3.1.18

Keheningan yang Berbicara (2)

7. Slamet A. Sjukur, dalam buku program acara pergelaran  Parentheses 5, Hanny Kardinata, 1981.

[Sambungan dari: Keheningan yang Berbicara (1). Bagian kedua dari tiga bagian]


“Kalau belajar catur, pertama logika. Tetapi kalau sudah terbiasa ada intuisinya. Berarti tidak cuma membunuh lawannya, tetapi bagaimana “membunuh secara puitis”, membunuh dengan manis.” —Slamet Abdul Sjukur

Falsafah angka tiga
Masih pada tahun delapan puluhan, ketika sama-sama belum mempunyai rumah sendiri, terkadang kami suka mengunjungi teman yang tempat tinggalnya artistik. Tujuannya, agar kami bisa memperoleh inspirasi bagi rancangan rumah kami kelak. Di antaranya kami pernah mengunjungi rumah penari dan koreografer Sardono W. Kusumo (l. 1945) dan isterinya, Amna. Juga rumah sejarawan Ong Hok Ham (1933–2007). Keduanya terletak di kawasan Cipinang Muara, Jakarta. 

Akhirnya Mas Slamet lebih dulu membangun rumahnya, seingat saya sekitar tahun 1984. Dibantu oleh Biro Arsitek Atelier 6 yang juga membantu perancangan rumah Pak Ong, Mas Slamet merencanakan desain rumahnya dengan segenap hati.

Rumah tinggalnya yang juga berlokasi di kawasan Cipinang Muara itu tidak saja dibangun berdasarkan ketentuan geomansi[iv], penyesuaian arah mata angin dengan garis hidupnya, melainkan juga dirancangnya sendiri menurut perhitungan akustik yang njlimet. Ruang-ruangnya berbentuk segi tiga. Sementara posisi dinding rumahnya yang sejajar hanya ada 20 persen. Semua itu didesain agar menghasilkan pantulan suara yang baik. Sebagai komponis, demi kelancaran kerjanya, Mas Slamet membutuhkan ruang kerja yang dinding-dindingnya tidak banyak menimbulkan gema. Rumah itu bukan saja memenuhi tuntutan efisiensi dan mencerminkan kekuatan fisiknya, tapi secara simbolik juga bisa  berarti sebagai cermin dari sikap hidupnya yang kokoh, tak gampang digoyahkan.

“Segi tiga itu suatu bentuk yang paling sederhana dan kokoh. Umpamanya, bentuk segi empat pada sebuah meja. Kakinya kan vertikal. Dari pertimbangan konstruksi, pada masing-masing kaki pasti diberi sudut sehingga membentuk segitiga pada permukaannya. Dan ini yang membuat supaya meja tersebut tidak gampang goyah. Ini hanya contoh sederhana yang biasa dibikin tukang-tukang kayu di desa. Dari sini saya berkesimpulan, bahwa angka tiga itu bukan saja spekulasi intelektual, tapi secara fisik memang fungsional.”[3]

Yin-Yang
Keberadaan interior rumah Mas Slamet bukan hanya  terbatas pada nilai dekoratifnya. Bentuk segi tiga pada desain interior rumahnya juga adalah bagian dari upayanya untuk menciptakan ritme, yang menurutnya harus ada di dalam sebuah rumah tinggal.

“...dalam proses penciptaan seni musik, saya membutuhkan dua buah ruang kerja yang ritmenya berbeda. Salah satu berpihak ke dalam, dan yang satunya lagi ke luar.”[3]

Dikatakan ke dalam, karena untuk mengontrol rasa. Bentuk dasarnya tetap segi tiga, tetapi atapnya dibikin lebih tinggi. Kesannya terasa luas. Sehingga menyebabkan orang merasa betah lama berada di dalamnya.

“Ruangan yang beratap tinggi bisa membuat kita merasa aman dan bernafas lebih leluasa. Ruang ini biasanya saya pakai untuk mengontrol konsep musik yang sudah saya kerjakan lebih dulu. Suasananya meditatif. Ke dalam.”[3]

Dan hal sebaliknya akan dirasakan bila orang berada di dalam ruang yang satunya, yang atapnya lebih rendah.

“Kalau dipakai untuk mengerjakan sesuatu, rasanya ingin cepat-cepat selesai dan keluar dari ruangan. Itu sebabnya mengapa ruang yang atapnya lebih rendah ini saya pergunakan untuk mengerjakan konsep-konsepnya, atau kerangkanya, agar bisa cepat selesai lebih dulu. Kemudian dalam proses selanjutnya, saya kontrol di dalam ruang yang suasananya cukup meditatif itu. Kebutuhan suasana yang berbeda dalam dua buah ruangan inilah, kalau menurut falsafah Cina dinamakan Yin-Yang.”[3]

Minimax

“Musik adalah karunia kehidupan, ia mesti diperlakukan secara cerdas. Saya memilih mengikuti jalan sunyi yang jauh dari normal.” —Slamet Abdul Sjukur

Sebagai komponis, Mas Slamet dikenal dengan metode minimax-nya, yakni berangkat dari yang seadanya (minimal) tapi dengan pengolahan yang sebaik mungkin (maksimal). Bahwa ‘keterbatasan itu bukan hambatan tapi justru merupakan tantangan untuk menggunakan akal atau menjadi kreatif’. Membuat musik dengan cara demikian tidak memerlukan biaya mahal, teknologinya sangat murah. Tapi ada tuntutan yang lain yang tidak main-main, yaitu tuntutan untuk tahu diri dan tanggap terhadap tuntutan saat. Dalam karya berjudul Uwek-Uwek (1992), ia hanya melibatkan para musisi amatir dan penggunaan organ mulut sebagai sumber bunyi non-konvensional. Dalam konteks ini, musik Harry Roesli tahun ’70-an dinilainya bagus walau hanya menggunakan kaleng dan botol-botol kosong. 

“Saya melihat kecenderungan dunia permusikan di Indonesia dewasa ini, adalah penggunaan teknologi canggih dengan sikap seperti monyet diberi mainan baru. Peralatan hebat yang dipakainya memang membesarkan hati, tapi sayang kemampuan memanfaatkannya masih gentayangan.”[6]

Semangat minimax itu terkadang membuatnya heran sendiri atas capaian hasilnya. Misalnya, Mas Slamet yang terbiasa “bekerja lambat”, suatu waktu harus membuat musik dengan durasi 40 menit melibatkan empat pemain musik klasik (flute, biolin, cello, dan piano), empat pemain musik free jazz (dua gitar listrik, perkusi, dan synthesizer), dua penari yang berbeda sekali gayanya, dan seorang pelukis, hanya dalam waktu dua bulan! Bukan saja karena sempitnya waktu, tapi terutama soal bagaimana menampung seluruh unsur yang campur aduk itu. Ini pesanan Festival Non-Stop des Ménuires untuk penutup acaranya. Dengan susah payah, karya cipta itu terwujud juga.

“Di panggung, hanya ada peralatan musik dan kursi-kursi kosong, di belakang berdiri plexiglass sepanjang, dan nyaris setinggi, panggung; seorang pelukis di belakangnya membuat goresan-goresan kuas dengan cepat untuk memenuhi plexiglass yang luas; masuk seorang pemain cello memainkan nada-nada panjang yang statis, sebagai kontras kecepatan lukisan; kemudian pemain musik mulai masuk satu-persatu dan langsung main; penari menyelinap, ada yang dengan melata dari tempat penonton. Musik semakin ribut dan kedua penari bergerak di antara kursi-kursi pemain, sementara pelukis semakin asyik dengan detil dan gerakan kuasnya semakin lambat; sampai saatnya para pemusik meninggalkan panggung, demikian pula para penarinya. Tinggal pemain flute berdiri sendirian, lukisan sudah jadi, pelukisnya tenggelam di balik lukisannya seperti gerhana egonya. Mendadak gelap seluruh panggung. Musik dan tari ada selama bergerak. Sebaliknya lukisan baru jadi setelah pelukisnya tidak menggerakkan kuasnya lagi. Dalam pertunjukan ini, lukisan ketika sudah jadi merupakan gaung yang tadinya dilewati tari dan musik.”[6]

Itulah Parentheses 4 (1973), salah satu contoh spirit minimax yang lahir dari keterbatasan. Contoh lain, adalah karya ciptanya, Angklung (1975). Karya ini adalah pesanan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Paris untuk Festival des Musiques Folklores de Dijon, yang diikuti oleh 35 negara, di antaranya Polandia, Hongaria, Turki, Jepang, Korea. Waktu itu Mas Slamet dihadapkan dengan kondisi angklung[v] milik KBRI yang pecah-pecah. Dan yang akan memainkannya adalah sejumlah warga Indonesia yang berada di Paris, seperti anak-anak diplomat, anak yang sedang belajar mengenai listrik, bahkan tukang sapu KBRI. Di luar dugaan, karya itu mendapatkan penghargaan Disque d’Or (Piringan Emas) dari Académie Charles Cros. Sebelumnya, selama tiga tahun berturut-turut, festival folklor ini dimenangkan oleh Gheorghe Zamfir (1941), pemain pan flute asal Rumania. Menurut panitia festival, musik angklung Indonesia seperti musik kontemporer. Mereka sesungguhnya tidak memahami bahwa karya itu bukan murni folklor, tapi merupakan hasil “ulah” Mas Slamet [tanpa mengkhianati tradisi lisan]. 

Ruang berbagi
Maret 2007 merupakan masa yang cukup sibuk bagi saya. Pada tanggal 13, saya mengaktivasi situs blog Desain Grafis Indonesia (DGI) sebagai ruang maya pengarsipan karya cipta desain grafis Indonesia, baik untuk karya visual maupun tulis. Alamatnya di desaingrafisindonesia.wordpress.com. Sejalan dengan bergulirnya waktu, situs ini telah membentuk dirinya sendiri sebagai pusat informasi dan referensi yang berhubungan dengan desain grafis di Indonesia, serta menjadi cikal-bakal bagi berdirinya Museum Desain Grafis Indonesia. Sejak 2014, alamat DGI pindah ke dgi.or.id. [Lihat: Perjalanan Tujuh Tahun Situs Desain Grafis Indonesia (DGI): 2007–2014 (1)]. 

Kemudian pada tanggal 30-nya, saya menginisiasi situs blog Art2Communicate (AtoC) di atoc.wordpress.com. Situs ini saya kelola bersama Mas Slamet, dan sesuai dengan namanya bertujuan untuk menginformasikan apa saja yang berkaitan dengan seni. Awalnya tentu dimulai dengan yang terdekat dulu, yaitu seni musik, dan diawali oleh sebuah tulisan Mas Slamet sendiri yang berjudul Gamelan Festival in Berlin

Namun, intensnya komunikasi yang terjalin kemudian dengan para desainer [sebagai konsekuensi dari kehadiran situs DGI] ternyata membutuhkan perhatian penuh. Keadaan ini mengakibatkan perhatian saya pada situs AtoC terus berkurang. Akhirnya saya memutuskan tulisan-tulisan Mas Slamet berikutnya juga ditayangkan di situs DGI. Hal ini dimungkinkan karena tagline DGI cukup luwes dan terbuka untuk menerima kehadiran “tamu” dari berbagai disiplin seni lain. Bunyinya: “Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture, and society” (Membimbing pemahaman di antara desainer grafis Indonesia dalam persimpangannya dengan seni, desain, budaya, dan masyarakat).

Lenyapnya senyap
Pada 27 Mei 2007, kepada saya dan sahabat lamanya, Soe Tjen Marching (l. 1971), Mas Slamet mengirimkan sebuah konsep (draft) surat yang ditulisnya untuk Akademi Jakarta. Isinya mengenai keprihatinannya terhadap polusi suara yang semakin menjadi-jadi. Karena sifatnya terbuka, surat itu kami publikasikan juga di situs AtoC. 

Langkah ini menjadi awal dari “perlawanan” Mas Slamet di kemudian hari terhadap hegemoni kebisingan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Kepada Akademi Jakarta, ia mengusulkan agar secepatnya memulai kampanye Gerakan Sadar Polusi Kebisingan, dengan membentuk jaringan konsultasi yang terus menerus dengan para pakar di dalam negeri, dengan lembaga-lembaga internasional yang terkait, serta melibatkan media-massa cetak maupun elektronik.

Dan pada hari yang sama, di harian Kompas, Minggu, 27 Mei 2007, Mas Slamet mengawali sendiri kampanyenya ini dengan menceritakan pengalaman pribadinya:

“Ternyata dia sudah meninggal, dikubur dua bulan lalu.
Sulit dipercaya seorang sahabat yang sejak lama terasa sebagai keluarga sendiri, tahu-tahu pergi begitu saja untuk selamanya. Rupanya saya yang tidak mendengar waktu pagi-pagi menjelang subuh ada orang mengetuk pintu, mau memberitahu tentang sahabat tadi yang baru meninggal dan akan dikebumikan siangnya. Betapa pun keras ketukan di pintu, tidak akan terdengar, karena tenggelam oleh pengeras suara yang begitu kencang dari surau di kampung.”

Gara-gara publikasi tulisannya tersebut, Mas Slamet menerima 90 pesan pendek lewat ponselnya yang umumnya bersimpati dan menyatakan mendukungnya. Kebisingan memang telah mengepung di mana-mana, di jalan raya, di mal, dst. Bahkan di rumah melalui berbagai alat rumah tangga: blender, penyedot debu, TV, pengeras suara, dll. Stres akibat kebisingan tak lagi disadari. Gejalanya menyelinap tanpa ada yang mencurigai penyebabnya. Orang jadi semakin mudah tersinggung dan marah, dan mudah melakukan tindak kekerasan. Selain itu, kebiasaan mendengarkan suara yang melebihi ambang batas akan menumpulkan kemampuan indera pendengaran untuk dapat menangkap suara-suara yang lebih halus dan indah.

Dan bukan saja manusia yang terganggu oleh kebisingan, binatang pun bisa mengalami gangguan, misalnya gangguan komunikasi. Binatang yang seringkali diserang oleh polusi suara juga lebih mudah menjadi agresif dibanding yang tidak. Bahkan polusi kebisingan terbukti ikut bertanggung jawab atas semakin punahnya ikan paus di dunia. Arthur Popper, ahli kebisingan dalam dunia laut dari Universitas Maryland, Amerika menjelaskan bahwa bunyi-bunyi keras dari kapal atau kendaraan bermotor lain, sangat mengganggu nyanyian ikan paus. Padahal, dengan nyanyian ini mereka berkomunikasi, mencari makan bersama, mencari kelompok mereka dan bahkan mengirim tanda SOS bila berada dalam bahaya. Bayi-bayi mereka pun mengalami tingkat kematian yang jauh lebih tinggi karena adanya polusi suara.[7]

Pada 23 Januari 2010, Masyarakat Bebas-Bising terbentuk. Organisasi ini didirikan oleh dan beranggotakan sejumlah tokoh masyarakat sipil, tujuannya untuk mengingatkan masyarakat pada “bahaya nasional” polusi kebisingan. Ketuanya Mas Slamet, dan di antara para penggeraknya terdapat nama-nama seperti Ahmad Syafii Maarif (l. 1935), Nh. Dini (l. 1936), Marco Kusumawijaya, Soe Tjen Marching, Bulantrisna Djelantik, Arief Adityawan S., Atieq S.S. Listyowati, Luthfi Assyaukanie, dll.

Dalam tulisannya untuk merayakan 79 tahun SAS, arsitek dan urbanis Marco Kusumawijaya menyodorkan kisah Persia Kuno, Gilgamesh, yang bertutur mengenai para dewa yang mengirimkan air bah karena terganggu oleh kebisingan yang ditimbulkan oleh manusia di kota-kota besarnya. Kebisingan dianggap sebagai sesuatu yang tidak pantas dan jumawa.

“Kalau kita membanding-bandingkan beberapa kebudayaan, kesenyapan di ruang khalayak menjadi salah satu ukuran yang sangat penting. Budaya Jawa sangat menghargai kesenyapan, hampir serupa dengan di Jepang. Tapi belakangan ini di mana-mana kita mendapatkan ruang khalayak yang penuh dengan kebisingan yang tidak perlu, over-acting, dan dapat dicegah dengan upaya-upaya teknis, selain kesadaran untuk menghargai kesenyapan.”[8]


———
[iv] Geomansi, adalah ilmu meramal yg berdasarkan pengamatan pada garis-garis atau gambar-gambar (Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).


———
[6] Sjukur, Slamet Abdul. 2012.
Virus Setan: Risalah Pemikiran Musik. Yogyakarta: Art Music Today.

[7] Marching, Soe Tjen. 4 Juli 2011. Perayaan Hari Besar dan Bahaya Kebisingan. Facebook, https://www.facebook.com/notes/soe-tjen-marching/perayaan-hari-besar-dan-bahaya-kebisingan/10150222723537499, diakses 31 Mei 2015.

[8] Kusumawijaya, Marco. 2014. Mas Slamet Abdul Sjukur dan Kebisingan Kota. Ayorek, http://ayorek.org/2014/06/slamet-abdul-sjukur-dan-kebisingan-kota/#sthash.pjejo5hL.dpbs, diakses 31 Mei 2015.


[Bersambung » Keheningan yang Berbicara (3)]

.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  




Salah satu karya Slamet Abdul Sjukur, Semut IrengDipersembahkan oleh Bridges Collective: Wendy Grose (soprano), Taryn Richards (flute), Paul Zabrowarny (cello), Brenna Wee (piano)


***



Tidak ada komentar:

Unggulan

Merajut Keterhubungan

Sebuah esai merespons tema pameran Forum Grafika Digital 2017 (FGDexpo 2017), Connectivity (Jakarta Convention Center, 24–27 Agustus 2017). ...