“Keterhubungan yang terbaik tercipta hanya bila kasihmu kepadanya melampaui kebutuhanmu terhadapnya.” —Dalai Lama (1935)
Ibu saya, Betty (1928–2014) seperti kebanyakan ibu sezamannya, adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Namun di dalam yang biasa-biasa saja itu terdapat perhatian yang luar biasa besar kepada keluarganya: anak-anaknya, dan kelak juga kepada cucu-cucunya, yang acap kali melampaui kepentingannya sendiri. Ia mengawali hari-harinya dengan bangun paling pagi, dan menyudahinya dengan tidur paling malam. Dan di antara kedua waktu yang panjang itu, berderet kesibukan yang seperti tak ada usainya. Walau demikian, seluruh pekerjaan diselesaikannya satu-per-satu, dengan tekun, telaten, dan sebagaimana mestinya (proper). Tanpa keluh kesah. Serta sebisanya selalu dikerjakannya sendiri.
5. Betty Kardinata (1928–2014).
Tak ada motif-motif pribadi (pamrih) dalam pelayanannya, perjalanan hidupnya adalah sebuah kisah mengenai kasih seorang ibu.
|
Ibu saya memang sangat segan merepotkan orang lain. Ia senantiasa berupaya mengatasi sendiri masalah yang tengah dihadapinya. Bila sudah berada di luar kuasanya dan sekiranya membutuhkan pertolongan, barulah dengan amat sungkan ia akan memintanya.
Kami sekeluarga sangat beruntung, karena ibu selalu mengolah sendiri makanan sehari-hari kami. Dengan cita rasa tinggi, dan dengan menu yang terus berganti, sehingga tak menimbulkan rasa bosan [di antaranya ada beberapa kesukaan saya yang hingga sekarang sulit dicari gantinya]. Sampai-sampai ayah saya pernah punya ide untuk membukakan sebuah rumah makan bagi ibu.
Tapi sudah menjadi kebiasaan ibu, masakan terbarunya selalu disajikannya untuk suami dan anak-anaknya, sementara ia sendiri hampir selalu menghabiskan makanan sisa kemarin. Di dalam segala yang dilakukannya ini sesungguhnya terdapat semangat yang tulus untuk mendedikasikan dirinya bagi kebahagiaan orang lain. Minatnya dalam mempelajari resep-resep baru sebenarnya juga adalah ungkapan dari keinginannya untuk bisa membahagiakan orang-orang yang dikasihinya.
Mengenang ibu saya, seorang teman karib sekelas saya di Sekolah Dasar Petra, Ishak Enggano (l 1953), yang belakangan tinggal di Plano, Texas menulis demikian dalam sebuah suratnya:
“[...] I remember meeting her every time I came to visit you on Jalan Trunojoyo with my bicycle. She always greeted me with a big smile as I walked along the long corridor toward your bedroom which was located at the very back of your home. She was soft-spoken and sometimes offered me some drinks. She was always welcoming to your friends who visited you even though we could be rowdy at times. She was happy that you had so many good friends. [...] Sometimes I saw her cooking in the kitchen which was open to the backyard and was close to your bedroom. The aroma of her delicious cooking occasionally permeated all the way to your bedroom and made me hungry. [...]”
Dalam kesehariannya, ibu Betty senantiasa menampakkan kelembutan hatinya, peri lakunya pun halus—bahkan untuk ukuran seorang perempuan—ia selalu menghadirkan atmosfir menyejukkan. Ia tak pernah marah, atau barangkali (seandainya) marah pun, tidak pernah memperlihatkannya kepada anak-anaknya. Jika ada yang melakukan kesalahan ia tidak akan mencelanya. Ibu lebih memilih menyimpan perasaannya daripada mengumbarnya, dan itu berjalan secara alami saja. Ia tidak pernah berhasrat untuk menonjolkan diri atau jasanya, segala sesuatu dikerjakannya tanpa pamrih. Ibarat sebuah puisi, ia hadir, tapi tak mengusik. Sebagai subjek, ia sepi tak terperi.
Johannes Tan (l. 1953), teman jalan saya, yang kemudian menjadi bagian dari keluarga besar saya, menyampaikan impresinya mengenai ibu saya:
“[...] Your mother is a beautiful and elegant lady, not because she wears expensive designer brands, but because of her solid inner beauty that transcends all physical things.”
Ibu saya dilahirkan di Solo, dari seorang ayah yang bekerja sebagai kasir Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), sekarang: Kereta Api Indonesia (KAI). Belakangan, karena kakek dipindahtugaskan, ibu tinggal di Surabaya dan menempati rumah instansi PJKA di jalan Pacarkeling. Pada 1948, ibu menikah dengan ayah saya dan tidak lama setelah kakak saya Harry lahir, kami sekeluarga pindah ke jalan Trunojoyo 101 di kawasan Darmo. Saya dan kedua adik saya, Lina dan Ferry dibesarkan di rumah ini.
Pada Zaman Perjuangan, ketika Belanda kembali berusaha menduduki Indonesia (1945–1949), ayah dan ibu sekeluarga mengungsi dan tinggal di rumah famili di Malang, sekitar dua tahun lamanya. Pada masa ini, daerah Darmo dan sekitarnya (Rumah Sakit Darmo, Pos Polisi Darmo, perempatan Darmo Boulevard dan Coen Boulevard, jembatan Wonokromo, sekitar Kebun Binatang Surabaya) menjadi saksi bisu pertempuran-pertempuran sengit Arek-arek Suroboyo di bawah komando Bung Tomo (1920–1981) melawan tentara Sekutu. [Lihat juga: In Loving Memory of My Mother: Betty Kardinata (12 September 1928–27 Maret 2014)]
[Bersambung » Jalan yang Membebaskan (3)]
[Bersambung » Jalan yang Membebaskan (3)]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar