17.1.18

Hoax (2)

[Sambungan dari Hoax (1). Bagian terakhir dari dua bagian]


Bebek-bebek dengan gadget di genggaman

We owe it to ourselves to be receptive to people from different groups and with different ideas. They can help us question our assumptions. Sometimes we need a reality check, most often when we don’t even know it.” —David Braucher

Hoax semakin tak terkendali pergerakannya seiring dengan pesatnya perkembangan internet dan teknologi komunikasi. Sebuah berita palsu bisa dengan cepat menjadi viral melalui Facebook, yang diteruskan ke Twitter, dan kemudian dibagikan lagi di Whatsapp Group. Agar tidak mudah dibodohi secara berjemaah, psikoterapis David Braucher menganjurkan supaya setiap orang mau melakukan reality check.

Diuraikannya bahwa sebagai manusia, kita suka mengelompokkan diri ke dalam golongan-golongan. Kita cenderung memercayai orang-orang yang kita anggap anggota kelompok kita lebih daripada orang-orang dari kelompok yang berbeda. Ini menimbulkan apa yang disebutnya implicit bias. Kata ‘implisit’ di sini menunjukkan bahwa bias atau prasangka jenis ini memengaruhi kita ‘tanpa kita sadari’.

Dan karena kita semua mempunyai kelompok, kita semua mengalami inplicit bias. Itu sebabnya, kita butuh bantuan orang dari kelompok lain untuk membangunkan kita. Mereka bisa mencermati bias yang kita alami.   

Selain itu, ada bias lain yang disebutnya confirmation bias, yang mengacu pada kecenderungan kita untuk mencari informasi yang ‘menegaskan’ apa yang sudah kita ketahui atau kita yakini kebenarannya. Kita cenderung percaya “fakta” yang sesuai dengan keyakinan kita. Lebih jauh, bias ini dapat benar-benar menutup mata kita terhadap fakta-fakta yang bertentangan dengan keyakinan kita. Kita memercayai apa yang kita lihat, tetapi dalam kasus ini, kita tidak melihat apa yang tak kita percayai.

Ketika implicit bias dan confirmation bias bekerja sama, potensinya dalam menyesatkan meningkat secara eksponensial. Implicit bias membawa kita untuk percaya dan melihat lebih positif orang-orang dari kelompok kita sendiri, kita menjadi lebih terisolasi, dan hanya mendengar dari orang-orang dari kelompok kita. Ketika orang-orang dari kelompok kita membagikan apa yang kita yakini, mereka berbagi “fakta” yang mengkonfirmasi keyakinan kita. Ini adalah umpan balik, yang membuat kita terbuai di dalam sebuah gelembung (bubble).

Media sosial memberdayakan prasangka-prasangka ini bagai steroid, membuat kita rentan tergoda pada realitas alternatif yang dikonstruksi oleh para teoretisi konspirasi. Secara daring kita cenderung mengasosiasikan diri dengan orang yang memiliki kecenderungan politik yang sama. Demikianlah implicit bias bekerja. Ketika “kawan-kawan” kita mengirimkan artikel berita palsu yang sesuai dengan apa yang telah kita percayai, yang mengkonfirmasi prasangka kita, kita segera saja menelan bulat-bulat “informasi” itu. Selain itu, optimisasi yang dilakukan oleh orang-orang di situs-situs semacam Facebook, semakin memastikan kita supaya menerima mentah-mentah berita yang ingin kita baca, berita-berita itu semakin menguatkan prasangka-prasangka kita.

Selama ponsel pintar berada di genggaman, kita akan terhubung dengan grup-grup kita itu dan terus saja menelan informasi-informasi yang ingin kita percayai. Dan kita akan digiring seperti bebek-bebek oleh siapa saja yang ingin memberi kita berita palsu!

Kegelapan hanya sirna oleh cahaya kebaikan

“Bukan aku yang akan menghancurkan kalian. Karena kalian sesungguhnya telah merancang kehancuran untuk diri kalian sendiri.” —Kresna kepada Kurawa, Mahabharata

Sepak terjang Sengkuni dan para kloningannya di negeri ini sudah jauh melampaui batas keadaban. Dengan menabur bibit kebencian sejak dini, mereka telah merenggut kemurnian hati anak-anak (seperti dialami oleh anak-anak Kurawa lima ribu tahun yang lalu). Sebelum sempat bertumbuh menjadi pokok-pokok radikalisme dan terorisme, akar-akarnya harus ditangkal sejak awal pula. Dibutuhkan kerjasama erat di antara berbagai kalangan; mulai dari instansi-instansi pendidikan, sekolah-sekolah, dan terutama keluarga-keluarga, untuk senantiasa mendorong sikap kritis, serta menebar keindahan, dan kebaikan. Yang senang berolah kata, menulislah! Yang bisa berolah visual sebarlah melalui karya seni dan desain! We (our country) need you!


2. Sebuah surat kaleng untuk seorang anak.[2]

Untuk Alia
Bukan nyinggung, harus ngerti!

1. Alia kamu itu isbomuka = islam bodoh munafik kafir
2. Kamu kan bela Ahok sama aja kamu hina Al-Qur’an
3. Kamu itu munafik

Munafik =
1. tidak taat pada Allah
2. Kamu kelihatannya seperti Kristen
3. Sering bohong untuk dibela
4. Kamu kalau dikasih jalan lurus malah belok
5. Gak tahu diri
6. Baca Al-Qur’an sana

4. Sengsara lo di akhirat! Gaga gugu didepan Allah nanti masuk neraka, kagak didoain masuk syurga!

Solat deh yang benar, zikir!

—-ll

Pernah disarankan oleh peneliti masalah sosial dan politik, Made Supriatma:

Saya kira, kewajiban kita untuk senantiasa memelihara nalar kritis. Kita membutuhkan jurnalisme untuk melawan hoax, misalnya. Kita membutuhkan sastra, filsafat, sosiologi, antropologi, ilmu politik, atau pendeknya ilmu-ilmu sosial untuk mempertanyakan hal-hal yang kita yakini. Kita membutuhkan imajinasi! Karena imajinasi itulah yang dimatikan oleh algoritma mesin-mesin internet dan media sosial. Karenanya kita membutuhkan lebih banyak karya sastra yang bagus, puisi, novel, komik, dan lain sebagainya. Kita juga perlu lebih banyak karya seni. Hanya dengan cara demikian kita memelihara nalar kritis kita.”

Yang disambungnya dengan:

“Kalau saya harus memberikan satu resep, maka saya kira tidak ada resep yang lebih manjur daripada mengurangi waktu Anda di media sosial dan internet. Perbanyaklah bergaul, tatap muka dengan teman, pergi ke pesta, pergi tamasya bersama kawan dan sanak saudara. Belilah buku, koran, atau majalah. Berkunjunglah ke museum, ke candi-candi atau berbagai peninggalan bersejarah. Pergilah ke pasar untuk melihat-lihat atau berbelanja, dan cobalah memasak makanan sendiri. Cobalah menanam sesuatu atau secara serius berkebun.”

Karena:

“Hidup jauh lebih indah di luar gadget, handphone, atau komputer.”[3]

Dalam teori sosial, ada pendapat yang mengatakan bahwa manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang memiliki hasrat dan keinginan abadi untuk mengejar kekuasaan. Hasrat dan keinginan itu baru berakhir bila kematian telah menjemput. Hanya tinggal masalah waktu saja ketika perang Bharatayuda menjadi akhir riwayat Sengkuni. Meski mandraguna, dan kebal senjata berkat khasiat minyak Tala—yang diperolehnya juga dengan cara curang—ia dikalahkan oleh Pandawa di Kurusetra. Akhir hidup Sengkuni tragis. Ia digigit Duryudana, lalu jasadnya dilumat Gada Rujakpolo milik Bima.[i]


———
[i] Pada hari terakhir Bharatayuda, Sengkuni bertempur melawan Bima. Kulitnya yang kebal karena pengaruh minyak Tala sempat membuat Bima sulit mengalahkannya. Penasihat Pandawa selain Kresna, yaitu Semar, muncul memberitahu Bima bahwa kelemahan Sengkuni berada di bagian dubur, karena bagian tersebut dulunya tidak terkena pengaruh minyak Tala. Bima pun maju kembali. Sengkuni ditangkap dan disobek duburnya menggunakan Kuku Pancanaka yang tumbuh di ujung jari Bima. Ilmu kebal Sengkuni pun musnah. Dengan beringas, Bima menyobek dan menguliti Sengkuni tanpa ampun. Meski demikian, Sengkuni hanya sekarat, tetapi tidak mati.

Pada sore harinya, Bima berhasil mengalahkan Duryudana. Dalam keadaan sekarat, Duryudana menyatakan bahwa ia bersedia mati jika ditemani pasangan hidupnya, Dewi Banowati. Atas nasihat Kresna, Bima pun mengambil Sengkuni yang masih sekarat untuk diserahkan kepada Duryudana. Duryudana yang sudah kehilangan penglihatannya akibat luka parah segera menggigit leher Sengkuni yang dikiranya Banowati. Akibat gigitan itu, Sengkuni pun tewas seketika, begitu pula dengan Duryudana.


———
[2] Kika Syafii. Kebencian Sudah Meracuni Dunia Anak-anak, Intimidasi Menimpa Anakku. Gerilya Politik, gerilyapolitik.com

[3] Made Supriatma. Hoax, Kapitalisme Digital, dan Hilangnya Nalar Kritis. Remotivi, remotivi.or.id.


———
Referensi

David Braucher, LCSW, PhD. Fake News: Why We Fall For It. Psychology Today, psychologytoday.com.

Wikipedia bahasa Indonesia. Sangkuni.

Wikipedia bahasa IndonesiaPerang di Kurukshetra.

Selly Aulia Defriani. Pemikiran Ki Enthus Susmono tentang Tokoh Sengkuni dalam Pewayangan. Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Semarang.



*) Kata Pengantar ajang penganugerahan Indonesian Graphic Design Award (IGDA) 2, 27 Agustus 2017



Tulisan-tulisan lainnya di sini.

.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  
.  .  .  .  




***

Tidak ada komentar:

Unggulan

Merajut Keterhubungan

Sebuah esai merespons tema pameran Forum Grafika Digital 2017 (FGDexpo 2017), Connectivity (Jakarta Convention Center, 24–27 Agustus 2017). ...