“Jika kau ingin pergi cepat, pergilah sendiri. Jika kau ingin pergi jauh, pergilah bersama-sama.” —Pepatah Afrika, The Good Lie (2014)
Jalan bersama
Pada saat bersamaan dengan persiapan Pameran Rancangan Grafis ‘80: Hanny, Gauri, Didit itu, saya juga bergabung dalam upaya-upaya intens mendirikan sebuah perkumpulan bagi desainer grafis. Belasan desainer dari Jakarta dan Bandung giat mengikuti pertemuan-pertemuan yang diadakan di kantor majalah Visi (sebelumnya bernama Maskulin) di jalan Padalarang 1A [Lihat: Nada dalam Tautan Bidang-Bidang (2)]. Kebanyakan dari yang hadir pernah menempuh studi di Institut Teknologi Bandung (ITB), atau Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) Asri, Yogyakarta, tapi ada juga satu dua yang telah mengecap pendidikan di luar negeri, di Eropa atau Amerika. Dalam beberapa pertemuan itu, Gauri dan Didit menjadi tuan rumahnya. Mereka berdua adalah perancang grafis majalah Visi.
Maka peristiwa ini juga menjadi ajang silaturahmi antar desainer grafis yang kebanyakan baru pertama kalinya itu bertemu muka. Banyak di antaranya yang berkarya di ladang-ladang yang sangat spesifik; ada desainer perangko, desainer uang, desainer kemasan, dan lain-lain.
Karena adanya kebutuhan bersama untuk berserikat, sekat-sekat perbedaan yang ada seperti terabaikan. Yang tersisa hanyalah semangat persaudaraan dan kebersamaan, yang dibalut oleh solidaritas, serta tekad untuk maju bersama. Salah satu isu paling krusial masa itu, seperti ITB vs Asri, atau Bandung vs Yogyakarta tertepis begitu saja oleh hadirnya semangat ini. Takjub juga saya menyaksikan, misalnya bagaimana Tjahjono Abdi (1952–2005) yang konon kerap bersitegang dengan Syahrinur Prinka (1947–2004)—tatkala keduanya berkarya bersama di biro iklan Matari—tampak larut dalam perbincangan yang intim. Prinka dan rekan sejawatnya, Priyanto Sunarto (1947–2014) [Lihat: Train-set yang Apa Adanya] yang bawaannya tak jauh dari canda dan tawa juga kerap membuat suasana pertemuan menjadi semakin guyub.
Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI) pada akhirnya terbentuk pada 25 April 1980. Sadjiroen (l. 1931), yang tertua di antara semua yang hadir, didaulat untuk membubuhkan coretan tangannya guna dipakai sebagai logo IPGI (Gb. 2). Aplaus meriah pun diberikan ketika ia menyelesaikan goresannya dengan sekali jadi.
2. Logo Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI), buah coretan tangan Sadjiroen Del, anggota tertua IPGI.
|
Sadjiroen berkarya sebagai desainer uang Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri). Karya ciptanya antara lain berupa uang Seri Sudirman mulai dari pecahan Rp. 5 hingga Rp. 10.000. Dan bersama seniornya di Peruri, ia juga merancang uang Rp. 10, Rp. 50, dan Rp. 500 (1958); Rp. 10 (1963), serta Rp. 50 dan Rp. 100 (1964).
Tapi berdirinya perkumpulan ini baru diresmikan pada 24 September 1980 bersamaan dengan diselenggarakannya sebuah pameran besar bertajuk Grafis ’80 di Wisma Seni Mitra Budaya. Peresmiannya dilakukan oleh Joop Ave (1934–2014), yang bersama A.D. Pirous (l. 1932) dan Soedarmadji Jean-Henry Damais (l. 1942) [Lihat: Keheningan yang Berbicara (1)] merupakan trio penasihat IPGI.
Berbagai ragam produk desain grafis digelar dalam pameran ini, mulai dari karcis parkir, kemasan biskuit, kuitansi, koran, majalah, hingga kantong semen; memenuhi semua ruang yang ada, bahkan menyeberang sampai ke ruang belakang melewati ruang sekretariat di bagian tengah gedung. Dan bukan hanya hasil akhirnya, beberapa produk desain, seperti perangko dan uang kertas diperagakan gambar aslinya (sebelum dicetak). Pengunjung juga bisa menyaksikan proses bagaimana sebuah sampul kaset atau bungkus obat tercipta, atau bagaimana sebuah film animasi iklan dibuat.
Saya yang tinggal hanya beberapa belas meter jaraknya dari lokasi pameran—hanya perlu waktu 2–3 menit untuk mencapainya dengan berjalan kaki [Lihat: Mengikuti Jalan (1)]—menjadi saksi mata antusiasme pengunjung setiap harinya. Menyaksikan arus pengunjung yang masih terus mengalir, pihak pengelola Mitra Budaya akhirnya merekomendasikan perpanjangan waktu pameran. Maka pameran pun diperpanjang selama dua hari menjadi hingga tanggal 30 September 1980. Lihat juga: Sejarah Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI): Upaya Menumbuhkan Apresiasi]
Nafas keindonesiaan
“Selama kita kebarat-baratan maka kita tidak akan pernah bisa bersaing dengan Barat.” —Hanny Kardinata (l. 1953)
Masih pada tahun yang sama, bersama Tjahjono Abdi [Lihat: Sang Maestro dengan Tempo Allegro], S.J.H. Damais (Mas Adji), dan Erwin Indarto, saya mendirikan studio grafis Citra Indonesia (CI). Bagian depan rumah Mas Adji di jalan Sunda 5A kami pakai seluruhnya untuk kantor, menyisakan hanya ruang perpustakaan dan kamar tidur pribadinya. Rumah yang ditempati oleh Mas Adji ini adalah sebagian kecil dari rumah peninggalan ayahnya, di sebagian yang lainnya tinggal ibunya R.A. Soedjatoen Poespokoesoemo, dan kakaknya Tamara.
Mas Adji adalah putera Louis-Charles Damais (1911–1966), ilmuwan, sejarawan, penulis buku Epigrafi dan Sejarah Nusantara (1995), guru di École Pratique des hautes Études (EPHE), yang bekerja bagi lembaga École française d’Extrême-Orient (EFEO). Di masa lalu, sebagai wakil EFEO di Indonesia, L.C. Damais bekerja di rumahnya ini yang diubahnya menjadi kantor EFEO [Lihat: Keheningan yang Berbicara]. Sepeninggal ibu dan kakaknya Tamara, adik Mas Adji, desainer dan kolektor batik Asmoro Damais, mengubah rumah ini sebagai tempatnya berkarya dengan mengusung label Parang Akiq.
Maka dengan lingkungan seperti itu, wajar bila tamu dan klien CI pada awalnya kebanyakan berasal dari lingkar seni dan budaya. Juga dari kalangan sejarah dan arkeologi. Kondisi itu memberi peluang lebih kepada kami untuk mengeksplorasi konsep rancangan yang memiliki nafas keindonesiaan. Selain Mas Adji sendiri sebagai nara sumber, perpustakaannya yang sebagian besar merupakan warisan ayahnya itu pun menjadi sumber referensi yang tak ternilai.
Di antara tamu dan klien CI, ada beberapa orang yang kemudian menjadi teman baik saya, seperti komponis Slamet Abdul Sjukur (1935–2015) [Lihat: Keheningan yang Berbicara], arkeolog Wahyono Martowikrido (1942–2009), dan penyiar radio Ratna Kartolo. Ada lagi seseorang yang sekilas tidak begitu menarik perhatian, ia adalah tukang batu yang kerap datang bekerja untuk Mas Adji. Di dalam dirinya yang pendiam dan sedikit pemalu itu bergejolak semangat dan keteguhan hati yang kelak melambungkan namanya di kancah seni lukis Indonesia. Namanya Arifien Neif (l. 1955).
[Bersambung » Mengikuti Jalan (3)]
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar