“Suatu malam Wang Hui-chih terbangun dari tidurnya dan mendapati salju sedang turun. Bangkit dari pembaringan, ia lalu mondar-mandir di kamarnya sambil melafalkan sajak-sajak tentang pergi berziarah ke para penatua. Ia pun teringat pada Tai Kui. Hui-chih segera berpakaian, menurunkan perahunya, dan pergi melaut. Tai Kui tinggal jauh di seberang, saat fajar akan menyingsing Hui-chih baru sampai. Tapi setiba di depan rumahnya, ketika tinggal mengetuk pintu, Hui-chih berbalik pulang. Seseorang yang kebetulan melihatnya menanyakan alasannya kembali. Wang Hui-chih berujar: “Saya mengikuti dorongan batin, dan saat tuntunannya berakhir, saya pun berbalik. Mengapa saya harus menemui Tai Kui?”
—Kisah Tao mengenai Wang Hui-chih
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
[Bagian pertama dari lima bagian]
Oleh: Hanny Kardinata“Impuls alami yang kita temukan di dalam diri kita tidaklah sewenang-wenang, melainkan terhubung dengan otoritas batin Ilahi.” —Carl Gustav Jung (1875–1961)
Pada tahun 1980, saya telah pindah indekos, kini menempati sebuah kamar yang lebih luas di jalan Yusuf Adiwinata SH 30, Menteng, Jakarta. Induk semang saya, Tante Yvonne mengelola sebuah rumah makan ala Manado di sisi depan rumah [di kemudian hari beralih menjadi restoran Perancis]. Bila tiba waktu makan, saya dan teman-teman sekos lainnya dipersilakannya makan di resto ini, dengan menu yang telah disiapkan khusus. Di antara mereka yang sekos dengan saya ada empat orang Filipina, dan seorang dokter. Belakangan, sahabat saya, komponis Slamet Abdul Sjukur juga tinggal di situ untuk sementara waktu [Lihat: Keheningan yang Berbicara].
Lokasi rumahnya yang sangat strategis di pusat kota itu memungkinkan saya bepergian ke mana saja hanya dengan berjalan kaki, atau pun dengan menumpang bajaj atau helicak. Dengan kendaraan umum ini, perjalanan tiap pagi ke kantor saya, studio grafis Citra Indonesia yang terletak di jalan Sunda 5A [Baca Tahun-tahun bergairah, pada Keheningan yang Berbicara] bisa ditempuh hanya dalam waktu sekitar 10 menit. Tempat saya berkarya pada awal 1980-an ini berada tepat di samping kiri toko serba ada Sarinah. Dan dengan hanya mengayunkan kaki tak lebih dari 5 menit, saya bisa mencapai cafetaria Theresia di jalan Gereja Theresia, sebuah kafe kecil yang menyediakan menu rumahan. Kadang-kadang saya singgah di kafe ini pada sore hari sekadar untuk menikmati sup kacang polong kegemaran saya yang diolah dan disajikan ala Belanda (erwtensoep). Masakan ini mengingatkan saya pada masa kecil saya, ibu saya sering membuatnya sebagai sajian sore hari.
Dari sini, mengiringi detik-detik meredupnya sinar matahari di ufuk Barat, saya suka berjalan santai menyusuri trotoar di sepanjang jalan Theresia—trotoar paling nyaman di Jakarta saat itu bagi pejalan kaki—menuju ke toko rekaman Duta Suara di jalan Sabang. Di tempat yang tak pernah lengang dari pengunjung ini saya kerap menghabiskan waktu hingga malam hari. Lalu sebelum kembali ke tempat kos, kadang-kadang saya mampir dulu di gerobak dorong sate ayam Madura yang mangkal di seberang jalan, menikmati sate dengan lontong dan bumbu kacang bawangnya yang gurih.
Di akhir pekan, bila sedang tak ada kesibukan mendesak, saya pergi ke jalan Surabaya, singgah di kios rekaman Pak Silalahi, dan mengaduk-aduk koleksi piringan hitamnya yang menggoda itu. Atau ke galeri-galeri di sekitar Menteng, seperti Balai Budaya di jalan Gereja Theresia 47 (bersebelahan dengan cafetaria Theresia), Wisma Seni Mitra Budaya di jalan Tanjung 34, atau Taman Ismail Marzuki (TIM) di jalan Cikini Raya 73.
Di Balai Budaya, di sayap kiri gedung ini berkantor majalah sastra Horison yang pernah dikelola oleh sejumlah penyair, seperti Sapardi Djoko Damono (l. 1940), Taufiq Ismail (l. 1935), Sutardji Calzoum Bachri (l. 1941), dll. Di dalamnya ada toko buku kecil tempat favorit saya membeli buku-buku sastra. Maestro seni rupa Indonesia, Nashar (1928–1994) pernah tinggal di sayap kanan gedung ini. Terkadang saya bisa menjumpainya tertidur lelap di lantai, seakan tak terusik oleh keramaian di sekitarnya [pada 1974, seniman-seniman muda Jogja seperti F.X. Harsono, Nanik Mirna, dan Bonyong Munni Ardhi mulai bersinggungan dengan para pelukis senior di Jakarta seperti Nashar di Balai Budaya ini].
Dalam catatan Kompas, di galeri sederhana ini, selama 1957–1997 sekitar 600 acara seni pernah digelar. Di sinilah cikal-bakal pergerakan seni budaya nasional berawal. Balai Budaya ibarat kawah Candradimuka bagi seniman, di mana para perupa ternama seperti Affandi (1907–1990) dan S. Soedjojono (1913–1985), serta dramawan W.S. Rendra (1935–2009) mengawali kariernya. Di Balai Budaya pula, aneka macam pergerakan seni budaya berawal, di antaranya Manifesto Kebudayaan yang dicetuskan pada 1963.[1]
Tahun delapan puluhan merupakan masa di mana saya begitu bergairah mengerjakan apa saja yang saya kerjakan. Saya mengikuti saja ke arah mana gerak hati menuntun saya. Dan menikmati pengalaman-pengalaman di sepanjang dekade ini, saat di mana saya merasa begitu selaras dengan diri dan lingkungan di sekitar saya [Lihat: Dunia dalam tiap butir pasir dan Ekstase tanpa keinginan, pada Jalan Hantu Malam]. Barangkali kebutuhan akan aktualisasi diri, sebagaimana pengertian Teori Hierarki Kebutuhan Maslow[i]—sebuah konsepsi yang boleh jadi sinkron dengan ajaran-ajaran Taoisme dan Zen Buddhisme— bisa kesampaian pada periode ini.
Mengubah dunia
“Self-actualization is the intrinsic growth of what is already in the organism, or more accurately, of what the organism is.” —Abraham Maslow (1908–1970), Psychological Review, 1949
Pada 1970-an hingga 1980-an, istilah desainer grafis masih terdengar asing bagi telinga sebagian besar masyarakat Indonesia. Mendengar kata ‘desainer’, orang biasanya akan membayangkan seseorang sedang menggunting-gunting kain atau mematut-matut busana—suatu citra yang bahkan terkadang masih melekat pada kata itu hingga dewasa ini. Kalau pun diberikan gambaran mengenai apa yang sebenarya dikerjakan oleh seorang desainer grafis, orang biasanya akan mengasosiasikannya dengan pekerja reklame atau bahkan tukang gambar. Desainer grafis “belum menjadi bagian” dari masyarakatnya. Komunitasnya pun belum ada. Bahkan di antara sesamanya sendiri sering kali tak saling mengenal, apalagi terhubung satu sama lain.
Kondisi yang agak berbeda bisa dijumpai di dunia periklanan. Pergaulan sesama insan periklanan (adman) terasa lebih cair, mereka sudah memiliki klub-klub atau komunitas yang menaungi kebutuhan mereka. Bahkan sudah mempunyai organisasi yang mempersatukan mereka, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I).
Keadaan ini, pada saatnya mendesakkan kebutuhan akan adanya perubahan. Maka dengan maksud memasyarakatkan profesi ini, pada pertengahan tahun 1980, yaitu pada tanggal 16–24 Juni, untuk pertama kalinya saya dan beberapa teman berkesempatan menggelar sebuah pameran desain grafis. Sesuai dengan tajuknya ‘Pameran Rancangan Grafis ‘80 Hanny, Gauri, Didit’, pameran ini merupakan pameran bersama antara saya, Gauri Nasution (l. 1950) [Lihat: Nada dalam Tautan Bidang-Bidang (2)], dan Didit Chris Purnomo (l. 1950) (Gb. 1) [Lihat: Nada dalam Tautan Bidang-Bidang (1).
Pameran ini diselenggarakan di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis di jalan Menteng Raya 25. Kami beruntung sekali memperoleh dukungan dari Direktur Erasmus Huis waktu itu, R. Verstrijden, yang dengan sabar membimbing kami yang belum punya pengalaman berpameran ini. Erasmus Huis pada masa itu masih menempati sebuah rumah tua bergaya kolonial, sebagian ruang pamernya terbuka karena berdampingan dengan sebuah taman di bagian tengah bangunan. Panel-panel yang disediakan seluruhnya berwarna hitam. Kami memilih skema warna silver (perak) untuk mengikat semua elemen dalam pameran ini, mulai dari poster, brosur, kartu undangan, buku tamu, hingga bingkai (frame) karya yang digelar. Bisa jadi pilihan ini cukup efektif dalam memberikan impresi modern dan percaya diri di tengah lingkungan yang bernuansa klasik itu.
Dan boleh jadi alam pikir Eksistensialisme—aliran filsafat yang dirayakan oleh kalangan muda usia pada masa itu—telah berkontribusi pada tumbuhnya semangat kami untuk unjuk karya. Pengaruhnya lebih menyerupai psikotropika daripada filosofi. Tak kurang dari teman saya Johannes Tan (l. 1953) yang kami minta menuliskan Kata Pengantar bagi brosur pameran pun menyitir kata-kata bertuah Friedrich Nietzche (1844–1900):
“Give me a piece of paper, a pen, and ink, and I will revolutionize the world.”
Dan kata-kata ini dikutip kembali oleh kritikus seni Agus Dermawan T. pada ulasannya yang berjudul Pameran Rancangan Grafis Hanny, Gauri, Didit: Mau Merubah Dunia di harian Kompas:
“Beri aku sehelai kertas, pena dan tinta, dan aku akan mengubah dunia, kata Nietzche. Kalimat itu memang dicanangkan untuk menggaet kepercayaan orang akan kepujanggaan Nietzche waktu itu. Tapi kali ini, kalimat bertuah tersebut dipakai oleh 3 perancang grafis di atas. Tidak melenceng, sebab grafis juga hanya membutuhkan sehelai kertas, pena, dan tinta pada awalnya. Meski pada tahap berikutnya ia tokh tergantung pada mekanisme kerja mesin yang kadang di luar jangkauan perkiraan designer. Mengubah dunia? Ya. Dunia perwajahan, yang sampai ujung waktu ini kurang terperhatikan.”[2]
Dalam pengamatan Agus, pameran ini merupakan pameran desain grafis pertama di Indonesia yang diadakan oleh desainer-desainer grafis Indonesia. Menurutnya, pada November 1979 memang pernah ada pameran desain grafis non-komersial di Bandung, tapi diikuti oleh desainer-desainer Belanda. Pengakuan itu ibarat bonus, karena tujuan awal pameran ini sebetulnya adalah untuk memperkenalkan profesi desainer grafis kepada khalayak [kehadiran profesi ini belum begitu disadari oleh masyarakatnya]. Walau sebenarnya hasil karya desain grafis berupa benda sehari-hari yang banyak dijumpai, seperti uang, kartu kredit, kartu nama, perangko, tiket, koran, brosur, logo, dsb. Karena itu apa yang diperagakan bukan hanya meliputi hasil akhir tapi juga proses terjadinya. Dari sketsa hingga pra-cetak. Ada unsur edukasinya. Dan ada juga keinginan agar desain grafis dipandang sebagai seni, atau sejajar dengan seni lainnya. Itu sebabnya kami memilih mengadakannya di sebuah pusat kebudayaan.
———
[i] Psikolog Abraham Maslow (1908–1970), penegak mazhab Humanis dalam psikologi modern (Humanistic Psychology), menggunakan piramida sebagai peraga untuk memvisualisasikan gagasannya mengenai Teori Hierarki Kebutuhan. Menurut Maslow, manusia memiliki hierarki dalam upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar) sampai ke yang paling tinggi. Maslow membagi kebutuhan manusia menjadi lima tingkatan:
• Kebutuhan fisiologis
• Kebutuhan rasa aman
• Kebutuhan dicintai dan disayangi
• Kebutuhan dihargai
• Kebutuhan aktualisasi diri
Kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan yang melibatkan hasrat (instingtif) yang terus menerus untuk memenuhi potensi diri yang unik dan berusaha menjadi yang terbaik. Maslow menjelaskannya demikian:
A musician must make music, an artist must paint, and a poet must write, if he is to be ultimately at peace with himself. What a man can be, he must be. This is what we may call the need for self-actualization (Motivation and Personality, 1954).
Abraham Maslow, Carl Rogers (1902–1987), Lao Tzu, dan Zen Buddhisme memiliki kesamaan pandangan mengenai orang-orang yang mengaktualisasi dirinya, bahwa mereka merasa dekat dengan alam, independen dalam pemikiran dan perbuatan, serta menjalani realitas secara terbuka tanpa terlalu dikendalikan oleh pikiran. Juga peduli dan bertanggung jawab terhadap hubungan-hubungan interpersonalnya. Bagaimana orang mengembangkan potensi dirinya sebagai manusia menjadi pusat perhatian baik pada budaya Timur maupun Barat. Karena itu, bisa dihipotesiskan bahwa sifatnya universal, relevan bagi setiap kebudayaan manusia atau masyarakat.
[Bersambung » Mengikuti Jalan (2)]
———
[1] Budi Kurniawan, Aloysius. 2015. Balai Budaya Jakarta, Kawah Candradimuka yang Makin Tersisihkan. Kompas.com: http://megapolitan.kompas.com/read/2015/01/21/07450091/Balai.Budaya.Jakarta.Kawah.Candradimuka.yang.Makin.Tersisihkan, diakses 31 Juli 2015.
[2] Dermawan T., Agus. Pameran Rancangan Grafis Hanny, Gauri, Didit: Mau Merubah Dunia. Jakarta: Kompas, Rabu, 25 Juni 1980, halaman VI Rabu, 25 Juni 1980, halaman VI.
***
Tulisan-tulisan lainnya di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar