Desain
grafis Indonesia tahun 1970-an
Desain grafis sebagai suatu kegiatan sudah diketahui sejak
abad ke-17, sejalan dengan mulai digunakannya mesin cetak oleh pemerintah
Hindia-Belanda, tetapi istilah desain grafis sendiri barangkali baru mulai
dikenal pada awal 1970-an, saat dua sekolah seni rupa tertua di Indonesia, ITB
dan STSRI Asri, memisahkan jurusan desain grafis (graphic design) dari seni
grafis (graphic art). Di STSRI Asri, menjadi jurusan seni reklame dan seni
ilustrasi grafik yang dikelompokkan sebagai seni terap (applied art), untuk
membedakannya dengan kelompok seni murni (fine art), seperti seni lukis, seni
patung dan seni grafis. Lulusan dari kedua perguruan tinggi ini pun disebut
desainer grafis.
Kala itu, sebagian besar desainer grafis bekerja sebagai karyawan di perusahaan penerbitan (buku, majalah atau koran), perusahaan periklanan, percetakan, atau secara freelance. Ada juga yang memilih spesialisasi tertentu dan bekerja, misalnya di perusahaan packaging (PT GURU) dan perusahaan uang (PERURI). [Lihat: Priyanto Sunarto: Ngobrolin Desain Grafis Tahun 1970an]
Kala itu, sebagian besar desainer grafis bekerja sebagai karyawan di perusahaan penerbitan (buku, majalah atau koran), perusahaan periklanan, percetakan, atau secara freelance. Ada juga yang memilih spesialisasi tertentu dan bekerja, misalnya di perusahaan packaging (PT GURU) dan perusahaan uang (PERURI). [Lihat: Priyanto Sunarto: Ngobrolin Desain Grafis Tahun 1970an]
Tahun 1976, Matari Advertising merintis pemisahan desainer
iklan (khusus above-the-line) dan desainer grafis (khusus below-the-line).
Desainer grafis saat itu rata-rata masih merangkap sebagai art director atau creative
director. Kalau desainer iklan menjadi mata rantai terakhir dari proses panjang
terciptanya sebuah iklan sebelum ditampilkan di media, desainer grafis bisa
saja menjadi satu-satunya mata rantai atau mata rantai utama terciptanya sebuah
karya desain grafis.
Akhir 1970-an dan seterusnya, tumbuh perusahaan-perusahaan
desain grafis yang sepenuhnya dipimpin oleh desainer grafis. Berbeda dengan
biro iklan, perusahaan-perusahaan ini mengkhususkan diri pada desain-desain
non-iklan, beberapa di antaranya adalah Vision (Karnadi), Grapik Grapos
(Wagiono, Djodjo Gozali, S Prinka dan Priyanto S), Citra Indonesia (Tjahjono
Abdi dan Hanny Kardinata) [Lihat: Mengikuti Jalan (2)], dan GUA Graphic (Gauri Nasution).
Di Bandung sebelumnya sudah ada design center Decenta yang didirikan pada tahun 1973, antara lain oleh A.D. Pirous, T. Sutanto, Priyanto S., yang menangani beragam produk desain grafis, mulai dari sampul buku, kartu ucapan, logo, kalender, pameran, dan elemen estetis gedung. Pertumbuhan usaha di bidang desain grafis ini seiring sejalan dengan perkembangan sekolah-sekolah desain grafis, misalnya di Jakarta berdiri LPKJ (1976) dan Trisakti (1979).
Di Bandung sebelumnya sudah ada design center Decenta yang didirikan pada tahun 1973, antara lain oleh A.D. Pirous, T. Sutanto, Priyanto S., yang menangani beragam produk desain grafis, mulai dari sampul buku, kartu ucapan, logo, kalender, pameran, dan elemen estetis gedung. Pertumbuhan usaha di bidang desain grafis ini seiring sejalan dengan perkembangan sekolah-sekolah desain grafis, misalnya di Jakarta berdiri LPKJ (1976) dan Trisakti (1979).
Tapi sampai pada masa itu, masyarakat pada umumnya masih
belum mengerti sepenuhnya apa pekerjaan seorang desainer grafis, walau mereka
bisa melihat produk-produk desain grafis di mana saja di sekeliling mereka.
Orang juga tidak peduli atau tidak merasa perlu tahu siapa sosok di balik
penciptaan berbagai barang yang mereka lihat atau pegang, apalagi menghargainya
sebagai karya seni.
Jakarta
1980. menjelang berdirinya IPGI
Pada tanggal 16-24 Juni 1980 di Pusat Kebudayaan Belanda
Erasmus Huis, jalan Menteng Raya 25, Jakarta diselenggarakan pameran desain
grafis oleh tiga desainer grafis Indonesia: Gauri Nasution, Didit Chris Purnomo
dan Hanny Kardinata, bertajuk “Pameran Rancangan Grafis ‘80 Hanny, Gauri,Didit”. Pameran ini membawa misi utama memperkenalkan profesi desainer grafis
ke masyarakat luas serta memamerkan kekuatan desain grafis modern dalam dunia
perwajahan kita.
Pameran ini tercatat sebagai pameran desain grafis pertama di Indonesia yang diadakan oleh desainer-desainer grafis Indonesia (PameranRancangan Grafis Hanny, Gauri, Didit – Mau Merubah Dunia, Agus Dermawan T., Kompas, 25 Juni 1980, hal. 6). Beberapa pameran seni grafis memang pernah diadakan tetapi bukan pameran desain grafis, sementara pameran-pameran desain grafis yang sebelumnya pernah diadakan mengusung karya desainer-desainer dari luar Indonesia.
Sesuai dengan misi yang disandangnya, pameran ini menyodorkan bukan saja hasil akhir dari berbagai produk desain grafis seperti logo, tipografi, layout majalah, ilustrasi, poster, sampul buku, sampul kaset dll. tetapi juga proses kreatif serta proses cetaknya. Pameran yang diadakan di sebuah pusat kebudayaan ini juga menyiratkan keinginan para senimannya agar karya-karya mereka diapresiasi sebagai sebuah karya seni.
Pameran ini tercatat sebagai pameran desain grafis pertama di Indonesia yang diadakan oleh desainer-desainer grafis Indonesia (PameranRancangan Grafis Hanny, Gauri, Didit – Mau Merubah Dunia, Agus Dermawan T., Kompas, 25 Juni 1980, hal. 6). Beberapa pameran seni grafis memang pernah diadakan tetapi bukan pameran desain grafis, sementara pameran-pameran desain grafis yang sebelumnya pernah diadakan mengusung karya desainer-desainer dari luar Indonesia.
Sesuai dengan misi yang disandangnya, pameran ini menyodorkan bukan saja hasil akhir dari berbagai produk desain grafis seperti logo, tipografi, layout majalah, ilustrasi, poster, sampul buku, sampul kaset dll. tetapi juga proses kreatif serta proses cetaknya. Pameran yang diadakan di sebuah pusat kebudayaan ini juga menyiratkan keinginan para senimannya agar karya-karya mereka diapresiasi sebagai sebuah karya seni.
Logo Pameran Rancangan Grafis '80 Hanny Gauri, Didit karya Gauri Nasution 1980. |
Pada saat yang hampir bersamaan dengan persiapan pameran ini
diadakan juga pertemuan-pertemuan intensif di antara para desainer grafis (saat
itu masih terbatas pada mereka yang tinggal dan bekerja di Jakarta dan Bandung)
untuk mempersiapkan didirikannya sebuah wadah/organisasi bagi para desainer
grafis Indonesia. Organisasi yang akhirnya terbentuk pada tanggal 25 April 1980
itu diresmikan pada tanggal 24 September 1980 dengan nama IPGI (Ikatan
Perancang Grafis Indonesia) bersamaan dengan diselenggarakannya sebuah pameran
besar bertajuk “Grafis ‘80” di Jakarta.
Lahirnya
IPGI (Ikatan Perancang Grafis Indonesia)
IPGI lahir dari gagasan beberapa desainer grafis yang merasa
perlu adanya sebuah wadah menggalang kekuatan untuk menyatakan eksistensi
mereka, agar masyarakat menjadi lebih apresiatif terhadap karya-karya desain
grafis. Pertemuan demi pertemuan yang awalnya terbatas pada mereka yang tinggal
dan bekerja di Jakarta dan Bandung dan diadakan di jalan Padalarang 1-A,
Jakarta (kantor majalah “Visi” almarhum), lambat-laun menumbuhkan semangat
kekeluargaan yang meniadakan batas-batas official di antara mereka, bahkan
membuat isu paling crucial waktu itu – ITB vs Asri atau Yogya vs Bandung –
terkikis habis. Dalam salah satu pertemuan, para peserta mendaulat Sadjiroen
(alm.), perancang mata uang RI kawakan, agar membubuhkan tulisan tangannya
untuk dipakai sebagai logo IPGI.
Memasuki perumusan AD/ART, kode etik, program kerja,
kepengurusan, dsb, diputuskan untuk membentuk Badan Pendiri yang terdiri dari 9
orang: Sadjiroen, Sutarno, Suprapto Martosuhardjo, S.J.H. Damais, Bambang
Purwanto, Chairman, Wagiono, Didit Chris Purnomo dan J. Leonardo N. Mereka lalu
merumuskan program kerja dan membentuk pengurus sementara (PS) untuk
melaksanakannya. PS terbentuk pada tanggal 25 April 1980 dengan susunan:
Ketua: Wagiono
Wakil Ketua: Karnadi
Sekretaris 1: Didit Chris Purnomo
Sekretaris 2: J Leonardo N.
Bendahara: Hanny Kardinata
Dibantu beberapa koordinator bidang:
Pameran: F.X. Harsono, S. Prinka
Publikasi dan Buletin: Tjahjono Abdi
Hubungan Masyarakat: Agus Dermawan T.
Dokumentasi dan Perpustakaan: Helmi Sophiaan
Pendidikan dan Ceramah: Hanny Kardinata
Lima bulan kemudian (24 September 1980), IPGI memproklamasikan kelahirannya dalam sebuah pameran perdana bertajuk Grafis’80 yang berlangsung hingga tanggal 30 September 1980 di Wisma Seni Mitra Budaya, Jalan Tanjung 34, Jakarta yang diresmikan oleh Joop Ave (yang bersama A.D. Pirous dan S.J.H. Damais merupakan trio penasehat IPGI). Antusiasme 47 peserta pameran terlihat dari membludaknya jumlah karya yang dipamerkan, hingga nyaris memenuhi seluruh pelosok gedung. Hampir semua jenis produk desain grafis bisa dijumpai, mulai karcis parkir, kemasan biskuit, kwitansi, layout koran, bahkan kantong semen menyadarkan pengunjung awam bahwa benda-benda yang setiap hari mereka lihat di sekeliling mereka itu merupakan hasil kerja desain grafis. Bukan hanya hasil akhirnya, tapi untuk beberapa produk – seperti perangko dan uang kertas – juga diperagakan gambar aslinya sebelum dicetak. Pengunjung juga bisa menyaksikan proses bagaimana sebuah sampul kaset atau bungkus obat bisa terjadi, atau bagaimana sebuah film animasi iklan dibuat, yang memang ditujukan untuk menjawab tanda tanya mengenai mengapa yang demikian ini disebut seni.
Ketua: Wagiono
Wakil Ketua: Karnadi
Sekretaris 1: Didit Chris Purnomo
Sekretaris 2: J Leonardo N.
Bendahara: Hanny Kardinata
Dibantu beberapa koordinator bidang:
Pameran: F.X. Harsono, S. Prinka
Publikasi dan Buletin: Tjahjono Abdi
Hubungan Masyarakat: Agus Dermawan T.
Dokumentasi dan Perpustakaan: Helmi Sophiaan
Pendidikan dan Ceramah: Hanny Kardinata
Lima bulan kemudian (24 September 1980), IPGI memproklamasikan kelahirannya dalam sebuah pameran perdana bertajuk Grafis’80 yang berlangsung hingga tanggal 30 September 1980 di Wisma Seni Mitra Budaya, Jalan Tanjung 34, Jakarta yang diresmikan oleh Joop Ave (yang bersama A.D. Pirous dan S.J.H. Damais merupakan trio penasehat IPGI). Antusiasme 47 peserta pameran terlihat dari membludaknya jumlah karya yang dipamerkan, hingga nyaris memenuhi seluruh pelosok gedung. Hampir semua jenis produk desain grafis bisa dijumpai, mulai karcis parkir, kemasan biskuit, kwitansi, layout koran, bahkan kantong semen menyadarkan pengunjung awam bahwa benda-benda yang setiap hari mereka lihat di sekeliling mereka itu merupakan hasil kerja desain grafis. Bukan hanya hasil akhirnya, tapi untuk beberapa produk – seperti perangko dan uang kertas – juga diperagakan gambar aslinya sebelum dicetak. Pengunjung juga bisa menyaksikan proses bagaimana sebuah sampul kaset atau bungkus obat bisa terjadi, atau bagaimana sebuah film animasi iklan dibuat, yang memang ditujukan untuk menjawab tanda tanya mengenai mengapa yang demikian ini disebut seni.
“Seseorang pasti tak sadar bahwa setiap hari ia sebenarnya mengantongi benda
seni di sakunya. Benda itu adalah uang. Uang itu seni, karena sebelum ia keluar
dari bank, ia dirancang dahulu oleh seorang seniman. Di Jakarta, setiap hari
disebarkan jutaan barang seni. Barang itu adalah: karcis bis. Siapa sadar bahwa
benda itu seni? Pameran itu seolah menyadarkan kita, bahwa seni tak hanya yang
bisa kita tonton dalam pertunjukan formal saja, tapi juga pada yang melekat
dalam kehidupan sehari-hari kita” (Pameran Grafis ‘80 – Karcis Parkir, UangKertas sampai Karung Semen, Leonardo, Gadis no. 29, hal. 62).
Poster, sekaligus brosur pameran pertama Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI) Grafis '80 karya Tjahjono Abdi, 1980. |
Selama pameran, diadakan temu muka dengan siswa/mahasiswa
yang orientasi studinya berhubungan dengan desain grafis, seperti STM Grafika,
Seni Rupa Trisakti dan IKJ (d/h LPKJ). Priyanto S. dan S. Prinka, dua eksponen
IPGI yang waktu itu mengajar di Trisakti dan LPKJ, bahkan mewajibkan seluruh
mahasiswanya untuk menghadiri pameran. Pameran ini sekaligus menjadi ajang temu
desainer grafis terbesar yang pernah terjadi di Indonesia.
Beberapa nama yang ikut menampilkan karyanya: Achmad Rumyar, Achmad Sadimin, Bambang Purwanto, Bambang Sidharta, Deddy Budiman, Dicky Mulyadi, Didit Chris Purnomo, Djodjo Gozali, Dwi Koendoro, Gauri Nasution, G.M. Sudarta, Hanny Kardinata, Indarsyah, Karnadi Mardio, J. Leonardo N., Markoes Djajadiningrat, Pramono, Priyanto S., Sadjiroen, Slamet Sugiyanto, Suyadi ‘Pak Raden’, Suyono Palal, S. Prinka, Teddy Sam Natasasmita, T. Sutanto, Tjahjono Abdi, Wagiono, Wendy Bari, dan Yusuf Razak.
Beberapa nama yang ikut menampilkan karyanya: Achmad Rumyar, Achmad Sadimin, Bambang Purwanto, Bambang Sidharta, Deddy Budiman, Dicky Mulyadi, Didit Chris Purnomo, Djodjo Gozali, Dwi Koendoro, Gauri Nasution, G.M. Sudarta, Hanny Kardinata, Indarsyah, Karnadi Mardio, J. Leonardo N., Markoes Djajadiningrat, Pramono, Priyanto S., Sadjiroen, Slamet Sugiyanto, Suyadi ‘Pak Raden’, Suyono Palal, S. Prinka, Teddy Sam Natasasmita, T. Sutanto, Tjahjono Abdi, Wagiono, Wendy Bari, dan Yusuf Razak.
Awal
perjalanan IPGI
Wagiono yang kemudian melanjutkan studinya ke Amerika
(1982-1984), digantikan oleh Karnadi sebagai pejabat ketua. Kegiatan
kepengurusan IPGI selanjutnya berjalan dari workshop ke workshop dan beberapa
pameran keliling, melengkapi kegiatan-kegiatan Departemen Penerangan, juga
Departemen Perdagangan yang berjalan hingga ke Bandung, Yogya, Padang, dll. Di
samping itu, para pengurus IPGI juga sering diminta menjadi pembicara dalam
kegiatan-kegiatan kemahasiswaan di kampus-kampus.
Periode awal 1980-an mencatat perkembangan jumlah perusahaan
desain grafis yang cukup signifikan di Jakarta, antara lain (selain dari yang
sudah disebut di depan): Gugus Grafis (FX Harsono, Gendut Riyanto), Polygon
(Ade Rastiardi, Agoes Joesoef), Adwitya Alembana (Iwan Ramelan, Djodjo Gozali),
dan di Bandung: Zee Studio (Iman Sujudi, Donny Rachmansjah), MD Grafik (Markoes
Djajadiningrat), Studio “OK!” (Indarsjah dkk), dll.
Walau demikian, situasi dirasa belum beranjak jauh dari
tahun 1980, ketika IPGI mencanangkan pameran pertamanya. Apresiasi yang masih
minim terhadap profesi ini, mendesak para pengurus IPGI untuk merencanakan
sebuah pameran besar lagi. Kali ini, bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta,
pameran ke-2 pun digelar pada tanggal 22-31 Agustus 1983 di Galeri Utama TIM,
Jakarta dengan tajuk “Grafis ‘83”.
Ini adalah untuk pertama kalinya —setelah 15 tahun berdiri—Dewan Kesenian Jakarta dan TIM menyelenggarakan sebuah pameran seni terpakai. Hal ini menjadi pertanda minimnya perhatian yang diberikan terhadap desain grafis dibanding seni lukis, seni patung atau seni grafis. Sudarmadji, Ketua Dewan Pekerja Harian Dewan Kesenian Jakarta dalam sambutannya pada katalog pameran mengungkap, “Kemasan pasta gigi atau sabun, jika isinya sudah diambil dan digunakan, maka kemasan (pembungkusnya) langsung begitu saja dibuang. Poster atau reklame yang terpampang di jalan, begitu tahu isinya, habis perkara. Jarang yang penghayatannya dilanjutkan dari aspek artistik dan estetisnya” (Sambutan Ketua Dewan Pekerja Harian Dewan Kesenian Jakarta pada Pameran IPGI: Grafis ’83, Sudarmadji, katalog pameran Grafis ‘83, hal. 2).
Ini adalah untuk pertama kalinya —setelah 15 tahun berdiri—Dewan Kesenian Jakarta dan TIM menyelenggarakan sebuah pameran seni terpakai. Hal ini menjadi pertanda minimnya perhatian yang diberikan terhadap desain grafis dibanding seni lukis, seni patung atau seni grafis. Sudarmadji, Ketua Dewan Pekerja Harian Dewan Kesenian Jakarta dalam sambutannya pada katalog pameran mengungkap, “Kemasan pasta gigi atau sabun, jika isinya sudah diambil dan digunakan, maka kemasan (pembungkusnya) langsung begitu saja dibuang. Poster atau reklame yang terpampang di jalan, begitu tahu isinya, habis perkara. Jarang yang penghayatannya dilanjutkan dari aspek artistik dan estetisnya” (Sambutan Ketua Dewan Pekerja Harian Dewan Kesenian Jakarta pada Pameran IPGI: Grafis ’83, Sudarmadji, katalog pameran Grafis ‘83, hal. 2).
Rapat-rapat persiapan pameran IPGI |
Selain produk serupa yang ditampilkan pada Grafis’80, pameran
Grafis’83 juga menampilkan karya-karya logo, perangko, uang, sampul kaset,
buku, kartu undangan, berbagai kemasan mulai dari botol obat sampai bungkus
permen, dll. Pameran ini melibatkan sekitar 90 desainer grafis Indonesia yang
memajang tak kurang dari 300 karya yang diproduksi antara tahun 1980–1983.
Selain wajah-wajah lama, desainer grafis yang juga ikut serta: Agoes Joesoef,
Bambang Bargowo, Bambang Trenggono, Budi Mandiro, Chairin Hayati Joeda,
Danardana, Dewi Nursalim, Dicksy Iskandar, Djoen Saptohadi, Gendut Riyanto, Harianto I.R., Lesin, Mulyadi W., Piet Hari Santosa, Sita Subijakto,
Tarmizi Firdaus, T. Ramadhan Bouqie, dll.
Ilustrasi pada poster atau katalog pameran buah tangan
Tjahjono Abdi (alm.), menggambarkan seorang gadis Bali – memakai sumping dan
aksesori lainnya, tetapi dengan rambut bergaya punk – sedang menyemprot pipinya
dengan alat air brush, menyiratkan, “… perancang grafis Indonesia yang setengah
kepalanya masih berbau Barat sedang membenahi diri, sedang mencari rancangan
grafis yang memiliki kualitas khusus dan wajah spesifik.” (Pameran RancanganGrafis IPGI: Bikin Hidup Berseri-seri, Agus Dermawan T, Kompas, 26 Agustus
1983, hal. 6 / Sang Perancang yang Belum Tampil, Bambang Bujono).
Tahun 1987, Wagiono yang telah pulang ke Indonesia dan
kembali menjabat sebagai ketua, mewakili IPGI mengikuti kongres ICOGRADA di
Amsterdam yang diselenggarakan oleh BNO (organisasinya desainer Belanda). Ia
sekaligus mendaftarkan IPGI sebagai anggota ICOGRADA, yang biaya keanggotaannya
dipikul bersama oleh beberapa perusahaan desain grafis. Peserta kongres dari
Indonesia selain Wagiono, ada Indarsjah dan Alfonso yang saat itu sedang berada
di Belanda dan bekerja di Studio Dumbar dan Deodato (Henk de Fries) dan
terlibat membantu BNO dalam menyelenggarakan kongres tersebut.
IPGI-JAGDA
Sekitar tahun itu juga, Nobu Miyazaki, seorang desainer
anggota JAGDA (Japan Graphic Designers Association) yang bekerja sebagai tenaga
ahli di sebuah perusahaan iklan di Jakarta, menggagas pameran bersama IPGI dan
JAGDA. [Lihat: Mengikiuti Jalan (4)]. Pusat Kebudayaan Jepang/Japan Foundation, baik yang di kantor pusatnya
di Tokyo mau pun yang di Jakarta dilibatkan untuk mengatur lalu lintas
karya-karya JAGDA.
Pameran Grafis Jepang-Indonesia yang pertama diadakan di
Galeri Ancol, Pasar Seni Ancol, Jakarta pada tanggal 9-15 Februari 1988. JAGDA
menghadirkan 196 poster karya terbaru lebih dari 100 desainer terkemuka Jepang,
diantaranya Yusaku Kamekura, U.G. Sato, Shigeo Fukuda, Shin Matsunaga, Ikko
Tanaka, Kazumasa Nagai, Hiroshi Sato dan banyak lagi, yang selama ini hanya
bisa dinikmati melalui buku-buku grafis. Sementara karya puluhan desainer
Indonesia hadir tak hanya dalam bentuk poster, tapi juga leaflet, brosur,
layout majalah, logo, kalender, dsb. Pameran kemudian dilanjutkan di Aula Timur
ITB, Jalan Ganesha 10, Bandung, di mana seusai pameran, seluruh poster JAGDA
dihibahkan kepada Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. [Lihat: Pameran Desain Jepang-Indonesia: Jepang Agresif, Indonesia Mengalah, Agus Dermawan T. / Poster tanpa Teriakan, Sanento Yuliman]
Sukses dengan pameran pertama, pameran ke-2 pun segera
digagas. Kali ini direncanakan bukan saja singgah ke Bandung tapi juga merambah
hingga ke Yogya. Miyazaki juga mengajukan gagasan untuk mendatangkan Shigeo
Fukuda sebagai pembicara ke Jakarta dengan bantuan pembiayaan dari Japan
Foundation. Fukuda adalah desainer grafis Jepang yang merupakan tokoh terkemuka
dalam perkembangan desain grafis dan ilustrasi internasional. Ia telah dianggap
sebagai pelopor generasi ke-2 desainer grafis Jepang bersama Tadanori Yokoo,
Mitsuo Katsui, Ikko Tanaka dan lain-lain.
Pameran Grafis Jepang-Indonesia yang kedua, kali ini dengan
tajuk “Grafis ‘89” diselenggarakan berturutan di tiga kota: tanggal 23-30 Maret
di Gedung Pameran Seni Rupa Depdikbud (sekarang Galeri Nasional) di jalan
Merdeka Timur 14, Jakarta; tanggal 12-20 April 1989 di Yayasan Pusat
Kebudayaan, jalan Naripan, Bandung dan tanggal 26 April-3 Mei di Kampus
Institut Seni Indonesia di jalan Gampingan, Yogya. JAGDA kembali menghadirkan
karya-karya poster terbaru mereka dan IPGI tetap dengan beragam produk desain
grafis. Dan pada tanggal 29 Maret 1989, Fukuda menjadi pembicara dalam sebuah
ceramah di Pusat Kebudayaan Jepang, Summitmas Tower lantai 2, Jakarta.
Menurut Fukuda masyarakat Jepang pun tadinya tidak
menganggap produk desain grafis sebagai karya seni. Fukuda mengungkap, “Tapi
saat ini Jepang sudah mulai mengakui graphic design sebagai seni. Hal itu
ditunjukkan dengan membuat museum poster, yang setahun lagi akan selesai.
Sejauh ini, poster-poster di Jepang segera dibuang setelah dipakai; berbeda
sekali dengan Amerika, Chekoslovakia, Belanda, Perancis dan Polandia yang sejak
lama telah menyimpan dan menghargai poster sebagai benda seni. Dan di Jepang,
kehadiran museum poster yang sedang dibangun itu merupakan perlakuan serta
sikap baru yang jelas berbeda.”
Mengenai desain grafis Indonesia, Fukuda berpesan: “Jepang
telah melalui tahap-tahap tertentu untuk sampai ke puncaknya dalam 20 tahun terakhir
ini. Ada baiknya Indonesia memerhatikan langkah-langkah yang telah ditempuh
Jepang, dan jangan punya ambisi untuk melompat-lompat agar segera sampai di
puncak, meskipun secara ajaib hal yang khusus ini terjadi pada Korea. Dalam
bidang apa pun, budaya, sastra, dan lainnya, terdapat generasi yang di dalamnya
perlu ada persaingan agar bisa maju. Bagus bila Indonesia secara periodik
mengumpulkan seniman-seniman grafis untuk berpameran, hingga selalu didapatkan
masukan-masukan tertentu sebagai titik untuk maju terus.” [Lihat: Wawancara dengan Shigeo Fukuda-JAGDA dalam Rangka Pameran Grafis Indonesia-Jepang: Grafis ’89*]
Selain di Jakarta dan Bandung, tanggal 4 April 1989, Fukuda
juga menjadi pembicara di Yogya dalam sebuah simposium untuk melepas R. Soetopo
(alm.)—yang memasuki masa pensiunnya sebagai pengajar di Fakultas Seni Rupa
dan Disain ISI (d/h STSRI Asri). Hadir juga sebagai salah satu pembicara,
Wagiono—dalam kapasitasnya sebagai Ketua IPGI—membawakan makalahnya
berjudul Masalah Profesi Perancang Grafis di Indonesia.
Wagiono mengupas berbagai masalah yang sedang dihadapi profesi ini, seperti dominasi mekanisme pasar yang mengakibatkan erosi dalam daya cipta, tiadanya standar yang seragam dalam menentukan design fee, tiadanya kejelasan mengenai lembaga yang seharusnya membina profesi desainer grafis (Departemen Perdagangan, Penerangan, Depdikbud atau Bappenas?) dan adanya keberagaman tingkat profesionalisme yang menghasilkan mutu desain yang beragam juga.
Wagiono mengingatkan, masalah keprofesian yang banyak dan saling terkait ini tak bisa diatasi hanya oleh IPGI sendiri. Dalam penutupnya ia berharap, “Mudah-mudahan, di masa datang IPGI dapat menjadi organisasi yang efektif di dalam menghadapi berbagai permasalahan desain dan penghargaan pada desain serta desainer grafis di Indonesia. Cita-cita para pendiri dan anggota senior IPGI sama dengan aspirasi kita semua, yaitu bahwa pada suatu saat kita bisa mengangkat wajah desain Indonesia menjadi salah satu kekuatan yang perlu disimak di dunia internasional” (Masalah Profesi Perancang Grafis di Indonesia, Wagiono, Booklet Simposium Disain Grafis Fakultas Seni Rupa dan Disain, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta dalam rangka Purna Bhakti R. Soetopo sebagai tenaga pengajar Fakultas Seni Rupa dan Disain, hal. 32-36). [Lihat: Sekilas Gambaran Periklanan Tiga Zaman di Indonesia Antara Tahun 1942-1952 (Suatu Rekaman Pengalaman), R. Soetopo Mangkoediredjo]
Wagiono mengupas berbagai masalah yang sedang dihadapi profesi ini, seperti dominasi mekanisme pasar yang mengakibatkan erosi dalam daya cipta, tiadanya standar yang seragam dalam menentukan design fee, tiadanya kejelasan mengenai lembaga yang seharusnya membina profesi desainer grafis (Departemen Perdagangan, Penerangan, Depdikbud atau Bappenas?) dan adanya keberagaman tingkat profesionalisme yang menghasilkan mutu desain yang beragam juga.
Wagiono mengingatkan, masalah keprofesian yang banyak dan saling terkait ini tak bisa diatasi hanya oleh IPGI sendiri. Dalam penutupnya ia berharap, “Mudah-mudahan, di masa datang IPGI dapat menjadi organisasi yang efektif di dalam menghadapi berbagai permasalahan desain dan penghargaan pada desain serta desainer grafis di Indonesia. Cita-cita para pendiri dan anggota senior IPGI sama dengan aspirasi kita semua, yaitu bahwa pada suatu saat kita bisa mengangkat wajah desain Indonesia menjadi salah satu kekuatan yang perlu disimak di dunia internasional” (Masalah Profesi Perancang Grafis di Indonesia, Wagiono, Booklet Simposium Disain Grafis Fakultas Seni Rupa dan Disain, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta dalam rangka Purna Bhakti R. Soetopo sebagai tenaga pengajar Fakultas Seni Rupa dan Disain, hal. 32-36). [Lihat: Sekilas Gambaran Periklanan Tiga Zaman di Indonesia Antara Tahun 1942-1952 (Suatu Rekaman Pengalaman), R. Soetopo Mangkoediredjo]
IPGI pada konferensi ICOGRADA “Design Renaissance” di Glasgow, Scotlandia, 1993 Ki-ka: Wagiono, Shigeo Fukuda, Yongky Safanayong dan isteri FHK Henrion (pendiri ICOGRADA, desainer logo KLM). |
JADEX‘92
Upaya menyejajarkan desain dengan cabang kesenirupaan yang
lain, juga menjadi landasan kurasi “Jakarta Art & Design Expo‘92” atau
“JADEX‘92” yang digelar di Jakarta Design Center tanggal 25–30 September 1992.
Untuk pertama kalinya semua cabang seni rupa—seni lukis, seni patung, seni
grafis, seni serat, seni keramik, instalasi, desain interior, desain grafis,
desain produk, desain tekstil, desain busana, desain aksesori, kria kayu, kria
keramik dan kria bambu—‘dipersatukan’ dalam sebuah pameran besar.
“Sejauh ini, pengkajian kemungkinan persentuhan itu—khususnya melalui sebuah pameran—belum dilakukan. Pameran-pameran yang diselenggarakan umumnya berkaitan dengan keutamaan masing-masing cabang seni rupa yang lalu lebih menunjukkan perbedaan. Pameran desain, mengutamakan aspek fungsi dan kaitannya dengan berbagai bidang usaha. Pameran lukisan, patung atau grafis, bila tak menekankan tujuan menjual, terlalu sibuk dengan apresiasi” (Kembali ke Satu Seni Rupa, Jim Supangkat, katalog pameran Jadex ‘92, hal. 18). Lihat juga: Seni Rupa Sehari-hari Menentang Elitisme, Jim Supangkat & Sanento Yuliman[
“Sejauh ini, pengkajian kemungkinan persentuhan itu—khususnya melalui sebuah pameran—belum dilakukan. Pameran-pameran yang diselenggarakan umumnya berkaitan dengan keutamaan masing-masing cabang seni rupa yang lalu lebih menunjukkan perbedaan. Pameran desain, mengutamakan aspek fungsi dan kaitannya dengan berbagai bidang usaha. Pameran lukisan, patung atau grafis, bila tak menekankan tujuan menjual, terlalu sibuk dengan apresiasi” (Kembali ke Satu Seni Rupa, Jim Supangkat, katalog pameran Jadex ‘92, hal. 18). Lihat juga:
Lebih dari 400 karya yang dihasilkan 170 seniman selama
empat tahun terakhir digelar menempati dua lantai JDC. Lantai pertama untuk
stan-stan yang ditempati oleh sekolah-sekolah seni rupa dan lembaga-lembaga
terkait. Stan IPGI termasuk di antaranya. Lantai kedua seluruhnya diperuntukkan
pameran utama, dan untuk pertama kalinya pengunjung bisa menyaksikan misalnya
kursi rotan yang dipajang berdekatan dengan karya desain grafis atau fotografi,
atau sebuah karya patung yang terletak bersebelahan dengan jajaran busana.
Beberapa anggota IPGI yang ikut serta dalam pameran ini adalah Aten Waluya,
Bambang Sidharta, Donny Rachmansjah, Gauri Nasution, Hanny Kardinata, Iman Sujudi,
Lessy Sebastian, Priyanto Sunarto, T. Ramadhan Bouqie, Tjahjono Abdi, dan Yongky
Safanayong.
Berakhirnya
IPGI
Setelah JADEX‘92, pada tahun 1993 kegiatan pengurus terfokus
pada persiapan untuk menyelenggarakan kongres. Kongres pertama IPGI diadakan di
Jakarta Design Center pada tanggal 7 Mei 1994. Acara yang semula tidak
diagendakan mencuat dan berjalan alot di awal kongres, ketika bergulir wacana
untuk mengganti nama IPGI menjadi ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia).
Usulan yang berasal dari kelompok anggota yang tidak ikut mendirikan IPGI ini
mengemuka dengan alasan supaya lebih internasional. Sementara seluruh anggota
yang terlibat dalam pendirian IPGI menolak penggantian nama, bukan saja karena
nilai-nilai sejarahnya, tapi juga karena kaidah berbahasa Indonesia yang baik
yang seyogyanya lebih mengutamakan pemakaian kata yang sudah ada (ikatan dan
perancang) daripada padanannya yang berasal dari bahasa asing (asosiasi dan
desainer). Priyanto S. dan S. Prinka misalnya, tidak menyukai kata desain karena
kesannya yang sok gedongan. Kata ‘perancang’ jadi alternatif supaya sama dengan
PAPMI (Persatuan Ahli Perancang Mode Indonesia), juga perancang bunga/janur
pengantin dll. yang lebih egaliter. Juga supaya berbeda dengan IADI (Ikatan
Ahli Desain Indonesia) yang sudah ada duluan (1970-an) atau dengan HDII
(Himpunan Desainer Interior Indonesia). Tetapi ketika diadakan pemungutan
suara, kubu yang menolak ternyata kalah suara. Penggantian nama pun direlakan
dengan harapan organisasi akan berjalan lebih baik. Acara kongres selanjutnya
berjalan lancar sesuai agenda: serah terima jabatan dari pengurus IPGI ke
pengurus ADGI (Ketua: Iwan Ramelan, Sekretaris: Irvan Noe’man), pemilihan
President Elect (Gauri Nasution), pengesahan AD/ART dan kode etik serta
pengesahan Majelis Desain Grafis. Sejak hari itu, IPGI resmi menjadi ADGI (yang
pada tahun 2006 direvitalisasi menjadi Adgi-Indonesia Design Professionals
Association).
Kongres IPGI di Jakarta Design Center, 7 Mei 1994. Ki-ka: Yongky Safanayong, Kay Sirie, Djodjo Gozali, Wagiono, Iwan Ramelan dan Irvan Noe’man. |
Hanny Kardinata
18 Maret 2007
Catatan: Diedit dari Situs DGI, 18 Maret 2007 » Sejarah IPGI-Upaya Menumbuhkan Apresiasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar