[Sambungan dari Persinggahan Sementara (1). Bagian kedua dari lima tulisan]
Nirmana sebagai jalan kehidupan
Nirmana sebagai jalan kehidupan
Yang menonjol dari pribadi Sadjiman adalah kerendahan hatinya. Ia misalnya, sebagaimana terekam dalam wawancaranya dengan majalah desain grafis Concept pada 2008 menyatakan bahwa sebagai dosen tidak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya: “Karya juga tidak. Rasanya tidak pantas sebagai dosen.”[4] Saya yang mengenalnya selama sekitar tiga tahun bisa merasakan hadirnya kerendahan hati yang merupakan jati dirinya. Seperti juga ungkapan perasaannya ketika telah menjabat sebagai Ketua Program Studi DKV ISI Yogyakarta (1984–1993) dimana ia harus membuat sistematika kurikulum silabus:
“Tapi saya sebetulnya merasa berdosa, karena membuat sistematika tugas akhir, menentukan nasib kelulusan. Mudah-mudahan tak ada yang menyalahkan saya.”[4]
Ayah Sadjiman, yang adalah salah seorang guru spiritual di kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta yang berjasa menumbuhkan prinsip hidup sederhana di dalam dirinya. Hal itu membekas amat dalam dan menjadi pegangan hidupnya agar senantiasa menjadi diri yang bersahaja dan tidak berfoya-foya.
Setelah bertahun-tahun ‘mengikuti jalan’nya sebagai pengajar mata kuliah Nirmana, akhirnya Sadjiman menemukan metodologi belajar Nirmana. Ia berhasil menuangkan penemuannya itu ke dalam sebuah buku yang terbit pada 2009 dengan tajuk Nirmana: Dasar-Dasar Seni dan Desain [kelak berubah menjadi Nirmana: Elemen-Elemen Seni dan Desain] (Gb. 2).
2. Buku Nirmana: Elemen-elemen Seni dan Desain, Sadjiman Ebdi Sanyoto, diterbitkan pertama kali pada 2009.
|
“Ada yang menganggap mengajar Nirmana kesannya main-main. Tapi saya tidak begitu, saya punya ilmunya. Karena saya mempelajari Nirmana itu terus-menerus. Saya juga mempelajari musik. Saya pernah membaca buku, saya lupa buku apa, yang bilang kalau dasar seni rupa adalah not musik. Maka saya menyusun Nirmana dengan dasar musik.”[4][Lihat juga: Bidang di antara deretan nada-nada, pada Nada dalam Tautan Bidang-Bidang]
Buku Nirmana menghadirkan prinsip-prinsip dasar tata rupa, seperti irama, keselarasan, dominasi, kesatuan, keseimbangan, proporsi atau keserasian. Prinsip dasar tata rupa dipakai sebagai metode menata elemen seni rupa dan desain guna memperoleh karya seni dan desain yang bernilai tinggi. Pembahasan unsur-unsur tata rupa menggunakan metode interval tangga rupa.
“Ini merupakan metode yang paling mudah dipahami dan dilakukan siapa saja, Bila selama ini ada anggapan bahwa seni atau desain hanya bisa dilakukan oleh seniman dan desainer saja, maka dengan metode ini, seni dan desain dengan mudah dapat dipahami dan dilakukan oleh siapa pun. Bahkan oleh seorang awam sekali pun.”[4]
Sesungguhnya desain memiliki korelasi erat dengan musik, musik menyusup ke dalam desain, dan desain bisa dilihat sekaligus “didengar” [Lihat: Nada dalam Tautan Bidang-Bidang pada h. ..]. Seperti halnya musik, desain menghantar nada, irama, harmoni, bahkan improvisasi. Juga menyampaikan pesan tertentu. Sebaliknya, desain pun menghidupkan musik secara visual. Desainer grafis, ibarat komposer, bertanggungjawab dalam menata komposisi agar menarik, persuasif, dan komunikatif. Para musisi menaruh perhatian besar pada citra-citra visual yang terkoneksi dengan musiknya. Sampul album misalnya, menjadi bagian penting dari budaya musik. Keputusan saya untuk mengoleksi sebuah pita kaset, piringan hitam, atau piringan cakram sedikit banyak juga dipengaruhi oleh tampilan sampulnya. Saya masih ingat bagaimana saya sering terpana melihat desain sampul album yang enigmatik dan serba misterius karya kelompok Hipgnosis (1968–1983)[ii]. Dan bukankah ada di antara desainer grafis yang tertarik untuk belajar desain awalnya karena terpikat oleh sampul album?
Kawah Candradimuka
Disiplin dalam belajar mengajar juga dijalankan ketat oleh pelukis Fadjar Sidik (1930–2004), Ketua Jurusan Seni Lukis (1967–1983) yang oleh seniman-seniman Yogyakarta dianggap sebagai Bapak Seni Lukis Modern Indonesia itu.[5] Setidaknya saya memperoleh impresi sedemikian tatkala mengikuti sesi kuliahnya untuk mata pelajaran Kritik Seni pada semester ganjil dan genap 1974 [yang diperuntukkan bagi segenap jurusan]. Ia mempraktikkan budaya pedagogi yang mengandalkan memori otak, bahkan mengharuskan mahasiswanya menghafal tiap kata pada diktatnya hingga ke titik-komanya.
Dari para mahasiswanya di jurusan Seni Lukis, saya sering mendengar cerita tentang cara mengajarnya yang “kejam”. Di dalam ruang kelas, dengan suara menggelegar dan gaya yang sinikal, ia akan “menghabisi” mahasiswa yang karyanya ia anggap jelek. Sedemikian rupa, sehingga mental muridnya itu jatuh. Kalau sudah begitu, seisi ruang kelas akan membisu, dan suasana pun senyap; jarum yang jatuh di lantai pun akan terdengar. Namun seusai sesi formal di sekolah, beberapa saat kemudian Fadjar akan mengunjungi tempat kediaman mahasiswanya tadi. Dengan sabar, ia akan mengajak muridnya itu berdiskusi santai, dan membiarkannya mendebat, yang tak jarang kemudian akan memunculkan sejumlah gagasan baru. Dengan gaya seperti itu, Fadjar sesungguhnya tengah menggembleng murid-muridnya agar siap terjun ke masyarakat dan mengarungi dunia kesenimanannya kelak. Mengenai gaya mengajarnya, Suwarno Wisetrotomo mencatat demikian:
“Ia seorang yang pandai membangkitkan emosi dan rasa percaya diri para mahasiswanya, tahu bagaimana memberikan dorongan dalam hal bagaimana menjadi pelukis.”[6]
Dinamika keruangan
Saya mengenal Fadjar ketika ia telah mengembangkan gaya lukis abstrak murni. Gaya ini dilakoninya setelah melewati perjalanan kreativitas yang cukup panjang hingga 1960-an. Dalam lingkup seni lukis Yogyakarta yang kental dengan paradigma estetika kerakyatannya, ia meninggalkan gaya lukis realis dan mengeksplorasi unsur-unsur nirmana, yang disebutnya sebagai ‘desain ekspresif’. Pilihannya ini banyak dipengaruhi oleh masa perantauannya di Bali (1957–1961), di mana Fadjar mulanya menemukan objek-objek artistik yang berlimpah-limpah. Sketsa-sketsanya pun mengalir deras merekam denyut kehidupan sehari-hari. Tapi pembangunan pariwisata telah mengubah wajah Bali dengan cepat. Gedung, listrik, mobil, jalan aspal, radio tape, alat-alat dari plastik mengubah Bali yang natural menjadi artifisial [Lihat juga: Punah budaya asli, pada Nada dalam Tautan Bidang-Bidang]. Fadjar pun merasa kehilangan objek lukisnya. Dalam pandangannya, hasil industri itu banyak yang bentuknya indah dan enak dilihat, tapi bukan untuk dilukis. Menurutnya, barang-barang itu perlu dirusak dulu baru bisa dilukis atau dibuat patung.
“Saya kehilangan objek-objek pelukisan yang artistik dan puitis. [...] daripada menggambar objek-objek hasil kreasi para desainer industri itu, mengapa tak menciptakan bentuk sendiri saja untuk keperluan ekspresi murni yang bisa memenuhi tuntutan batin yang paling dalam?”[7]
Ia pun mulai menciptakan bentuk-bentuk semi-abstrak, awalnya masih mencitrakan alam atau binatang, yang berangsur-angsur menjadi semakin abstrak setelah Fadjar menjadi pangajar di STSRI Asri pada akhir 1961. Maka muncullah kemudian genre Dinamika Keruangan, seri lukisan khas Fadjar Sidik (Gb. 3). Lukisan-lukisan yang “hanya” menggambarkan bulatan-bulatan atau persegi-persegi tiada beraturan itu tidak lagi merepresentasikan bentuk apa pun di alam. Bentuk-bentuk ini disusun guna menghadirkan dinamika, kehidupan, dan biomorfik (persekutuan antara manusia dan alamnya). Ekspresinya menghadirkan dinamika, ketegangan, ritme, keseimbangan, dan prinsip-prinsip merupa lainnya. “Jika bentuk berubah, maka terjadi pula perubahan dalam ruangan,” katanya. “Nggambar itu menempati dan mengolah ruang. Ada dinamika, ada power, gerak yang dinamis. Maka dinamika yang menempati ruang saya sebut sebagai Dinamika Keruangan.”[6]
3. Dinamika Keruangan, Fadjar Sidik, 1969. Sumber gambar: Galeri Nasional.
|
———
[ii] Kelompok desain yang berbasis di London. Spesialisasinya merancang sampul album bagi para musisi rock seperti Pink Floyd, UFO, Led Zeppelin, AC/DC, Scorpions, Yes, The Alan Parsons Project, Genesis, Peter Gabriel, Electric Light Orchestra, The Police, dsb. Hip = baru, keren, dan groovy, dan Gnostik berkaitan dengan pengetahuan masa lalu.
———
[5] Dermawan T., Agus. In Memoriam Fadjar Sidik (1930-2004): Tenggelamnya Matahari Seni Rupa Modern. Jakarta: Kompas, Minggu, 25 Januari 2004.
[6] Wisetrotomo, Suwarno. Seni Lukis Fadjar Sidik: Solusi dari Dikotomi Estetik. Media dan waktu publikasi tidak diketahui.
[7] Fadjar Sidik. Taman Ismail Marzuki, http://www.tamanismailmarzuki.co.id/tokoh/sidik.html, diakses 5 November 2015.
[Bersambung » Persinggahan Sementara (3)]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar