What books are worth writing, except Memoirs?—The Conquerors (1928), André Malraux (1901–1976)
Cakapan Awan dan Ombak saya pilih sebagai judul memoar ini[i] untuk menggambarkan pertemuan saya yang indah dengan berbagai insan mengesankan. Peran mereka dalam kehidupan begitu beragam, ada seniman, budayawan, guru, direktur kreatif, kritikus seni, psikolog, komponis, penulis, musisi, arkeolog, kartunis, pengelana, penyiar radio, dokter, sejarawan, presiden direktur, dan desainer.[ii] Bagai awan, mereka berarak sesuai jalan hidup masing-masing. Serupa awan, mereka melayani dengan hati berserah, acap kali dilandasi cinta, dan tanpa pamrih. Seperti ombak, gerakannya acap kali membesarkan gairah hati. Mengingatkan tentang berbagai perubahan yang tak bisa dihindari, tentang kemajuan yang sering kali merupakan kesia-siaan belaka, atau mengenai segala sesuatu yang akan bergerak menuju ke arah sebaliknya. Tentang keindahan yang lahir dari ketepatannya pada kebutuhan, atau bagaimana merebut kembali seni membaca alam.
The yang having reached its climax retreats in favour of the yin; the yin having reached its climax retreats in favour of the yang.
—Wang Ch’ung, 80 SM |
Dengan cara misterius, Alam Raya menghubungkan mereka semua ke dalam kehidupan saya. Tapi seperti halnya awan dan ombak, orang-orang luar biasa ini juga akan, atau telah, berlalu. Karenanya, sepanjang masih tergapai, kenangan bersama mereka saya guratkan kembali di sini. Sekiranya bermakna sebagai cermin kehidupan, atau pun seandainya sekadar bermanfaat sebagai jeda dari rutinitas keseharian yang penuh dengan tekanan ini. Juga dituliskan sebagai kesaksian dan penghormatan kepada pribadi-pribadi yang dikisahkan di sini [serta banyak lagi yang tak sempat diceritakan], yang telah menyertai saya menjelajahi ‘perjalanan ke dalam’ dan membantu saya ‘merawat keseimbangan’ diri selama ini.
Kronologi peristiwa yang diwarnai dengan paragraf-paragraf yang personal ini sengaja tidak disampaikan berurutan, supaya alur ceritanya lebih mengalir. Bukan tak ada maksudnya bila di bagian atas dikutipkan kalimat bertuah André Malraux, karena cara bertutur demikian ini sesungguhnya diilhami oleh buku autobiografinya, Anti-Memoirs (1968)[iii]. Karena dituliskannya tidak mengikuti bentuk narasi yang kronologis, membacanya pun tidak perlu dilakukan secara berurut; bisa dimulai dari bab yang mana saja, seperti halnya membaca antologi. Dan dengan penyajian demikian, kisah-kisah di dalamnya bisa saling melengkapi, atau merujuk satu kepada yang lain.
Hanya berkat tuntunan Yang Maha Absolut, guratan-guratan yang dituliskan dengan damai ini bisa hadir di tengah para pembaca yang budiman. Mudah-mudahan keberadaannya membawa kebaikan.
Dalam kasih, salam,
Hanny Kardinata
dituliskan sejak 5 April 2015
dituliskan sejak 5 April 2015
———
[i] ‘Awan’ dan ‘ombak’ di sini dimaksudkan sebagai metafora dari orang-orang luar biasa, yang kehadirannya di kehidupan ini bermakna bagi orang lain atau banyak orang.
Dalam bahasa asli Amerika awan artinya ‘somebody’, sedang bagi bangsa Mesir berarti ‘quality’. Bila direka-reka (Jawa: otak-atik gatok), maka bisa dimaknai sebagai ‘seseorang yang memiliki kualitas tertentu’. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) awan atau mega adalah kelompok butiran air, es, atau kedua-duanya yang tampak mengelompok di atmosfer. Ketika kondisinya tercukupi, awan akan berubah menjadi hujan, salju, ataupun hujan es, dan diturunkan ke bumi, menuju ke sungai, dan selanjutnya ke laut. Sebaliknya, air laut yang menguap terkena sinar matahari akan berubah menjadi awan. Siklus alami dalam upaya mencari keseimbangan ini tergambarkan dengan baik sekali pada falsafah Cina Yin-Yang: apabila sesuatu berkembang ke kondisi ekstrimnya, akan berputar balik menjadi kebalikannya.
Awan, juga air, tak pernah dilahirkan dan tidak akan pernah mati. Pengertiannya dalam jalan Zen misalnya, membantu kita menyadari bahwa seluruh kehidupan berlanjut terus dalam bentuknya yang berbeda-beda. Tidak ada yang diciptakan, tak ada yang dimusnahkan, segala sesuatu itu dalam proses bertransformasi [Thich Nhat Hanh (1926–kini)].
[ii] Tokoh yang Dikisahkan
Jalan Membebaskan: Eddy Kardinata (1919–1997), Betty Kardinata (1928–2014)
Persinggahan Sementara: Soedarso (1936–2008), Sadjiman Ebdi Sanyoto, Fadjar Sidik (1930–2004), Darmanto Jatman (1942–2018)
Nada dalam Tautan Bidang-Bidang: Guruh Soekarnoputra, Gauri Nasution
Mengikuti Jalan: Johannes Tan, Nobu Miyazaki a.k.a. Nobu Araki
Keheningan yang Berbicara: Slamet Abdul Sjukur (1935–2015), Soedarmadji Jean-Henry Damais
Perjalanan Kembali: Iwan dan Indah Esjepe, Singgih Susilo Kartono
Sang Maestro dengan Tempo Allegro: Tjahjono Abdi (1952–2005)
Bebas dari yang Dikenal: Jiddu Krishnamurti (1895–1986), Ki Ageng Soerjomentaram (1892–1962), Lie Ngo An , Kwik Kiem Bie, Lie Tjien Fong
Jalan Hantu Malam: Stephanus Setiawan (1938–2006), Sri Ratna Juwita
Tarian Alam Semesta: Tan Shot Yen, Fritjof Capra
Bersetubuh dengan Dua Dunia: Aucky Hinting
Ditelan Belantara Dunia: Wahyono Martowikrido (1942–2009), Ong Hok Ham (1933–2007), Yongky Safanayong (1950–2015)
Merawat Taman Bukan Tamannya: Halim Indrakusuma
Membaca Alam: Maggie Macnab, Bill Mollison
Train-set yang Apa Adanya: Priyanto Sunarto (1947–2014)
Bersua Kartini di Agora: Hypatia, R.A. Kartini
Ketahanan dalam Keragaman: Fritjof Capra
Menggapai Kakilangit: Henricus Kusbiantoro, Ismiaji Cahyono, Arifien Neif
Menempuh Jalan Sunyi:
[iii] Lebih dari sekadar pemanggilan kembali ingatan pada masa lalu, Anti-Memoirs merupakan sebuah terobosan pada cara penulisan autobiografi. Sifatnya eksperimental dan merupakan tantangan terhadap bentuk lazim sebuah memoar, seirama dengan drama kehidupan André Malraux sendiri. Malraux menolak bentuk narasi yang kronologis, demi penulisan yang bebas, mengalir, dan fleksibel, yang memungkinkannya bergerak sepanjang ruang dan waktu; dalam meliput kembali peristiwa-peristiwa dramatis dan mengharukan yang dialaminya sepanjang hidupnya.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
***
Jalan Membebaskan: Eddy Kardinata (1919–1997), Betty Kardinata (1928–2014)
Persinggahan Sementara: Soedarso (1936–2008), Sadjiman Ebdi Sanyoto, Fadjar Sidik (1930–2004), Darmanto Jatman (1942–2018)
Nada dalam Tautan Bidang-Bidang: Guruh Soekarnoputra, Gauri Nasution
Mengikuti Jalan: Johannes Tan, Nobu Miyazaki a.k.a. Nobu Araki
Keheningan yang Berbicara: Slamet Abdul Sjukur (1935–2015), Soedarmadji Jean-Henry Damais
Perjalanan Kembali: Iwan dan Indah Esjepe, Singgih Susilo Kartono
Sang Maestro dengan Tempo Allegro: Tjahjono Abdi (1952–2005)
Bebas dari yang Dikenal: Jiddu Krishnamurti (1895–1986), Ki Ageng Soerjomentaram (1892–1962), Lie Ngo An , Kwik Kiem Bie, Lie Tjien Fong
Jalan Hantu Malam: Stephanus Setiawan (1938–2006), Sri Ratna Juwita
Tarian Alam Semesta: Tan Shot Yen, Fritjof Capra
Bersetubuh dengan Dua Dunia: Aucky Hinting
Ditelan Belantara Dunia: Wahyono Martowikrido (1942–2009), Ong Hok Ham (1933–2007), Yongky Safanayong (1950–2015)
Merawat Taman Bukan Tamannya: Halim Indrakusuma
Membaca Alam: Maggie Macnab, Bill Mollison
Train-set yang Apa Adanya: Priyanto Sunarto (1947–2014)
Bersua Kartini di Agora: Hypatia, R.A. Kartini
Ketahanan dalam Keragaman: Fritjof Capra
Menggapai Kakilangit: Henricus Kusbiantoro, Ismiaji Cahyono, Arifien Neif
Menempuh Jalan Sunyi:
[iii] Lebih dari sekadar pemanggilan kembali ingatan pada masa lalu, Anti-Memoirs merupakan sebuah terobosan pada cara penulisan autobiografi. Sifatnya eksperimental dan merupakan tantangan terhadap bentuk lazim sebuah memoar, seirama dengan drama kehidupan André Malraux sendiri. Malraux menolak bentuk narasi yang kronologis, demi penulisan yang bebas, mengalir, dan fleksibel, yang memungkinkannya bergerak sepanjang ruang dan waktu; dalam meliput kembali peristiwa-peristiwa dramatis dan mengharukan yang dialaminya sepanjang hidupnya.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar