“Jalan yang ditempuh oleh seseorang belum tentu sesuai bagi orang lain. Setiap orang harus berjalan di jalannya sendiri guna mencapai pencerahan—demikianlah memang sudah jalannya.”
—Wu Wei, I Ching Wisdom: More Guidance from the Book of Answers, Vol. 2
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
[Bagian pertama dari tiga bagian]
Gairah-gairah membebaskan
“Dalam gairah tidak ada tuntutan dan sebab itu tak ada perjuangan. Dalam gairah tidak ada bayangan pemenuhan keinginan sehalus apa pun, dan karena itu tak mungkin ada frustrasi atau pun kepedihan.” —J. Krishnamurti (1895–1986), The Urgency of Change, 1971
Rabu, 7 Januari 1953. Saya dilahirkan di tengah sebuah keluarga bersahaja; dari seorang ibu yang senantiasa bergairah dalam melayani, dan ayah yang memiliki banyak sekali kegairahan: mulai dari menggambar (1.2, 1.4), fotografi, mengoleksi perangko, memancing ikan di laut (1.1), adu layang-layang, berburu barang bekas di pasar loak [yang kemudian dipolesnya menjadi seperti baru], hingga membuat es krim dengan cita rasa tinggi. Dan saya beruntung sekali karena kecipratan sedikit-sedikit tabiat keduanya. Dari ayah, saya mewarisi kodrat seninya, dan dari ibu sikap bawaannya dalam keikhlasan melakukan sesuatu bagi orang lain. Keduanya mengisi momen-momen kehidupan saya dengan gairah-gairah yang membebaskan, dan yang telah berulangkali menampakkan keindahannya dalam bentuknya yang tertinggi.
Ayah saya, Eddy Kardinata (1919–1997) merupakan sosok kreatif sekaligus perfeksionis. Ia sangat terampil menggunakan tangannya, dan selalu menekuni setiap hobinya hingga ke level puncak, sebelum beralih ke yang lainnya. Pernah pada suatu masa ia ingin menjahit sendiri pakaiannya dengan baik. Ia pun lalu bekerja di sebuah tailor sampai ia mampu membuat jas dan celana terbaik di kotanya [dewasa itu, jika ingin membeli jas atau celana, seseorang hanya bisa memesannya pada toko atau tukang jahit].
Kedua tangannya mampu menghasilkan bermacam karya dengan apik, sayangnya ia lahir di zaman yang tidak tepat. Di masa ketika perang baru saja usai (Perang Dunia II, Perang Kemerdekaan Indonesia), kreativitas belum mendapat tempat. Talentanya tak ada yang menghargai. Sekolahnya di MULO (seperti SMP sekarang) pun diciptakan oleh Belanda sekadar untuk mencetak “pegawai” (Belanda: ambtenaar) guna mengisi kebutuhan kantor-kantor mereka.
Pernah suatu saat kreativitasnya diganjar dengan beberapa ratus gulden—jumlah yang sangat banyak dewasa itu—dari surat kabar Belanda terkenal, De Vrije Pers (VP). Pada waktu itu, ada sebuah sayembara di mana VP mengundang pembacanya untuk mengisi sebuah lingkaran berdiameter 10 cm dengan sebanyak-banyaknya kata Vrije Pers. Hadiah besar diberikan bagi yang mampu menuliskannya paling banyak. Ayah saya memenangkan hadiah itu. Ia menggunakan enlarger (alat untuk memperbesar atau memperkecil negatif/positif). Tanpa bantuan alat ini adalah muskil untuk bisa mengisi lingkaran sekecil itu sebanyak-banyaknya. Hadiahnya kemudian dipakainya untuk membeli sebuah sepeda motor BMW R23 lengkap dengan sespan (zijspan) nya.
2. Ayah saya menggambar anjing ini dengan menggunakan media cat air. Ia sangat dekat dengan anjing-anjing peliharaannya. Rumah kami tidak pernah sepi dari tingkah laku lucu hewan ini.
|
Suatu saat ayah saya ingin belajar fotografi. Fotografer top di Indonesia pada masa itu adalah Nikola Drakulic. Drakulic, berkebangsaan Yugoslavia (Slavia Selatan) adalah seorang sutradara film dokumenter sekaligus fotografer. Ia tinggal dan berkarya untuk waktu yang lama di Hindia Belanda pada pertengahan pertama abad ke-20 hingga Indonesia merdeka (sampai sekitar 1950), dan memiliki studio sendiri di Surabaya, Soerabaia Studio.[i] Demi memenuhi minatnya pada fotografi, ayah saya memutuskan untuk bekerja pada Draculic. Dalam satu atau dua tahun kemudian ia telah menjadi seorang fotografer yang handal, dikenal dengan Drakulic style-nya.
3. Salah satu foto karya Nicola Draculic yang mengabadikan kehidupan masyarakat Bali pada 1930-an.
|
Sebelum berwirausaha, pada 1960-an ayah saya bekerja sebagai Kepala Capitol Theater (belakangan berganti nama menjadi Bioskop Wijaya, dan kemudian berubah fungsi menjadi pusat perbelanjaan BG Junction) yang berlokasi di jalan Bubutan 1, Surabaya. Pada masa itulah, waktu-waktu senggangnya diisinya dengan kegiatan memotret. Kecuali adik bungsu saya [yang lahir setelah ayah berganti hobi], kami semua memiliki sejumlah besar foto masa kecil. Seluruhnya diambil dengan memperhitungkan momen terbaik, dengan teknik fotografi layaknya pemotret profesional, baik dari segi komposisi maupun pencahayaannya. Dan lebih istimewa lagi karena semua hasil pemotretannya itu dicuci dan dicetaknya sendiri [pada masa itu teknologi fotografi masih hitam-putih, dan ayah saya memiliki kamar gelap sendiri]. Berkat kualitas cuci-cetaknya yang prima, foto-foto kami dengan berbagai pose yang lucu dan menggemaskan itu bertahan hingga dewasa ini; citraannya tidak sedikit pun memudar.
Kesungguhannya dalam menekuni fotografi itu tercermin pula pada semua kegiatannya yang lain. Di rak bukunya, selain buku-buku fotografi, terdapat pula sejumlah majalah untuk penghobi memancing (fishing). Bersama beberapa temannya, ayah saya sering pergi melaut. Kebanyakan ke tempat-tempat yang jauh dari Surabaya, seperti ke Pasir Putih dan Banyuwangi [Lihat: Merawat Taman Bukan Tamannya, h. ...]. Kala itu, rumah kami dipenuhi dengan berbagai peralatan memancing, dari stik pancing, rol pancing, tali senar, pelampung, pemberat umpan (timbel), umpan buatan, hingga mata kailnya. Beberapa di antaranya ditata rapi berderet-deret di... ruang tidurnya! Di halaman dalam rumah kami bahkan ada sebuah perahu yang saya sudah tidak ingat lagi bagaimana asal-muasalnya.
Gairah yang sama mengemuka pula ketika kemudian perhatiannya beralih ke hobi membuat es krim. Melihat keseriusannya mengelola masing-masing hobinya itu, sepertinya kamus kehidupannya tidak mengenal kata ‘amatirisme’. Semua dikelolanya dengan tak tanggung-tanggung. Apalagi setelah atas desakan teman-temannya, hobi terakhirnya ini kemudian dialihkannya menjadi sebuah usaha. Namun naluri bisnisnya seperti terbenam oleh perfeksinya dalam memilih bahan-bahan terbaik untuk meracik adonannya. Kebahagiaan membuat es krim dengan cita rasa tinggi seperti mengalahkan kepentingan ekonomisnya. Idealismenya menyisihkan kebutuhan nyatanya. Komentar para kerabatnya: “Lalu, kapan untungnya?” Tapi pada akhirnya kekhusyukan ayah saya dalam mengerjakan segala hal itu telah mengilhami dan menjadi suri tauladan saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar