13.11.17

Persinggahan Sementara (5)

[Sambungan dari Persinggahan Sementara (4). Bagian terakhir dari lima tulisan]


Pengalaman transenden
“Seorang guru tidak pernah merupakan penderma kebenaran; ia adalah pemandu, petunjuk ke kebenaran yang harus ditemukan sendiri oleh setiap siswanya. Seorang guru yang baik hanyalah katalisator.” —Bruce Lee (1940–1973)
Di samping Soedarso [Lihat: Persinggahan Sementara (1)] dan Sudarmadji, dosen favorit saya lainnya yang kemudian juga “tersandung” peristiwa Desember Hitam—akibat simpatinya terhadap para mahasiswa pendeklarasinya—adalah Soedarmanto, atau yang lebih dikenal dengan nama Darmanto Jatman. Psikolog, budayawan, dan penyair selebritis dengan rambut berpotongan kribo ini mengajarkan mata kuliah Psikologi Massa pada semester genap 1974. Saya beruntung bisa mengecap gaya mengajarnya yang urakan, tepat setelah ia kembali dari studinya tentang Basic Humanities di East West Center (Universitas Hawaii), Honolulu, Amerika Serikat (1972–1973). Sebelumnya, Darmanto menempuh studi psikologinya di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tamat tahun 1968.

Untuk menambah wawasan keilmuannya Darmanto juga mempelajari bidang Development Planning pada program diploma University College London, Inggris (1977–1978). Sekembalinya ke Indonesia, pada 1983 ia ikut mendirikan Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang. Lalu pada 1996, ia turut membidani pendirian Program Studi Psikologi, sebagai bagian dari FISIP Universitas Diponegoro (Undip), Semarang serta menjadi guru besar luar biasa pertama di situ. Selain bergelut di bidang akademik, Darmanto juga tercatat aktif menjadi redaktur pada sejumlah surat kabar dan majalah, baik lokal maupun nasional, di antaranya redaktur kebudayaan Dinamika Baru, Kampus, Suara Merdeka, Tribun, dan memimpin koran kampus Undip, Manunggal serta majalah FISIP Undip, Forum. Tulisannya dimuat di berbagai media massa seperti Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Jawa Pos, Suara Pembaruan, dan Kompas, meliputi puisi, naskah lakon, esai, cerita pendek, serta artikel tentang masalah-masalah sosial budaya dan psikologi yang bertema pluralisme dan multikulturalisme.

Mas Dar, demikian saya biasa memanggilnya, yang memperkenalkan saya pertama kali pada Psikologi Humanistik, terutama pada pemikiran Abraham Maslow (1908–1970), yang mengesankan saya hingga beberapa tahun ke depan[ii] Maslow memahami manusia atas dasar kerangka teori hierarki kebutuhannya. Menurutnya, manusia memiliki kebutuhan bertingkat-tingkat sesuai dengan dorongan kekurangan yang ada pada dirinya (deficiency motivation). Kebutuhan dasar seperti makan, minum, dan tidur didasarkan pada kekurangan ini. Pada tingkat yang lebih lanjut ada berbagai kegiatan yang didorong oleh faktor-faktor lain, misalnya permainan dan hobi yang dilakukan seseorang. Dorongan ini disebut Maslow sebagai dorongan untuk tumbuh (growth motivation). Hanya setelah kebutuhan-kebutuhan ini terpenuhi maka manusia akan mempunyai dorongan untuk mengaktualisasikan seluruh potensi dirinya. Salah satu kecenderungan yang dipunyai orang yang teraktualisasi (self actualizer) adalah tercapainya pengalaman puncak yang menurut Maslow adalah pengalaman paling utama. Dalam tulisannya di akhir hidupnya Maslow membagi mereka ke dalam dua golongan yaitu mereka yang mengalami pengalaman transendensi dan yang tidak. Maslow menganggap yang pertama sebagai yang utama dibandingkan dengan yang kedua [12] [Lihat juga: Aktualisasi diri, pada Mengikuti Jalan].

Walau merasa beruntung dengan pengenalannya atas teori-teori Maslow, saya justru tidak mengalami periode penting ketika Darmanto mulai memberikan perhatian khusus pada indigenous psychology (psikologi pribumi)[iii], khususnya pada apa yang diperkenalkannya sebagai Psikologi Jawa, yang berdasarkan antara lain pada kaidah-kaidah wejangan Kawruh Bagja Sawetah (kemudian menjadi Kawruh Jiwa) dari Ki Ageng Soerjomentaram (1892–1962). Ki Ageng Soerjomentaram (KAS) adalah putra ke-55 (dari 79 anak) Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1880–1939) yang menanggalkan status kebangsawanannya demi bisa hidup sebagai, atau dekat dengan rakyat biasa yang apa adanya. Dalam kehidupan sehari-harinya di istana, Pangeran KAS merasa:

“...‘ora tau ketemu wong (tak pernah bertemu manusia sejati)’, justru karena mereka yang ditemuinya itu tinggal ‘subasita’nya saja, ‘tatakrama’nya, ‘moralisme’nya.”[6]

Sepanjang pengembaraannya, KAS mencurahkan perhatiannya untuk mempelajari ilmu kejiwaan [dengan menjadikan dirinya sendiri sebagai kelinci percobaan] sehingga kemudian menjadi guru kebatinan yang memiliki banyak penganut. Darmanto mendengar pertama kali nama KAS dari Ki Said [Moh. Said Reksohadiprodjo (1917–1979)], Ketua Taman Siswa Jakarta, sekitar tahun 1970-an, yang ketika itu menceritakan bagaimana ‘local genius’ Jawa sudah menyusun strategi kultural minimalis untuk mengatasi zaman malaise yang terjadi di masa ontran-ontran penjajahan Jepang dengan ‘6 Sa’-nya, yakni: Sabutuhe, Saperlune, Sacukupe, Sapenake, Samesthine, dan Sabenere.[13] [Lihat juga: Ki Ageng Soerjomentaram, pada Bebas dari yang Dikenal]. 

Perhatian merdeka
Salah satu ajaran KAS yang langsung berkaitan dengan kesejahteraan psikologis adalah apa yang disebutnya dengan ‘perhatian merdeka’. Konsep ini bila dijalankan akan menghasilkan efek yang disebut sebagai ‘rasa abadi (raos langgeng)’. KAS menjelaskan bahwa perhatian merdeka atau perhatian terpusat berarti perhatian terhadap kenyataan yang sedang dihadapi secara bebas, tidak bercampur dengan perhatian terhadap hal lain. Dengan perhatian merdeka akan muncul rasa abadi. Rasa abadi adalah rasa ‘aku mau sekarang, di sini, begini’. Rasa abadi berarti kebahagiaan. Bahagia hanyalah: ‘Sekarang, di sini, begini, aku mau’. Namun, rasa abadi kadang muncul tanpa disengaja. Contohnya, orang yang berjalan di jalan besar dan akan tertabrak mobil, kemudian melompat menghindari [biasanya dengan kekuatan tak terduga]. Orang itu tidak sengaja mengalami rasa abadi, rasa saat ini yang tidak bercampur dengan rasa kemarin atau esok. Dengan demikian, rasa abadi muncul dari perhatian bebas terhadap salah satu hal, tidak bercampur dengan perhatian lain.

Kebalikan dari perhatian merdeka adalah perhatian terpencar. KAS memberikan contoh perhatian terpencar sebagai berikut: “…misalnya, ketika seseorang bepergian, yang diperhatikan rumahnya, dan setelah di rumah yang diperhatikan hal lain. Perhatian terpencar ini menyebabkan orang tidak pernah selesai memikirkan salah satu persoalan”. Dalam kenyataan, bila tiap persoalan diperhatikan dengan sepenuhnya dan diteliti sampai selesai, orang lalu merasa bebas memilih apa yang akan diperhatikan. Dengan rasa bebas seperti itu seseorang dapat melihat keadaan sejati [hal yang sesungguhnya dari apa yang dialami saat itu]. Misalnya, mendengar kicau burung akan sangat terasa keindahannya; melihat rerumputan hijau sangat terasa kesegarannya, dsb. Inilah rasa abadi. Perhatian merdeka dan rasa abadi merupakan dua hal yang tak terpisahkan.[14] [Bandingkan dengan konsep flow dari Mihály Csikszentmihalyi pada bab Menggapai Kakilangit, h. .., atau dengan ajaran J. Krishnamurti mengenai Mengamati ‘apa adanya’ dalam bab Bebas dari yang Dikenal, h. ..]. Dan juga kesejajarannya dengan jalan hidup Zen: mengenai bagaimana kita menjalani hidup sehari-hari dari saat ke saat secara penuh (istilah KAS: perhatian merdeka). Maka yang ada hanyalah, apa yang sedang kita lakukan saat ini. Ketika makan, kita sepenuhnya makan. Ketika tidur, kita sepenuhnya tidur. Ketika melihat, kita sepenuhnya hanya melihat. Ketika mendengar, kita sepenuhnya hanya mendengar. Ketika berjalan, kita sepenuhnya hanya berjalan. Zen mengajak orang untuk menjaga jarak dari pikirannya sendiri. Ia mengajak orang untuk bergerak ke titik sebelum pikiran, yakni ke jati diri sejatinya sebagai manusia. Apa yang ada sebelum pikiran? Yang jelas, tidak ada konsep. Tidak ada ketakutan. Yang ada hanya satu: ruang besar yang penuh kedamaian (KAS: rasa abadi).[15]
[I]t would seem that to be incapable of sitting and watching with the mind completely at rest is to be incapable of experiencing the world in which we live to the full. For one does not know the world simply in thinking about it and doing about it. One must first experience it more directly, and prolong the experience without jumping to conclusions.” —Alan W. Watts (1915–1973), The Way of Zen, 1957
Imaji masa tua
Menjelang berakhirnya masa studi saya di STSRI Asri, saya sering berada bersama Darmanto di kampus. Hal itu terkait dengan ajakan saya agar Mas Dar menjadi pembimbing (tak resmi) skripsi saya. Saya sebut demikian karena pembimbing yang resmi sudah terisi oleh Ketua Jurusan, Soetopo dan juga oleh  Sudarmadji. Saya membutuhkan masukannya karena hadirnya unsur Ilmu Psikologi dalam skripsi saya yang berjudul Pengaruh Iklan dan Efeknya atas Jiwa Manusia (1975). Dalam salah satu sesi konsultasi, saya bercakap-cakap dengannya sambil berjalan di seputaran kampus. “Lihat, semua mata melihat ke arah kita. Kamu nggak takut jalan bareng saya? ” demikian tanyanya. Ia sendiri seperti acuh tak acuh saja terhadap pandangan penuh selidik dari orang-orang di sekitarnya.

Saya tak mendengar kabarnya lagi setelah peristiwa Desember Hitam meletus, yaitu setelah saya meninggalkan Yogyakarta pada pertengahan 1975. Mungkinkah Mas Dar ikut tersingkir dari seluruh aktivitasnya di STSRI Asri, seperti halnya Soedarso dan Sudarmadji akibat simpatinya kepada para mahasiswa yang mendeklarasikan Pernyataan Desember Hitam 1974? 

Jauh sesudahnya, hanya sesekali saja saya mendengar berita tentang dirinya, hal yang mungkin disebabkan oleh absennya saya dari berlangganan koran atau pun menonton televisi, yang sudah saya jalani sejak beberapa tahun terakhir. Pada 13 Juni 2007, Mas Dar terkena stroke. Sejak itu, aktivitasnya berubah drastis. Ia lebih banyak di rumah dengan rutinitas menjalani terapi dan pengobatan. Ia kini juga memiliki lebih banyak waktu yang bisa dinikmatinya bersama keluarganya.

Pada Catatan Penerbit di dalam buku kumpulan sajaknya Sori Gusti (2002) yang diterbitkan untuk merayakan usianya yang ke-60, Darmanto Jatman berujar:


“Enam puluh adalah angka mistik. Angka penuh magi. Dulu mahasiswa baru bisa lulus kalau dapat nilai 60. 59 saja nggak lulus. Di usia 60 ini, saya ingin mewujudkan imaji ‘masa tua’ sewaktu saya masih berumur 27 tahun. Saya ingin menikmati hidup, duduk di kursi goyang sambil membaca Alkitab. Atau menulis. Kalau lelah, saya membaca; bosan membaca, saya berbaring, dan kembali menulis.”[16]

Hanny Kardinata


———
[ii] Maslow dikenal sebagai pelopor dari kekuatan ketiga (biasa disebut juga dengan psikologi humanistik) dalam psikologi Amerika Serikat sesudah gelombang pertama dan kedua yang dimunculkan oleh paham psikoanalisis dan behaviourisme. Jatman, Darmanto. 2000. Psikologi Jawa. Yoyakarta: Bentang Budaya. h. 15.

[iii] Indigenous psychology dijabarkan oleh Kim dan Berry sebagai “the scientific study of human behavior or mind that is native, that is not transported from other regions, and that is designed for its people.” Kim, Uichol & Berry, John W. Indigenous psychology. Sage Publications, 1993, h. 2.


———
[12] Nugroho, Panji. Studi Agama dengan Pendekatan Psikologis. Academia: https://www.academia.edu/4751524/Studi_Agama_dengan_Pendekatan_Psikologis

[13] Jatman, Darmanto. Ilmu Jiwa Pribumi, Di Pinggir dan Dipinggirkan. Disampaikan pada upacara peresmian penerimaan jabatan guru besar dalam Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, 2000.

[14] Widyarini, Nilam. Kawruh Jiwa Suryomentaram. Konsep Emik atau Etik. Yogyakarta: Buletin Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, Volume 16, No. 1, h. 46–57.

[15] Watts, Alan W. The Way of Zen. 1957. Sebagaimana diinterpretasikan oleh Reza A.A. Wattimena dalam berbagai refleksi pribadinya.

[16] Jatman, Darmanto. Sori Gusti. Semarang: Limpad, 2002.

***


Tulisan-tulisan lainnya di sini.


Tidak ada komentar:

Unggulan

Merajut Keterhubungan

Sebuah esai merespons tema pameran Forum Grafika Digital 2017 (FGDexpo 2017), Connectivity (Jakarta Convention Center, 24–27 Agustus 2017). ...