2.11.17

Jalan Membebaskan (3)

[Sambungan dari Jalan Membebaskan (2). Bagian terakhir dari tiga bagian]


Tidak tidak berbuat
Doing nothing is better than being busy doing nothing.” ―Lao Tzu
Walau dilahirkan sebagai keturunan Tionghoa, ayah dan ibu saya tidak bisa berbahasa Tionghoa. Demikian pula seluruh keluarga besarnya. Bahasa sehari-hari mereka justru bahasa Belanda. Tapi mereka juga tidak berniat mewariskan kecakapan berbahasa Belanda itu kepada anak-anaknya. Kami seperti dibiarkannya berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Hanya karena setiap hari mendengarnya, kami semua jadi mengerti apa yang dikatakan oleh mereka [berbahasa Belanda secara pasif]. 

Di dalam keluarga besar ibu saya masih ada yang mempraktikkan adat istiadat Tionghoa dalam pergaulan sehari-hari, tapi dalam penerapannya yang paling cair. Berbeda halnya dengan kalangan keluarga ayah saya yang lebih fasih dengan tradisi Belanda [tata cara makannya misalnya, lengan bawah tidak boleh disandarkan di meja, sementara lengan atas dirapatkan ke arah badan]. Maka walau lahir dan besar di Tanah Jawa, kami semua tidak cukup memahami budaya Jawa. Dengan latar belakang sedemikian ini, saya seperti tanaman yang tercerabut dari akarnya, dan tumbuh berkembang menjadi sepertiga Tionghoa, sepertiga Belanda, dan sepertiga Jawa.

Namun, walau sehari-harinya mempraktikkan tata cara pergaulan Belanda, saya masih bisa merasakan hadirnya kearifan nilai-nilai tradisional Jawa dan Tionghoa di dalam diri kedua orang tua saya. Mereka sangat menjunjung tinggi etika moral, baik dalam hubungan antar individu maupun secara sosial. Dan sebagaimana budaya Jawa yang terbuka, ayah sangat toleran terhadap suku-suku bangsa yang berbeda [contohnya, anak-anaknya boleh mencari pasangan hidup yang berasal dari suku lain]. Di dalam diri ibu terdapat sikap batin yang nrima, dan sepi ing pamrihrame ing gawemamayu hayuning buwana, yakni giat bekerja tanpa motif kepentingan pribadi demi kesejahteraan keluarganya [dan kemudian juga bagi sesama anggota gerejanya]. Ia secara natural (nampak tanpa ikhtiar) terbebas dari motif-motif pribadi. Atau seperti yang terkandung dalam filosofi Tao: tidak berbuat, tetapi hasilnya tidak ada yang tidak terjadi (Wu Wei), yang artinya tidak berbuat berdasar kemauan ego, yang juga berarti buruk; melainkan senantiasa melakukan hal-hal baik. Disadari atau tidak, kedua orang tua saya sesungguhnya sama-sama “menjalankan” praktik Wu Wei. Ibu saya, melalui pelayanannya yang tulus ikhlas, sementara ayah saya karena tekun menjalani terus apa saja yang ia sukai sampai ia betul-betul menguasai dan menjadi sangat mahir.

Dalam manuskrip Tiongkok kuno dinyatakan bahwa tahap yang terendah adalah ketika seseorang tidak melakukan apa-apa. Tahap selanjutnya yang lebih tinggi adalah berbuat sesuatu. Dan tahap tertinggi adalah kita berbuat sesuatu tetapi tidak merasa berbuat. Pengertian Wu Wei sama dengan Wu Suo Bu Wei dan adalah Wu Bu Wei atau “tidak tidak berbuat” yang sama juga dengan Wu Suo Wei El Wei, atau ‘tidak menargetkan kerja’. Dengan demikian dari kerja nyata (You Wei) berubah menjadi tidak menargetkan kerja (Wu Wei). Tindakan Wu Wei yang tidak memikirkan target yang harus dicapai ini, bukan berarti bermalas-malasan atau seenaknya sendiri. Tahap seenaknya sendiri ini masih merupakan tahap tidak berbuat [justru pada tahap ini harus diterapkan suatu target untuk menjadi tahap berbuat]. Pada tahap Wu Wei, sikap atau tindakan itu sudah menyatu dengan dirinya, sehingga sama sekali tidak ada paksaan dari dalam dirinya untuk melakukannya. Dalam melakukan tindakan Wu Wei, orang tersebut hanya merasa senang melakukannya dan tidak diperlukan lagi target sebagai pendorong atau pemaksa. Contohnya dalam Gongde (Kung Tek) atau amal kebajikan. Tahap terendah adalah tidak berbuat amal sama sekali. Tahap selanjutnya adalah kita berbuat amal. Dan tahap tertinggi adalah kita berbuat amal tetapi kita tidak merasa berbuat amal. Suatu tahap dimana kita dalam beramal sudah benar-benar tanpa pamrih sedikit pun atau tidak mempunyai target yang dipikirkan[1] [Bandingkan dengan konsep flow dari Mihály Csikszentmihalyi pada bab Menggapai Kakilangit, h. ..]

Menabuh drum tanpa menabuh drum
Falsafah Wu Wei dipaparkan dengan baik dalam permainan drum Zen di dalam film The Drummer (2007) arahan sutradara Hong Kong, Kenneth Bi (1967). Film ini mengisahkan anak seorang kepala gangster Hong Kong, Sid [dimainkan oleh Jaycee Chan (1982)], pemberontak keras kepala, yang dikirimkan ke sebuah tempat persembunyian akibat perbuatan asusilanya dengan kekasih seorang kepala gangster lainnya. Tinggal di tempat yang jauh dan terpencil di daerah pedesaan, Sid yang mengalami gegar budaya (culture shock) secara kebetulan bersua dengan sekelompok pemain drum Zen yang perlahan-lahan mengubah jalan hidupnya. Walau sangat mirip dengan gaya permainan drum Taiko (Jepang), filosofi pemain drum Zen amatlah berbeda. Apabila pemain drum Taiko mengeksploitasi dan memproyeksikan emosinya untuk menghasilkan suara tertentu dari drumnya, para pemain drum Zen membebaskan emosinya agar drum bermain melalui diri mereka. 

Terhipnotis oleh daya permainan mereka, dan merasa memiliki bakat, Sid menyatakan keinginannya untuk bergabung dengan kelompok itu. Dalam dialog awal yang terjadi antara Sid dengan ketua kelompok, Lan Jie [diperankan oleh pendiri U-Theatre master Liu Ruo-yu (1956)] terungkap bahwa mereka sebenarnya tidak membutuhkan pemukul drum yang berbakat. Ujaran Lan Jie menguak kesadaran Sid:

“Justru lebih sulit kalau kau berbakat. Karena kami ingin mencapai tingkatan ‘menabuh drum tanpa menabuh drum’ (to drum without drumming).”

Para anggota kelompok pemain drum U-Theatre hidup bersama dalam sebuah komunitas di area pedesaan berbukit-bukit yang indah di Laoquan, Taiwan. Liu Ruo-yu, pendiri dan direktur artistik U-Theatre, pernah belajar di bawah bimbingan ikon teater eksperimental Polandia, Jerzy Grotowski (1933–1999) di Amerika Serikat, serta menjelajahi kehidupan spiritualnya di tengah alam. Oleh karena itu, ia memilih daerah pegunungan sebagai situs latihannya ketika mendirikan U-Theatre (1988). 

Para pemain drum Zen ini memulai hari-harinya dengan latihan di pagi hari, menjalankan Tai Chi [Lihat: Kenali diri pribadi, pada Bebas dari yang Dikenal pada h. ..], meditasi, dll. (1.7–1.9) Tidak ada listrik atau pun air yang mengalir ke tempat pemukiman mereka. Mereka harus pergi pada petang hari, untuk mengambil air dan memanggulnya pulang dengan ember. Ritual itu menjadi bagian dari ikhtiar penjelajahan spiritual mereka, memadukan kehidupan sehari-harinya dengan seni—spirit yang masih tetap mereka pegang teguh hingga hari ini. 


7–9. Pegunungan Teater U-Theatre (The Mountain Theatre of U-Theatre) menempati area seluas lebih dari 3.300 m2 di desa Laoquan di gunung Laokeng. Fasilitas ini diadakan agar para pemain U-Theatre bisa memadukan praktik-praktik berlatih menabuh drum, meditasi, dan seni bela diri Cina (tai chi, kung fu) dalam lingkungan yang tenang, jauh dari hiruk pikuk kota. Para pemain membangun sendiri tempat latihan mereka ini dengan meletakkan kayu bersusun dan mengikatnya bersilang. Pegunungan Teater U-Theatre terdiri dari dua bagian: sebuah rumah kayu bagi para pemain menjalankan sesi meditasi dan bermain drum yang terlarang untuk pengunjung tanpa reservasi sebelumnya, dan panggung terbuka untuk pertunjukan komersial atau latihan, yang terbuka untuk umum. 

Sumber foto: Laman U-Theatre.

Di Cina, para master Zen lebih dari seribu tahun yang lalu telah menyatakan bahwa seorang seniman sejati harus menggabungkan ‘Tao’ (self-improvement) dengan ‘ketrampilan’ (pembelajaran dan kematangan seni). Kelompok U-Theatre percaya bahwa memadukan Tao dengan ketrampilan (skill) merupakan tujuan hidup dan penciptaan artistik mereka. Pada tahun 2007, untuk melestarikan budaya-—yang dikembangkan dari interaksi antara manusia dengan alam (human-nature interactions) ini—pemerintah kota Taipei resmi menetapkan Pegunungan Teater U-Theatre (The Mountain Theatre of U-Theatre) di desa Laoquan di perbukitan Laokeng sebagai bagian dari lanskap budaya.

Hanny Kardinata


———
[1] Sing, Thang Fai. Wu Wei Selayang Pandang. Siutao, http://indonesia.siutao.com/ajaran_filsafat/wu_wei_selayang_pandang.php, diakses 13 Juli 2015.


.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  




***


Tulisan-tulisan lainnya di sini.

Tidak ada komentar:

Unggulan

Merajut Keterhubungan

Sebuah esai merespons tema pameran Forum Grafika Digital 2017 (FGDexpo 2017), Connectivity (Jakarta Convention Center, 24–27 Agustus 2017). ...