[Baca sebelumnya, Sang Petahana di Medan Tempur Jalatunda, kisah kegelapan yang menutupi kebaikan]
Oleh: Hanny Kardinata
Puing berserakan di segenap penjuruBekas pertempuranBau amis darah sisa asap mesiuSesak nafasku
Mayat-mayat bergeletakanTak terkubur dengan layakDan burung-burung bangkai menatap liarDan burung-burung bangkai berdansa senang
—Puing, Iwan Fals
Bibit kebencian yang ditanam sejak dini
Konflik dua keluarga Kuru selama perang delapan belas hari Bharatayuda seperti tak lagi menyisakan Kurusetra sebagai tanah suci. Pertempuran besar dalam memperebutkan kekuasaan itu telah mengakibatkan gugurnya jutaan prajurit dari kedua belah pihak, perempuan-perempuan menjanda, dan anak-anak menjadi yatim. Perang, yang terjadi lima ribu tahun silam itu (sekitar tahun 3000 SM menurut kitab Bhagawadgita) juga mengakibatkan krisis di daratan India dan merupakan gerbang menuju Zaman Kegelapan, atau Zaman Kehancuran (yang dalam kepercayaan Hindu disebut Kaliyuga).
Mungkin tak banyak yang mengira bahwa benih kehancuran itu telah ditabur jauh sebelum Pandawa dan Kurawa lahir. Dan sesungguhnya disulut oleh hanya satu orang yang bernama Sengkuni.
Sosok Sengkuni, dalam Mahabharata, dikisahkan sebagai pangeran kerajaan Gandara. Ia mempunyai adik perempuan bernama Gandari. Tapi di dalam lakon pewayangan Jawa, Sengkuni bukan kakak, melainkan adik Gandari. Dan Gandara bukan nama kerajaan, tapi nama kakak tertua mereka.
Diceritakan bahwa pada suatu hari, ditemani oleh kedua adiknya, Gandara berangkat menuju Kerajaan Mandura untuk mengikuti sayembara memperebutkan putri raja, Dewi Kunti. Di tengah jalan, rombongan Gandara berpapasan dengan Pandu, penguasa kerajaan Hastinapura, yang sedang dalam perjalanan pulang, setelah memenangkan sayembara itu. Pertempuran pun tak terhindarkan. Gandara akhirnya tewas di tangan Pandu. Pandu kemudian membawa serta Gandari dan Sengkuni ke Hastina.
Sesampai di Hastina, Gandari diminta oleh kakak Pandu yang tuna netra, Drestarastra, untuk dijadikan istri. Gandari sangat kecewa, karena sebenarnya ingin diperistri Pandu. Sengkuni yang juga murka berjanji akan membantu kakaknya melampiaskan sakit hatinya. Ia bertekad menciptakan permusuhan di antara anak-anak Drestarastra, yaitu Kurawa, dengan Pandawa, keturunan Pandu.
Maka, dalam asuhan Sengkuni yang penuh angkara, para Kurawa tumbuh menjadi anak-anak yang selalu diliputi kebencian terhadap Pandawa. Setiap hari Sengkuni mengobarkan semangat kedengkian di hati Kurawa, terutama Duryudana, dengan menyodorkan berbagai cerita karangan (hoax). Talentanya dalam mengarang cerita dusta sudah mulai dipupuk ketika ambisinya untuk menjadi patih Hastina bisa dicapainya dengan menyebar informasi bohong (fake news) mengenai upaya pengkhianatan patih petahana, Gandamana. Ketika kekuasaan telah diraihnya, sebagai patih, Sengkuni semakin leluasa menjalankan berbagai strategi busuknya.
Ia misalnya berada di balik layar atau menjadi dalang atas diangkatnya Duryudana sebagai putra mahkota, pasca mangkatnya Pandu. Sengkuni pula yang menyusun skenario agar para ksatria Pandawa kalah dalam permainan dadu melawan Kurawa yang berakibat pada jatuhnya negara Indraprasta ke tangan Kurawa.
1. Sengkuni menghasut Duryudana.
Sumber: Mahabharata 1, Ramanarayanadatta Astri. Penerbit: Gorakhpur Geeta Press.
|
Sasaran propaganda tak pandang usia
“Hidup tanpa kelicikan dan kebohongan adalah semu.” —Sengkuni, Mahabharata
Sengkuni memang tergolong cerdas. Dia pintar mengolah kata. Bahasa polesan telah dia hafalkan. Bahasa racun dia balut menjadi madu, agar pihak lain terpikat. Kesuksesannya dibangun atas dasar kecerdikan. Dia seakan-akan menguasai psikologi massa. Maka gaya untuk kemenangan dirinya ditempuh dengan aneka rupa, yang seakan-akan sah. Karena watakmya yang jahat dan selalu mendambakan jabatan yang tinggi, maka Sengkuni setiap hari kerjanya hanya merangkai siasat untuk memfitnah dan menjatuhkan kedudukan orang lain.[1]
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ia suka menyamar sebagai sosok yang santun, ramah, dan agamis. Terkadang juga sebagai tokoh agama berjenggot yang dengan dakwah-dakwahnya menyerukan makar. Itu berguna untuk menyembunyikan identitas aslinya yang munafik, khianat, ingkar, penuh intrik, dan berlumur ambisi. Praktik menghalalkan segala cara ditempuhnya demi meraih kekuasaan. Berbagai upaya dilakukan, seperti membuat pemisahan antara politik dengan akhlak, bahwa dalam politik tidak ada faedahnya menuruti kaidah-kaidah moral.
Ia pandai memanfaatkan kekuatan media massa, stasiun TV swasta pun tak luput dari sentuhannya demi menyasar orang awam yang mudah diprovokasi. Dan tentu saja, media sosial. Tak segan ia mengucurkan dana besar untuk membentuk cyber army, guna mengelola dan menyebarkan hoax. Sasarannya tak kenal usia, bahkan anak-anak yang masih polos pun dijadikan target adu dombanya. Sedemikian rupa, sehingga anak-anak tak lagi mau berteman dengan sebayanya yang beragama lain. Atau tidak mau dipimpin ketua kelas yang keyakinannya berbeda.
Sengkuni menyelinap di tiap tikungan, dan di saat-saat paling krusial. Hoax dipakainya untuk menjatuhkan reputasi lawan. Sentimen sensitif SARA dipermainkannya secara masif. Ketika sedang berlangsung pemilihan pemimpin tertinggi di negeri ini, disebarnya berita bahwa pihak lawan adalah keturunan Cina, dan beragama Kristen. Sebuah iklan dukacita palsu diedarkan untuk membuktikan bahwa sang calon pemimpin adalah keturunan Cina. Bahkan ibunya difitnah sebagai anggota Gerwani, dan ayahnya PKI. Kemudian dengan ringan dilayangkanlah isu sebaliknya, bahwa si calon pemimpin adalah antek Amerika dan Israel.
Demikian juga ketika warga sedang memilih pemimpin ibukota negerinya. Dilakukannya upaya-upaya pembunuhan karakter, yang bertujuan merusak citra salah satu calonnya. Spanduk-spanduk provokatif disebarnya di berbagai sudut kota, agar warga tidak memilih pemimpin yang beda keyakinan. Yang memilih disebutnya kafir. Ayat suci dipolitisasi, dijadikannya sekadar sebagai alat kampanye.
———
———
[1] Prof. Dr. Suwardi. Antropologi Sastra Jawa sebagai Pembuka Jalan Berpikir Positif dan Revolusi Mental. Fakultas Bahasa & Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, fbs.uny.ac.id.
[Bersambung » Hoax (2)]
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar