24.11.17

Mengikuti Jalan (3)

[Sambungan dari: Mengikuti Jalan (2). Bagian ketiga dari lima bagian]


Tak ingin menanam, memetik buahnya
Flow with whatever may happen and let your mind be free. Stay centered by accepting whatever you are doing. This is the ultimate. —Chuang Tzu (sekitar 369–286 SM)
Sekitar pertengahan 1980, kantor Citra Indonesia pindah ke sebuah rumah yang jauh lebih besar dan nyaman di jalan Bangka I/21, Kemang. Salah seorang teman baik saya, Sutjipto Tantra (l. 1950) telah bergabung di CI. Pengalaman sebelumnya dalam mengurus administrasi keuangan di biro iklan Matari, dan kemudian dalam mengelola sebuah percetakan, sangat mendukung pengembangan sebuah studio grafis. Citra Indonesia membuka babak barunya dengan berkarya di ruang yang disewa khusus untuk bekerja, meninggalkan “tradisi lama” nya: berkarya di rumah sendiri. Pada 1980-an, kawasan Kemang masih agak lengang, lalu lintasnya pun jauh dari padat, dan dikenal lebih sebagai lokasi hunian elitis bagi ekspatriat daripada sebagai tempat nongkrong (hang out) seperti citranya dewasa ini.

Pada tahun 1987, Kementerian Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (UP3DN) baru dibentuk. Bekerjasama dengan ITB dan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), institusi itu menyelenggarakan sayembara cipta poster dan stiker. Tujuannya untuk meningkatkan citra produk buatan dalam negeri serta mendorong masyarakat untuk lebih memercayai dan mau menggunakan barang buatan anak negeri sendiri. Kompetisi ini rupanya menarik minat banyak sekali desainer grafis karena nominal hadiahnya yang menggiurkan; terbilang yang terbesar pada masanya. Namun saya sama sekali tidak berminat untuk ikut berlomba. Kala itu mungkin sekali saya masih belum bisa sepenuhnya memercayai independensi dan reputasi para juri kompetisi di Indonesia. Perbedaan metode pengajaran di sekolah-sekolah seni rupa yang ada membentuk “kubu-kubu” dan mewarnai selera juri kala itu.

Suatu hari, salah seorang desainer CI, Kusbiantoro, yang bermaksud mengikuti lomba, memperlihatkan sejumlah sketsa rancangan posternya untuk saya komentari. Setelah memberikan sejumlah masukan, untuk beberapa saat kemudian pikiran saya jadi terfokus pada lomba itu. Saya pikir konsepnya mestinya bisa lebih strategis. Saya pun lalu membuat beberapa coretan konsep, dan salah satu yang saya anggap terbaik saya berikan kepadanya untuk ia eksekusi atas namanya sendiri. Sampai pada saat ini saya masih tidak ingin mengikuti kompetisi itu. 

Tapi Kus, demikian saya biasa memanggilnya sehari-hari, rupanya telah begitu terbenam dalam penyelesaian karyanya sendiri. Ia terlalu asyik mengeksekusi gagasannya dengan teknik cat semprot (air brush). Cara ini memang butuh waktu pengerjaan yang relatif panjang karena kehalusan tekniknya menuntut penggunaan sistem buka-tutup masking yang cukup kompleks. Hingga dua atau tiga hari menjelang waktu penutupan penyerahan karya, saya lihat ia masih terus bergelut dengan karyanya itu. Saya yang merasa sayang dengan konsep yang sudah terlanjur saya buat itu lantas memintanya kembali darinya. Dengan sisa waktu yang ada saya berharap bisa mengeksekusinya sendiri di rumah. 

Sebelumnya, saya mesti menyiapkan dulu semua perangkat grafis yang saya butuhkan, mengingat sudah cukup lama saya tidak memakainya. Sejak mendirikan kantor, saya lebih banyak merancang konsep untuk dieksekusi oleh para asisten desainer. Atau lebih berperan dalam memberi pengarahan (art directing), dan jarang mengeksekusi sendiri. Meja gambar dan peralatan untuk mengaplikasikan teknik cat semprot mesti disiagakan. Saya tidak bisa mengandalkan keseluruhan pengerjaannya pada teknik kuas kering (dry brush) semata [Lihat: Nada dalam Tautan Bidang-Bidang (2)] karena sisa waktu yang tersedia bagi saya terlalu sedikit. Teknik kuas kering membutuhkan waktu pengerjaan yang relatif lebih lama, terutama untuk mengisi (fill in) bidang-bidang besar. Jadi saya mesti mensiasatinya dengan cat semprot terlebih dahulu, dan baru menggunakan teknik kuas kering saat melukiskan detailnya. Huruf gosok yang saya pergunakan sudah harus saya kalkulasi betul besaran (point-size) nya, diselaraskan dengan dimensi kertas dan format gambar. Kalau meleset bisa fatal akibatnya, karena harga huruf gosok yang tidak murah dan juga sebab lokasi tempat penjualannya yang sangat jauh dari rumah saya [ketika itu saya sudah tinggal di Desa Sawah Lama, Ciputat yang termasuk wilayah Tangerang Selatan, sementara toko-toko peralatan grafis berada di Jakarta Pusat]. 

Dengan berbagai keterbatasan itu, saya justru semakin bersemangat, terutama karena ada semacam keyakinan kuat bahwa pendekatan konsep saya itu memiliki peluang untuk menang. Saya diuntungkan oleh kesederhanaan ide, bentuk serta karakternya yang serba minimal, dan tidak bisa membayangkan seandainya dengan sisa waktu yang ada saya mesti mengeksekusi sesuatu dengan tingkat kompleksitas yang tinggi. Yang harus saya gambarkan “hanya” sebuah dasi kupu-kupu dan lengan perempuan memegang tas belanja dengan label bertuliskan ‘Buatan Indonesia’ (Gb. 4). Itu saja. Sementara sosok perempuannya sendiri saya abstraksi, “diredam” dalam kegelapan latar belakang yang kosong. 

Elemen-elemen visual itu saya maksudkan untuk mewujudkan citraan kelas atas, kelas sosial yang saya tetapkan sebagai target dari ajakan untuk memakai produk nasional. Analisis saya waktu itu adalah bahwa mode selalu bergerak dari atas ke bawah, kelas di bawah hanya mengikuti atau meniru saja apa yang jadi tren di kelas di atasnya. 

Tetap saja waktu yang tersisa tidak mencukupi guna menggambarkan semua elemen yang mesti tersaji secara realis itu dengan sempurna. Apa boleh buat, karya itu harus saya anggap selesai pada waktunya. Melalui kurir kantor, poster Buatan Indonesia saya kirimkan ke panitia penyelenggaranya menjelang menit-menit terakhir tenggat waktunya. 

4. Poster Buatan Indonesia. Mengapa Tidak?, Hanny Kardinata, 1987.

Seluruh elemen desain (dasi kupu-kupu, tas belanja dengan label
Buatan Indonesia, warna merah putih, dan hitam) dimaksudkan untuk menggambarkan citra perempuan kelas atas yang berdasarkan analisa psikologis ketika itu (tahun 1980-an):

• Merupakan golongan yang gemar mengkonsumsi barang- barang bermerek produksi luar negeri.
• Mode bergerak dari atas ke bawah. Kalau anjuran ditujukan
ke kalangan atas, yang di bawah (kelas menengah) akan
mengikutinya. Anjuran untuk menggunakan produk dalam negeri jelas tidak akan mengenai sasaran bila ditujukan ke kalangan bawah. 

Judul poster berwujud himbauan, bukan kalimat perintah. Dan sosok perempuannya dibiarkan melayang dan menyatu dengan latar belakangnya (figure/ground relationships)

Dan akhirnya karya itu memang dinyatakan sebagai pemenangnya [Baca tahap Wu Wei pada Mengikuti aliran, pada Jalan Membebaskan (3)]. Lomba ini dikuti oleh ratusan desainer grafis; submisi karya poster berjumlah 313 buah, stiker 278 buah. Bagaimana pun, saya merasa kerja serba tergesa seperti itu bukanlah sesuatu yang layak ditiru. Walau beruntung bisa memenangi beberapa kompetisi yang saya ikuti dalam keadaan serba “terpaksa” seperti itu—saya selalu pasif menyikapi lomba-lomba desain—proses yang berlangsung serba bergegas akan memunculkan “jarak” antara desainer dan karyanya.
To travel is to be alive, but to get somewhere is to be dead, for as our own proverb says, “To travel well is better than to arrive.” —Alan W. Watts (1915–1973), The Way of Zen, 1957

[Bersambung » Mengikuti Jalan (4)]

***


Tidak ada komentar:

Unggulan

Merajut Keterhubungan

Sebuah esai merespons tema pameran Forum Grafika Digital 2017 (FGDexpo 2017), Connectivity (Jakarta Convention Center, 24–27 Agustus 2017). ...