25.11.17

Mengikuti Jalan (4)

[Sambungan dari: Mengikuti Jalan (3). Bagian ketiga dari lima bagian]


Kedalaman dialog
Choose a job you love, and you will never have to work a day in your life.” —Confucius (551?–479? SM)
Suatu hari, masih di kisaran 1987, saya sedang berada di ruang kerja saya, ketika resepsionis CI, Martha memberitahu bahwa ada telepon dari Yazuo Nakajima. Nakajima adalah seorang ahli manajemen warna berkebangsaan Jepang yang ditempatkan di perusahaan repro Garuda Warna Scan, Jakarta. Melalui telepon, ia menyampaikan bahwa seorang kawannya, desainer grafis Jepang ingin bertemu. 

Maka sesuai dengan waktu dan tempat yang disepakati, kami pun kemudian berjumpa bertiga. Nakajima memperkenalkan temannya itu, Nobu Miyazaki sebagai anggota Japan Graphic Designers Association (JAGDA) yang bekerja di Indonesia sebagai tenaga ahli di sebuah biro iklan di Jakarta. 

Pria santun itu rupanya diam-diam memperhatikan gerak langkah IPGI selama ini. Ia menyatakan keinginannya membantu IPGI dalam memajukan desain grafis Indonesia. Gagasan awalnya adalah menggalang pameran bersama antara IPGI dan JAGDA. Pendanaannya akan diupayakan agar bisa dipikul sepenuhnya oleh Japan Foundation. Tentu saja gagasannya yang disampaikannya dengan tulus itu saya sambut dengan gembira. Di akhir peretemuan, kami berjabat erat dan saya berjanji akan mengabarinya kembali setelah meneruskan berita baik itu kepada rekan-rekan pengurus lainnya.

Bisa diduga bahwa kabar baik itu pun disambut dengan suka cita oleh para pengurus IPGI. Serangkaian pertemuan internal pun diadakan guna mempersiapkan pameran berkelas internasional itu. 

Karena relasi dengan pihak Jepang, baik dengan Miyazaki sendiri sebagai wakil JAGDA maupun dengan Japan Foundation berlanjut terus melalui saya, maka perlahan-lahan kantor saya bertambah fungsinya, merangkap sebagai sekretariat tak resmi dengan “mengkaryakan” dua tenaga traffic department CI, Suli dan Gretha untuk membantu saya mengurus persiapan pameran. Saya juga melibatkan Dewi Lieke (Kay), salah seorang tenaga kreatif CI dalam pertemuan-pertemuan dengan para pengurus IPGI.  

Pameran desain grafis Indonesia-Jepang yang pertama bertajuk Grafis ‘88 akhirnya terselenggara di Galeri Ancol, Pasar Seni Ancol, Jakarta pada 9–15 Februari 1988. Pameran dibuka oleh Joop Ave sebagai penasihat IPGI sekaligus Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi pada masa Kabinet Pembangunan VI. JAGDA menghadirkan 196 poster karya terbaru lebih dari 100 desainer terkemuka Jepang seperti Yusaku Kamekura (1915–1997), U.G. Sato (l. 1935), Shigeo Fukuda (1932–2009), Shin Matsunaga (l. 1940), Ikko Tanaka (1930–2002), Kazumasa Nagai (l. 1929), Mitsuo Katsui (l. 1931), Koichi Sato (l. 1944), Hiroshi Sato, dan banyak lagi. 

5. Ilustrasi karya Tjahjono Abdi untuk poster pameran IPGI–JAGDA yang pertama di Galeri Pasar Seni Ancol, Jakarta, 9–15 Februari 1988, dan di Aula Timur ITB, 26 Februari–5 Maret 1988.

Terhadap dominasi poster Jepang dalam pameran ini, kritikus seni rupa Agus Dermawan T. memaknai poster ini sebagai demikian:

“Di dalam sebuah kipas bertangkai pinsil, tergambar figur wayang (simbol desainer Indonesia) dengan wajah ketakutan. Di hadapannya, seorang pemuda Jepang yang tersenyum menang. Dan wayang Indonesia itu tangan kanannya dilukiskan memegang kuas. Sementara Jepang, memegang alat grafis, air brush, hanya dengan tangan kirinya. Ya, dilawan dengan tangan kiri saja, desainer kita sudah takut... 

Desain poster Tjahjono Abdi itu, berita atau isyarat?”

Tak hanya poster-poster yang bertema niaga, yang mempromosikan suatu produk, tapi juga yang mengemban pesan politis, kultural, dan sosial seperti perdamaian, lingkungan hidup, dampak peperangan, dsb. Sementara, karya puluhan desainer Indonesia hadir tak hanya dalam bentuk poster, tapi juga logo, brosur, leaflet, tata letak majalah, kalender, kemasan, ilustrasi, dsb. Pameran ini tercatat sebagai yang terbesar pada masanya, dan mungkin hingga saat ini. Dari Jakarta, pameran berlanjut ke Bandung yang diselenggarakan di Aula Timur ITB, jalan Ganesha 10. Seusai pameran, seluruh poster JAGDA dihibahkan kepada Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.

Dalam ulasannya, pengamat seni rupa, Sanento Yuliman (1941–1992) memberi catatan demikian:

“Poster Jepang tidak berteriak. Poster pertama-tama adalah gambar. Kata sedikit, atau kecil—tidak jarang terlalu kecil bagi kita yang terbiasa dengan kata besar dan huruf gajah. Atau, diredam: tak amat nyata.

Gambar, meski memenuhi bidang poster, umumnya tidak hiruk-pikuk. Kita terkesan oleh banyaknya gambar dengan latar lebar, samar-samar, atau kosong. Perhatian kita bulat terpusat pada sosok terpenting. Dan sekiranya boleh meminjam istilah dari retorika: poster Jepang banyak memakai “elipsis”—melenyapkan unsur kata atau gambar yang tak pokok bagi pemahaman. [...] 

Amati, misalnya, poster Parco [...] (perancang: Kuni Kizawa). Pada gambar, kita melihat sosok seorang wanita Jepang dari kepala hingga lutut mengenakan kimono. Riasnya tak nyata. Bahkan tampak alami dan bersahaja, dengan rambut teracak sedikit oleh angin. Di bawah tampak daun padi atau rumput, sedang latar belakang adalah langit berawan tipis putih.

Ini poster apa? Tetapi bila kita tahu bahwa Parco adalah sebuah toko serba ada, pikiran kita tersangkut pada gagasan yang tertentu. Bukankah poster ini menyajikan kejepangan, sifat wajar, dan alami, keakraban—sifat yang hendak diterapkan kepada sebuah toko besar sebagai “citra perusahaan”?

Atau amati poster rancangan U.G. Sato. Gambar memperlihatkan atap genting sebuah rumah. Poster perusahaan genting? Bukan. Ini poster perdamaian, menurut tulisan kecil yang tercetak di situ. Genting yang kuat, utuh, tersusun apik, menaungi kehidupan keluarga. Setiap genting membuat bayang-bayang yang mengingatkan raut siluet merpati.

Dalam kedua contoh itu, gambar digunakan tidak secara denotatif: yang dimaksud bukanlah objek yang tergambar. Melainkan secara konotatif: yang dituju ialah asosiasi pikiran yang tergugah oleh objek itu.”[3]

Serupa dengan hasil pengamatan Agus Dermawan T.:

Ide, yang diimbuh oleh kekuatan sugesti lewat drama dan puisi, divisualisasikan seniman-seniman Jepang dengan tangkas. Hingga dari padanya lalu terlahir desain-desain poster yang tak cuma berpesan verbal, sloganistik dan dangkal. Seperti layaknya seni murni, poster-poster Jepang merayap menuju kedalaman dialog, melalui desain-desain gambar yang penuh metafora, simbol, atau idiom-idiom umum yang diolah kembali.[4]

Memang ada banyak pelajaran bisa dipetik dari pemikiran di balik proses perancangan poster-poster Jepang itu. Karya-karya yang selama ini hanya bisa diamati melalui buku—yang peredarannya di Indonesia pada masa itu masih terbatas—kini terpampang dalam ukuran aktualnya. Memberi kepuasan indria, memenuhi dahaga rohani. Semua pihak merasa bahagia. Maka tawaran Miyazaki untuk mengadakan pameran bersama yang kedua pada tahun berikutnya pun langsung disambut hangat. Lihat juga: Sejarah Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI): Upaya Menumbuhkan Apresiasi]


———
[3] Yuliman, Sanento. Poster tanpa Teriakan. Jakarta: Tempo, 20 Februari 1988, halaman 74–75.

[4] Dermawan T., Agus. Pameran Desain Jepang-Indonesia: Jepang Agresif, Indonesia Mengalah. Jakarta: Kompas, Minggu, 14 Februari 1988, halaman X.

[Bersambung » Mengikuti Jalan (5)]


***


Tidak ada komentar:

Unggulan

Merajut Keterhubungan

Sebuah esai merespons tema pameran Forum Grafika Digital 2017 (FGDexpo 2017), Connectivity (Jakarta Convention Center, 24–27 Agustus 2017). ...