25.1.18

Sang Petahana di Medan Tempur Jalatunda

Oleh: Hanny Kardinata


I am the Wind, from beyond the ends of the world!” —Bima, Mahabharata

Kegelapan di sebagian kota
Ada suatu masa di mana awan gelap kebencian menggelayuti sebagian penduduk sebuah kota. Warga kota itu terbelah dua di tengah berlangsungnya pemilihan pemimpinnya, ketika salah seorang calonnya yang petahana dipandang bukan penduduk asli (non-pribumi), dan beda kepercayaan. Cekaman hawa kesumat yang persis sama, yang mencengkeram ketika dua bersaudara sepupu Kurawa dan Pandawa, bersaing kuasa di tanah leluhur Kuru, putera Mahabharata itu.  

Walau sering bermain bersama, diam-diam Duryudana, putera sulung Kurawa, sangat membenci Bima, putera kedua Pandawa, avatar Batara Bayu (Dewa Angin); yang dianggapnya menggerogoti dominasi kuasanya. Niat busuknya untuk menyingkirkan Bima (dan seluruh Pandawa), coba diwujudkannya dalam bermacam aksi damai penuh muslihat. Hasutan Sengkuni, paman Kurawa, pun jadi pemantik yang ampuh.

Dalam sebuah acara kebersamaan, Duryudana menaruh racun di dalam santapan yang disuguhkannya kepada Bima. Tak curiga, Bima pun lahap menghabiskannya. Dalam keadaan tak sadarkan diri, Bima dicampakkan ke dalam sumur Jalatunda. Malang berganda, saat kematian menjemput, Bima dipatuk pula oleh sejumlah ular berbisa. 

Namun, berkat lindungan si raja ular, Sang Hyang Nagaraja (versi lain menyebutnya Sang Hyang Antaboga, atau Sang Hyang Basuki[i], racun ular itu justru berbalik menetralkan racun di tubuhnya. Dan memberinya kesaktian berlipat. Satu persatu ular-ular itu dihabisinya.


1. “Akulah Angin, dari sisi lain sekalian ujung dunia!” 

Bima dalam pertempuran di sumur Jalatunda. 

Sumber: Ramnadayandatta Shastri Pandey, openlibrary.org.

Ksatria yang jujur, berani, tegas, blak-blakan, dan kuat iman 

“Jika seseorang yang berkuasa mencegah atau menghukum suatu tindak kejahatan, tidak melakukannya, ia juga tercemari oleh kejahatan itu.” —Resi Aurawa, Mahabharata 1:182

Maka bagai Bima atau Werkudara, yang dikenal berwatak pemberani dan tegas[1], sang calon pemimpin petahana[ii] itu pun tak segan-segan memberantas golongan “ular kembang”[iii] di jajaran birokrasinya. Jika terbukti ada yang “bermain”, sanksi diberikan dengan menurunkan derajat golongannya ke level sebelumnya, hingga mencopot jabatannya. Tegasnya:

“...ketika oknum PNS melakukan sumpah jabatan dan melanggar, melakukan pungli; kami singkirkan.”[2]

Atau: 

“Saya siap pasang badan. Saya siap mati demi membela kepentingan masyarakat Jakarta. Jika ada yang macam-macam, saya yang hadapi!”[3]

Seperti Bima yang tak suka berbasa-basi, niatnya selalu disampaikannya dengan ceplas-ceplos, tanpa tedeng aling-aling. Pernah dilontarkannya:

“Gua memang Cina. Tapi gua dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia. Apa salah kalau gua ingin membangun Indonesia yang bersih dari sistem korup?”

Dan sebagaimana Werkudara yang lurus hati, ia pun meneladankan nilai-nilai kejujuran, dan menjadi model bagi anak buahnya. Anak buah curang disebar di YouTube, mutasi besar-besaran, lelang jabatan, dan dilaporkan ke polisi. Yang mau mencuri jadi takut, sebab bakal dipermalukan. Siapa pun, termasuk keluarganya.

“Jika kepala tegak, maka seluruh badan akan ikut tegak.”[4]

Demikian sang petahana, menyitir sebuah pepatah Tiongkok. 

Sistem birokrasinya yang ditata baik akan menggilas mereka yang tidak jujur. Maka para ular dibuatnya bak cacing, cacing-cacing yang kepanasan. 

“Dalam manajemen, orang baik kalau sistemnya enggak benar ada peluang mencuri, bisa mencuri. Tapi orang jahat pun kalau sistemnya baik mau mencuri susah.”[5]

Untuk mempersempit ruang gerak, ia mengubah metode transaksi, dari tunai menjadi elektronik (e-money). Serta membatasi jumlah uang yang bisa ditarik setiap harinya menjadi sebesar Rp. 25 juta, yang rencananya akan terus “ditingkatkan” hingga tidak melebihi satu kali Upah Minimum Provinsi (UMP).[6]

Ia juga melakukan e-budgeting dan menolak kompromi permainan anggaran dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).[7]

Demikianlah, seperti Bima yang teguh imannya[8], sang petahana mengungkapkan bahwa ia dan keluarganya siap mati untuk menegakkan kebenaran. Iman Kristen menuntunnya untuk berani mengatakan bahwa “mati adalah sebuah keuntungan”.[9] Karena baginya, mati demi memperjuangkan kebenaran dan keadilan sosial adalah suatu keuntungan. Beruntung karena bisa mati pada saat ia melakukan hal yang benar. Diyakininya:

“Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” —Filipi 1:21

Terpasungnya cahaya kebaikan
Ketaksukaan sebagian warga kota, yang sedang melangsungkan pemilihan pemimpinnya itu, terhadap sang petahana, telah menutupi hati mereka dari cahaya kebaikan yang telah dibuatnya bagi kotanya. Duryudana yang pada dasarnya berhati baik pun tak luput dari pasungan awan gelap ini. Dalam wiracarita Mahabharata, ada cukup banyak kisah kebaikan Duryudana, seperti empatinya pada Karna, saudara tua Bima, yang dilecehkan oleh Pandawa; integritas dan loyalitasnya; atau sikapnya yang patriotik dalam membela negara. Sayangnya hatinya terlalu dipenuhi oleh kegelapan yang dibawa oleh Sengkuni. Demikian jika hati hanya digunakan sebagai keranjang penampung kebencian, bahkan saat ditunjukkan keindahan padanya pun dia hanya mampu melihat keindahan itu dengan kebencian.[10]


Hanny Kardinata
(bukan warga kota yang sedang memilih pemimpinnya itu)


———
[i] Dalam mitologi Bali, Sang Hyang Basuki dikisahkan sebagai dewa yang baik hati, dan dilambangkan sebagai penjaga air, sumber kehidupan bagi seluruh makhluk di Bumi Pertiwi.

[ii] Petahana (bahasa Inggris: incumbent), berasal dari kata ‘tahana’, yang berarti kedudukan, kebesaran, atau kemuliaan, dalam politik, adalah istilah bagi pemegang suatu jabatan politik yang sedang menjabat [Sumber: Wikipedia bahasa Indonesia, id.wikipedia.org]

[iii] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut ular kembang sebagai kiasan dari petualang yang tidak bertanggung jawab, atau orang yang tampaknya baik, tetapi sebenarnya berhati jahat. Contoh penggunaannya [dalam KBBI]: “Agar pemerintahan kuat, golongan ular kembang harus disingkirkan dari pimpinan.”


———
[1] Bima (Mahabharata). Wikipedia bahasa Indonesia, id.wikipedia.org.

[2] Ahok akan Tarik Swasta dalam Birokrasi di Pemprov DKI, kompas.com, Jumat, 27 Januari 2017 (Dinyatakan dalam debat Pilkada DKI, Jumat, 27 Jamuari 2017).

[3] Ahok: Saya Siap Mati Bela Kepentingan Masyarakat, kompas.com, Selasa, 2 Desember 2014 (Disampaikan di Balaikota DKI, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa, 2 Desember 2014).

[4] Oesman, Djono W. Ahok Biografi, Facebook.

[5] Siapa Kami? Ahok Djarot, ahokdjarot.id [Dinyatakan pada 30 April 2015].

[6] Pemberantasan Korupsi. Ahok Djarot, ahokdjarot.id

[7] Di Dunia Maya, Ahok Sudah Dapat Dukungan Puluhan Ribu Orang, CNN Indonesia, Minggu, 1 Maret 2015.

[8] Bima/Werkudara. Kumpulan Cerita Wayang, caritawayang.blogspot.co.id

[9] Saat diwawancarai oleh Najwa Sihab dalam acara Mata Najwa di Metro TV, Rabu, 30 Oktober 2013, pukul 22.05 wib, episode Perisai Anti Korupsi

[10] Yudiantara, Putu. The Warrior Who Refused to Fight: A Bhagavad Gita Novel, Bali Wisdom, 2016.


***


[Tulisan berikutnya terkait kesia-siaan pertikaian agama-agama, dalam Bersua Kartini di Agora (1) dan (2)]

Tulisan-tulisan lainnya di sini.



Tidak ada komentar:

Unggulan

Merajut Keterhubungan

Sebuah esai merespons tema pameran Forum Grafika Digital 2017 (FGDexpo 2017), Connectivity (Jakarta Convention Center, 24–27 Agustus 2017). ...