikian pula halnya seorang pemimpin sejati, yang bekerja dengan Cinta sebagai bahan bakarnya. Dengan memandang Cinta dan prinsip spiritualitas sebagai dasar keputusan moralnya. Bisa menempatkan dirinya sebagai pelayan, memimpin dengan prinsip servant leadership. Menekankan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat dan lingkungan, serta memiliki empati mendalam dengan senantiasa berjalan memakai sepatu orang lain.

Sebagai pemimpin bangsa, Jokowi pun menunaikan kepemimpinannya berdasar spiritualitas; dengan rasa hormat, Cinta, dan empati pada rakyatnya, yang dibalut dengan integritas diri (kebaikan, kejujuran, kesahajaan). Empati kepada warganya yang kurang beruntung dinyatakannya dengan meluncurkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang bisa digunakan untuk meringankan beban perawatan medis, dan agar mereka yang putus sekolah dapat melanjutkannya kembali (2014). KIP memastikan seluruh anak usia sekolah (6–21 tahun) dari keluarga kurang mampu dapat terdaftar sebagai penerima bantuan tunai pendidikan sampai lulus SMA/SMK/MA). 

Dan untuk mengurangi beban masyarakat sangat miskin, pemerintahan Jokowi juga menggulirkan Program Keluarga Harapan (PKH) guna memberikan bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM), yang sebelumnya berbasis rumah tangga berubah menjadi berbasis keluarga (2014). Dengan adanya perubahan ini, seluruh keluarga di dalam sebuah rumah tangga berhak menerima bantuan tunai. PKH diharapkan dapat memutus mata rantai kemiskinan antar-generasi, sehingga generasi berikut bisa keluar dari perangkap kemiskinan.

Kepedulian Jokowi kepada kaum jelata juga tercermin pada kunjungannya ke berbagai wilayah yang selama ini terpinggirkan, seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku Utara, Papua, dan lainnya. Melalui percakapan langsung dengan masyarakat setempat, Jokowi berniat “mengalami” sendiri apa yang dirasakan oleh warganya, agar kebijakan yang akan dibuatnya selaras dengan kebutuhan. Keterlibatan intim sedemikian ini dimungkinkan karena jiwanya yang merdeka bebas menempatkan dirinya di kalangan mana saja [Baca: Keteladanan Kesederhanaan Membangun Jiwa Merdeka]. 

Demi menopang keseimbangan kehidupan bagi semua (equal benefits to all), ia terus membangun jalan di pelosok-pelosok Tanah Air. Termasuk di antaranya, menghubungkan daerah-daerah terpencil di Papua Barat melalui Trans Papua sepanjang 4.300 kilometer yang mulai dibangun besar-besaran sejak 2014. Dengan banyaknya dana yang tersedia setelah Jokowi memangkas 80% subsidi bahan bakar minyak (2015), juga dari penerimaan pajak melalui program tax amnesty (2016–2017), pemerintahannya kini leluasa menghadirkan pembangunan di sejumlah kawasan terdepan Indonesia (desentralisasi asimetris). 

2. Jalan Trans Papua. 

Cinta kepada tanah air dan rakyatnya mewujud dalam niat membesut kehidupan. 

Sumber gambar: Dok. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Kebanggaan kepada negerinya terusik ketika Jokowi menyaksikan sendiri sejumlah Pos Lintas Batas Negara (PLBN) yang terpuruk kondisinya di wilayah Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia. Tiga buah PLBN pengganti yang jauh lebih megah beserta sarana-prasarananya kemudian dibangunnya dalam waktu dua tahun (2016–2017), ditambah dengan tiga PLBN di Nusa Tenggara Timur, dan satu di Papua. Dan demi percepatan program elektrifikasi 35.000 MW, ia membangun Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Mobile Power Plant (MPP) serentak di delapan daerah; di Lombok, Bangka, Lampung, Nias, Pontianak, Riau, Belitung, dan Medan sebesar 500 MW, hanya dalam waktu enam bulan (2016).

Sebagai perwujudan cita-citanya menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, pemerintahan Jokowi memperkuat sektor kemaritiman dengan cara memaksimalkan potensi kelautan dan perikanan, serta membangun sarana-prasarana penunjangnya sejak dari Sabang hingga ke Merauke. Dengan membangun bandara di pulau-pulau terluar, seperti bandara Miangas, di Sulawesi Utara, terminal bandara Tanjung Api Tojo Una-una di Ampena, dan terminal bandara Kasiguncu di Poso (ketiganya diresmikan pada 2016), serta bandara Maratua, di Kalimantan Timur (2017). Termasuk mewujudkan Tol Laut yang merupakan konsep pengangkutan logistik kelautan dengan menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar di seluruh Nusantara (diluncurkan pada 2015). Terjalinnya hubungan antar-pelabuhan ini akan menciptakan kelancaran distribusi barang hingga ke pelosok-pelosok, dan membawa dampak pada menurunnya disparitas harga yang tinggi antara wilayah Barat dan Timur.

Dengan Cinta, si tukang kayu itu terus “memahat Indonesia”. 

Membandingkan performa sejumlah pemimpin Asia-Australia, pada tutup tahun 2016 Bloomberg menilai Jokowi sebagai satu-satunya pemimpin yang memiliki performa positif.[1] Penilaian itu diberikan atas dasar kemampuan pemerintahan Jokowi memperkuat nilai tukar hingga 2,41 %, menjaga pertumbuhan ekonomi (GDP) tetap positif (5,02 % skala tahun ke tahun), dan memiliki tingkat penerimaan publik yang tinggi (69 %). Jokowi juga dianggap mampu menegaskan kewenangannya atas lembaga-lembaga politik di Indonesia pada 2016 dengan menguasai lebih dari dua pertiga kursi di parlemen—dukungan yang digunakannya untuk menggulirkan undang-undang tax amnesty demi membiayai program pembangunan sarana-prasarana di berbagai wilayah.[i]

Kurang lebih sebulan kemudian, yaitu pada 9 Februari 2017, PricewaterhouseCoopers (PwC) pun merilis ramalannya mengenai negara-negara dengan ekonomi terkuat di dunia pada 2030 (the most powerful economies in the world by 2030). Dengan memproyeksikan produk domestik bruto (GDP) global dengan paritas daya beli (PPP) masing-masing negara[ii], PwC menempatkan Indonesia di urutan kelima, berturut-turut di bawah Tiongkok, Amerika Serikat, India, dan Jepang; di atas Rusia, Jerman, Brasil, Meksiko, Inggris, dan 22 negara lainnya.
“Kerja adalah Cinta yang dinyatakan. Bila kau tak bisa bekerja dengan Cinta, melainkan dengan rasa tak suka, maka tinggalkanlah pekerjaanmu, dan duduk saja sambil menerima sedekah dari orang-orang yang bekerja dengan suka cita.” —Kahlil Gibran (1883–1931)


#JokowiUntukIndonesia


———
[i] Untuk menentukan peringkat pemimpin terbaik se Asia-Australia, Bloomberg mendata delapan pemimpin: Presiden Tiongkok, XI Jinping; Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe; Perdana Menteri India, Narendra Modi; Presiden Korea Selatan, Park Geun-Hye; Presiden Indonesia, Joko Widodo; Presiden Filipina, Rodrigo Duterte; Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak; dan Perdana Menteri Australia, Malcolm Turnbull.

[ii] Purchasing power parity (PPP) digunakan oleh para ahli ekonomi makro untuk menentukan produktivitas ekonomi dan standar kehidupan antar-negara dalam jangka waktu tertentu.


———
Referensi

Hanny Kardinata. Keteladanan Kesederhanaan Membangun Jiwa Merdeka. Seword, wp.me/p6Y2pM-wuQ.

Kartu Indonesia Pintar (KIP). TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan), tnp2k.go.id.

Program Keluarga Harapan (PKH). TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan), tnp2k.go.id.

Sambutan Presiden Joko Widodo pada Peresmian Pembangkit Listrik Tenaga Gas Mobile Power Plant Parit Baru 4×25 MW, di Mempawah, Kalimantan Barat, 18 Maret 2017. Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, setkab.go.id.

Selain Entikong, Ada 6 Pos Perbatasan Negara yang Dibangun Pemerintah. detikNews, news.detik.com.

Who’s Had the Worst Year? How Asian Leaders Fared in 2016. Bloomberg, bloomberg.com.

A prediction: The world’s most powerful economies in 2030. World Economic Forum, weforum.org.

***

Tulisan-tulisan lainnya di sini.

Tidak ada komentar:

Unggulan

Merajut Keterhubungan

Sebuah esai merespons tema pameran Forum Grafika Digital 2017 (FGDexpo 2017), Connectivity (Jakarta Convention Center, 24–27 Agustus 2017). ...