30.11.17

In Loving Memory of My Mother: Betty Kardinata (12 September 1928–27 Maret 2014)




“Your mother is a beautiful and elegant lady, not because she wears expensive designer brands, but because of her solid inner beauty that transcends all physical things.”
Kutipan di atas ditulis dan dilayangkan oleh sahabat baik saya (yang kemudian menjadi bagian dari keluarga besar saya), Johannes Tan; ditulisnya dari Portland, Oregon hanya beberapa saat setelah menerima berita mengenai telah tiadanya ibu saya. 

Apa yang disampaikannya sesungguhnya tidaklah berlebihan. 

Ibu saya memang sangat lembut hatinya, halus peri lakunya, bahkan bagi ukuran seorang perempuan. Ibu tak pernah marah, atau barangkali (seandainya) marah pun, tidak pernah memperlihatkannya kepada kami. Ibu lebih memilih menyimpan perasaannya daripada mengumbarnya, yang berjalan secara natural, atau wajar saja.

Ibu Betty, seperti kebanyakan ibu sezamannya, adalah ibu rumah tangga biasa. Di balik yang biasa-biasa saja itu ada perhatian yang luar biasa besar kepada anak-anaknya, dan kelak juga kepada cucu-cucunya, yang acap kali melampaui kepentingannya sendiri. 

Ibu selalu memasak sendiri makanan sehari-hari kami, dengan cita rasa tinggi, dan menu beragam, sehingga tak pernah menimbulkan rasa bosan. Tapi sudah menjadi kebiasaannya, makanan terbaru yang dimasaknya selalu disajikannya untuk keluarga, suami dan anak-anaknya, sementara ibu hampir selalu menghabiskan makanan sisa kemarin.

Sudah menjadi nature-nya juga, ibu sangat segan merepotkan orang lain. Sebisa mungkin berupaya mengatasi sendiri pekerjaan, atau masalah-masalah yang tengah dihadapinya. Tanpa keluh kesah. Sebagai “pelayan” keluarganya, ibu selalu masuk tidur paling akhir, dan bangun paling awal.

Ibu tidak pernah memiliki hasrat untuk menonjolkan diri—atau jasanya. Ia melakukan segala hal tanpa sedikit pun disertai pamrih. Ibarat sebuah puisi, ia hadir, tapi tak mengusik. Sebagai subjek, ia sepi tak terperi.

Ibu saya dilahirkan di Solo, dari seorang ayah yang bekerja sebagai kasir PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api). Belakangan, karena kakek dipindahtugaskan, ibu tinggal di Surabaya dan menempati rumah instansi PJKA di jalan Pacarkeling. Pada 1948, ibu menikah dengan ayah saya Eddy Kardinata dan tidak lama setelah kakak saya Harry lahir, sekeluarga pindah ke jalan Trunojoyo 101, Darmo. Saya dan kedua adik saya, Lina dan Ferry dibesarkan di rumah ini. 

Pada Zaman Perjuangan, ketika Belanda kembali berusaha menduduki Indonesia (1945–1949), ayah dan ibu sekeluarga mengungsi dan tinggal di rumah famili di Malang, sekitar dua tahun lamanya. Pada masa ini, daerah Darmo dan sekitarnya (Rumah Sakit Darmo, Pos Polisi Darmo, perempatan Darmo Boulevard dan Coen Boulevard, jembatan Wonokromo, sekitar Kebun Binatang Surabaya, dll.) menjadi saksi bisu pertempuran-pertempuran sengit Arek-arek Suroboyo (di bawah pimpinan Bung Tomo) melawan tentara Sekutu.

Pagi hari, 14 September 2013, saya berada dalam perjalanan dari Jakarta ke Surabaya, ditemani oleh dua sahabat saya aktivis-aktivis Indonesia Bertindak, Iwan dan Indah Esjepe. Ini merupakan kunjungan saya yang pertama sejak lima tahun terakhir, dengan tujuan menengok ibu saya yang sudah sakit-sakitan, bertepatan dengan perayaan hari lahirnya yang ke-85. Kedatangan saya ini menjadi kejutan kecil bagi ibu saya, karena saya sengaja tidak berkirim kabar terlebih dulu.

Rupanya ini adalah momen perjumpaan terakhir saya dengan ibu, karena sesudahnya, kondisi kesehatannya menurun terus, dan pada 27 Maret 2014 pukul 17.50 ibu berpulang dalam damai—seusai membisikkan ‘Halleluyah (Praise the Lord)’—kembali ke Penciptanya yang telah sangat dirindukannya sejak beberapa tahun terakhir.

Selamat jalan, Mama. Terima kasih atas segala hal baik yang telah kau berikan kepada kami. Thank you for all your goodness. Semoga Mama sekarang boleh merasa betah (at home) tinggal dan menetap di rumah abadi.


Hanny Kardinata
Bintaro, Tangerang Selatan, 3 April 2014



"How Slow the Wind [soprano and string quartet, on a text adapted from poetry by Emily Dickinson] is in memory of a friend, Mariel Stubrin. [She] died in an accident while driving in the south of Chile (a landscape similar to northern California) in January 2001. It is about sudden death, about an instant in which life turns upside down, unlike a process of slow death. I think that Emily Dickinson's words could be understood like that. I imagine that those words could represent the feeling that Mariel's husband, Dario (a friend of mine since childhood), felt the minute after the accident. The voice is a call from a flying spirit, and the strings are the wind." —Osvaldo Gojilov, 2001
How Slow the Wind
How slow the wind
How slow the sea
Is it too late to touch you, dear?
We this moment knew:
Love marine and love terrene,
love celestial too.
Oh, how late their feathers be.
.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  


Ungkapan simpati dari kerabat dan sahabat 

Han, tadi pagi dengar kabar duka via Melanie/Babe Halim. Kami semua turut berdukacita sedalam-dalamnya. Your mother is a beautiful and elegant lady, not because she wears expensive designer brands, but because of her solid inner beauty that transcends all physical things. You and your siblings are lucky to have a mother like her, and may she rest in Peace.

Johannes Tan
Portland, Oregon, USA
28.3.2014

.   .   .  


Dear Koh Liong, Liat, Nonik, Lay dan seluruh keluarga,

Saya baru dengar dari Papa bahwa Tante Betty sudah pulang ke rumah Bapa.

Mudah2an jalannya mulus dan kita semua percaya bahwa Tante Betty sudah terlepas dari semua derita dunia dan sudah bahagia di atas sana. 

Yah, Tuhan sudah menentukan begini, yang ada hanya kenangan masa lalu.  Kita masih ingat sekali dari mulai kita kecil sering menginap di rumah Trunodjojo. Tante and Oom selalu menerima keluarga kita mampir dan nginap begitu sering, selalu merepotkan.  Kita pernah bergantian naik zespan nya Oom keliling2 sekitar Trunodjojo.  Tapi kita senang sekali bisa main bersama Nonik dan juga ngobrol ngalor-ngidul sama kalian semua.  Ingatkah waktu kita ke Pasir Putih ber-hari2 bersama keluarga Opa Ping Lee dan Mak/Engkong Soen Tjhiang, menginap di rumah hijau/creme di pinggir pantai, setiap hari main di pasir, makan ikan tongkol dan nasi panas, pokoknya kenangan masa kecil bersama keluarga kalian.  

Meskipun saya sekarang tinggal jauh banget dan tidak pernah ada kabar, tapi saya masih ingat banyak sekali dan mudah2an kita tetap erat di dalam hati ya.

Semoga kalian semua diberi kekuatan dan ketabahan atas perginya Tante Betty dan semoga kalian semua bersama keluarga dikarunia kesehatan dan kemudahan dalam hidup.
Please accept our sympathy and deepest condolences.
Liat, tolong email ini disampaikan ke Koh Liong, Nonik, dan Lay.

Salam dalam duka cita,
Holien, Kris, James Prayitno
Delta, BC Canada
28.3.2014

.   .   .   
   

Turut berduka cita Han. Tuhan sudah sediakan tempat tinggal buat Mama Han, itu janji Yesus saat kembali ke Bapa. Tuhan kuatkan Han. Amin. 

Henricus Kusbiantoro
Brand designer
New York City
29.3.2014

.   .   .  


Turut berduka sedalam2nya pak Hanny, saya ikut merasakan sangat kehilangan. Yakin selalu ada jalan buat keluarga yang sudah susah payah dibesarkan beliau dan sangat berguna bagi kami semua.

Khususnya Desain Grafis Indonesia. Doa kami selalu. Amin. 

God Bless.   

Febrie Koent
Ketua Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (Adgi) Chapter Surabaya
29.3.2104

.   .   .  


ikut berduka cita pak Hanny Kardinata... foto ini lembut sekali. semoga demikianlah kenangan dan harapan kita untuk orang yang mendahului kita semua...

Dharmawan Handonowarih
Jakarta
29.3.2014

.   .   .  


Thanks mom for everything you give in our life. Looks similary with you Hanny.

Anton Satya
Malang
29.3.2014

.   .   .  


Han. Gecondoleerd met het heengaan van je lieve moeder. Alles goed met jou? Pas goed op je gezondheid!

Steve Sondakh
29.3.2014

.   .   .  


selamat jalan ibu Betty Kardinata pahlawan bagi anak2 dan keluarga …. Tuhan menyertaimu … 

Engel Tanzil
Dia.Lo.Gue Artspace
Jakarta
3.3.2014

.   .   .  


Habis membaca in memoriam Ibu Betty Kardinata...

Cukup dengan mengenal Pak Hanny, saya yakin Ibu Betty Kardinata pasti sosok yang luarbiasa. 

Danu Widhyatmoko
Staf pengajar DKV Binus University
3.3.2014

.   .   .  


What a beaufiful  memory and inspring writing :-)

Sutjipto Tantra
Cinere, Cinere 16514, Depok
3.4.2014

.   .   .  


Well rested and happy soul.......tante Betty is very proud of you, Han Liat!!!

Mika (Oei Hwie Bing)
Surabaya
3.3.2014

.   .   .  


Liat, ik kaget lihat fb dan baru tahu mami meninggal. Ikut berduka cita pada kalian semua. Baru ik telpon tapi tidak diangkat. Apakah tante Bet sakit, sakit tua atau bagaimana akhirnya? Saya masih  ingat betul hari hari di Trunojoyo bagaimana mami kalian begitu sabar, cantik dan ikut saja dengan papi naik zijspan motor. Untuk dikenang tapi tak kan kembali. Akan ik save foto2, dan masih ada foto2 lain yang ada di album yang ik simpan. Salam dari Tjhiang dan ik, juga sampaikan pada Noni Lian. 

Pucky Pringgosusanto
Jakarta
3.4.2014 

.   .   .  


perbuatan yang baik tidak akan lenyap dalam ingatan orang yang baik... 

Dharmawan Handonowarih
Jakarta
3.4.2014

.   .   .  


Sayapun sempat merasakan kebaikan seorg ibu atau yg sering kami sebut oma Bet.dan sypun ikut memiliki bbrp resep masakannya. kami jg akan selalu mengenang... tante.. oma Bet yg selalu rapi.. berhati lembut.

Shirley Angger
Banjarmasin
3.4.2014

.   .   .  


Dear Han Liat,

Please accept our deepest condolences on the passing of your mom. She was kind, gentle, and very gracious lady and we all miss her.

I remember meeting her every time I came to visit you on Jalan Trunojoyo with my bicycle. She always greeted me with a big smile as I walked along the long corridor toward your bedroom which was located at the very back of your home. She was soft-spoken and sometimes offered me some drinks. She was always welcoming to your friends who visited you even though we could be rowdy at times. She was happy that you had so many good friends. You know when I was very young I really thought that we were related because of the similarity of our names (Kwee Han Liat and Kwee Hong Liat). Sometimes I saw her cooking in the kitchen which was open to the backyard and was close to your bedroom. The aroma of her delicious cooking occasionally permeated all the way to your bedroom and made me hungry. I do remember your older brother Han Liong (Harry) and your sister Gwat Lian (Lina), but I don’t remember your younger brother Ferry.

Give my regards to all your brothers and sister. Please keep in touch and I hope to see you soon.

Ishak Enggano (Hong Liat)
Dokter di North Mississippi Medical Center
Plano, Texas, USA
4.4.2014

.   .   .  


ibu, aku menyebut beliau sebagai asisten-Nya, semoga mama pak Hanny Kardinata damai di rumah-Nya yang abadi 
Iqbal Rekarupa

Desainer grafis, pekriya
Yogyakarta
3.4.2014

.   .   .  


don’t worry, ibumu happy di sana banyak temannya antara lain ibuku...

Priyanto Sunarto
Desainer grafis, kartunis, pengajar pasca-sarjana DKV ITB
Bandung
3.4.2014

.   .   .  


Mas Hanny tercinta,

Saya baru sadar kalau perjumpaan saya dengan beliau dan pak Eddy sudah sekitar 36 th yl. Ibu dan ayah saya juga masih hidup waktu itu dan kami disuguhi es krim.

Sangat menyentuh tulisan mas Hanny tentang beliau. Sama lembutnya dengan beliau sendiri. Ada kesinambungan antara bu Betty dan mas Hanny bahkan Sherly yang cantik dan anggun. Semoga masih akan berlanjut terus  keheningan bahagia seperti itu melalui Swara dan keturunannya nanti.

[...] Rupanya juga ada tanda-tanda musim-semi politik yang menyegarkan. Semoga Jokowi-Ahok-Risma berhasil mengangkat martabat rakyat jelata dengan ketulusan kasih sayang seperti halnya bu Betty pada keluarga.

Salam hangat untuk mas Hanny sekeluarga termasuk mbak Indah dan mas Iwan.

Slamet A. Sjukur
Komponis
Jakarta
4.4.2014  

.   .   .  


Han, that’s a touching tribute you paid to your beloved mama. I had no idea that you put my raw sentence as a quotation at the beginning of the eulogy. Had I known that, I would have polished and embellished the sentences a little bit. Because basically what I wrote was just spontaneously flowing from the mind to the keyboard ;-)

Johannes Tan
Portland, Oregon, USA
4.4.2014

.   .   .  


selamat jalan ibunya pak hanny,
saya jadi teringat ibu saya yg sudah pergi 9 maret 2010, 72th,
saat itu saya tdk bisa hadir,
saya bisa pulang sehari setelah pemakaman,
ketempat pusaranya, merenung dan tak tau apa yg direnungkan,
lalu ada perempuan tua datang,
dia kenal saya tapi saya tidak kenal, dan menyapa begini:
ibumu lebih ayu saat meninggal dibandingkan waktu masih hidup,
seraya mencubit lengan saya, ibumu pergi ketempat plesir yg sangat indah
hadiah dari gusti Allah karena tugasnya didunia sudah diselesaikan dengan baik,
saya memandang perempuan itu,
ya, sepertinya itu tetangga, begitu ya bu, kata saya,
seperti ada rentang waktu yg hilang,
perempua itu lebih mengenal ibu saya dibandingkan saya sendiri,
ada rasa sesal, seperti tak memperhatikan ditahun-tahun terakhir,
ya saya salah. saya jalan kaki pulang sambil nangis tapi tak keluar air mata,
mengenang masa kanak-kanak.
jadi anak laki kalau menangis nggak boleh keluar air mata, kata ibu saya.
Selamat Jalan ibunya pak Hanny,
semoga bertemu ibu saya ditempat plesir yang sangat indah,
amin, salam untuk keluarga

Noor Wulan
Desainer grafis
Tangerang
5.4.2014

.   .   .  


Hi Liat,

A very nice eulogy for your mom...........
You take good care of yourself.

Holien
Delta, BC Canada
9.4.2014

.   .   .  


Hi Liat,

Ini zus Maud.

Eulogi yang Liat buat untuk tt Bet sangat bagus.
Setuju sekali dengan apa yang ditulis disitu.
Liat mempunyai begitu banyak teman2 dekat yg mengenal your mom.

May she rest in PEACE.

Juga Irwan, Guido, Rubi dan Lina beserta keluarga masing2 ikut berdukacita.

Mereka masih mengenangnya with sweet memories.

Salam,
Zus Maud n Koh Ronald
Dokter
Surabaya
9.4.2014

.   .   .  

29.11.17

Citra Indonesia di Masa Revolusi, Terbingkai dalam Perangko

Citra Indonesia di Masa Revolusi, Terbingkai dalam Perangko, Hanny Kardinata, Rubrik Designer Box, Majalah Concept 03, Edisi 14, 2006.

Citra suatu pemerintahan biasanya tercermin pada desain perangkonya saat itu. Ketika Indonesia berada di bawah pemerintahan Hindia-Belanda, kita pun akrab dengan perangko yang menampilkan para penguasa Belanda: Raja Willem III, Ratu Wilhelmina, atau Pangeran Willem I. Tetapi menarik mengamati bahwa sejak tahun 1930, pemerintah Hindia-Belanda mulai menampilkan citra Indonesia pada desain perangko-prangkonya, di sini bisa dilihat misalnya pada seri ‘Untuk Remaja’ (1930), seri ‘Palang Putih’ (1931). seri ‘Muhammadiyah’ (1941) atau seri ‘Tarian Daerah’ (1941).

Demikian pula di bawah pendudukan Jepang (1942–1945), citra Indonesia sangat mendominasi perangko di masa itu, misalnya pada seri ‘Satu Tahun Pendudukan’ (1943), seri ‘Pariwisata’ (1943) dan seri ‘Tabungan Pos’ (1943).

Jepang kemudian menyerah kepada Sekutu dan kemerdekaan Indonesia pun diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Tetapi pengambilalihan kekuasaan tidak berlangsung mulus karena tentara Jepang tidak mau menyerahkan kekuasaan dan persenjataan mereka kepada pihak Indonesia. Demikian pula dengan pelayananan pos ketika itu yang masih ditangani oleh dinas pos Jepang. Kekalutan bertambah ketika tentara Belanda yang membonceng tentara Sekutu yang bertugas untuk melucuti senjata tentara Jepang, berusaha kembali menduduki Indonesia. Terjadilah perang fisik paling berdarah dalam sejarah bangsa Indonesia yang menelan korban lebih dari 1 juta jiwa, berlangsung sejak Oktober 1945 sampai dengan akhir 1949. Dan selain oleh dinas pos Jepang, di kota-kota besar yang berhasil dikuasai kembali oleh Belanda berlangsung pelayanan pos menggunakan perangko Ned.-Indie, sementara di daerah-daerah yang masih dikuasai tentara RI pelayanan pos diselenggarakan oleh Djawatan PTT dengan menggunakan perangko Indonesia.

Perekonomian yang ikut hancur akibat perang ‘terekam’ pada perangko-perangko yang diterbitkan pemerintah Indonesia kala itu. Dan kesulitan hidup yang mendera seluruh rakyat Indonesia mengakibatkan hanya sebagian kecil saja perangko yang dicetak pada masa itu yang terselamatkan hingga saat ini. Kelangkaan ini membuat perangko-perangko dari masa 1945–1949 sangat menarik untuk dikoleksi walau pun dicetak melalui proses cetak yang sangat sederhana di atas kertas berkualitas rendah. [Lihat seri ‘Revolusi’ (1946/1947). Perhatikan bahwa kebanyakan perangko ini dicetak tanpa perforasi.]



Hanny Kardinata
Bintaro, 2006

28.11.17

Bersua Kartini di Agora (2)

[Sambungan dari: Bersua Kartini di Agora (1). Bagian terakhir dari dua bagian]


“...karena kami banyak sekali melihat peristiwa yang menunjukkan ketiadaan kasih sayang yang dilakukan orang dengan berkedok agama. Lambat laun barulah kami tahu, bukan agama yang tiada kasih sayang, melainkan manusia jugalah yang membuat buruk segala sesuatu yang semula bagus dan suci itu. Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci adalah kasih sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seseorang mutlak menjadi Kristen? Orang Budha, Brahma, Yahudi, Islam bahkan penyembah berhala pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni.” —R.A. Kartini[1]

Berkah bagi umat manusia?
Seribu lima ratus tahun berlalu. Seorang perempuan pembebas lainnya dilahirkan. Di desa Mayong, Jepara, Jawa Tengah. Masih dalam kungkungan budaya patriarkal, yang seakan enggan beranjak sejak zaman Yunani Kuno, atau bahkan lebih awal. Tatkala perempuan dianggap “bukan apa-apa”. Yang “diciptakan untuk laki-laki dan untuk kesenangannya”.[2]

“Panggil aku Kartini saja” tulisnya dalam salah satu suratnya kepada sahabatnya, Stella (Estella Zeehandelaar), menyiratkan keinginannya untuk diperlakukan setara dengan siapa saja. Walau ia berhak mencantumkan gelar Raden Ajeng di depan namanya.

Sebagai putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang kemudian diangkat menjadi bupati Jepara, Kartini (1879–1904) lahir dan besar di lingkungan keraton. Silsilah keluarganya konon bahkan bisa ditelusuri hingga ke istana Kerajaan Majapahit (1293–1500).[3]

3. Mata uang Republik Indonesia IDR 5 dengan gambar Kartini, 1950, dicetak oleh Thomas De La Rue & Co. Sumber: Wikimedia Commons.

Seperti Hypatia, Kartini sama-sama perempuan yang ide dan pemikirannya jauh melampaui zamannya. Rasa keadilannya berontak menolak kekangan adat istiadatnya yang turun temurun seperti keharusan tunduk pada kakak laki-lakinya, walau ia berada di pihak yang benar; tidak boleh keluar rumah (dipingit); harus kawin, karena tidak kawin adalah dosa terbesar perempuan Islam, cela terbesar bagi gadis Bumiputera dan keluarganya.  

Tapi beda dengan Hypatia, pergumulan batinnya hanya bisa dituangkan dalam surat-menyurat dengan para sahabat penanya. “Rampaslah semua harta benda saya, asal jangan pena saya,” demikian penghayatannya atas senjata satu-satunya, yang berarti segala-galanya itu. Sasaran bidik “pendekar kaumnya” ini begitu luas. Selain masalah kesetaraan gender, Kartini juga menggugat keadilan sosial bagi bangsanya, serta berbagai kepincangan di dalam masyarakatnya, yang berpangkal pada belenggu kolonialisme dan feodalisme itu. 


4. Fragmen surat Kartini (dalam bahasa Belanda), dari Kartini untuk Rosa Abendanon (1903/1904).

Dan, sebagaimana Hypatia, Kartini pun mempersoalkan agama-agama. Kepada Stella diutarakannya:

“Agama dimaksudkan sebagai berkah untuk kemanusiaan; untuk menciptakan pertalian antara semua makhluk Tuhan. Kita sekalian bersaudara bukan karena kita seibu-sebapa kelahiran manusia, melainkan oleh karena kita anak seorang Bapak, anak Dia, yang bertahta di atas langit.” 

“Ya Tuhan, kadang-kadang saya berharap. alangkah baiknya, jika tidak pernah ada agama. Sebab agama yang seharusnya justru mempersatukan semua manusia, sejak berabad-abad menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, pangkal pertumpahan darah yang sangat ngeri. Orang-orang seibu-sebapa ancam-mengancam berhadap-hadapan, karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan Yang Esa dan Yang Sama.”

“Orang-orang yang berkasih-kasihan dengan cinta yang amat mesra, dengan sedihnya bercerai-berai. Perbedaan gereja, tempat menyeru Tuhan Yang Sama, juga membuat dinding pembatas bagi dua hati yang berkasih-kasihan.”

“Betulkah agama itu berkah bagi umat manusia? tanya saya kerap kali dengan bimbang kepada diri saya sendiri. Agama yang harus menjauhkan kita dari berbuat dosa, justru berapa banyaknya dosa yang diperbuat atas nama agama itu!”[4] 

Dan curahan hatinya mengenai peri laku bangsanya:

“Selamanya kami maklum dan mengerti bahwa inti semua agama ialah kebaikan, bahwa semua agama itu baik dan bagus. Tetapi, aduhai! Manusia, apa yang kau perbuat dengan agama itu!”

“Yang membuat kami mempunyai rasa tak senang kepada agama adalah karena para pemeluk agama itu saling menghina, membenci, ya bahkan terkadang satu mengejar-ngejar pemeluk agama yang lain.”[5]

”Yang membuat kami menjadi orang kafir? Banyak, yaitu apa-apa yang kami lihat berselubung agama. Aduhai! Betapa tidak ada toleran dari pihak kebanyakan orang yang memegang teguh agama!“[6]

 Dan bahwa agama tidak menentukan kemuliaan jiwa seseorang:

“Kami tidak peduli agama mana yang dipeluk orang atau bangsa mana dia. Jiwa besar tetaplah jiwa besar, akhlak mulia tetaplah akhlak mulia. Hamba Allah ada pada tiap-tiap agama, di tengah-tengah tiap bangsa”[7] 

Kartini, yang menolak fanatisme agama itu tentu akan merasa pedih dan sedih bila hidup di masa sekarang, menyaksikan semakin tingginya angka kasus kekerasan berbasis agama di negerinya beberapa tahun terakhir ini. Kasus-kasus yang     tak luput dari sorotan dunia internasional.

Tetapi, seperti yang selalu diingatkan oleh meditator Jiddu Krishnamurti pada hampir tiap sesi ceramahnya tentang kehidupan: apakah kita bisa melihat wajah kekerasan dengan jelas—bukan hanya di luar diri kita tapi juga di dalam diri kita? Yang artinya bebas total daripadanya, bukan karena berniat menyingkirkannya? Apakah kita mengerti dengan sungguh-sungguh bahwa pikiran kita yang terkondisikan, serta struktur masyarakat di mana kita hidup itu telah menghalangi kita melihat fakta, dan terbebas sepenuhnya darinya?

You say, `I will think about it; I will consider whether it is possible to be free from violence or not. I will try to be free.’ That is one of the most dreadful statements you can make, `I will try’. There is no trying, no doing your best. Either you do it or you don’t do it. You are admitting time while the house is burning. The house is burning as a result of the violence throughout the world and in yourself and you say, `Let me think about it. Which ideology is best to put out the fire?’ When the house is on fire, do you argue about the colour of the hair of the man who brings the water?” 
Fear, pleasure, sorrow, thought and violence are all interrelated. Most of us take pleasure in violence, in disliking somebody, hating a particular race or group of people, having antagonistic feelings towards others. But in a state of mind in which all violence has come to an end there is a joy which is very different from the pleasure of violence with its conflicts, hatreds and fears.” —Jiddu Krishnamurti, Freedom from the Known (1969), Chapter 6

Bumi manusia
Nukilan perjalanan kedua perempuan pencinta kemanusiaan, Hypatia dan Kartini ini, melebur di masa kini pada sebuah noktah biru muda (Pale Blue Dot)[iii] di angkasa raya yang bernama planet Bumi; dalam sebuah renungan tentang kekerasan tak berkesudahan yang dilakukan atas nama ribuan doktrin. Narasi disampaikan oleh astronom Amerika, Carl Sagan (1934–1996) melalui film berdurasi empat menit yang dipetik dari bukunya Pale Blue Dot: A Vision of the Human Future in Space (1994). 

Film yang dilatari musik elektronik Vangelis (l. 1943), Heaven and Hell (1975) ini bisa diakses di kanal YouTube, https://www.youtube.com/watch?v=n5khU_6o7lc

“Dari titik pandang yang sangat jauh, Bumi terlihat tak terlalu spesial. Tapi bagi kita, tidaklah demikian.”

“Pandanglah lagi noktah itu. Di situ, itu rumah kita, itu kita. Di situ hidup setiap orang yang kau cintai, semua yang kau kenal, semua yang pernah kau dengar tentangnya, setiap manusia yang pernah ada, dalam kehidupan mereka.” 


5, 6. Planet Bumi, rumah seluruh umat manusia, terlihat hanya sebagai sebutir debu di angkasa raya.

“Seluruh suka dan duka kita, ribuan agama, ideologi, dan doktrin ekonomi, setiap pemburu dan pencari makan, setiap pahlawan dan pengecut, setiap perajut dan perusak peradaban, setiap raja dan rakyatnya, setiap pasangan muda yang saling jatuh cinta, setiap ibu dan ayah, anak harapan, penemu dan penjelajah, setiap guru budi pekerti, setiap politisi korup, setiap “superstar”, setiap “pemimpin tertinggi”, setiap orang suci dan pendosa dalam sejarah spesies kita—berada di atas setitik debu yang melayang disinari matahari itu.” 

“Bumi adalah panggung kecil di Semesta maha luas. Pikirkanlah sungai-sungai dialiri darah yang ditumpahkan oleh para jenderal dan kaisar, agar dalam kejayaan dan kemenangannya, mereka boleh menjadi penguasa sesaat di sebagian kecil titik itu. Renungkanlah kebengisan tiada akhir, yang dilakukan oleh penghuni salah satu bagiannya, terhadap warga di sudut lain titik—yang besarannya dalam foto tak sampai satu piksel [penulis] itu[iii]; betapa seringnya mereka salah paham, alangkah inginnya mereka membunuh yang lain, betapa membaranya kebencian di antara mereka.” 

“Sikap kita, keegoisan kita, delusi atas posisi istimewa kita di Alam Semesta, ditantang oleh noktah biru muda ini. Planet kita berupa titik kecil yang kesepian di kegelapan kosmik yang menyelubunginya. Dalam serba ketakjelasan, di dalam kemahaluasan ini, tak ada petunjuk yang akan menolong kita dari peri laku kita sendiri.”

“Ibu Pertiwi satu-satunya tempat yang bisa menopang kehidupan sejauh ini. Tak ada tempat lain, setidaknya di masa depan terdekat, di mana kita bisa bermigrasi. Mengunjunginya, ya. Menetap, belum saatnya. Suka atau tidak, untuk saat ini, hanya Bumi tempat kita bisa melangkah.”

“Telah diketahui bahwasanya astronomi merupakan pengalaman kerendahhatian dan pembentukan watak. Mungkin tak ada gambaran yang lebih baik tentang kebodohan akibat kesombongan manusia, sebaik yang diutarakan oleh gambar dunia kecil kita yang jauh ini. Bagi saya, foto ini[iii] menggarisbawahi tanggung jawab kita untuk berlaku lebih baik satu sama lain, dan untuk melestarikan serta menghormati Pale Blue Dot, satu-satunya rumah yang kita kenal ini.”

Hanny Kardinata
Tangerang Selatan, Hari Kartini, 21 April 2017


———
[iii] Pale Blue Dot adalah judul foto planet Bumi, yang diambil pada 14 Februari 1990 oleh pesawat antariksa nirawak Voyager 1 yang saat itu berada 6,4 miliar kilometer jauhnya dari Bumi (merupakan benda buatan manusia terjauh dari Bumi). Di dalam foto itu, Bumi, tampak hanya sebagai sebuah noktah biru muda (kurang dari 1 piksel), setitik debu. Itulah Bumi manusia, rumah kita!


———
[1] Sutrisno, Ny. Sulatin. Surat-Surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, Penerbit Djambatan, 1979, h. 293 [kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri, 12 Desember 1902]

[2] Id, h. 55 [kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri, Agustus 1900]

[3] Kartini. Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Kartini

[4] Sutrisno, Ny. Sulatin. Surat-Surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk BangsanyaPenerbit Djambatan, 1979, h, 18–19 [kepada Nona E.H. Zeehandelaar, 6 November 1899]

[5] Id, h. 230 [kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]

[6] Id, h. 254 [kepada Ny. Van Kol, 20 Agustus 1902]

[7] Id, h. 333 [kepada Tuan Dr. N. Adriani, 5 Juli 1903]

[Bersambung » Yang Ditabur, yang Dituai (1), (2), dan (3), dituliskan untuk merayakan Hari Bumi, 22 April 2017]

***





27.11.17

Bersua Kartini di Agora (1)

Oleh: Hanny Kardinata


When you call yourself an Indian or a Muslim or a Christian or a European, or anything else, you are being violent. Do you see why it is violent? Because you are separating yourself from the rest of mankind. When you separate yourself by belief, by nationality, by tradition, it breeds violence. So a man who is seeking to understand violence does not belong to any country, to any religion, to any political party or partial system; he is concerned with the total understanding of mankind.” —Jiddu Krishnamurti (1895–1986), Freedom from the Known (1969), Chapter 6 
Kota Iskandariyah, Mesir, 8 Maret 415 M. Mereka merajamnya dengan brutal dan keji, hingga tewas. Tanpa proses peradilan. 

Hypatia (350/370–415 M), perempuan pemikir terbesar di masanya itu, tewas mengenaskan sebagai martir atas sikapnya yang non-konformis pada keyakinannya (filsafat). Pengawal terakhir Perpustakaan Iskandariyah[i] itu tengah di puncak temuannya di bidang astronomi ketika di negerinya bergejolak berbagai pertentangan paham (cara pandang). Ia terhanyut dalam pusaran konflik antara filsafat [dan sains] dengan agama, antara agama-agama itu sendiri, serta antara kekuasaan legal [dari penguasa administratif] dengan yang real [dari penguasa ideologis]; dibalut kontradiksi kelas sosial-ekonomi yang berkecamuk di Iskandariyah. [Lihat: Perjalanan Ide, Nilai, dan Makna]

Simbol kebebasan berpikir 
Film Agora (2009) yang dibesut oleh sutradara Alejandro Amenábar (l. 1972) diawali dengan adegan  kekisruhan yang terjadi di sebuah agora di Iskandariyah. Di ruang publik terbuka, tempat bermusyawarah bagi masyarakat Yunani Kuno—yang juga tempat bernegosiasi (sebagai pasar)—itu, terjadi perdebatan sengit antara pemeluk agama lama Yunani-Roma-Mesir (pemuja dewa-dewi) dengan pemeluk Kristen tentang persoalan ketuhanan. Kejadian itu berbuntut pada pembumihangusan Perpustakaan Iskandariyah oleh massa parabalani (anggota persaudaraan Kristen).

1. Perpustakaan Iskandariyah atau Perpustakaan Alexandria. Gambar: O. Von Corven, fotografi: Tolzmann, Don Heinrich, Alfred Hessel, dan Reuben Peiss. Sumber: Wikimedia Commons.

Hypatia, putri matematikawan besar Theon, pada saat itu telah mengambil alih posisi terhormat ayahnya di Akademi Iskandariyah dan mengajar di sana selama bertahun-tahun. Lebih daripada pemikir-pemikir lainnya—sejak Plotinus (204–70 SM), Bapak Neo-Platonisme—ia telah mengembangkan sekolah bagi para pemikir itu hingga ke puncaknya. Kuliah-kuliahnya sangat populer dan menarik perhatian mereka yang memandang Neo-Platonisme sebagai pesan spiritual yang universal, filosofi termulia, dan sebagai agama yang menyatukan semua agama. Itulah janji emas Neo-Platonisme, dan Hypatia adalah nabinya. Ia, dalam film itu, dicitrakan sebagai simbol kebebasan berpikir. Di era di mana perempuan memiliki hanya sedikit pilihan dan diperlakukan sekadar sebagai barang, Hypatia bergerak bebas di lingkungan yang didominasi oleh pria (budaya patriarki).

Sebagai penerus ajaran Neo-Platonisme, yang merupakan sintesis dari semua aliran filsafat hingga saat itu, pandangannya mengenai agama-agama dinyatakannya demikian:

“Agama-agama formal dan dogmatis itu semuanya keliru, tak semestinya diterima begitu saja sebagai sudah final oleh mereka yang tahu menghargai dirinya.” 

Dalam salah satu sesi pengajaran ilmu astronomi di kelasnya terjadi perdebatan antara kedua murid Hypatia, Orestes dan Synesius. Ketika keduanya mulai menyinggung persoalan agama masing-masing, Hypatia menengahi.

Hypatia: Synesius, apa aturan pertama Euclid (Euklides, Bapak Geometri —penulis)?

Synesius: Mengapa bertanya begitu?

Hypatia: Jawab saja.

Synesius: Jika dua benda sama dengan benda ketiga, maka semuanya berarti sama.

Hypatia: Bagus. Sekarang bukankah kalian berdua sama bagiku?

Synesius: Ya.

Hypatia: Dan kau Orestes?

Orestes: Ya.

Hypatia: Aku sejujurnya berkata ini untuk semua orang di ruangan ini. Banyak hal yang menyatukan ketimbang yang menceraikan kita. Jadi, apa pun yang terjadi di luar, kita adalah saudara. Kita adalah saudara.

[Seperti diketahui, di luar sana, di agora, tengah berkecamuk pertentangan antara penganut pemikiran Yunani Kuno dengan  pemeluk pemikiran dan filsafat kekristenan.] 

Begitulah kisah Hypatia, yang hidup dalam cengkeraman dogma-dogma agama di masanya. Sebuah rekam kelam sejarah yang diceritakan berulang kali dan terus-menerus dalam sejumlah literatur, film, serta dipentaskan di teater-teater berabad-abad sesudahnya.


2. Tewasnya filsuf  Hypatia, Louis Figuier, 1866. Sumber: Wikimedia Commons.

Tapi, apakah orang bisa belajar dari sejarah? Jawaban Ong Hok Ham (1933–2007), sejarawan dan cendekiawan itu: “Sayang, rupanya tidak. Sebab kalau kita dapat belajar dari sejarah, maka kita semua akan lebih bahagia dan sentosa.”[ii]


———
[i] Perpustakaan Iskandariyah atau Perpustakaan Alexandria didirikan pada awal abad ke-3 SM di Mesir. Konon, perpustakaan ini memiliki 700.000 gulungan papirus. Sebagai perbandingan, pada abad ke-14 Perpustakaan Sorbonne [yang dikabarkan memiliki koleksi terbesar di zamannya] hanya memiliki 1.700 buku. Koleksinya meliputi berbagai subjek ilmiah termasuk asal usul kehidupan dan tempat manusia di Alam Semesta. Para cendekiawan yang bekerja di Iskandariyah menghasilkan karya-karya besar dalam bidang geometri, trigonometri, astronomi, serta bahasa, kesusastraan dan kedokteran. Menurut kisah turun-temurun, di tempat inilah ke-72 cendekiawan Yahudi menerjemahkan kitab-kitab bahasa Ibrani ke dalam bahasa Yunani, dan menghasilkan Septuaginta (Perjanjian Lama Yunani) yang termasyhur itu. Sewaktu bangsa Arab menaklukkan Mesir pada tahun 640, Perpustakaan Iskandariyah sudah tidak ada.

Tokoh-tokoh ilmuwan yang tumbuh dan berkembang bersama Perpustakaan Iskandariyah di antaranya adalah Archimedes (matematikawan), Aristarchus (astronom), Kalimakhus (pujangga dan pustakawan), Claudius Ptolemaeus (astronom), Eratosthenes (pakar ensiklopedia dan pustakawan), Euklides (matematikawan), dan Galen (dokter).

Pentingnya Perpustakaan Iskandariyah tersirat pada karya Carl Sagan, Cosmos: A Personal Voyage, di mana bagian awal dan akhir serial televisi [yang sangat populer pada era 1980–1990-an] ini ia membawa penontonnya kembali ke kota kuno itu sambil mengisahkan sejarahnya. 

Di episode pertamanya, The Shores Of The Cosmic Ocean, Sagan memperkenalkan perpustakaan ini dan menyatakan bahwa jika “bisa melakukan perjalanan waktu kembali, ini adalah tempat yang akan dikunjunginya”. Alasannya: 

But why have I brought you across two thousand years to the Library of Alexandria, because this was when and where we humans first collected seriously and systematically the knowledge of the world.

Di episode terakhirnya, Who Speaks for Earth?, Sagan mengisahkan kehancuran perpustakaan dan pembunuhan keji pustakawannya yang terkemuka, Hypatia, yang dikenal pula sebagai ‘one of the earliest mothers of mathematics’.

[ii] Ketika menonton film Agora di awal Maret 2017—di mana kota Jakarta sedang dalam masa pemilihan gubernurnya, sebuah proses paling genting yang pernah terjadi dalam sejarah lantaran salah seorang calonnya beragama Kristen dan beretnis Indo-Tionghoa—penulis diingatkan kembali pada kekerasan dan kerusuhan yang terus berulang terjadi di Indonesia atas nama suku, agama, ras, dan golongan.


***

Tulisan-tulisan lainnya di sini.


26.11.17

Mengikuti Jalan (5)

6. Poster pameran Grafis ’89,
pameran bersama desainer-desainer Indonesia dan Jepang, yang dirancang oleh Lesin, 1989.

[Sambungan dari: Mengikuti Jalan (4). Bagian terakhir dari lima bagian]


Anti komputer grafis
Pameran IPGI–JAGDA yang kedua bertajuk Grafis ‘89 diselenggarakan berturut-turut di tiga kota: Jakarta, 23–30 Maret di Gedung Pameran Seni Rupa Depdikbud (sekarang Galeri Nasional), jalan Merdeka Timur 14; Bandung, 12–20 April 1989 di Yayasan Pusat Kebudayaan, jalan Naripan; dan Yogyakarta, 26 April–3 Mei di Kampus Institut Seni Indonesia (ISI), jalan Gampingan. 

Masih dengan bantuan pembiayaan dari Japan Foundation, Miyazaki menggagas kedatangan Shigeo Fukuda (1932–2009) sebagai pembicara. Fukuda yang dijuluki sebagai Japan’s Houdini of Design, dianggap sebagai pelopor generasi kedua desainer grafis Jepang bersama antara lain Tadanori Yokoo (l. 1936), Mitsuo Katsui (l. 1931), Ikko Tanaka (l. 1930). Karya-karyanya bisa dikenali dari kesederhanaannya (logo-like simplicity), dan dari penerapan teknik ilusi visual (deception). Kebanyakan dirancang agar berdampak sosial atau merupakan bentuk komunikasi kultural daripada demi tujuan komersial; Fukuda merupakan pendukung kuat pasifisme dan environmentalisme. Ia juga menjadi desainer grafis Jepang pertama yang terpilih masuk dalam New York Art Directors Club Hall of Fame.


7. Poster karya Shigeo Fukuda, No More War, 1968.

Dalam kunjungannya ke Indonesia itu, Fukuda tampil sebagai pembicara dalam sebuah ceramah pada tanggal 29 Maret 1989 di Pusat Kebudayaan Jepang, Summitmas Tower lantai 2, Jakarta. Sekitar satu jam sebelumnya, beberapa penulis dari majalah desain grafis F/A [ii] berkesempatan mewawancarinya. Saya hadir dalam sesi wawancara itu. 

Menurut Fukuda, masyarakat Jepang tadinya juga tidak menganggap produk desain grafis sebagai karya seni. Diungkapkannya: 

“Tapi saat ini Jepang sudah mulai mengakui desain grafis sebagai seni. Hal itu ditunjukkan dengan membuat museum poster, yang setahun lagi akan selesai. Sejauh ini, poster-poster di Jepang segera dibuang setelah dipakai; berbeda sekali dengan Amerika, Chekoslovakia, Belanda, Perancis, dan Polandia yang sejak lama telah menyimpan dan menghargai poster sebagai benda seni. Dan di Jepang, kehadiran museum poster yang sedang dibangun itu merupakan perlakuan serta sikap baru yang jelas berbeda.”

Khusus mengenai desain grafis Indonesia, Fukuda berpesan: 

“Jepang telah melalui tahap-tahap tertentu untuk sampai ke puncaknya dalam 20 tahun terakhir ini. Ada baiknya Indonesia memerhatikan langkah-langkah yang telah ditempuh Jepang, dan jangan punya ambisi untuk melompat-lompat agar segera sampai di puncak, meskipun secara ajaib hal yang khusus ini terjadi pada Korea. Dalam bidang apa pun, budaya, sastra, dan lainnya, terdapat generasi yang di dalamnya perlu ada persaingan agar bisa maju. Bagus bila Indonesia secara periodik mengumpulkan seniman-seniman grafis untuk berpameran, hingga selalu didapatkan masukan-masukan tertentu sebagai titik untuk maju terus.”

Dan tentang pengaruh teknologi pada desain grafis:

“Saya anti komputer grafis. Di Jepang ada komputer grafis, tapi itu hanya terbatas pada orang-orang yang tahu komputer, serta mengenal program-programnya. Bagi saya, itu tidak menarik, dan tidak yakin bisa menghasilkan sesuatu yang menarik. Pasti ada saatnya komputer tidak bisa mencetuskan apa-apa yang diinginkan oleh seniman, karena komputer memiliki sejumlah keterbatasan, misalnya hanya mampu membuat garis-garis tertentu sesuai programnya saja. Padahal kebutuhan dalam desain grafis lebih dari itu. Saya sendiri berminat besar kepada daya lihat manusia sebagai titik pangkal dari ilusi atau pembuatan trik-trik tertentu. Penglihatan bagi desainer grafis merupakan sesuatu yang amat penting. Komputer sendiri bagus sejauh dianggap sebagai alat, seperti halnya penggaris dan jangka. Sebagaimana layaknya robot, komputer pasti kalah pintar dari manusia. Setelah era komputer terlewati, tidak akan lahir apa-apa lagi.”

8. Poster pameran ilustrasi Fukuda, 1979.

Ilustrasi ini menggambarkan interpretasi Fukuda atas prinsip ‘unity of opposites’ sebagaimana tercermin pada filosofi Yin-Yang dimana hitam dan putih saling bergantung satu sama lain [Lihat: Kenali diri sendiri, pada Tarian Alam Semesta pada h. ..]. Ketika konsep Taois ‘unity’ diterapkan pada desain grafis, konsep ini tetap membawa hasil. 

Interpretasi lain terhadap prinsip kesatuan dalam Taoisme serupa dengan konsep psikologi Gestalt yang memformulasikan kaidah umum bahwa The whole is greater than the sum of its parts. Kecenderungan untuk membentuk keutuhan, kesatuan, mendominasi dalam persepsi. Kita melihat dalam kesatuan, tidak dalam bagian-bagian. Kaum Gestaltis percaya bahwa kita menyadari karena kontras, dalam konteks. Sebuah figur selalu berada dalam konteks latar belakangnya.

Dalam pengamatan saya [saya tak lagi terlibat dalam kepanitiaan], terselenggaranya pameran IPGI–JAGDA kedua ini tidak terlepas dari peran Yongky Safanayong (1950–2015). Yongky yang pada waktu itu mengajar di Jurusan Desain Grafis Universitas Trisakti dan belum lama bergabung dengan IPGI itu seperti mendadak kejatuhan tanggung jawab besar sebagai “Ketua Pameran” akibat tidak efektifnya Ketua Pameran terpilih. Keterlibatannya yang bisa dibilang all out dalam mempersiapkan pameran menjadi faktor penting kesuksesan pameran di Gedung Pameran Seni Rupa Depdikbud, Jakarta itu. 

Menyatu dengan alam
Setelah pameran kedua itu, Miyazaki seperti “menarik diri”. Dari Yongky, saya mendengar kabar mengenai kekecewaannya atas sikap penanggung jawab pameran itu. Tak berapa lama kemudian, kontrak kerjanya di Indonesia pun berakhir. Ia kembali ke negaranya, meninggalkan warisan berupa dua kali pameran besar desain grafis internasional, yang hingga kini mungkin masih tergolong yang terbesar yang oernah diadakan di Indonesia (di tiga kota). 

Sebelum Miyazaki pulang ke Jepang, saya mengunjunginya di tempat kediamannya di bilangan Kebayoran Baru. Ia memperkenalkan isterinya, Miho yang juga merupakan pribadi yang sangat santun dan bersahaja. Miho seorang penggambar. Selama tinggal di Jakarta, ia membuat banyak karya gambar yang melukiskan sketsa kehidupan sehari-hari penduduk Jakarta dan sekitarnya. Melalui penggunaan teknik cat air, ia seakan-akan ingin mengabarkan nilai-nilai kesederhanaan, sebagaimana kehidupan yang juga dilakoninya. Ada suasana pasar, pasar burung, warung makan, suasana hari kemerdekaan, juga pemandangan sawah bertingkat (terasering). Saya dihadiahinya satu seri kartu ucapan yang dihiasi dengan gambar-gambarnya itu, yang dicetaknya di bawah label Miho Arts (Gb. 9). 


9. Sketsa kehidupan sebuah pasar di Jakarta karya Miho.

Di negaranya dewasa ini, Miyazaki menjalani kehidupan barunya yang tenteram dan sentosa—walau menurutnya “biasa-biasa” saja—di Perfektur Yamagata, dengan nama barunya Nobu Araki. Sejak 1 April 2012, 17% dari lahan perfektur ini ditetapkan sebagai Taman Nasional guna perlindungan alam yang lestari. Bisa jadi karena kondisi alamnya yang asri itu, Yamagata menjadi salah satu dari tiga propinsi yang tertinggi tingkat usia harapan hidupnya; lebih dari 12% populasinya mencapai usia hingga di atas 75 tahun [Baca juga mengenai gerakan konter-urbanisasi pada Bukan perkara baru, dan Selaras dengan alam, di Perjalanan Kembali]. 

Perfektur Yamagata terkenal dengan produksi ceri (pangsanya 70% dari produksi nasional) dan pemandangan musimannya yang berwarna-warni. Tiap area perfektur memiliki budaya, iklim, dan karakter alaminya masing-masing. Dikaruniai gunung dengan ketinggian di atas 1000 meter, mata air panas, sungai, dan lembah yang ideal untuk hiking, ski, dan kegiatan luar ruang lainnya. Yamagata juga terkenal dengan kota-kota budaya dan sejarahnya, bangunan-bangunan tradisional dan reruntuhan bersejarah yang dilindungi hingga dewasa ini. 

Bukankah Miyazaki dan keluarganya kini tengah menjalani hidup yang berkualitas? Sebagai downshifters[iii] [Lihat: Perjalanan Kembali]?


———
[iii] Menurut Urban Dictionary, downshifters berarti people who had a good professional job and (usually) a house which had significantly increased in value—but then they realised that by selling the house and moving to another (usually rural, far cheaper) area of the country, they could ’downshift’ their lives and yet still have a small fortune in the bank + less stress, less work, more time with the family, more money. 


Sementara situs Slow Movement mendefinisikan Downshifters are people who adopt long-term voluntary simplicity in their life. They accept less money through fewer hours worked in order to have time for the important things in life. Downshifters also place emphasis on consuming less in order to reduce their ecological footprint.

.  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  .  . 



***

Unggulan

Merajut Keterhubungan

Sebuah esai merespons tema pameran Forum Grafika Digital 2017 (FGDexpo 2017), Connectivity (Jakarta Convention Center, 24–27 Agustus 2017). ...