“Dalam keadaan belajar, tak ada guru maupun murid; yang ada hanyalah belajar.”
—J. Krishnamurti, Surat untuk Sekolah, 1 November 1978
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
[Bagian pertama dari lima tulisan]
Kalau ada yang menggunjingkan tentang kapan masa sekolah yang paling menyenangkan, maka kebanyakan orang akan sependapat bahwa hal itu dialaminya semasa bersekolah di SMA. Boleh jadi demikianlah halnya, mengingat masa ini memang merupakan masa pencarian identitas. Pada periode ini terjadi transisi dari usia remaja ke dewasa, di mana banyak pengalaman spesifik yang terjadi yang tidak akan pernah berulang. Ngebut di jalan raya, berkelompok-kelompok dalam gang, atau berkelahi. Juga menjadi saat mulai timbulnya rasa kebersamaan. Dan mulai berseminya apa yang disebut dengan cinta, walau hanya sebatas “cinta monyet” yang sering kali menyesatkan itu.
Tapi, saya sendiri selalu merasa waktu kuliahlah masa yang paling menggairahkan. Gairah itu bahkan sudah saya rasakan sejak mulai menapaki kota Yogyakarta pada 1972. Mungkin waktu itu saya terbawa oleh atmosfer kota yang kental dengan karakteristik seni dan budayanya itu, yang berlainan sekali dengan kota kelahiran saya, Surabaya yang industrial. Hasrat itu terasa semakin kuat saja ketika saya mulai mengikuti kuliah-kuliah di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) Asri. Beda dengan kala di SMA, hampir semua mata kuliahnya menarik perhatian saya, karena amat selaras dengan jiwa saya. Atau barangkali juga karena saya memperoleh segala sesuatu yang sama sekali baru dibanding dengan apa yang selama ini saya pelajari. Mungkin apa saja yang baru itu, asal sesuai dengan spirit jiwa saya, akan membangkitkan antusiasme saya untuk mencoba memahaminya dengan sepenuh hati. Walau sebenarnya tak semua dosen cara mengajarnya memikat saya. Sejak hari pertama kuliah di kampus Gampingan, saya malah sudah mendengar bermacam-macam “isu seram” terutama mengenai kebiasaan mengajar para dosennya ini.
Salah satunya yang sangat terkenal adalah bahwa sejak Asri berdiri pada 1949 [mulanya berstatus akademi, dengan nama Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI)][i] belum ada satu pun mahasiswa yang mampu menyelesaikan studinya tepat waktu, yaitu tiga tahun. Mereka yang setiap tahunnya harus mengulang sejumlah mata kuliah tertentu terbilang banyak sekali. Di jurusan Seni Lukis konon bahkan setiap tahunnya ada saja mahasiswa yang terguncang jiwanya dan menjadi linglung. Gemblengan bagi mahasiswa jurusan Seni Lukis masa itu memang tergolong berat. Barangkali karena adanya pandangan bahwa hidup sebagai seniman itu bukan perkara ringan. Menjadi seniman adalah sebuah pertarungan terus-menerus untuk memperjuangkan eksistensi, memiliki identitas, dan memosisikan diri di tengah masyarakat.
Kondisi pendidikan di ASRI ini pernah digambarkan oleh pengamat seni rupa Mikke Susanto melalui riwayat hidup pelukis Irsam:
“Setelah mendapat gelar Sarjana Muda, ia pulang kampung. Ia kaget, ternyata ketika pulang ke Ketandan, ia disambut oleh Lurah Ketandan dengan cucuran air mata. Rupanya Pak Lurah merasa sangat bangga ada warganya yang lulus sebagai sarjana. Apalagi Irsam tercatat sebagai salah satu sarjana lulusan Jurusan Seni Lukis di angkatannya. Dari sekitar 100 mahasiswa ASRI angkatan 1959, hanya 4 orang saja yang lulus, antara lain Irsam, Suwadji, V.J. Herman, dan Martindo.”[1]
Seluruh dosen Asri, baik yang mengajar di jurusan seni murni maupun seni terap, adalah lulusan perguruan tinggi itu sendiri, yang sebelumnya sedikit banyak juga telah menjalani tempaan serupa. Sampai pada tahun 1970-an, kurikulum jurusan seni terap masih bertumpang tindih dengan kurikulum seni murni; mahasiswa jurusan seni terap juga memperoleh mata pelajaran Antropologi, Pengantar Kritik Seni, dan kemudian juga Filsafat Seni, Sejarah Seni Lukis Modern, bahkan Kritik Seni. Dengan begitu, dosen-dosen yang mengajar mata kuliah umum banyak di antaranya yang adalah seniman murni. Toh berbagai isu yang beredar yang kabarnya menakutkan itu, justru sukses dalam mendorong saya untuk berikhtiar menaklukkannya. Dan hal itu agaknya yang telah membuat gairah belajar saya menyala terus.
Isu menyeramkan lainnya adalah mengenai muskilnya lulus dari ujian mata kuliah Filsafat Seni. Pelajaran ini saya terima pada semester ganjil 1974. Dosennya memang terlihat angker dan mahal senyum, namanya Abdul Kadir. Ia dikenal dengan sebutan dosen killer. Pada saat kuliahnya, seluruh kursi aula kampus Gampingan padat terisi, bahkan luber, sehingga harus meminjam kursi dari ruang kelas terdekat. Rupanya hal itu disebabkan oleh menumpuknya mahasiswa dari berbagai jurusan yang belum lulus, yang jumlahnya semakin banyak saja setiap tahunnya. Namun bila disimak dengan seksama, pelajaran yang ia berikan itu sebenarnya cukup sistematis, diktatnya juga mudah diserap. Mungkin juga pendapat ini terdengar terlalu personal, karena pada dasarnya saya memang menyukai filsafat. Tapi, Filsafat Seni, yang merupakan induk dan landasan pengetahuan mengenai seni, sesungguhnya penting untuk dipelajari oleh mahasiswa semua jurusan. Melalui kuliah-kuliahnya, Abdul Kadir mengajak mahasiswanya melacak jejak perjalanan berbagai pemikiran seni sejak dari Plato pada awal abad ke-4 SM hingga yang terkini.
1. Kampus Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) Asri di jalan Gampingan, Yogyakarta (1957–1997). Sumber gambar: Baskoro Suryo Banindro. |
Benci pada disiplin
Ada lagi seorang dosen, yang bila belum mengenalnya, melihat tongkrongannya saja sudah bisa bikin hati mengkeret. Ia adalah Soedarso [lebih dikenal sebagai Soedarso Sp., MA (1936–2008)]. Dengan tubuhnya yang tinggi besar dan gaya yang berkharisma, ia mengajarkan Sejarah Seni Lukis Modern menjadi mata kuliah yang sangat menarik. Saya menerima ajarannya juga pada semester ganjil 1974. Dan kemudian pada semester genap 1974, saya bertemu kembali dengannya dalam mata kuliah Sejarah Seni Rupa Timur. Sebetulnya Soedarso sosok yang memikat, mengajarnya pun terang benderang, terstruktur, dan mudah dimengerti. Suwarno Wisetrotomo (1962), kritikus seni rupa yang juga pernah belajar kepadanya, menjulukinya sebagai ‘pembawa virus informasi dan inspirasi’ melalui metode mengajarnya yang didampingi dengan beragam foto slide, yang tak bisa disangkal berpengaruh pada pemikiran dan kreativitas mahasiswa tahun 1970-an.[2]
Yang membuatnya disegani selain penguasaannya terhadap bidangnya—Soedarso dikenang sebagai sejarawan seni rupa—adalah karena ia mempraktikkan disiplin belajar mengajar secara kukuh, sesuatu yang diwarisinya dari sistem pendidikan di masa kolonial. Ia mensinyalir bahwa disiplin yang merupakan warisan penjajah telah ikut lari bersama perginya para penjajah dari bumi Indonesia. Malaysia dan Singapura yang kemerdekaannya diperoleh sebagai hadiah, tidak benci kepada bekas penjajahnya, dan dengan demikian masih akrab dengan disiplin. Bangsa Indonesia yang dengan gagah dan gigih merebut kemerdekaannya dari penjajah, benci pada penjajah—setidaknya dulu—dan karena itu benci pada disiplin. Padahal, besar sekali hubungan antara dunia komunikasi modern dengan sikap disiplin; disiplin waktu, disiplin menggunakan jalan umum, disiplin demarkasi hak milik, disiplin ilmiah, dan sebagainya.
“Kita tidak bisa membayangkan bagaimana jam karet harus berurusan dengan derunya pesawat jet, bagaimana ketidaktepatan waktu harus berhadapan dengan penerbangan ruang angkasa, dan bagaimana pula alon-alon waton kelakon harus menyesuaikan diri dengan mesin pabrik baja Cilegon, dengan listriknya yang harus dibayar setiap sekon dan dengan ban-berjalannya yang bergerak terus tanpa memerhatikan kesiapan orang-orang yang melayaninya.”[3]
Dosen-dosen Asri lainnya yang juga menerapkan disiplin serupa adalah Soetopo Mangkoediredjo (1924–?), dan Fadjar Sidik (1930–2004). Soetopo adalah mahasiswa angkatan pertama jurusan Redig (singkatan dari Reklame, Dekorasi, Ilustrasi Grafik) yang merupakan cikal bakal Program Studi DKV ISI Yogyakarta. Di masa baru berdiri, bidang pendidikan seni yang diselenggarakan di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) adalah Seni Lukis, Seni Patung, Seni Pertukangan, Redig, dan Jurusan Guru Menggambar. Pada 1962, Soetopo direkrut sebagai tenaga pengajar, dan di kemudian hari menjadi Ketua Jurusan Seni Reklame [setelah menjadi jurusan tersendiri] untuk periode 1969–1979. Saya sempat diajarnya sepanjang masa studi saya di STSRI Asri (1972–1975) dan mengecap metode mengajarnya yang dipengaruhi oleh model pendidikan Belanda itu. Dalam mengajar misalnya, ia menekankan analisis masalah yang didasarkan pada logika; apa-apa haruslah logis. Selain itu, kesiapan mahasiswa dalam merespons realitas di dunia kerja menjadi perhatian utamanya. Pendidikan diarahkan untuk mencetak desainer siap pakai. Di bawah arahannya, kesadaran akan fungsi lebih ditekankan daripada ekspresi artistik. Ketrampilan gambar diutamakan (selain fotografi) dan saya ingat bahwa pada masanya huruf masih mesti digambar satu-persatu [huruf gosok Letraset atau Mecanorma baru beberapa tahun kemudian bisa didapatkan di Indonesia, demikian pula halnya dengan Rugos (produksi lokal)]. Puncak pengabdiannya sebagai pendidik dicapai pada 1987 ketika ia menerima Anugerah Pariwara yang pertama dari Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I). Dua tahun kemudian, Soetopo memasuki masa pensiunnya, setelah 32 tahun 2 bulan lamanya mengabdi kepada negara.
Sadjiman Ebdi Sanyoto (1942), salah seorang murid Soetopo mengenang pengalaman bersama teman-temannya yang kerap diajak Soetopo menggarap proyek-proyek desain billboard:
“Pak Topo pendidikannya zaman Belanda. Orangnya rajin dan sangat disiplin. Kalau menggambar posisi kuas agak miring, cat tak boleh kena sampai besi di tangkai kuas. Karena kalau kena besinya, cat akan menetes. Kalau sampai kena besi, harus dilap. Siapa saja yang kalau menggambar billboard catnya netes, besoknya tak akan diajak lagi. Apalagi sampai menumpahkan cat. Tangan pun harus selalu bersih sampai selesai. Sehingga selama dua tahun ikut proyek pak Topo yang tersisa hanya dua orang, saya dan Parsuki. Saya kemudian dijadikan asisten—bukan karena saya pintar, tapi karena disiplin, rapi dan sebagainya.”[4]
Bersama Parsuki (1942–2015), Sadjiman kemudian mengikuti jejak gurunya itu sebagai pengajar di STSRI Asri. Bertiga bersama Lie Djien An, mereka melanjutkan disiplin mengajar Soetopo sesuai dengan gayanya masing-masing. Parsuki memberikan Dasar-dasar Seni Reklame, Lie Djien An mengajar Tata Cahaya, sementara Sadjiman mengampu teori-teori dasar desain, Desain Elementer, yang kini populer disebut dengan Nirmana [metode pengorganisasian elemen-elemen visual seperti bentuk, raut, ukuran, arah, warna, value, tekstur, dan ruang menjadi satu kesatuan yang harmonis].
———
[i] Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) didirikan pada tanggal 15 Desember 1949 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP&K) No. 32/Kebudayaan. Tapi peresmiannya sendiri baru dilakukan pada 15 Januari 1950. Menjelang akhir 1949, Menteri PP&K, S. Mangoensarkoro, membentuk Panitia Pendirian Akademi Seni Rupa, dengan R.J. Katamsi Martorahardjo (1897–1973) sebagai ketuanya, yang harus menyelesaikan tugasnya dalam waktu satu bulan. Ketergesaan ini didorong oleh adanya keinginan agar akademi tersebut didirikan ketika Yogyakarta masih merupakan ibukota negara. Sebagaimana tercatat kemudian, pada Selasa, 27 Desember 1949—12 hari sesudah surat keputusan pendirian tersebut dikeluarkan—Ratu Juliana menandatangani pengakuan atas kedaulatan Republik Indonesia, dan berdirilah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Jakarta sebagai ibukotanya. Berdirinya ASRI diresmikan oleh Menteri PP&K di Bangsal Kepatihan Yogyakarta dengan mengangkat Katamsi sebagai direkturnya yang pertama (1950–1958). ASRI adalah embrio Fakultas Seni Rupa Institut Seni Rupa (ISI) Yogyakarta.
———
[1] Susanto, Mikke. Jejak Dekoratif Irsam. 2012. Yogyakarta: JogjaNews.Com, http://mikkesusanto.jogjanews.com/jejak-dekoratif-irsam.html, diakses 3 Mei 2016.
[2] Wisetrotomo, Suwarno. 2013. Dari Poros Gampingan ke Poros Sewon – Bantul. Desain Grafis Indonesia, http://dgi.or.id/in-depth/history/dari-poros-gampingan-ke-poros-sewon-bantul.html, diakses ...
[3] Soedarso. Mengantisipasi Pendidikan Seni di Era Globalisasi. Yogyakarta: Mata Jendela, Edisi No. 3/2007 (Juli–September).
[4] Ediron. Drs. Sadjiman Ebdi Sanyoto: Disiplin dan Rendah Hati. Jakarta: Majalah Desain Grafis Concept, Vol. 04 Edisi 21, 2008, h. 52.
[Bersambung » Persinggahan Sementara (2)]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar